Tuesday, October 20, 2015

TAXI – Kedua Terbaik yang Ditinggalkan

Jakarta, 21 Oktober 2015 – PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) terus tertekan sejak batal diakuisisi oleh Saratoga. Perubahan tren transportasi masyarakat Jakarta yang menuju Uber dan Go-Jek serta aplikasi-aplikasi online serupa, juga  menjadi tekanan baru bagi kinerja perusahaan terbaik kedua setelah Blue Bird ini.

Grup Saratoga dan pemilik mayoritas Express yaitu PT Rajawali Corpora, PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPMX) dan Golden Valley Advisors Inc pada tanggal 6 Juli 2015 telah menandatangani Perjanjian Jual Beli Bersyarat (CSPA) atas 51% saham Express. CSPA tersebut seyogyanya akan diselesaikan pada 90 hari sejak penandatanganan. Namun pada tanggal 9 Oktober 2015, Perseroan mendapatkan informasi bahwa terjadi pembatalan akuisisi karena kondisi pasar yang kurang kondusif.



Pada tanggal penandatanganan CSPA, saham berkode TAXI dihargai pasar Rp 1.045. Berlawanan dengan kebiasaan pasar, sejak informasi tersebut dirilis, saham TAXI terus tertekan. Tekanan tersebut terjadi terus selama proses due diligence sampai pada harga terendah di Rp 297/ saham pada tanggal 30 September dan akhirnya disuspensi oleh Bursa pada tanggal 1 Oktober. Penurunan harga tersebut lebih dalam daripada penurunan yang dialami oleh IHSG maupun peersnya, PT Blue Bird Tbk (BIRD).

Mungkin due diligence akhirnya tidak menghasilkan keputusan akuisisi karena utang Perseroan yang tinggi.Rasio utang jangka panjang terhadap ekuitas Express tercatat 1,72 kali – lebih tinggi daripada 3 perusahaan lain yang bergerak di bidang pertaksian di Indonesia. Rasio EBITDA terhadap beban keuangannya adalah terendah kedua setelah PT WEHA Transportasi Indonesia Tbk (WEHA), yaitu 2,82 kali.

Struktur pendanaan yang cukup berat di utang ini menjadi batu sandungan bagi Express untuk meningkatkan asetnya di kemudian hari. Padahal untuk merebut pangsa pasar pertaksian Blue Bird yang sudah memiliki 24.000 unit mobil, membutuhkan dana yang tak sedikit bagi Express yang baru memiliki 8.000 unit.

Mungkin juga akuisisi batal karena Express yang selalu disandingkan dengan Blue Bird, dilihat kurang mampu untuk meningkatkan nilai pemegang saham karena imbal hasil atas ekuitas yang lebih rendah daripada kompetitornya. ROE Express hanya 7,05% sementara Blue Bird sudah mencapai 22,93% setelah dianualisasi.

Atau mungkin juga karena Express memiliki banyak piutang yang tak lancar kepada karyawan, sehingga rasio perputaran asetnya terendah di antara keempat perusahaan taksi di bursa saham.

Sementara itu tekanan pada saham Perseroan dikarenakan juga karena tekanan kinerja yang terjadi karena perubahan tren pasar dari transportasi terutama di Jakarta. Uber dan Go-Jek serta aplikasi-aplikasi online makin menekan kemampuan Perseroan untuk mencatatkan pendapatan. Express terlihat hanya mampu menghasilkan Rp 520 dari tiap Rp 1000 nilai aset armada yang dimilikinya, bandingkan dengan Blue Bird yang menghasilkan Rp 810.

Untuk mempersiapkan diri di pasar yang online, Express menetapkan fokus utama perusahaan dalam bidang infrastruktur teknologi informasi ini mencakup ERP System, Rapid Dispatch System (RDS), Passenger Censor, dan Car Hiring. Perbaikan IT akan dilakukan juga meliputi meningkatkan kualitas dari call center, website, dan perangkat informasi lainnya dalam menunjang kualitas pelayanan kepada konsumen.  Tapi apakah langkah ini tidak terlambat mengingatkan kedua aplikasi di atas sudah menghiasi tiap smart phone pengguna taksi di Jakarta?

Apapun alasannya, dengan rasio P/E tertinggi kedua setelah Blue Bird dan PBV terendah dibandingkan ketiga saham lainnya, TAXI menjadi tidak lagi menarik untuk disimpan.

Oleh karena itu Perseroan perlu memiliki rencana restrukturisasi dan perencanaan jangka panjang untuk memperbaiki struktur keuangan serta merebut kembali pangsa pasar yang telah terkikis.

 


Monday, April 27, 2015

Biaya Modal Tambang Makin Mahal

Jakarta, 27 April 2015 – Industri tambang akan makin sulit untuk mencari pendanaan murah, apalagi dengan makin besarnya fokus penyaluran kredit ke sektor infrastruktur. Perusahaan-perusahaan tambang akan makin banyak yang mengalami kesulitan keuangan dan pailit atau mengubah lini bisnis mereka di tahun 2015 ini, meninggalkan perusahaan-perusahaan besar untuk memenuhi kebutuhan komoditi tambang.

Total liabilitas pada tahun 2014 dari perusahaan-perusahaan tambang lebih tinggi daripada tahun 2013. Kenaikan ini khususnya nampak pada liabilitas jangka panjang yang memang dibutuhkan perusahaan-perusahaan untuk mempertahankan operasionalnya.

Konsekuensi dari kenaikan utang jangka panjang ini adalah kenaikan beban bunga yang rata-rata mencapai dua kali lipat dari tahun 2013. Golden Energy Mines, Tbk (GEMS) misalnya menanggung biaya bunga lebih dari 8 kali lipat. Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk (PTBA) juga merasakan kenaikan beban bunga sampai dengan 8 kali lipat dari Rp 6,23 miliar di 2013 menjadi Rp 48,7 miliar di 2014.

Makin tinggi beban bunga ini tidak disertai dengan meningkatnya laba yang dapat digunakan untuk membayar bunga. Hal ini membuat tekanan kepada kemampuan perusahaan untuk membayar laba yang diukur dengan rasio laba sebelum bunga dan pajak terhadap beban keuangan. Tahun 2014, rata-rata rasio tersebut hanya 43,53 kali, sementara tahun 2013 masih tercatat di 90,69 kali.


Rasio tersebut masih cukup baik, namun telah menjadi indikasi kehati-hatian untuk banyak perusahaan, seperti Bayan Resources, Tbk (BYAN) yang rasionya tercatat sudah negatif selama 2 tahun berturut-turut. Artinya kerugian perusahan membuat perusahaan makin sulit untuk membayar kewajiban bunganya sekaligus mempertahankan kelangsungan bisnisnya ke depan. Hal yang sama nampak pada Atlas Resources, Tbk (ARII)  yang juga mencatatkan rasio EBIT/beban keuangan yang negatif.

Seperti lingkaran setan, indikator yang tampak memberatkan ini membuat perusahaan tambang sulit untuk mencari pendanaan dalam bentuk utang. Hal tersebut tampak di dalam rata-rata rasio total utang terhadap total aset yang turun dari 0,46 kali di 2013 menjadi 0,43 kali, sementara rasio utang jangka panjang terhadap total ekuitas juga turun dari 1,09 kali di 2013 menjadi 1,04 kali di 2014. Artinya, beban bunga naik secara signifikan tanpa disertai dengan kenaikan nilai utang itu sendiri.

Ke depannya, hal mencari pendanaan akan makin sulit bagi emiten-emiten tambang dengan Moody’s Investor Service telah menetapkan negative outlook untuk industri tambang di Asia untuk tahun 2015. Moody’s memperkirakan EBITDA/ton akan tetap rendah, di bawah USD 10 – 15/ton di 2015. Moody’s juga melihat bahwa strategi efisiensi biaya dari kebanyakan emiten tambang akan memperbaiki kinerja laba, namun tidak mampu menjadi kekuatan dasar bagi kelangsungan hidup jauh ke depan.

Dari sisi perbankan, yaitu penyedia dana utang bagi industri, juga telah mengalihkan fokus pemberian kreditnya dari industri tambang. Dampak pengalihan ini akan makin jelas pada tahun 2015 karena proyek-proyek infrastruktur yang sudah semakin jelas akan mulai dilaksanakan membutuhkan dana.

Dengan sempitnya alternatif pendanaan, apakah emiten tambang dapat mencari pendanaan di pasar saham? TIDAK.

Bila kita melihat dari laporan-laporan riset analis baik dari buy side maupun sell side, kita dapat melihat bahwa emiten-emiten tambang menghadapi lebih banyak tantangan sekarang daripada tahun lalu. Jumlah ‘buy’ dan ‘hold’ lebih sedikit pada 1 tahun terakhir dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, dengan banyaknya alternatif baru yang kini muncul di pasar, alasan investor untuk masuk ke industri tambang akan makin sedikit.


Tahun 2015 mungkin akan menjadi tahun penentuan bagi industri tambang. Kita mungkin akan melihat adanya perubahan strategi yang fundamental dan ekstrim untuk mempertahankan eksistensinya di industri. Bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki visi untuk melihat bahwa di balik tantangan ini, masih ada pasar baru batubara yang sebentar lagi muncul, yaitu pembangkit listrik 35.000MW yang sedang dikerjakan oleh pemerintah. Pertanyaannya, berapa banyak yang sanggup bertahan?

Wednesday, April 15, 2015

Pertumbuhan dan Profitabilitas Retail Bangunan di 2014 Baik

Jakarta, 16 April 2015 – Perusahaan-perusahaan retail bangunan mengalami pertumbuhan positif dengan kinerja profitabilitas yang yang terjaga. PT Catur Sentosa Adiprana, Tbk (CSAP), induk perusahaan dari brand Mitra10 dan Atria, mengalami pertumbuhan laba tertinggi didorong oleh pertumbuhan pendapatan dan peningkatan produktivitas aset-aset.

Pertumbuhan pendapatan Catur Sentosa terdua tertinggi di industrinya dengan tingkat 10,95%. Pendapatan Catur Sentosa tercatat Rp 7,14 triliun, yang sebagian besar masih ditopang oleh segmen distribusi yang menjadi tulang punggung Perseroan sejak awal. Sementara segmen retail yang akan menjadi ujung tombak pertumbuhan Perseroan mencatatkan pertumbuhan 18,5% menjadi Rp 1,82 triliun.

Walaupun hanya mencatatkan peringkat kedua pertumbuhan pendapatan, di bawah PT Ace Hardware Indonesia, Tbk (ACES), namun Catur Sentosa mencatat peringkat pertumbuhan pertumbuhan laba bersih. Sebagian faktor penunjang pertumbuhan dikontribusikan dari penjualan aset berupa tanah dan bangunan gudang yang sudah tak terpakai, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas aset. Laba Perseroan tercatat Rp 104,62 miliar atau naik 47,04% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara itu pertumbuhan Ace Hardware, retail bangunan yang berkapitalisasi terbesar ini, mencapai 16,58% menjadi Rp 4,54 triliun. Seluruh produk yang dijual Ace Hardware turut mendukung pertumbuhan tersebut, dengan kontributor penjualan terbesar pada produk perbaikan rumah.

Laba bersih yang dicatatkan oleh Ace Hardware adalah Rp 554,77 miliar atau mencerminkan marjin laba bersih 12,2%, juga tertinggi di industrinya. Pilihan bisnis perseroan untuk bergerak di sektor retail membuat Ace Hardware memang akan mendapatkan marjin yang lebih tinggi daripada industrinya yang masih memiliki kombinasi yang cukup besar dengan segmen distribusi.

Sementara itu PT Kokoh Inti Arebama, Tbk (KOIN) mencatatkan pertumbuhan pendapatan 8,35% menjadi Rp 1,20 triliun dan laba bersih yang turun 27,81% menjadi Rp 26,48 miliar. Perseroan dengan kapitalisasi pasar terkecil di antara bertiga ini tidak memiliki utang jangka panjang sama sekali dan mampu menghasilkan imbal hasil atas ekuitas yang tinggi, yaitu 23,2%.


Di antara ketiganya, saham Catur Sentosa adalah yang paling undervalued melihat kepada rasio PER dan PBV, serta memiliki struktur permodalan yang paling banyak menggunakan utang. 



Thursday, March 19, 2015

Manajemen Berubah, Konsolidasi Perbankan Melalui Merger Kembali Diwacanakan

Jakarta, 20 Maret 2015 – Perubahan susunan manajemen tiga bank BUMN terbesar di Indonesia merupakan angin segar yang berpotensi untuk membuka kembali wacana merger bank-bank BUMN. Sebelumnya beberapa bank mengekspresikan secara terbuka keberatannya untuk dimerger, padahal merger dibutuhkan untuk melahirkan bank nasional yang kuat dan mampu bertahan di area regional, terutama di tengah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

(Baca juga: Merger Bank Mandiri - BNI, Perlukah? http://fundamental-saham.blogspot.com/2015/02/merger-bank-mandiri-bni-perlukah.html )

Melihat dari perubahan susunan manajemen baru dan lama ini, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan:

  1. PT Bank BNI (Persero), Tbk (BBNI) adalah bank yang paling banyak dirubah susunan manajemennya;
  2. Dua orang dari direksi aktif PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk (BBRI) dimasukkan ke dalam Bank BNI.
  3. Terdapat peningkatan jumlah di komisaris independen PT Bank Mandiri (Persero), Tbk (BMRI). Kini komisaris independen terdiri atas 3 pilar yaitu: pengamat high profile seperti Aviliani (lama) dan Goei Siauw Hong, partai politik yaitu Cahaya Dwi Rembulan Sinaga dari PDIP, dan profesional yaitu Bangun Sarwito Kusmuljono dan Abdul Azis. 


Melihat dari susunan baru ini, ASCEND menganalisa bahwa ada tujuan-tujuan tertentu yang kemungkinan disasar oleh Kementerian BUMN, yaitu:

  1. Membuka kembali kemungkinan merger Bank Mandiri dan Bank BNI yang sebelumnya ditolak secara cukup agresif dari Bank BNI. Hal ini searah dengan konsolidasi perbankan yang diinginkan oleh pemerintah.
  2. Bank Mandiri akan dijadikan bank induk, sehingga membutuhkan dukungan komisaris independen dari pilar-pilar masyarakat yang bervariasi.
  3. Bank BRI akan diperkuat secara profesional, namun tidak berubah dari fokus bisnisnya yang sekarang, yaitu peningkatan kekuatan di UMKM. 
Yang pasti pasar melihat perubahan susunan manajemen ini secara positif, terbukti dari pergerakan naik yang dialami oleh ketiga bank besar ini, terutama Bank Mandiri yang akan mendapat dampak paling signifikan dan positif dari hasil konsolidasi. 


Kinerja BSD Bagus, Private Placement Mudah

Jakarta, 19 Maret 2015 - PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), emiten properti nasional dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia, membukukan laba bersih FY 2014 (audited) sebesar Rp 3,82 triliun, karena penguatan penjualan proyek-proyek properti terutama di segmen residensial dan diversifikasi bisnis. Dengan kinerja sebaik ini, ASCEND optimis private placement Perseroan senilai Rp 1,65 triliun akan mudah tercapai.

Sepanjang 2014, Perseroan membukukan pendapatan Rp 5,57 triliun dikontribusikan 82,9% dari penjualan tanah dan bangunan. Perseroan telah menjualn sebanyak 2.422 unit perumahan, lahan, ruko, strata title dan industrial. Pendapatan sewa bertumbuh 25,9% menjadi Rp 580.77 miliar. Pendapatan dari pengelolaan gedung juga tumbuh 4,8% menjadi Rp 249,09 miliar.

Laba melonjak 42% dibandingkan FY 2013 yakni Rp 2,69 triliun.Lonjakan pertumbuhan laba juga dikontribusikan oleh ekuitas pada laba bersih dari investasi dalam saham PT Plaza Indonesia Realty, Tbk (PLIN) pada pertengahan tahun 2014 sebesar Rp 1,66 triliun. Hal tersebut membuat laba bersih Perseroan melonjak 42% menjadi Rp 3,81 triliun.

Perolehan laba bersih tersebut setara marjin laba bersih 68,6% dan Imbal hasil atas ekuitas (ROE) menjadi 24,8%. Marjin laba kotor naik menjadi 74,1% dari sebelumnya 72,6%.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Rabu (18/3), Perseroan akan mengeluarkan sisa saham baru dari sisa simpanan (portepel) sebanyak - banyaknya 874,85 juta saham baru mewakili 5% dari modal disetor dan ditempatkan dalam perseroan. Harga pelaksanaan adalah Rp 1.890 per saham, sama dengan harga penjualan kedua pemegang saham utama Perseroan sebelumnya.

Per Desember 2014 aset BSDE tumbuh 25% menjadi Rp 28,13 triliun dibandingkan tahun 2013 sebesar Rp 22,57 triliun. Kenaikan ini ditopang oleh pertumbuhan aset tidak lancar yang mencapai 54% menjadi Rp 16,51 triliun dibandingkan periode 2013 sebesar Rp 10,74 triliun.

Emiten dengan kapitalisasi pasar Rp 37,66 triliun ini membukukan pertumbuhan utang jangka pendek sebesar 20% menjadi Rp 5,32 triliun namun kenaikan tersebut tidak memberikan perubahan signifikan pada rasio leveragenya. Sedangkan utang jangka panjang turun 8% menjadi Rp 4,33 triliun dibanding tahun 2013 yakni Rp 4,72 triliun.


Rasio utang jangka panjang atas ekuitas tercatat 0,28x sedangkan rasio utang atas aset menjadi 0,34 x, yang merupakan indikasi sangat sehatnya Perseroan. Rasio lancar juga solid di 2,18x. Rasio harga atas laba (PER) adalah 9,86 kali sementara rasio harga atas nilai buku ekuitas (PBV) adalah 2,45 kali.