Thursday, February 27, 2014

Laba Bersih Vale Indonesia Turun 43%, Strategi Efisiensi Biaya Belum Tercatat

 Jakarta, 28 Februari 2014 – PT Vale Indonesia, Tbk (INCO) mencatatkan penurunan laba bersih sampai 43% akibat penurunan pendapatan. Perusahaan telah menerapkan strategi efisiensi biaya yang walaupun belum tercermin pada pencatatan kinerja tahun ini, tetapi akan menguntungkan bagi perusahaan dalam jangka panjang.

Laba bersih kepada pemilik entitas induk turun 43% menjadi US$ 38,65 juta dari tahun 2012 sebesar US$ 67,49 juta. Ini mengakibatkan laba bersih per saham turun jadi sekitar Rp 47,43/ lembar dari sebelumnya Rp 67,90/ lembar. Penurunan laba bersih per saham hanya 30% karena efek kurs.

Pendapatan Vale sendiri turun hanya 5% jadi US$ 921,64 juta dari sebelumnya US$ 967,33 juta akibat harga komoditi yang terus tertekan. Di tahun 2013 perusahaan memproduksi 75.802 ton matte atau 7% lebih tinggi dari 2012. Namun harga rata-rata penjualan memang tertekan 12%  sehingga pendapatan turun.

Sisi positifnya adalah piutang turun cukup jauh yaitu sampai 41% menjadi US$ 65,90 juta dari sebelumnya US$ 112,64 juta. Kemungkinannya hal ini disebabkan karena banyaknya penjualan langsung (non kontrak) oleh perusahaan. Secara jangka panjang, hal ini kurang baik karena menjadi faktor destabilisasi pendapatan. Tetapi di kondisi ini, hal ini mengindikasikan bahwa Vale Indonesia tetap memiliki target pasar yang cukup untuk menyeimbangkan volatilitas harga.

Selain itu perusahaan juga telah melakukan berbagai strategi efisiensi biaya. Salah satunya yang paling signifikan adalah biaya pendapatan per metrik ton matte turun 7% jadi US$ 10.313/t dari US$ 11.091/t. Penurunan ini sebagian besar ditekan oleh penurunan biaya BBM dan pelumas, upah tenaga kerja, serta biaya kontrak dan jasa.

Penurunan biaya BBM dan pelumas disebabkan oleh harga beli PT Vale High Sulphur Fuel Oil (HSFO) yang lebih rendah 9% dibandingkan tahun lalu. Di semester kedua, perusahaan juga menyelesaikan konversi pengering ke tenaga batubara yang makin menekan kebutuhan BBM perusahaan.

 Walaupun belum tercermin secara signifikan dalam kinerja tahun ini, namun strategi ini akan menjadi salah satu penopang perusahaan dalam jangka panjang.

Neraca Vale Kuat, Saham Fluktuatif
Posisi kas Vale naik ke US$ 200,20 juta dibandingkan tahun 2012 di US$ 172,24 juta. Arus kas dari aktivitas operasional melompat jadi US$ 265,89 juta dari sebelumnya US$ 79,16 juta. Peningkatan ini karena kenaikan penerimaan dari konsumen dan penurunan pembayaran ke pemasok, serta lebih rendahnya pembayaran pajak penghasilan badan sekaligus adanya pembayaran kelebihan pajak sebesar US$ 40,16 juta.

Utang jangka panjang turun ke US$ 397,95 juta menyebabkan rasio utang turun menjadi 0,25x dan utang jangka panjang atas ekuitas turun jadi 0,23x. Ini juga membuat beban bunga turun jadi US$ 14,68 juta dari sebelumnya US$ 15,49 juta. Penurunan ini meringankan beban perusahaan.

Paska penerbitan laporan keuangan ini, harga saham INCO tidak mengalami perubahan berarti. Sementara itu, selama 6 bulan terakhir, kisaran harganya cukup lebar yaitu dari Rp 2.100 – 2.800/ lembar, dengan likuiditas yang lebih baik dibandingkan 1 tahun sebelumnya. Ini mengindikasikan keraguan investor tapi sekaligus pelaku pasar sudah merasa bahwa ini waktunya untuk naik. 

Rasio harga terhadap laba (PER) masih tinggi yaitu 50 kali, sementara rasio harga terhadap nilai buku (PBV) hanya 1,13 kali.

.

Wednesday, February 26, 2014

Laba Bersih Pertamina naik 10,90% Padahal Subsidi Turun

PT Pertamina (Persero) membukukan kenaikan laba bersih 10,90% padahal penjualan hanya naik 0,25%. Pertumbuhan tipis penjualan disebabkan  karena subsidi yang diterima dari pemerintah turun, walaupun penjualan Migas naik moderat.

Laba bersih Pertamina selama tahun 2013 tercatat US$ 3,06 miliar dibandingkan tahun 2012 lalu sebesar US$ 2,76 miliar. Pertumbuhan laba lebih didorong dari pertumbuhan pendapatan keuangan yang tumbuh cukup tinggi, sementara kinerja operasional dan penjualan migas baik domestik maupun ekspor yang hanya tumbuh moderat.

Total pendapatan Pertamina sepanjang 2013 hanya naik 0,25% menjadi sebesar US$ 71,10 miliar dari sebelumnya US$ 70,92 miliar. Kenaikan ini berasal dari penjualan Migas yang naik moderat, sementara subsidi dari pemerintah turun. Subsidi yang diterima pemerintah hanya menjadi US$ 20,30 miliar dibandingkan tahun 2012 lalu sebesar US$ 21,92 miliar.

Penjualan migas untuk pasar domestik tercatat hanya naik 2,22% menjadi US$ 44,73 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar US$ 43,76 miliar, sementara penjualan migas untuk ekspor naik 16,73% menjadi US$ 5,50 miliar dibandingkan dengan tahun 2012 yang sebesar US$ 4,71 miliar.

Sementara itu, beban langsung untuk penjualan, produksi dan eksplorasi naik tipis sebelumnya menjadi US$ 64,10 miliar dibandingkan tahun 2012 sebesar US$ 63,99 miliar. Beban penjualan langsung dan beban produksi hulu dan lifting naik tipis sementara beban eksplorasi dan aktivitas operasi turun.

Hasilnya pun, laba kotor Pertamina hanya naik 0,91% menjadi US$ 7 miliar dibandingkan tahun 2012 sebesar US$ 6,94 miliar.

Sementara itu, terjadi penurunan tipis beban pemasaran dan beban administrasi menjadi US$ 2,16 miliar dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar US$ 2,17 miliar sehingga laba usaha Pertamina selama 2013 naik tipis menjadi US$ 4,84 miliar dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$ 4,76 miliar.

Beban keuangan Pertamina naik hingga 45,32% menjadi US$ 479 juta dibandingkan tahun 2012 lalu sebesar US$ 329 juta dikarenakan Pertamina yang baru saja menerbitkan obligasi pada tahun 2013 lalu. Tercatat pembiayaan dari obligasi selama 2013 bertambah menjadi US$ 7,19 miliar dibandingkan tahun 2012 yang sebesar US$ 3,94 miliar.

Laba Pertamina didorong oleh perolehan pendapatan dari pembalikan nilai piutang yang signifikan.  Tercatat pendapatan dari pembalikan nilai piutang hingga sebesar US$ 451 juta dibandingkan dengan pencatatan penurunan pada tahun lalu yang kehilangan piutang hingga US$ 38,83 juta. Hal ini mendorong pendapatan keuangan hingga naik 83,24% menjadi US$ 673 juta dan akhirnya mendorong kenaikan laba bersih.

Dari sisi neraca, aset Pertamina tumbuh hingga 20,47% menjadi US$ 49,34 miliar dengan ditopang pertumbuhan dari sisi aset migas yang naik menjadi US$ 11,06 miliar dari sebelumnya US$ 7,39 miliar.

AFN melihat hal ini merupakan sisi positif bagi Pertamina dalam jangka panjang yaitu dengan kenaikan aset migas yang mencapai 49,66% atau nilai aset migas pada 2013 sebesar 22,42% dari keseluruhan aset yang artinya dalam jangka panjang kemampuan Pertamina untuk memproduksi migas masih cukup kompetitif.

Sementara itu, liabilitas Pertamina tumbuh hingga 24,40% atau lebih besar dari pertumbuhan aset. Ini menunjukkan pembiayaan aset Pertamina lebih banyak melalui liabilitas yang ditunjukkan dengan kenaikan obligasi, utang bank dan utang pemerintah.

Sama seperti BUMN lainnya, AFN melihat kewajiban Pertamina terhadap karyawan yang mencapai US$ 2,67 miliar sangat besar dan berpotensi menekan laba Pertamina di masa mendatang. Jika dibandingkan tahun lalu, nilai kewajiban tersebut telah turun.

Rasio kinerja bervariasi
Rasio imbal hasil terhadap ekuitas (ROE) justru turun menjadi 17,79% pada 2013 dibandingkan dengan tahun 2012 lalu sebesar 18,26% sehingga menunjukkan profitabilitas Pertamina turun.

Sementara itu, leverage Pertamina naik dengan  ditunjukkan oleh rasio hutang terhadap ekuitas yang naik hingga 1,86 kali dibandingkan tahun 2012 sebesar 1,70 kali seiring kenaikan hutang dari obligasi Pertamina. Sementara gearing ratio, atau rasio hutang berbunga setidaknya masih di bawah 1 kali sehingga risiko gagal bayar hutang Pertamina masih kecil.

AFN melihatnya, masih terdapat inefisiensi terhadap pengelolaan aset pertamina untuk mendorong pendapatan. Ini ditunjukkan oleh  ROE yang turun dimana kenaikan leverage belum mampu menambah profitabilitas Pertamina.

Di sisi lain, marjin laba, baik laba bersih dan laba kotor, naik tipis seiring dengan kenaikan laba bersih dan laba kotor tersebut. Artinya, meskipun penjualan hanya tumbuh moderat, beban Pertamina juga dijaga. 

Tuesday, February 25, 2014

Multipolar Technology Catatkan Kenaikan Laba Bersih 87%



Jakarta, 26 Februari 2014 – PT Multipolar Technology Tbk (MLPT) mencatatkan kenaikan laba bersih 87% karena pertumbuhan beban pokok penjualan yang lebih kecil daripada pertumbuhan penjualan, serta kenaikan signifikan penghasilan lain-lain.

Laba bersih Multipolar naik 87% menjadi Rp 56,70 miliar dari tahun 2012 sebesar Rp 30,25 miliar. Ini menaikkan pula laba bersih per sahamnya menjadi Rp 30,24/ lembar dibandingkan tahun 2012 sebesar Rp 16,13%. Rasio harga atas laba dengan harga Rp 1.015 masih cukup tinggi yaitu 33,56 kali.

Laba ini didorong hanya dengan pertumbuhan pendapatan 13%, yaitu menjadi Rp 1,51 triliun dari sebelumnya Rp 1,34 triliun. Karenanya marjin laba bersih naik jadi 3,8% dari sebelumnya 2,3%.

Kenaikan laba yang lebih tinggi daripada kenaikan pendapatan ini  salah satunya disebabkan oleh pertumbuhan biaya pokok penjualan yang lebih kecil daripada pertumbuhan pendapatan. Ini terlihat dari kenaikan marjin laba kotor jadi 11,4% dari sebelumnya 10,4%. Ini dikontribusikan oleh segmen jasa teknologi yang kenaikan biaya pokoknya hanya 16% sementara kenaikan pendapatannya mencapai 27%.

Selain itu penghasilan lain-lain yang naik menjadi Rp 18,11 miliar dari sebelumnya Rp 4,77 miliar juga merupakan faktor penumbuh laba yang signifikan. Tidak dijelaskan penghasilan lain-lain berasal dari mana.

Walaupun kenaikan laba bersih signifikan, tetapi rasio imbal hasil atas ekuitas (ROE) malah turun 13,6% dari sebelumnya 17,0%. Hal ini disebabkan karena kenaikan ekuitas yang cukup tinggi setelah penawaran umum perdana pada tanggal 8 Juli 2013. Dana dari penawaran ini digunakan untuk belanja modal (28%), pembayaran utang kepada pemegang saham (26%), dan sisanya modal kerja (46%).

Dana IPO yang sudah direalisasikan per Desember 2013 adalah 53,1% untuk belanja modal sebesar Rp 26,55 miliar, 100% pembayaran utang kepada pemegang saham sebesar Rp 46,5 miliar, dan 100% modal kerja sebesar Rp 80,82 miliar.

Penerimaan modal dari penawaran ini mencapai Rp 180 miliar dan membuat posisi kas naik jadi Rp 231,48 miliar dari sebelumnya hanya Rp 178,73 miliar. Total aset naik menjadi Rp 1,25 triliun dari Rp  1 triliun. Utang jangka pendek naik jadi Rp 660,88 miliar, tetapi utang jangka panjang turun dari Rp 142,02 miliar. Utang jangka panjang turun disebabkan oleh dibayarnya utang kepada pemegang saham terbesar, PT Multipolar Tbk (MLPL).