Wednesday, July 31, 2013

Setelah Laba Tumbuh di Kuartal Kedua, Bank akan diuji lagi



Jakarta, 1 Agustus 2013 - Pertumbuhan laba kuartal kedua dari 8 bank terbesar nasional mencapai 18% dibanding semester kedua tahun lalu. Tetapi, perbankan nasional dihadapkan dengan tantangan terhadap inflasi, kenaikan suku bunga, penurunan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dan kondisi makroekonomi dunia yang belum menentu.

Pertumbuhan laba tertinggi dibukukan oleh Bank BNI yang naik hingga 30% sebesar Rp. 4,28 triliun. Sementara laba dengan nilai tertinggi dibukukan oleh Bank Mandiri sebesar Rp. 8,29 triliun. Pendapatan bunga bersih secara rata-rata tumbuh 15% year on year. Pertumbuhan pendapatan tertinggi dibukukan oleh Bank BCA yang naik hingga 24% dibanding periode tahun lalu. Sementara pendapatan bunga tertinggi dibukukan oleh Bank Mandiri sebesar Rp. 15,14 triliun.

Di sisi lain BI telah menaikkan tingkat bunga referensinya 2 kali dalam dua bulan terakhir menjadi 6,5% akan menekan pendapatan perbankan. Bahkan diprakirakan BI rate akan dinaikan lagi pada kuartal ketiga tahun ini menjadi 7% untuk menekan inflasi.

Kredit sebagai produk utama bank diproyeksikan turun pasca kenaikan BI rate. Kenaikan BI akan memicu kenaikan bunga kredit dan cenderung menekan jumlah kredit tersalurkan. Marjin bunga bersih bank diprakirakan turun pada semester kedua ini. Biaya bunga untuk pembayaran dana pihak ketiga diprakirakan naik sehingga menekan pendapatan bunga bersih. Laba bank pun cenderung turun karena pendapatan operasional perbankan di Indonesia rata-rata lebih kecil atau tidak signifikan dibanding porsi pendapatan bunga bersih.

Namun sisi positif kenaikan BI rate akan mengerem pertumbuhan kredit, terutama kredit konsumer yang tumbuh signifikan beberapa tahun terakhir sehingga bank lebih pruden. Bank diharapkan tidak hanya mengejar laba semata, namun menjaga risiko sistematik lebih diutamakan. Istilah too big too fail tidak berlaku lagi pada bank-bank besar, mengingat salah satu bank besar di Amerika jatuh saat krisis finansial 2008 lalu. Menurut Fitch, Indonesia merupakan negara dengan indikator makro prudensial skala 3 atau berisiko sistematis tinggi.

Efek melemahnya nilai tukar juga membuat risiko perbankan semakin tinggi. Debitur bank sebagian besar yang memperoleh kredit dalam nominal tinggi adalah perusahaan manufaktur dan industri yang mengimpor bahan baku dalam denominasi Dollar, sementara penjualan produk di dalam negeri dalam bentuk Rupiah. BI memprakirakan laba perusahaan manufaktur dan industri akan tertekan hingga 3%. Penurunan kinerja debitur akan berdampak terhadap risiko pembayaran kredit kepada bank.  Jika kredit macet semakin tinggi akan menekan laba dari bank itu sendiri. Per Juni 2013, Non Perfoming Loan dari 109 bank dibawah pengawasan BI tercatat rata-rata 3,1% dan Rasio Kecukupan Modal Minimum rata-rata  pada 17,31%.

AFN memprediksi bahwa pertumbuhan laba q-to-q perbankan di kuartal ketiga dan keempat tidak lagi semanis kuartal kedua ini.

Danareksa Hitung Harga Wajar Ramayana Rp 1.400

Jakarta, 31 Juli 2013 - Hari ini Riset Danareksa Sekuritas mengeluarkan riset terbarunya tentang Ramayana Lestari Sentosa, Tbk (RALS) dengan target price Rp 1.400. Harga ini lebih tinggi 6% dibandingkan harga penutupan hari ini di Rp 1.320. Danareksa yakin harga ini akan tercapai karena walaupun pendapatan lebih rendah daripada target, tapi marjin tetap terjaga.

Pendapatan Ramayana dalam 1 semester ini meningkat 3,6% jadi Rp 2,49 triliun dari sebelumnya Rp 2,40 triliun pada tahun 2012. Peningkatan ini didorong baik dari penjualan barang beli putus maupun konsinyasi.

Laba kotor naik lebih tinggi, yaitu 13,6% menjadi Rp 867,63 miliar, mencerminkan marjin laba kotor 34,9% atau lebih tinggi daripada periode yang sama tahun 2012, di 31,8%. Ini mendorong laba bersih naik 4,7% menjadi Rp 107,43 miliar atau Rp 15,14/ lembar.

Danareksa membuat dua catatan atas kinerja ini:
1. Pendapatan sampai dengan tengah tahun tercatat lebih rendah daripada targetnya, yaitu Rp 3,48 triliun dalam 6 bulan. Akan tetapi Danareksa optimis bahwa target ini akan terkejar seiring dengan datangnya musim liburan Lebaran. Perusahaan juga optimis bahwa sekitar 32,6% dari target penjualan setahunnya akan tercapai pada periode Idul Fitri (Juli-Agustus)

2. Marjin yang lebih baik disebabkan oleh kebijakan pengurangan diskon harga dan bauran produk yang lebih baik. Ke depannya Danareksa mengharapkan marjin akan lebih tinggi, yang mencapai 27% pada marjin laba kotor dan 5,9% pada marjin laba bersih.

Optimisme Danareksa ini terlihat di-share juga oleh pelaku pasar lainnya. Harga RALS naik cepat dari Rp 1.080 di awal Juli menjadi Rp 1.320 pada akhir Juli ini, atau naik 22%.



Semester Kedua 2013, Konsumer Berpotensi Jadi Penggerak IHSG



Sektor konsumer diprakirakan mendorong pergerakan IHSG pada kuartal ketiga hingga akhir tahun. Pertama karena secara jangka panjang sektor konsumer memang masih memiliki permintaan yang tinggi. Kedua karena sektor-sektor lainnya diperkirakan masih berpotensi melemah. 

Sektor konsumer telah menguat 30,54% ytd dan 32,20% yoy. Potensi jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia yang mencapai 100 juta lebih dan terus tumbuh menjadi potensi pasar sektor konsumer meskipun dibayangi perlambatan ekonomi global. Ditambah lagi, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di dunia setelah China. Emiten konsumer akan lebih fokus untuk memasok kebutuhan barang konsumsi domestik dibanding memprioritaskan pasar ekspor mengantisipasi perlambatan ekonomi global.

Perilaku orang Indonesia yang cenderung konsumtif berpotensi mendorong pertumbuhan sektor konsumer. Hal ini mendorong permintaan terhadap barang konsumsi dari tahun ke tahun konsisten meningkat. Pertumbuhan ekonomi RI dalam 9 tahun terakhir lebih banyak ditopang dari sektor konsumsi rumah tangga. 

Perilaku manajer investasi yang selalu mencadangkan portofolionya pada sektor ini membuat permintaan terhadap saham sektor konsumer selalu tinggi. Saat ini, Mandiri Investasi dan Saratoga Investama telah menyatakan akan menambah portofolio mereka pada sektor konsumer mulai kuartal ketiga mengantisipasi perlambatan ekonomi global. Tren bahwa saham konsumer selalu mengalami pertumbuhan laba dan dengan disertai likuiditas tinggi juga mendorong manajer investasi memegang saham konsumer. Umumnya Manajer Investasi memilih emiten sektor konsumsi yang memiliki produk makanan atau minuman. 



Faktor psikologis bahwa saham konsumer selalu memberikan marjin 15% hingga 40% di tengah resesi sekalipun mendorong potensi pertumbuhan saham sektor konsumer. Marjin tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan seluruh industri di pasar yang hanya memberikan marjin sekitar 15% hingga 20%.  

Namun pada jangka pendek, sektor konsumer masih dihadapkan permasalahan seperti pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS, kenaikan bahan bakar minyak, inflasi, kenaikan tarif dasar listrik, upah buruh dan ancaman produk kompetitor. 

Lagi, secara valuasi saham, sektor konsumer dinilai relatif mahal dibandingkan dengan rata-rata pasar.  Rasio laba per lembar saham (PER) rata-rata sektor konsumer pada angka 26 kali jauh lebih tinggi dibandingkan rasio PER IHSG pada kisaran 17 kali. Namun, fakta bahwa beberapa emiten unggulan sektor konsumer membagikan dividen hampir 100% dari laba bersih yang dibukukan menjadi daya tarik tersendiri

Sementara sektor lain dalam jangka pendek diproyeksikan akan tertekan karena berbagai faktor. Seperti sektor properti dan finansial yang selama awal tahun 2013 telah menjadi motor penggerak indeks. Paska tingginya inflasi dan kenaikan suku bunga Bank Indonesia, diproyeksikan kedua sektor ini akan tertekan karena akan menekan penyaluran kredit perbankan. Kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan uang muka kepemilikan properti kedua dan ketiga akan menekan kinerja kedua sektor ini.
Sektor tambang dan pertanian di tengah masih melemahnya harga komoditas, masih akan tertekan setidaknya hingga akhir tahun. Harga komoditas dunia cenderung tertekan karena kelebihan pasokan. Diprakirakan keseimbangan antara pasokan dan permintaan akan terjadi setidaknya tahaun 2014.

Sektor industri dan manufaktur akan diuji dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS. Pembelian bahan baku industri dan manufaktur yang rata-rata menggunakan denominasi Dollar akan mendorong kenaikan beban produksi. 

Sektor Infrastruktur paling mungkin menjadi pesaing sektor konsumer dalam menggerakkan IHSG. Sektor ini relatif bertahan di saat tekanan makroekonomi semakin tinggi seperti sektor konsumer. Belanja modal pemerintah yang ditambah porsinya dalam APBN 2013, menjadi ruang aman untuk saham-saham infrastruktur untuk mencapai target pendapatannya. 

Tuesday, July 30, 2013

Sucaco Tidak Mampu Menangkap Peluang Akibat Terhentinya Operasi

Jakarta, 31 Juli 2013 - Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi mengatakan saat ini Indonesia mengalami defisit produk-produk elektrikal. Hal tersebut karena kebutuhan dalam negeri yang cukup tinggi.Tapi hal tersebut sayangnya tidak tercermin pada kinerja keuangan semester I-2013 yang dilaporkan Supreme Cable Manufacturing & Co, Tbk (SCCO).

Pendapatan Sucaco turun 8,12% menjadi Rp 1,68 triliun dari sebelumnya Rp 1,83 triliun. Ini menekan laba bersihnya 17,7% menjadi Rp 97,86 miliar dari sebelumnya Rp 118,78 miliar. Kinerja pendapatan yang turun ini mungkin berdampak dari kecilnya biaya penjualan dan pemasaran serta terhentinya kegiatan operasional di Pabrik Cikarang akibat kondisi keamanan yang tidak kondusif, yaitu adanya pemblokiran pabrik secara paksa oleh serikat buruh dari luar perusahaan.

Arus kas juga turun signifikan. Arus kas bersih negatif Rp 79,4 miliar dari sebelumnya negatif Rp 23,65 miliar. Hal ini disebabkan oleh negatifnya arus kas dari aktivitas operasional sebesar Rp 107,3 miliar, turun tajam dari periode sebelumnya negatif Rp 13,19 miliar.

Tapi sisi positifnya, marjin kotor perusahaan meningkat. Marjin laba kotor naik dari 9,39% di tahun 2012 menjadi 11,54% di tengah pertama tahun 2013 ini. Harga tembaga yang terus turun pada tahun ini merupakan faktor utama perbaikan kinerja ini. Selain itu biaya penjualan dan pemasaran perusahaan juga turun tajam jadi Rp 13,72 miliar dari sebelumnya Rp 25,69 miliar.

Sayangnya rugi kurs valuta asing sebesar Rp 3,02 miliar telah menekan laba bersih sehingga marjin laba bersih turun dari 6,5% di tahun 2012 menjadi 5,8% pada tahun ini.

AFN melihat bahwa halangan utama dari Sucaco adalah perhentian operasi pabrik Cikarang. Sebelum pabrik tersebut operasional, maka Sucaco tidak mampu untuk menangkap peluang yang digambarkan oleh Bayu Krisnamurthi.

Peluang Domestik
Di saat yang sama Bayu menerangkan, pada tahun lalu, nilai ekspor produk elektrikal Indonesia di seluruh dunia mencapai US$7,1 miliar. Dari angka tersebut, US$2,6 miliar lainnya diekspor ke negara-negara ASEAN. Sisanya  ke Timur Tengah dan beberapa negara Afrika.

Sementara itu untuk kegiatan impor, nilai produk elektrikan yang masuk ke Indonesia mencapai US$15 miliar. Angka. Jumlah tersebut juga mencakup impor dari negara-negara ASEAN sebesar US$3,5 miliar.

Adapun, impor yang dimaksud tidak hanya untuk kabel, tetapi juga generator yang tidak produksi di Indonesia. Selain itu impor mencakup pula penggabungan berbagai jenis produk. 

Saat ini permintaan produk elektrikal dalam negeri mencapai US$10 miliar, yang disuplai oleh 25 perusahaan, dan dari jumlah itu, enam di antaranya merupakan perusahaan bertaraf besar.

Monday, July 29, 2013

Laba Bersih Elnusa Lompat 72% tapi Pendapatan Turun

Jakarta, 30 Juli 2013 - PT Elnusa Tbk (ELSA) membukukan laba bersih yang signifikan, yaitu 72% menjadi Rp 83,3 miliar per semester I tahun 2013 ini dibandingkan periode yang sama tahun 2012. Akan tetapi pendapatan turun 13,75% menjadi Rp 1,97 triliun. Perusahaan mengklaim hal ini disebabkan oleh karena kebijakan selected customer, penurunan beban keuangan, dan perbaikan project management.

Elnusa selama 1 semester ini telah membukukan penurunan pendapatan sebesar 1375% menjadi Rp 1,97 triliun dari 2,29 triliun di periode yang sama tahun 2012. Pendapatan Elnusa selama 4 tahun terakhir mengalami fluktuasi pendapatan dengan titik terendahnya adalah pada tahun ini. Pendapatan terbesar masih dikontribusi oleh jasa hulu migas terintegrasi, yaitu Rp 1,22 triliun atau 61,8% dari seluruh pendapatan. Pendapatan kedua terbesar dikontribusi oleh jasa dan perdagangan hilir migas yang tercatat Rp 670,62 miliar atau 34% dari total pendapatan. Kedua segmen ini mengalami penurunan pendapatan.

Marjin laba kotor Elnusa meningkat jadi 14,8% dibandingkan 11,9% di tahun 2012. Perusahaan menyatakan hal ini disebabkan oleh kebijakan selected customer dan perbaikan project management. Penurunan beban pokok pendapatan terbesar terjadi pada biaya mobilisasi dan demobilisasi yang turun Rp 59 miliar menjadi Rp 15 miliar serta jasa sub kontrak yang turun Rp 43,8 miliar  jadi Rp 491,1 miliar. Sementara biaya bahan bakar naik Rp 60 miliar jadi Rp 140 miliar.

Beban pendanaan Elnusa turun signifikan jadi Rp 29,39 miliar dari sebelumnya Rp 53,81 miliar. Hal ini seiring dengan turunnya beberapa liabilitas jangka pendek yaitu: pinjaman jangka pendek, liabilitas keuangan lain-lain jangka pendek dan liabilitas jangka panjang, yang secara total berkurang sekitar Rp 335 miliar.

AFN memiliki pandangan yang berbeda dengan pernyataan perusahaan tentang pendapatan. Pendapatan yang turun tidak sekedar disebabkan oleh kebijakan selected customer, karena jasa dan perdagangan hilir migas (penjualan bensin) tidak akan terkena dampak kebijakan tersebut. Selain itu pendapatan yang naik turun merupakan karakteristik dari industri jasa terkait migas seperti Elnusa.

Namun AFN setuju dengan pendapat perusahaan, bahwa marjin laba kotor yang turun disebabkan oleh perbaikan project management, terlihat dari turunnya biaya mobilisasi dan demobilisasi. Selain itu beban pendanaan yang turun juga merupakan kontributor signifikan bagi naiknya laba bersih perusahaan. Penurunan liabilitas ini akan menjadi modal yang baik bagi perusahaan yang kini rasio liabilitas terhadap ekuitasnya turun jadi
1x.

Friday, July 26, 2013

Laba Bersih Tumbuh 30,2%, Namun Kredit Bermasalah Tetap Tinggi



Jakarta, 26 Juli 2013 - Selama semester pertama 2013, Bank Negara Indonesia, Tbk. (BBNI) membukukan kenaikan laba bersih 30,2%. Capaian kenaikan laba itu akibat kenaikan pendapatan bunga bersih dan pendapatan berbasis layanan perbankan. Tetapi, kredit bermasalah BNI tetap tinggi yaitu sebesar Rp. 5,43 triliun dengan kredit macet atau kredit kolektivitas golongan 5 sebesar Rp. 3,8 triliun. 

Laba bersih BBNI tumbuh menjadi Rp. 4,3 triliun dibandingkan kuartal kedua lalu sebesar Rp. 3,3 triliun. Kenaikan laba didukung dari pendapatan bunga bersih tumbuh 23,1% menjadi sebesar Rp. 8,9 triliun dibanding periode sama tahun lalu sebesar Rp. 7,2 triliun. Pertumbuhan laba juga didorong oleh pendapatan berbasis layanan perbankan naik 22% menjadi Rp. 4,6 triliun dari Rp. 3,7 triliun year on year. Beban operasi yang hanya naik 21% atau di bawah kenaikan pendapatan bunga dan operasi menjadi sebesar Rp. 6,6 triliun mendorong laba naik lebih tinggi. 



Di sisi lain, kredit bermasalah BNI tetap tinggi di antara top 10 bank terbesar. Tercatat kredit kredit yang masuk non performing loan (NPL) atau kredit tidak lancar, diragukan dan macet sebesar Rp. 5,43 triliun dengan rasio gross NPL 2,6% terbilang tinggi. Jika dibandingkan dengan 10 bank dengan aset terbesar, kualitas kredit BNI pada urutan ke-9 dari 10  bank. Rata-rata gross NPL 10 bank sebesar 1,84%. 

Kredit bermasalah baru yang terjadi selama semester pertama tahun ini sebesar Rp. 1,52 triliun, sedangkan hapus buku NPL lama sebesar Rp. 1,57 triliun. Menurut Managing Director Enterprise Risk Management BBNI, NPL BNI saat ini sebagian merupakan sisa warisan kredit macet pada periode lalu dan sebagian lagi kredit macet baru dengan kredit macet segmen UKM naik menjadi 5,5%. Terkait legacy non performing loan di masa lalu, BBNI tidak menjelaskan detil. 

Meskipun NPL tinggi, coverage ratio BBNI naik menjadi 123% dengan Cadangan Penurunan Kerugian Nilai (CPKN) naik menjadi Rp 6,7 triliun. Recovery kredit macet tercatat sebesar Rp 1,2 triliun selama semester pertama ini, sedangkan rasio recovery kredit terhadap hapus buku kredit sebesar 78%. 

AFN melihat bahwa kinerja BNI masih dibebani oleh tingginya kredit bermasalah. Walaupun tren dalam penurunan, namun nilai tersebut masih tinggi dibanding rata-rata industri. Kondisi ekonomi dunia termasuk Indonesia yang sedang mengalami perlambatan berpotensi menambah nilai kredit bermasalah baru BNI. BNI perlu lebih pruden menyeleksi calon debitur untuk penyaluran kredit. 

Rencana BNI kedepan

Dalam ekspansinya kedepan untuk meningkatkan layanan nasabah, BBNI tidak akan menambah kantor cabang baru selama 2013 karena akan  fokus memaksimalkan aset yang ada. Namun, BBNI akan menambah 2.650 mesin ATM, cash deposit machine dan ATM non-tunai. Saat ini tercatat BBNI memiliki 8.441 mesin ATM.  

BBNI dalam paparannya menargetkan pertumbuhan kredit selama 2013 sebesar 25% namun, pertumbuhan kredit year to date baru mencapai 11%. Pertumbuhan business banking ditargetkan naik 23% baru tercapai 10% sementara konsumer dan ritel ditargetkan naik 29% hanya naik 11,3% ytd. Selain itu, Deposito diharapkan naik 18%, saat ini baru naik 2,4%. CASA ditargetkan naik 18% hanya tumbuh 2,5% dan recurring fee ditargetkan naik 15% hanya naik 8,7%. 

Kredit yang disalurkan BNI naik 24,1% menjadi Rp. 223 triliun dari sebelumnya Rp 179 triliun selama semester pertama. Komposisi kredit masih didominasi oleh sektor korporat sebesar 42,5% atau senilai Rp. 95 triliun. Sementara untuk sektor usaha kecil mencapai Rp. 37 triliun atau sebesar Rp. 16,7% dari komposisi kredit. Kredit konsumer BBNI tercatat sebesar Rp. 46 triliun atau sebesar 20,6% dengan 67,7% diantaranya untuk mortgage loan. Tercatat mortgage loan sebesar Rp. 29 triliun. Rata-rata untuk kredit mortgage loan per account sebesar Rp. 458 miliar. 

Dari sisi dana yang terhimpun dari masyarakat pada kuartal kedua 2013 ini naik tipis 8,7% menjadi Rp. 263 triliun dibanding kuartal kedua tahun lalu Rp. 243 triliun. Komposisi dana pihak ketiga sebesar 67% didominasi oleh giro dan tabungan yang memiliki biaya keuangan yang rendah. Namun, jika dibandingkan dengan akhir lalu, komposisi tabungan turun dari 39%  menjadi 37%. Hal ini menurut Managing Director Business Banking BBNI, telah terjadi penurunan tabungan bisnis yang signifikan karena nasabah mengalihkan portofolionya kedalam aset yang lebih terlindung dari inflasi di saat beban inflasi dan perlambatan ekonomi membayangi Indonesia. Tercatat tabungan BBNI sebesar Rp. 95 triliun, giro sebesar Rp. 82 triliun dan deposito sebesar Rp. 87 triliun dengan cost of funding ratio 2,3% atau turun dari akhir tahun 2012 lalu sebesar 2,7%.

BNI juga dikabarkan akan menjual anak perusahaan asuransi BNI Life. Salah satu yang dikabarkan tertarik adalah Sumitomo Mitsui Financial. Penawaran ini masih berlangsung. Dalam paparannya pada analyst meeting hari ini, direksi BNI belum bersedia berkomentar terhadap aksi korporasi pelepasan anak usaha ini. 

Sementara itu, kinerja secara keseluruhan akan tercermin pada kuartal ketiga dan kuartal keempat paska kenaikan suku bunga acuan oleh BI. Kenaikan suku bunga akan menekan net interest margin jika tidak disesuaikan juga, namun disisi lain jika bunga kredit naik target kredit tersalurkan berpotensi tidak tercapai. Ancaman inflasi yang tinggi sepertinya akan menekan dana pihak ketiga seperti deposito yang cenderung memindahkan portofolio lain yang memiliki imbal hasil lebih tinggi dan relatif aman seperti emas atau properti.

Laba Adi Sarana Naik 3 Kali, tapi ROE hanya 2,7%

Jakarta, 26 Juli 2013 - Adi Sarana Armada, Tbk (ASSA), perusahaan yang bergerak di jasa penyewaan kendaraan, pada semester I-2013 ini telah membukukan kenaikan laba 3 kali lipat menjadi Rp 43,16 miliar. Pertumbuhan laba ini didukung oleh peningkatan pendapatan sebesar 40% dan penurunan biaya keuangan 15,4%. Akan tetapi imbal hasil atas ekuitas perusahaan hanya 2,7%.


Kenaikan laba bersih Adi Sarana sebesar 3 kali lipat menjadi Rp 43,16 miliar dari sebelumnya Rp 10,59 miliar disumbangkan oleh peningkatan pendapatan. Pendapatan ASSA meningkat 40% menjadi Rp 494,68 miliar dari Rp 353,61 miliar. Peningkatan terbesar terjadi pada penjualan kendaraan bekas yang meningkat hampir 2 kali lipat menjadi Rp 113,25 miliar serta jasa logistik yang juga hampir 2 kali lipat menjadi Rp 66,27 miliar.

Biaya operasional naik lebih tinggi dibandingkan pendapatan, tetapi laba bersih melonjak karena berkurangnya biaya-biaya keuangan menjadi hanya Rp 54,90 miliar dari sebelumnya Rp 64,88 miliar. Hal ini disebabkan karena penurunan pinjaman bank dari Rp 926,82 miliar menjadi Rp 790,64 miliar.

Kenaikan laba yang tajam ini sayangnya tidak mampu mengangkat imbal hasil atas ekuitas (ROE) perusahaan yang hanya 2,7%. Hasilnya, harga saham perusahaan terus meluncur turun sejak IPO di Rp 390 menjadi hanya Rp 290/ saham.

AFN melihat bahwa ROE yang rendah ini disebabkan karena beberapa hal yaitu:
1. Belum efektifnya operasi armada yang baru dibeli dengan dana IPO. Diharapkan bila armada baru sudah mulai efektif, ROE akan membaik. Realisasi penggunaan dana IPO baru selesai
2. Besarnya beban pokok pendapatan yang besarnya 67% dari pendapatan, terutama biaya penyusutan yang nilainya adalah 23% dari jumlah pendapatan.

Karenanya, AFN melihat bahwa ASSA akan sulit mengembangkan dirinya dengan model bisnis yang sekarang. ASSA perlu mencari model-model bisnis baru yang dapat memberikan nilai tambah bagi investornya.


Rupiah Melemah atau Mencari Keseimbangan Baru

Bloomberg: Pelemahan Rupiah atas US Dollar
Jakarta, 26 Juli 2013 - Rupiah telah melemah hingga mencapai Rp. 10.262 atau melemah 5,8% dibanding dengan akhir tahun 2012. Gubernur Bank Indonesia (BI)

menyatakan bahwa pelemahan nilai tukar Rupiah seiring dengan pergerakan mata uang kawasan sehingga diharapkan Rupiah kembali dalam level dibawah 10.000 setelah dilakukan intervensi. Namun, jika didasarkan data fundamental makroekonomi yang melemah sepertinya pergerakan Rupiah di level 10.000 akan bertahan dalam jangka waktu lama.
Pelemahan Mata Uang Kawasan Asia terhadap Dollar

Tren pelemahan mata uang terhadap Dollar AS yang tidak hanya dialami oleh Rupiah, namun terjadi juga oleh mata uang regional lain. Yen Jepang adalah yang paling melemah terhadap Dollar AS. Akhir tahun 2012 lalu Yen tercatat sebesar 86,75 sedangkan 25 Juli 2013 tercatat nilai tukar Yen terhadap Dollar AS sebesar 99,67 poin. Mata uang India, Rupee juga melemah terhadap Dollar AS sebesar 8,67%, saat ini Rupee pada level 59,13 poin. China Yuan justru satu-satunya mata uang regional yang menguat terhadap Dollar AS sebesar 0,16%. Yuan berada pada level 6,14 poin.

Apakah Rupiah mencapai keseimbangan baru, atau pelemahan ini hanya sekedar sementara saja?

Fundamental ekonomi RI melemah akan mendorong Rupiah pada level keseimbangan baru. Indikasinya memang demikian. Impor bahan bakar minyak yang meningkat, naik 22% yoy sebesar US$ 19 juta pada bulan Mei, membuat defisit neraca perdagangan dan mendorong kebutuhan valuta asing dalam negeri. Konsumsi minyak nasional ekuivalen 1,4 juta barel perhari sedangkan produksi nasional 850 ribu barel perhari dengan cadangan yang semakin tipis sehingga impor akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Neraca perdagangan RI hingga bulan Mei pun defisit US$ 2,29 miliar. Diprakirakan neraca perdagangan sampai dengan kuartal kedua masih mengalami defisit hingga US$ 6,6 miliar. Defisit neraca perdagangan tahun 2012 mencapai US$ 24 miliar atau 2,7% dari total PDB. Rasio hutang jangka pendek RI terhadap cadangan devisa pun mencapai 40%. Cadangan devisa RI tercatat pada bulan Juni 2013 lalu sebesar US$ 98,1 miliar atau setara dengan 5,4 bulan impor. Utang perusahaan swasta juga telah mencapai US$ 128 miliar, angka yang mengkuatirkan dan mungkin tidak dapat turun signifikan. Tambahan lagi, tekanan inflasi yang diprakirakan mencapai 8,1% di akhir tahun. Parameter tersebut menunjukkan tekanan terhadap kondisi fundamental ekonomi RI sehingga berpotensi menggeser keseimbangan nilai tukar Rupiah kearah 10.000 poin.

Namun BI menilai melemahnya Rupiah yang terjadi sejak pertengahan Mei lalu hanya bersifat sementara. Di saat the Fed yang menyatakan akan menghentikan program stimulusnya secara bertahap, arus modal asing keluar dari emerging market termasuk Indonesia menyebabkan bursa saham terkoreksi akibat aksi jual asing yang signifikan. Hal ini menyebabkan permintaan Dollar semakin tinggi dikarenakan Asing yang mengubah portofolionya. Asing pun lebih nyaman memegang Dollar yang dinilai likuid di pasar dunia. Hasilnya, tercatat capital out flow selama tahun 2013 mencapai US$  4,1 miliar atau Rp 41 triliun yang sebagian besar dari pasar saham. Menurut BI, jika kepercayaan investor global terhadap Indonesia kembali, dengan ditunjukkan investasi langsung global yang meningkat akan kembali mendorong penguatan Rupiah. FDI kuartal kedua 2013 tercatat US$ 7 miliar naik tipis dari kuartal satu tercatat US$ 6,7 miliar.

Dalam upayanya menstabilkan pergerakan nilai tukar Rupiah, terutama terhadap Dollar AS, Bank Indonesia telah dua kali menaikkan suku bunga acuan hingga 75 bps menjadi 6,5%  selama dua bulan terakhir untuk menstabilkan rupiah. Fasilitas pinjaman BI juga dinaikkan menjadi 4,75% dari 4,25%. Kebijakan ini dilakukan untuk mendorong investasi dan menekan arus modal asing keluar dari Indonesia.

BI juga menggelar operasi pasar untuk menstabilkan Rupiah. Pekan kedua Juli lalu, BI melakukan lelang FX swap untuk pertama kalinya dan rencananya akan dilakukan tiap pekan. Dari target lelang sebesar US$ 500 juta dengan tenor 1, 3 dan 6 bulan, jumlah swap yang dimenangkan BI mencapai US$ 600 juta. Nilai penawaran mencapai US$ 1.240 juta atau melebihi target (oversubscribed). Lelang ini untuk hedging investor di tengah melemahnya nilai tukar rupiah. BI sebagai pihak pihak yang melakukan lelang, sementara bank umum lain yang membutuhkan valas akan menjadi peserta lelang dengan mengajukan penawaran harga. Kebijakan ini dilakukan untuk menekan capital outflow yang akan menggerus devisa RI dan menekan nilai tukar.

Akan tetapi, kalau pelemahan ini adalah karena Rupiah sedang mencari keseimbangan baru, maka upaya-upaya yang dilakukan oleh BI niscaya akan berdampak kecil saja.

Sebagai catatan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS pada level psikologis 10.000, BI dituntut untuk lebih transparan mengelola moneter Indonesia. Tahun 2009 lalu saat terjadi default Bank Century, BI ditengarai lalai dalam upaya tugasnya sebagai pengawas perbankan nasional dan tahun 1998 lalu saat terjadi krisis keuangan, saat itu BI yang masih di bawah otoritas pemerintah menyatakan bahwa ekonomi akan tahan terhadap krisis moneter, pun akhirnya jatuh akibat kesalahan pengelolaan moneter dan pengawasan perbankan.