Wednesday, November 27, 2013

APL: Target 2014 Dipangkas Setelah Akuisisi Lahan Rp 1,35 Triliun

Jakarta, 28 November 2013 - PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) hanya memproyeksikan pendapatan maupun laba bersihnya tumbuh sama dengan rata-rata industri yaitu sebesar 10%.  Selama tahun ini perusahaan telah melakukan akuisisi lahan senilai total lebih dari Rp 1,35 triliun.

APL mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 1% menjadi Rp3,48 triliun pada kuartal III 2013 dibandingkan tahun lalu. Penurunan pendapatan ini diikuti merosotnya laba bersih sebesar 5,4% menjadi Rp678,59 miliar.

Padahal di awal tahun APL mentargetkan pertumbuhan pendapatan 10-15%. Pencapaian target yang suboptimal ini disebabkan oleh suku bunga bank dan tingkat inflasi yang tidak diduga.

Kinerja pertumbuhan pendapatan dan laba akan semakin berat mengingat APL baru saja menerbitkan obligasi berkelanjutan tahap I untuk pengembanan usaha termasuk pembelian lahan.

Obligasi ini senilai Rp 1,2 triliun dengan kupon 9,25% per tahun dengan tenor 5 tahun. Apalagi sebanyak Rp 500 miliar belum digunakan, ini akan menambah beban perusahaan.

Sebelumnya, enam akuisisi dan pembelian lahan yang dilakukan perusahaan di tahun ini adalah sebagai berikut

1. APLN mengakuisisi 58% saham PT Menara Deli, pemilik Mall Deli Plaza senilai Rp 467 miliar. Dengan aksi ini APLN memiliki 5,2 hektare (ha) di pusat kota Medan, Sumatera Utara. Nantinya lokasi ini akan dibangun superblok.

2. APLN mengakuisisi 60% saham PT Simprug Mahkota Indah senilai Rp 221 miliar. APLN memiliki lahan seluas 1,6 ha di kawasan Simprug, Jakarta Selatan dari aksi tersebut. Lokasi ini akan dibangun kompleks apartemen.

3. APLN melalui anak usaha PT Pesona Gerbang Karawang mengakuisisi 99% saham PT Astakona Megahtama senilai Rp 107 miliar.  Dengan aksi ini APLN memiliki 63 ha lahan di Karawang, Jawa Barat. Lokasi ini akan dibangun kawasan industri.

4. APLN melalui anak usaha PT Pesona Gerbang Karawang mengakuisisi 99% saham PT Tatar Kertabumi senilai Rp 61 miliar. Dengan aksi ini APLN memiliki 5,5 ha lahan di pusat kota Karawang, Jawa Barat

5. APLN mendirikan PT Alam Makmur Indah dengan kepemilikan 70% saham. APLN membeli lahan industri seluas 216 ha di Karawang, Jawa Barat.

6. APLN melalui anak usaha PT Buana Surya Makmur membeli lahan seluas 27 ha di Bandung Selatan. Tidak dijelaskan berapa nilai pembelian lahan tersebut. 5 akuisisi itu senilai Rp 1,35 triliun.

Akuisisi dan pembelian lahan tersebut belum termasuk investasi yang dikeluarkan APLN untuk membangun proyek di masing-masing lokasi.

Akuisisi ini membuat total lahan yang dimiliki APL sebesar 960 ha.

JCI is One of the Worst Performers in 2013

Jakarta, 28 November 2013 - JCI only increased 0.42% from last year after closing yesterday. It was lower than average primary market around world that increased by 20.9%. Weakening of Indonesian economic and the threats the Fed’s tapering tend to hold the movement of JCI during this year.

Compared to the primary stock markets in the world, JCI was one of the losers. Argentina’s Merval is currently the most profitable stock market in the world. However, Chile’s market was the worst and shrunk by 9,8% year-on-year.

Compared to Asian markets, JCI was the worst. Nikkei increased by 66,7% by last year. Nikkei’s growth in this year was supported by Yen weakening against US Dollar. Since Yen fell at the level of 101, it boosted export manufacturers and electrical stocks in Japan. Despite threats of banking liquidity and slowing down of manufacture in China, Shanghai and Hang Seng still increased over 8%.

 Meanwhile, Wall Street kept increasing despite government shutdown and uncertainty of the Fed’s tapering. Moreover, S&P and Nasdaq booked new records and Dow hit new record 10 times in this month. US economic data showed positive signs and companies outperformed, these have beaten the Fed tapering and government shut down issue, drive Wall Street.

Despite the shadowing Greece’s debt failure, Euro stock was still increased this year by 21,1%. In average, Euro stock market was increased 18,1%. Russia was the lowest and just increased by 2%. Euro’s manufacturers industries showed recovery reaching 51,5 point. If it is more than 50 showed accelerate and if below showed slowdown.

Then, why JCI unlikely can perform as well as others? One is the uncertainty of the Fed’s tapering.
However, the Indonesia’s macro economic is also under pressure. So, it has been expected when JCI shrank since second quarter of this year and going back to the level of the beginning of this year.

Early this year, JCI was moving  in line with global market, forced by the Fed buying back bonds and treasury notes amounting to US$ 85 billion per month. Consequently, US financial institutions obtain liquidity that are used for investments in emerging markets, including Indonesia.

Since then, JCI spiked to 5.251,30 points in the middle of May. During this time, JCI booked 24 record times. JCI’s highest record was not supported by strong fundamental of macroeconomic.
In the long run, market has made correction of the uncertainty of  the Fed’s tapering. Foreign investors diminished their portfolio in JCI, thus, JCI was back at the same level as the beginning of the year. Even the record of capital outflow during second quarter was carrying out by US$ 40 billion.

The slowing down of economic was triggered by the increasing oil demand but the production was decreased. Finally, state budget’s subsidize burden was increased and force the government to increase subsidize-gasoline price. Since then, inflation was not restrained and reached 8.32% yoy in October 2013. The increasing of inflation is higher than economic growth as 5.62%.

On the other hand, Rupiah depreciated against US Dollar due the trade balance deficits by eight consecutive quarters. Until the third quarter of Indonesia's trade balance recorded a deficit of 3,8% of GDP. Government and corporate debt in US Dollar are also putting Rupiah in depreciation against US Dollar as the demand of Dollar increased during debt payment season in third quarter. Rupiah has decreased by 18% since last year against US Dollar.

BI as the controlling agent of monetary, increased the rate by 125 bps during this year to become 7,5%. Since then, inflation was restrained and risk-free investment increased so the foreign investor expects to re-invest in Indonesia. Otherwise with spiking rate, it will increase cost of capital as well.

However, after that particular policy, foreign investment during this year backed to positive again at US$ 2 billion. It could be expected in the final month of this year, foreign investors purchase rate will increase and drive local investors as well. Portfolio of foreign investor was 40% of all portfolios in JCI’s market.

Tuesday, November 26, 2013

Central Omega Bangun Pabrik Nickel Pig Iron



Jakarta, 27 November 2013 -  PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) memutuskan menggandeng investor asal China untuk membangun pabrik bahan baku stainless steel (nickel pig iron) dengan kapasitas 160.000 ton per tahun. Keputusan ini juga didukung oleh fakta bahwa kas internal Central Omega tidak mencukupi.

Sebelumnya Central Omega berencana membangun unit hilirisasi dan pemurnian mineral (smelter) senilai US$ 300 juta (Rp 2,83 triliun). Pabrik direncanakan berkapasitas 200 ribu ton per tahun dan menggandeng perusahaan asal Taiwan, Asiazone Co. Ltd. Tetapi karena pasokan listrik sangat terbatas, maka rencana ini terpaksa ditunda.

Perusahaan menyatakan bahwa besaran investasi proyek tersebut baru dapat disimpulkan setelah pembicaraan dengan kontraktor engineering asal China rampung.  Sekedar gambaran, pabrik PT Sulawesi Mining Investment  yang berkapasitas 800.000 ton membutuhkan investasi sekitar US$ 500 juta, sementara pembangkit listrik kira-kira membutuhkan investasi US$ 1 juta/ MW.

Dengan kebutuhan investasi paling tidak US$ 148 juta ekuivalen Rp 1,75 triliun, maka posisi kas kas Central Omega yang hanya Rp 640,29 miliar dan arus kas operasional selama 9 bulan pertama hanya Rp 252,59 miliar tidak mencukupi.

Smelter nickel pig iron (NPI) akan dioperasikan oleh anak usahanya, PT COR Industri Indonesia, di mana investor China juga memiliki saham di dalamnya. Untuk mengoperasikan smelter itu, perusahaan ini juga akan membangun pembangkit listrik sendiri dengan kapasitas sebanyak 48 MW.

Sebagian besar persiapan untuk membangun smelter NPI tersebut sudah dilakukan. Misalnya, tahapan feasibility study sudah rampung dan izin analisis dampak lingkungan (Amdal) akan keluar Desember ini.

Central Omega menargetkan sudah dapat memproduksi NPI pada pertengahan tahun 2015 mendatang. Adapun pasokan bahan baku bijih nikel akan disuplai oleh izin usaha pertambangan (IUP) yang juga dimiliki oleh anak usahanya, seperti PT Mulia Pacific Resources, PT Bumi Konawe Abadi, serta PT Itamatra Nusantara.

Sepanjang Januari hingga September ini, Central Omega memproduksi 1,93 juta ton bijih nikel, naik 24,5% dibandingkan periode yang sama. Perusahaan ini juga membukukan pendapatan Rp 581,13 miliar, atau lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang sebanyak Rp 492 miliar.  

Saham Central Omega kurang terlalu likuid karena kurangnya informasi yang beredar di pasar. Setelah sempat mencapai harga tertinggi Rp 660 tahun ini di bulan April, harga DKFT kembali terpuruk di Rp 395.

Monday, November 25, 2013

Likuiditas Tipis, Efek Beragun Aset Akan Dilirik Perbankan



Jakarta, 26 November 2013 - Bank-bank di Indonesia dihadapkan pada tantangan likuiditas pada tahun 2014 mendatang. Bahkan beberapa bank besar nasional telah menetapkan suku bunga simpanan hingga 9% - 12%. Dana murah sepertinya sulit diserap dari masyarakat, maka salah satu pilihannya untuk meningkatkan aset likuidnya adalah menerbitkan efek beragun aset (EBA) atau Asset Backed Securities.

Outlook ekonomi tahun 2014 mendatang dihadapkan dengan perlambatan ekonomi dan ancaman pemangkasan stimulus the Fed. Ini berpotensi menekan pertumbuhan bank dan lembaga keuangan. Karenanya, bank akan menjaga likuiditasnya. Maka pendanaan (funding)  alternatif yang akan ditempuh bank adalah dengan menerbitkan EBA.

Di Indonesia, EBA atau KIK-EBA (Kontrak Investasi Kolektif-EBA) pertama kali diterbitkan  oleh bank PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk (BBTN)  dalam bentuk mortgage backed securities. BTN yang merupakan bank BUMN, mempunyai segmen khusus pada pemberian kredit kepemilikan rumah (KPR). Saat itu, BTN menyerap dana lewat penerbitan mortgage backed securities sebesar Rp 100 miliar. Hingga sekarang BTN hanya satu-satunya lembaga keuangan di Indonesia yang mempunyai portofolio berupa mortgage backed securities dengan nilai hingga Rp 2,9 triliun.

Sebagai penjelasan, EBA sendiri adalah surat berharga yang diterbitkan dengan jaminan berupa aset. Apabila aset yang dipakai jaminan berupa hipotek surat berharga tersebut lebih dikenal sebagai mortgage-backed securities (MBS).

KIK-EBA mirip reksadana, di mana manajer investasi mengumpulkan dana dari masyarakat atau lembaga keuangan lainnya untuk diinvestasikan pada unit ini. Efek ini juga mempunyai karakteristik mirip obligasi, di mana apabila suku bunga acuan naik maka harganya akan turun. Namun tidak seperti obligasi yang pokok pinjamannya dibayar di akhir, pokok pinjaman EBA akan dibayar bersama bunga selama periode pembayaran.

Efek ini diperdagangkan secara over-the-counter atau di luar perdagangan bursa, namun masih dalam pengawasan OJK. Seperti obligasi, harganya biasanya dipengaruhi oleh risiko gagal bayar dan risiko suku bunga, namun masih memperhitungkan satu risiko lagi yaitu pelunasan lebih awal akibat nilai suku bunga yang turun.

Saat ini, PT Bank Mandiri, Tbk (BMRI), yang merupakan salah satu bank terbesar nasional, berencana menambah likuiditas dengan menerbitkan EBA dengan target mencapai Rp 700 -  800 miliar.  Bank Mandiri menargetkan dana pensiun dan asuransi akan menyerap sekuritas ini karena hingga saat ini publik di Indonesia belum begitu familiar dengan perdagangan EBA

Sebagai acuan, EBA DBTN 01 yang diterbitkan BTN tahun 2010 lalu yang mendapat rating kredit AAA dari Pefindo memberikan yield 9,25%. Yield tersebut dari sisi penerbit atau bank tentu lebih menguntungkan dibanding harus mendapatkan pendanaan melalui dana pihak ketiga atau deposito berjangka dengan biaya bunga pada kisaran 9% hingga 12% saat ini pada beberapa bank.

AFN merekomendasikan EBA sebagai salah satu instrumen investasi alternative yang menarik. Tapi perlu diperhatikan keterbukaan informasi mengenai penilaian aset yang dijadikan jaminan dan likuiditas aset tersebut. Selain itu, investor perlu memperhatikan rating kredit terhadap MBS atau EBA yang diterbitkan lembaga keuangan atau bank. Semakin tinggi rating kredit akan mengurangi risiko gagal bayar. 

Thursday, November 21, 2013

Permintaan Sewa Kantor Diprakirakan Turun Akibat Depresiasi Rupiah

Jakarta, 21 November 2013 - Depresiasi Rupiah terhadap Dollar AS akan menekan pasar sewa ruang kantor di kawasan CBD (Central Business District). Beberapa pengguna jasa sewa kantor tertarik untuk mengalihkan pada kawasan non CBD dengan ekspektasi biaya sewa lebih rendah. Hingga saat ini sebagian besar sewa perkantoran di kawasan CBD masih menggunakan tarif dalam Dollar AS.


Pelemahan Rupiah diprakirakan masih akan panjang bahkan hingga berakhirnya Pemilu tahun depan. Rupiah telah terkoreksi lebih dari 15% selama tahun 2013 ini dan juga disertai keluarnya arus modal asing.

Secara fundamental AFN melihat bahwa posisi Rupiah saat ini mencapai nilai keseimbangan baru. Hal itu tercermin dari defisit neraca perdagangan selama 8 kuartal berturut-turut dan bahkan upaya BI menaikkan suku bunga hingga 7,5% belum mampu mendorong penguatan Rupiah.

Tahun 2014 mendatang, sektor properti secara keseluruhan pun diprakirakan akan melambat. Fitch dan Moody’s kemarin dalam diskusi outlook properti Indonesia yang dia adakan di Singapura, mengatakan pendapatan sektor properti hanya akan tumbuh sebesar 17% atau turun dibanding tahun 2013 ini sebesar 21%.

Menurut survei Jones Lang LaSalle Research, tercatat pada tahun 2013 ini rata-rata sewa perkantoran per meter sebesar US$ 28,42 per m2 di area CBD untuk kelas A, sementara kelas B sebesar US$ 12,62 per m2 dan kelas C sebesar US$ 8,62 per m2.

Sementara itu, penyerapan kantor di CBD pada kuartal ketiga turun menjadi 61.000 m2 dari sebesar 92.000 m2 pada tahun lalu. Sementara supply tercatat sebesar 290.000 m2 dengan tingkat hunian 92%.

Sementara itu dikawasan non-CBD biaya sewa tercatat antara Rp 50.000 hingga Rp 150.000 per m2 perbulan. Pertumbuhannya pun naik signifikan pada kuartal ketiga ini menjadi 39.000 m2 dari tahun lalu sebesar 32.000 m2. Supply ruang kantor baru tercatat sebesar 130.000 m2 dengan tingkat hunian 93%.

Pendapatan emiten penyedia ruang kantor masih meningkat selama tahun ini
Hingga kuartal ketiga tahun 2013 ini pendapatan beberapa emiten dari penjualan dan jasa sewa ruang kantor juatru meningkat. Hal ini seiring tren kenaikan bisnis properti dari awal tahun hingga pertengahan tahun ini.

Namun, sejak kenaikan suku bunga BI dan peraturan pengetatan kebijakan moneter lainnya, diprakirakan mulai kuartal ke-empat tahun ini, industri properti termasuk jasa  penyewaan atau penjualan ruang kantor akan mulai melambat.

Wednesday, November 20, 2013

MNC Land Lakukan PUT III Untuk Akuisisi PT Bali Nirwana Resort


Jakarta, 20 November 2013 – PT MNC Land, Tbk (KPIG) akan melaksanakan Penawaran Umum Terbatas III (rights issue) sebesar Rp 2,02 triliun. Dana yang diperoleh akan digunakan untuk membeli PT Bali Nirwana Resort  (BNR) yang adalah salah satu unit usaha PT Bakrieland Development, Tbk (ELTY),  serta akuisisi lahan dan menambah modal kerja perseroan.

PT Bali Nirwana Resort  adalah perusahaan pemilik Nirwana Bali Resort yang berlokasi di Tanah Lot, Bali. Lokais strategis yang menghadap ke Samudera Hindia ini terdiri atas Pan Pacific Nirwana Bali Resort Hotel berbintang lima, Nirwana Bali Golf Club, dan Nirwana Bali Residences. Perusahaan sudah memiliki 44,09% dari total saham, sementara sisanya masih dipegang oleh Bakrieland.

Per Agustus 2013, BNR memiliki aset sejumlah Rp 832,77 miliar dengan ekuitas senilai Rp 435,49 miliar. Pendapatan selama 8 bulan tercatat Rp 127,13 miliar dan menghasilkan laba usaha Rp 79,43 miliar dan tetapi menderita rugi bersih Rp 40,84 miliar.

Pada tanggal 2 Agustus 2013, Perusahaan telah menandatangani Perjanjian Jual Beli Saham Bersyarat (PJBS) terkait dengan dengan rencana investasi yang dilakukan Perusahaan atas
55,91% kepemilikan saham BNR yang dimiliki oleh PPI. Dana sebesar Rp 956,02 miliar atau 47,3% dari PUT III akan digunakan untuk membayar transaksi ini.

Sisa dana akan digunakan untuk penambahan modal kerja dan akuisisi lahan. Sebesar Rp 600 miliar akan digunakan untuk akuisisi lahan-lahan strategis. Sementara sebesar Rp 460,68 miliar akan digunakan untuk modal kerja termasuk untuk pembangunan MNC Media Tower di Jakarta dan MNC Tower Surabaya.

Saham baru yang ditawarkan seharga Rp 1.520 ini mencerminkan PBV 1,16 setelah saham baru diterbitkan dan 0,92x untuk saham lama saja. Artinya saham baru ini cukup murah untuk dibeli mengingat MNC Land memiliki proyek-proyek prestisius yang dapat menghasilkan laba  di masa depan.

Tuesday, November 19, 2013

Kembali Merugi dan Masih Defisit Modal, BUMI Lunasi Hutang dengan Tukar Saham



Jakarta, 20 November 2013 -  PT Bumi Resources, Tbk,  (BUMI) kembali mencatatkan kerugian bersih  sebesar US$ 377,51 juta atau turun dari sebelumnya sebesar US$ 632,49 juta. Akibat pencatatan kerugian ini, saldo laba pada sisi ekuitas bertambah defisit sebesar US$ 1,23 miliar. Setelah sempat diragukan kemampuannya dalam pelunasan utang pada CIC (China Insurance Company), BUMI akhirnya menukar saham KPC, BRMS dan BUMI lewat right issue.

Dalam perjanjian utang barunya dengan CIC,  BUMI akan menukar saham atas hutang pokok senilai US$ 1.300 juta pada CIC melalui fasilitas Country Limited 2009.  Atas transaksi tersebut CIC akan mendapat 19% saham Kaltim Prima Coal senilai 19%, saham PT Bumi Resources Minerals, Tbk., (BRMS) sebesar 42% pada Rp 280 per saham dan  saham BUMI senilai US$ 150 juta melalui right issue.

CIC sendiri akan mendapatkan ekuitas senilai US$ 1.357 juta atau lebih besar dibanding pokok pinjaman melalui fasilitas Country Limited 2009. Melalui fasilitas China Development Bank, CIC juga memberikan kredit pada BUMI sebesar US$ 600 juta. Hingga total hutang pokok BUMI kepada CIC sebesar US$ 1,9 miliar. Hutang ini berlaku pada tingkat bunga 12%.

Risiko default masih membayangi  setelah BUMI mencatatkan defisit modal dan kerugian. Bumi Resourses siang ini dijadwalkan  akan menggelar konferensi pers terkait kinerja selama kuartal ketiga tahun 2013, setelah bulan kemarin BUMI “dipaksa” otoritas bursa untuk menggelar public expose tentang penyelesaian utangnya.

Harga saham BUMI saat ini telah turun signifikan hingga saat ini pada harga RP 390 per saham atau turun 35,83% yoy dan turun 37,90% ytd. 

Permasalahan hutang BUMI pada CIC sebenarnya telah terjadi pada November 2011 lalu. Saat itu, BUMI mengajukan refinancing tranche I senilai US$ 600 juta pada CIC. Saat itu CIC menyetujui dengan jatuh tempo pada 30 September 2013. Namun hingga jatuh tempo, BUMI tidak bisa melunasinya. Untuk pembayaran hutang tranche II dan III masing-masing sebesar US$ 600 juta dan US$ 700 juta akan jatuh tempo pada 2014 dan 2015.

Selain CIC, BUMI juga mempunyai kewajiban lain senilai total US$ 3,32 miliar dari beberapa debitor dengan bagian jangka pendek hingga US$ 656 juta.

BUMI catatkan defisit modal
“From hero to zero”, mungkin itu istilah yang tepat untuk BUMI. Beberapa tahun lalu, BUMI merupakan emiten batubara terbesar dengan profitabilitas tinggi. Namun, sekarang BUMI tercatat membukukan defisit modal sebesar US$ 18,2 juta. Defisit terjadi karena saldo laba defisit tercatat sebesar US$ 1,23 miliar. Kuartal pertama lalu, nilai buku ekuitas BUMI sebesar US$ 90,73 juta dan akhir tahun lalu sebesar US$ 150,91 juta.

BUMI selama kuartal ketiga 2013 membukukan penurunan pendapatan hingga 4% menjadi US$ 2,65 miliar dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 2,77 miliar. Sementara itu, beban pokok naik 4% menjadi US$ 2,09 miliar dari sebelumnya US$ 2,02 miliar. Hal ini menekan  laba bruto turun menjadi US$ 557,6 juta dari sebelumnya US$ 750,3 juta. Marjin laba kotor pun turun menjadi 21% dari sebelumnya 27%

Laba opresional BUMI juga turun 31%  menjadi US$ 215,8 juta dari sebelumnya US$ 312,4 juta. Akibatnya marjin laba operasional pun turun menjadi 8,13% dari sebelumnya 11,28%.

BUMI mencatatkan rugi sebelum pajak sebesar US$ 455,76 juta atau turun dibandingkan tahun lalu yang mencatat rugi US$ 655,42 juta.

Kerugian ini disebabkan BUMI menanggung beban keuangan hingga US$ 449,11 juta, beban amortisasi sebesar US$ 31,08 juta, rugi selisih kurs sebesar US$ 119,56 juta dan transaksi derivatif sebesar US$ 94,10 juta.

Rugi bersih yang dibukukan BUMI tercatat sebesar US$ 377,51 juta atau turun dari sebelumnya sebesar US$ 632,49 juta. Akibat pencatatan kerugian ini, saldo laba pada sisi ekuitas bertambah defisit sebesar US$ 1,23 miliar.

Dari sisi aset, BUMI mencatatkan penurunan aset sebesar 4% menjadi US$ 7,03 miliar dari akhir tahun lalu sebesar US$ 7,35%. Penurunan aset ini terjadi setelah BUMI menjual beberapa aset untuk melunasi hutang.

Hingga periode kuartal ketiga 2013, aset BUMI yang tercatat turun signifikan yaitu, melepas pengelolaan aset keuangan oleh Recapital Asset Management yang nilai bukunya sebesar US$ 246,78 juta, derivatif aset dengan equity swap pada Credit Suisse yang menurunkan aset BUMI hingga US$ 94,10 juta, penyelesaian wesel tagih antara UOB dan BRMS senilai US$ 246,8 juta dan penurunan persediaan hingga US$ 30,4 juta.

Risiko default semakin tinggi
AFN merekomendasikan untuk menjauhi saham BUMI karena risiko default semakain tinggi.

Oktober lalu, Moody’s menurunkan peringkat hutang BUMI menjadi Ca dari sebelumnya Caa1 per tanggal 10 Oktober 2013. S&P juga memangkas peringkat utang BUMI menjadi CC dari sebelumnya CCC per 15 Oktober 2013. Penurunan itu karena likuiditas BUMI dipertanyakan.

Tercatat rasio lancar per kuartal ketiga 2013 sebesar 0,61 kali. Hal ini menunjukkan kemampuan BUMI untuk melunasi hutang jangka pendeknya sangat kecil dimana nilai hutang lancarnya bahkan hampir dua kali dari nilai aset lancar.

Sementara itu rasio hutang terhadap kewajiban negatif 387 kali. Dengan nilai buku ekuitas negatif sudah pasti BUMI saat ini dipertanyakaan kemampuan membayar semua kewajibannya.

Selain itu, risiko pasar tambang semakin tinggi. Tercatat harga rata-rata batubara KPC sebesar US$ 77 per metrik ton selama kuartal ketiga 2013, atau turun dari tahun lalu sebesar US$ 99 per metrik ton. Tentu saja hal ini akan menekan pendapatan BUMI meskipun produksi batubara meningkat.

Ancaman kelebihan pasokan batubara terutama batu bara dari British Columbia di Amerika Utara juga akan menekan harga batubara selaam tahun depan, itu berpotensi menekan pendapatan BUMI dan produsen batubara Indonesia pada umumnya. Jarak antara Amerika Utara dengan China dan Jepang juga menjadi keunggulan batubara Amerika Utara. Disis lain, beban BUMI terus meningkat dan akan menekan laba bersih BUMI.

Selain itu, sentimen pasar terhadap Bakrie Gruop juga masih menekan BUMI. Bulan lalu, ELTY, terancam default karena tidak mampu memenuhi kewajiban jatuh temponya.




Namun oportunitas masih ada, upaya diversifikasi energi oleh pemerintah seharusnya menjadi kesempatan BUMI untuk menjual batubara di industri dalam negeri untuk mengamankan target penjualannya. Saat ini prossentase penjualan dalam negeri hanya 16%. Namun kendalanya, infastruktur energi nasional masih rendah Selain itu, permintaan batu bara di India juga semakin meningkat. Saat ini produsen batubara lebih berorientasi pasar China dan Jepang sebagai negara industri di Asia.

Lautan Luas Terus Meningkatkan Modal di Anak Usaha, Tapi Kinerja Belum Terlihat


Jakarta, 19 November 2013 – PT Lautan Luas Tbk sedang agresif untuk meningkatkan modalnya di anak-anak perusahaannya. Langkah ini sejalan dengan strategi perusahaan untuk mencari peluang investasi di pasar domestik dan internasional. Langkah-langkah ini belum memberikan pertumbuhan yang signifikan bagi perusahaan.

Dalam jangka pendek, perusahaan sudah memiliki tujuan untuk bertumbuh pesat di air bersih. Di jangka menengah, perusahaan akan mengembangkan produk-produk berbasis sulfur, makanan alami, dan pengolahan air limbah. Sementara di jangka panjang perusahaan ingin menjadi hulu integrasi bagi usaha sektor bahan makanan.

Dalam tahun ini, perusahaan telah menginvestasikan Rp 282,15 miliar kepada anak perusahaannya. Karena sebagian dari penyertaan itu bukan berupa kas, maka dengan posisi kas sebesar Rp 122,37 miliar perusahaan tetap mampu membayar utang bank sebesar Rp 3,95 triliun.

Akan tetapi penyertaan ini belum membuahkan hasil yang nyata dalam kinerja perusahaan sampai dengan 9 bulan. Pertumbuhan pendapatan masih negatif 11,1% menjadi Rp 4,22 triliun dan pertumbuhan laba bersih juga negatif 3,9% di Rp 51,91 miliar. Ini membuat marjin laba bersih Lautan Luas tipis di 1,2% dan ROE di 5,3%.

Diharapkan dengan masuknya perusahaan ke industri-industri seperti makanan alami, pengolahan limbah, dan produk berbasis sulfur, kinerja ini dapat ditingkatkan karena ekspektasi permintaan yang besar.


Tapi, secara jangka panjang, Lautan Luas telah mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang signifikan di semua sektor pendapatannya. Pertumbuhan ini ditopang oleh struktur pendanaan yang seimbang antara ekuitas dan liabilitas. Rasio liabilitas jangka panjang terhadap ekuitas cukup rendah yaitu 0,81x dengan total utang tidak sampai Rp 1 triliun. Sementara itu kemampuan membayar utang cukup tinggi, mencapai 2,23x. 

 Harga saham LTLS kini adalah Rp 700 yang mencerminkan PBV 0,4x dan PER yang rendah 7,89x. Sementara harga tertinggi yang pernah dicapai LTLS adalah Rp 990.

Nipress Melakukan PUT untuk Mendukung Ekspansi ke Aki Industri

 Jakarta, 18 November 2013 – PT Nipress, Tbk (NIPS) melakukan penawaran umum terbatas  (PUT) I sebesar Rp 260 miliar untuk pembangunan pabrik, pembelian mesin, dan modal kerja. Semuanya akan digunakan untuk mendukung upaya perusahaan ekspansi ke aki industri

PUT ini membuat kapitalisasi pasar NIPS akan berada di sekitar Rp 500 miliar. Kisaran harga yang ditawarkan adalah antara Rp 350-450 per saham.

PT Tritan Adhitama Nugraha sebagai pemegang saham mayoritas telah menyatakan kesanggupan untuk membeli Rp 130 miliar. Apabila Tritan mengambil semua hak ini, Tritan akan memiliki 45,5% saham Nipress. Kini Tritan memiliki 37,11%.

Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan pabrik dan pembelian mesin senilai Rp 148,2 miliar, dan modal kerja senilai Rp 111,8 miliar. Pembangunan pabrik Nipress adalah untuk memasuki bisnis aki industri, di samping tetap mempertahankan pasarnya di aki mobil dan motor. Tahun ini, kontribusi aki industri terhadap total penjualannya melesat menjadi 28% dari 3,7% di tahun sebelumnya. Sedangkan kontribusi aki mobil menjadi menyusut menjadi 54%.

Aki industri merupakan bisnis yang menjanjikan untuk Nipress. Aki industri dibutuhkan terutama pada pembangkit listrik tenaga matahari dan tenaga air hidro yang makin meluas. Kemudian aki industri juga makin dibutuhkan dengan makin meningkatnya industri manufaktur mikro di daerah-daerah yang sering mengalami putus listrik.

Sampai dengan triwulan ketiga, Nipress mencatatkan pertumbuhan yang menarik dari sisi pendapatan dan laba bersih. Pertumbuhan pendapatan tercatat 41% menjadi Rp 684,68 miliar dan pertumbuhan laba bersih 97,5% menjadi Rp 31,24 miliar. Hal ini membuat ROE Nipress mencapai 17,9%. Karena Nipress adalah satu-satunya emiten produsen aki di BEI, maka tidak ada komparasi.

Monday, November 18, 2013

Permintaan Otomotif Naik, Pendapatan dan Laba Ban Tertekan


Jakarta, 18 November 2013 – Sektor otomotif melaporkan kenaikan permintaan di Oktober (y-o-y) 4,9% di tengah kondisi kenaikan suku bunga. Akan tetapi hal ini tidak tercermin dari pertumbuhan pendapatan emiten ban yang malah negatif pada tahun ini.

Setelah penjualan otomotif mencapai puncaknya di September akibat liburan panjang, permintaan di bulan Oktober sedikit turun bila dilihat per bulannya. Tetapi secara tahunan, terjadi kenaikan penjualan 4,9%  mencapai 1,02 juta unit selama 10 bulan ini. Angka ini kira-kira sudah 91% dari target tahunan.

Tapi pertumbuhan penjualan ini tidak terefleksi di dalam pertumbuhan pendapatan emiten ban. PT Gajah Tunggal, Tbk (GJTL) mencatatkan pertumbuhan pendapatan negatif (-2,9%) menjadi Rp 9,11 triliun. Sementara pendapatan PT Goodyear Indonesia, Tbk (GDYR) turun 5,3% menjadi Rp 1,19 triliun di triwulan II (laporan keuangan triwulan III belum terbit).

Satu-satunya yang mencatat pertumbuhan pendapatan positif adalah PT Multistrada Arah Sarana, Tbk (MASA) yang naik 0,5% menjadi Rp 2,91 triliun, tetapi mencatatkan laba bersih yang kecil yaitu Rp 14,71 miliar karena peningkatan biaya keuangan. Rasio P/E mencapai  168,60, yang tidak dapat diinterpretasikan karena laba bersih yang terlalu kecil. Padahal PBV masih lebih rendah dari 1, yaitu 0,75x.

Sampai saat ini Gajah Tunggal masih memiliki kapitalisasi pasar terbesar yaitu Rp 6,38 triliun, sementara Multistrada kedua terbesar dengan kapitalisasi Rp 3,31 triliun. Multistrada mempertahankan marjin EBITDA di 15,6%, tertinggi di antara semuanya, sementara ROE Gajah Tunggal masih terbesar di 4,8%.

Untuk masalah efisiensi, tingkat perputaran dan produktivitas, ketiganya relatif bersaing. Perbedaan yang tampak dari ketiganya adalah pada struktur modal, dimana Gajah Tunggal memiliki rasio liabilitas terhadap ekuitas terbesar, namun masih di atas standar minimum bila mengacu kepada rasio interest coverage (EBIT/ beban keuangan) yang 1,60x. Artinya Gajah Tunggal masih mampu memenuhi kewajiban bunganya dari laba sebelum pajak dan bunganya.

Friday, November 15, 2013

Siapkan Rp 700 Miliar dari Kas Internal, Surya Semesta Kembangkan Karawang

Jakarta, 15 November 2013 – PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) telah menyiapkan Rp 700 miliar dari kas internalnya untuk mengembangkan kawasan industri di Karawang. Sampai 30 September 2013, Surya Semesta mencatatkan posisi kas Rp 1,86 triliun dengan arus kas selama 9 bulan tercatat Rp 624,64 miliar. Pengembangan ini dapat dibiayai oleh arus kas operasional setahun perusahaan.

Surya Semesta bergerak di bidang pengembangan kawasan industri, kawasan komersial, jasa konstruksi dan perhotelan. Melalui PT Suryacipta Swadaya (SCS), Surya Semesta mengembangkan dan mengelola Suryacipta City of Industry (Suryacipta) – kawasan industri seluas 1.400 hektar di Karawang.

Karawang memiliki potensi yang sangat tinggi di dalam investasi. PT Sharp Electronics Indonesia akan meningkatkan produksinya 2,5 kali lipat dengan mengoperasikan pabrik baru  di Karawang dengan nilai investasi Rp 1,2 triliun.  PT Firmenich Aromatics Indonesia juga menambah nilai investasi di Indonesia sebesar 33 juta dolar AS dengan pendirian pabrik baru Durarome.

Di kawasan industri Suryacipta sendiri, The New Energy and Industrial Technology Development Organization of Japan (NEDO) sudah menginvestasikan ¥ 3,5 miliar atau senilai Rp 350 miliar untuk proyek percontohan.

Seiring dengan pertumbuhan kawasan ini, perusahaan mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang cukup signifikan yaitu 26,03% menjadi Rp 3,35 triliun. Tetapi pertumbuhan pendapatan ini tidak diikuti oleh pertumbuhan positif laba bersih yang malah turun 11,75% menjadi Rp 486,02 miliar. Tapi rasio imbal hasil atas ekuitas masih cukup tinggi di 30,36%.

Sebelumnya, pada Oktober 2013,  Surya Semesta telah menerbitkan obligasi sebesar Rp 700 miliar, di mana hampir seluruh dana yang diperoleh yaitu Rp 630 miliar diperuntukkan penyertaan modal di SCS.

SCS juga baru saja meluncurkan Suryacipta Technopark, sebuah kawasan yang terdiri dari kelompok bangunan warehouse atau standard factory dengan luas totalnya 22 hektar. Pada penawaran perdana, perusahaan telah berhasil menarik PT  Mitsui Kinzoku Act Indonesia, sebuah perusahaan komponen otomotif. 

Target dari pemasaran Suryacipta Technopark yang dipersiapkan dengan standar internasional ini adalah Small Medium Enterprise Manufacturing atau pabrik berskala Usaha Kecil Menengah, Logistic Company dan Warehouse.


Saham SSIA bergerak fluktuatif di kisaran Rp 700 - 850 setelah turun dari harga rekornya di Rp 1.660 Mei lalu.

Thursday, November 14, 2013

Kebutuhan Bahan Baku Plastik Meningkat, Tak Mampu Diserap Produsen Domestik

Jakarta, 15 November 2013 – Kebutuhan akan plastik makin meningkat tajam, tampak dari impor bahan baku plastik tahun ini sudah mencapai US$ 1,8 miliar (estimasi) atau 1 juta ton. Tahun depan, angka ini diperkirakan akan meningkat 8-9%. Sementara itu produsen dalam negeri akan terpaksa menaikkan harga jualnya akibat depresiasi Rupiah dan mungkin kehilangan pangsa pasarnya.

Impor bahan baku plastik diperkirakan akan naik akibat kebutuhan plastik kemasan yang meningkat. Pemilu tahun 2014 diekspektasi akan mendorong omzet industri kemasan sampai Rp 62 triliun atau tumbuh 10% dibandingkan tahun ini, menurut Federasi Pengemasan Indonesia. Pertumbuhan ini paling akan dirasakan pada makanan dan minuman olahan. Sekarang saja kebutuhan kemasan air mineral dan susu semakin tinggi.

Pasar untuk bahan baku plastik tidak hanya diperuntukkan makanan dan minuman olahan, namun juga untuk karet sintetis yang sangat dibutuhkan oleh perusahaan ban.

Tanggal 5 November lalu, Manajemen PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) bersama dengan Compagnie Financière Michelin (Michelin) melakukan peresmian kerjasama untuk pabrik synthetic rubber (karet sintetis) yang dikelola oleh PT Synthetic Rubber Indonesia (SRI).  Pembangunan pabrik direncanakan akan dimulai pada awal 2015, dengan penyelesaian dan start-up ditargetkan pada awal 2017. Selanjutnya, SRI akan memproduksi bahan baku ban ramah lingkungan

Sayangnya, produsen domestik sendiri tidak mampu meningkatkan kapasitas terlalu banyak karena terbatasnya bahan baku yaitu etilena dan propilena serta pasokan nafta dari produsen petrokimia hulu. Akibatnya tingkat utilitas kapasitas domestik hanya 82%, belum optimal.

Chandra Asri adalah satu-satunya produsen ethylene dalam negeri dengan kapasitas 600 ribu ton per tahun dan prophylene 320 ribu ton per tahun. PT Pertamina memproduksi prophylene 325 ribu ton per tahun.

Produsen domestik juga mengalami kesulitan ketika Rupiah terdepresiasi karena 60% bahan baku masih impor, demikian pula dengan mesin pengemasan. Karenanya, walaupun pertumbuhan 2 emiten produsen bahan baku plastik naik 2,2% dan 6,2% untuk PT
Lotte Chemical Titan, Tbk (FPNI) dan Chandra Asri, tetapi keduanya masih mencatatkan kerugian.

Kinerja Chandra Asri tampak lebih baik dibandingkan Lotte Chemical yang memang sedang melakukan restrukturisasi internal. Dengan aset dan kapitalisasi pasar yang lebih tinggi, Chandra Asri mampu mencatat pertumbuhan pendapatan dan marjin laba kotor yang lebih tinggi, yaitu 6,2% dan 3,2% dibandingkan 2,2% dan 1,2%.

Tetapi rasio PBV Chandra Asri sudah di atas 1 yaitu 1,15x sementara Lotte Chemical baru 0,59x. Hal ini juga dikarenakan Lotte Chemical memiliki likuiditas perdagangan yang jauh lebih rendah daripada Chandra Asir.


Wednesday, November 13, 2013

Industri Kemasan Tahun 2014 Akan Mencapai Omset Rp 62 Triliun, AFN Rekomendasikan Berlina



Jakarta, 14 November 2013 – Pemilu tahun 2014 diekspektasi akan mendorong omzet industri kemasan sampai Rp 62 triliun atau tumbuh 10% dibandingkan tahun ini, menurut Federasi Pengemasan Indonesia. Pertumbuhan ini paling akan dirasakan pada makanan dan minuman olahan. Sekarang saja kebutuhan kemasan air mineral dan susu semakin tinggi.

Tahun ini, dua emiten kemasan plastik yaitu PT Berlina, Tbk (BRNA) dan PT Champion Pacific Indonesia, Tbk (IGAR) membukukan pertumbuhan pendapatan rata-rata 14,5% namun laba bersihnya turun 14 – 20% karena pelemahan nilai tukar rupiah.

Depresiasi rupiah membuat ongkos produksi membengkak karena sebanyak 60% bahan baku masih diimpor, terutama dari Timur Tengah. Mesin produksi juga masih diimpor karena industri mesin dalam negeri belum sanggup memproduksi. Impor mesin produksi kebanyakan dari negara-negara Eropa seperti Jerman dan Italia.

Berlina terutama memproduksi kemasan plastik untuk botol air minum, pasta gigi, sabun cuci dan sebagainya. Sementara Champion Pacific lebih banyak memproduksi kemasan untuk produk makanan dan produk non farmasi dari perusahaan non farmasi. Keduanya berada di pasar yang bertumbuh, karenanya mampu mencatatkan pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi daripada pertumbuhan industri yang tahun ini hanya di sekitar 8%.

AFN lebih menyukai Berlina daripada Champion Pacific karena beberapa alasan yaitu:
1.    Posisi kas dan arus kas dari aktivitas operasional lebih tinggi. Kas per saham Berlina adalah Rp 55/ saham atau sekitar 11% dari harga saham sekarang. Sementara kas per saham Champion hanya Rp 8,7/ saham atau sekitar 2,8% dari harga sahamnya. Di tengah masa pengetatan likuiditas dari perbankan, posisi kas menjadi faktor yang penting;

2.    Kinerja laba usaha Berlina lebih tinggi daripada kinerja Champion, yaitu 10,1% dibandingkan 8,7%. Demikian pula dengan ROE-nya di mana Berlina mencatat 13,5%, sementara Champion 11%;

3.    Marjin laba sebelum pajak Berlina memang lebih kecil dibandingkan Champion. Hal ini disebabkan oleh faktor leverage, di mana Berlina menggunakan utang jangka panjang sekitar sepertiga dari ekuitasnya dan Champion tidak sama sekali. Tetapi rasio utang dan kemampuan membayar Berlina masih jauh di atas batas minimal kemampuan

4.    Laba bersih Berlina kira-kira 13% dari harga sahamnya, sementara laba bersih Champion hanya 8%.

Walaupun demikian AFN melihat bahwa kedua saham ini sebaiknya hanya dimasuki oleh investor-investor dengan horison investasi jangka panjang karena likuiditas perdagangan sahamnya yang sangat rendah. Jumlah saham beredar yang memang tidak besar di pasar turut menekan kinerja likuiditas ini.