Sunday, November 30, 2014

Triwulan 3 Telkom, terbaik dari sektor telekomunikasi.

Jakarta, 1 Desember 2014 - PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (TLKM) selama triwulan ketiga 2014 ini masih merupakan salah satu yang terbaik dari semua emiten telekomunikasi meskipun hanya tumbuh moderat. Sementara itu beberapa emiten telekomunikasi besar lainnya seperti PT XL Axiata, Tbk (EXCL) dan PT Indosat, Tbk (ISAT) justru dan masih tertekan. Dua operator CDMA juga tertekan akibat pasar CDMA yang kalah dibandingkan dengan GSM sehingga pertumbuhan keduanya lambat.

Sejauh ini hanya Telkom yang mampu mencatatkan perolehan laba sementara kompetitor lainnya justru mengalami kerugian selama triwulan ketiga 2014 ini.

ASCEND melihat, hal tersebut disebabkan oleh beban operasional telekomunikasi yang tinggi pada sektor ini, sementara pertumbuhan industri rendah. Ini membuat beberapa emiten mengalami penurunan profitabilitas dengan ditunjukkan pada penuruan laba sebelum bunga, pajak, penyusutan dan amortisasi (EBITDA)  pada hampir semua emiten telekomunikasi selain Telkom.

Industri telekomunikasi yang telah memasuki level mature atau level jenuh  hanya mampu mendorong pertumbuhan terbatas di beberapa segmen saja. Di sisi lain, beban tidak tertutup sehingga beberapa emiten mengalami penurunan kinerja.


Dibandingkan lainnya, Telkom sejauh ini membukukan kinerja terbaik dengan laba bersih hingga Rp 11,45 triliun atau mengalami pertumbuhan hingga 17,38% y-o-y.

Perolehan laba Telkom ini didukung oleh marjin EBITDA yang signifikan hingga mencapai 58,84%. Sementara beberapa emiten telekomunikasi tercatat membukukan EBITDA margin yang lebih rendah. Kenaikan EBITDA Telkom tersebut seiring dengan produktivitas aset Telkom yang signifikan.

Dibandingkan operator GSM lainnya, Telkom masih menjadi market leader. Telkom membukukan kenaikan penjualan 7,06% menjadi Rp 65,84 triliun dengan didukung oleh pendapatan pemakaian telepon seluler yang mencapai Rp 25,03 triliun dan pendapatan sambungan internet yang mencapai Rp 26,92 triliun. Dua kompetitor GSM lainnya, XL Axiata dan Indosat hanya membukukan pendapatan sebesar masing-masing Rp 16,42 triliun dan Rp 14,29 triliun pada opeasional GSM keduanya. 

Meskipun kinerja profitabilitas positif, TLKM masih dihadapkan beberapa masalah dalam kebijakan perseroan tersebut. Beberapa waktu lalu, saat Telkom akan menjual anak usaha Dayamitra Telekomunikasi kepada Tower Bersama Infrastruktur, Tbk (TBIG) dengan opsi tukar saham yang masih bermasalah karena tidak semua dewan komisaris menyetujui hal tersebut.

Selain itu, Telkom memiliki liabilitas terhadap karyawan yang mencapai hampir Rp 3 triliun dan juga beban pajak tangguhan yang juga mencapai Rp 3 triliun. Keduanya, dimasa mendatang cenderung menjadi beban dan menekan profitabilitas dari Telkom.

Kompetitor Telkom terdekat, XL Axiata yang sebelumnya mencatat profitabilitas tinggi dan kinerja keuangan positif, dalam dua triwulan terakhir menunjukkan tekanan profitabilitas akibat tingginya beban infrastruktur dan beban keuangan.

Beban infrastruktur dan beban keuangan XL Axiata ini meningkat pasca akuisisi dan konsolidasi terhadap AXIS pada awal tahun lalu. Bahkan jika Axis dikonsolidasikan dengan XL Axiata sejak awal tahun, XL akan mencatatkan rugi usaha hingga Rp 5,12 triliun dengan dengan pendapatan sebesar Rp 18,07 triliun.

Namun, dengan akuisisi Axis tersebut, XL akan mendapat pembagian sprektrum gelombang frekuensi radio yang lebih besar dari Telkom, Indosat dan Hutchison sehingga memiliki kapasitas aliran data yang lebih besar dan potensi interferensi signal lebih kecil.

Potensi inilah yang ke depan akan dimiliki XL Axiata. Namun hal tersebut  akan butuh waktu setidaknya dua atau tiga tahun saat kualitas layanan signal diperbaiki, baru dapat diharapkan adanya penambahan pelanggan XL.

Operator lainnya, Indosat, masih menunjukkan tekanan selama triwulan ketiga ini meskipun mencatatkan pendapatan hingga Rp 17,72 triliun atau turun tipis 1% dibandingkan dengan periode tahun lalu, namun pendapatan seluler ini hanya sebesar Rp 14,29 triliun lebih rendah dari Telkom dan XL Axiata.

Secara performa, pada triwulan ketiga ini, EBITDA marjin Indosat lebih baik dari XL Axiata namun lebih rendah dari Telkom sebesar 37,23% setelah beban depresiasi yang turun dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, beban infrastruktur dan layanan telekomunikasi yang naik dan beban keuangan yang meningkat pula, membuat Indosat membukukan kerugian.

Minimnya inovasi disaat industri masuk pada fase mature, membuat Indosat belum mampu mendorong pendapatan, hal ini berbeda dengan Telkom lewat Telkomsel dan XL Axiata. 

Sementara itu, dua operator CDMA, PT Bakrie Telecom, Tbk (BTEL)  dan PT Smart Fren, Tbk (FREN) juga tertekan akibat industri CDMA yang tidak tumbuh hingga saat ini. Keduanya memjajaki kerjasama pembagian pita frekuensi LTE atau teknologi lanjutan CDMA yang masih dalam proses Depkominfo.

Diharapkan paling cepat dua tahun mendatang frekuensi LTE baru akan dapat beroperasi di Indonesia. Namun, hingga saat itu tiba sepertinya operator CDMA masih harus bekerja sama dengan operator GSM dalam mendorong pendapatan lewat bundling paket, akibatnya pertambahan pelanggan operator ini cenderung lambat.

Saham TLKM 28 Nov 2014



Harga Jual Keramik Naik 2% Paska Kenaikan BBM

Jakarta, 1 Desember 2014 – Menyusul kenaikan BBM yang ditetapkan pemerintahan baru, Asosiasi Keramik Indonesia akan mengerek harga jual 2% mulai awal Desember, terutama karena perusahaan keramik terpaksa menanggung biaya distribusi yang lebih besar. Kenaikan harga BBM walaupun berdampak negatif kepada emiten keramik, namun nampaknya belum tercermin di dalam harga saham mereka.

Menurut Asosiasi, kenaikan harga BBM lebih berdampak pada biaya distribusi karena kendaraan untuk mendistribusikan produk keramik ke berbagai daerah masih menggunakan BBM solar bersubsidi. Hal itu berbeda dengan proses produksi pabrik yang sudah menggunakan BBM industri. Kenaikan harga BBM itu menyulut permintaan para distributor untuk meningkatkan juga tarif pengangkutan hingga 30%.
 
Terlihat dari tabel bahwa biaya pengangkutan terhadap pendapatan pada masing-masing emiten keramik berbeda-beda, berkisar dari yang paling kecil hanya 0,57% sampai kepada yang terbesar 28,82%, dengan rata-rata 9,30%.

Tampak pula bahwa tahun ini emiten-emiten keramik banyak mengalami pertumbuhan pendapatan. Hanya ada satu emiten, yaitu PT Keramika Indonesia Asosiasi, Tbk (KIAS) yang mengalami penurunan pendapatan karena hilangnya banyak bisnis dari pihak ketiga, sehingga penjualan Keramika hanya ditopang penjualan kepada pihak berelasi.

Walaupun pendapatan bertumbuh, PT Intikeramik Alamasri Industri, Tbk (IKAI) malah mengalami rugi bersih sebesar Rp 11,94 miliar, atau Rp 15,09 per lembar. Intikeramik telah mencatatkan rugi selama beberapa tahun terakhir.  

Emiten keramik berkapitalisasi terbesar, yaitu PT Arwana Citramulia, Tbk (ARNA), memiliki kinerja profitabilitas tertinggi dengan marjin laba bersih 16,7%, jauh di atas rata-rata 7,78% dan imbal hasil atas ekuitas (ROE) mencapai 71%. Dengan utang yang lebih rendah daripada rata-rata, Arwana ditransaksikan pada PBV tertinggi dibandingkan emiten-emiten keramik lainnya, yaitu sampai dengan 8,14 kali.

Pelaku usaha keramik juga menyebutkan tantangan sebelumnya adalah kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang sudah lebih dahulu menekan beban produksi. Sejak Juli sampai November, mereka mengaku biaya energi sudah naik 40%. Kenaikan biaya energi tersebut lantas mengerek beban produksi sebesar 5%.


Paska menaikkan harga jual Desember nanti, pelaku usaha masih optimistis bisa mencatatkan pertumbuhan penjualan di kuartal IV. Katalis positifnya adalah anggaran proyek pemerintah yang cair di semester II, biasanya dibelanjakan di kuartal IV.

Pergerakan Saham Arwana Citramulia (ARNA)


Friday, November 21, 2014

Akuisisi Pemilik Milkuat, Indofood CBP Tumbuh 20%

Jakarta, 21 November 2014 – PT Indofood CBP Sukses Makmur, Tbk (ICBP) mengumumkan pembelian saham PT Danone Dairy Indonesia, produsen produk susu cair dengan nilai Rp 250 miliar. Pendapatan perseroan dari segmen dairy sampai dengan September mencapai Rp 3,94 triliun atau 17,3%.

Danone Dairy Indonesia adalah pemilik brand Milkuat yang bergambar harimau dan telah memiliki posisi yang  cukup kuat di pasar susu anak-anak Indonesia. Transaksi yang dilakukan oleh anak perusahaan, PT Indolakto, ini diharapkan dapat memperkuat posisi perseroan di Indonesia bagian barat pada khususnya dan di industry dairy nasional pada umumnya.

Karena nilainya yang tidak signifikan, yaitu hanya 1% dari total aset dan 1,8% dari total ekuitas perseroan, maka transaksi ini tidak perlu mendapatkan persetujuan dari pemegang saham. Akuisisi ini diperkirakan selesai pada akhir bulan Desember tahun ini setelah semua kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi.

Dalam 9 bulan tahun 2014 ini, perseroan telah mencatatkan pertumbuhan pendapatan total 20% menjadi Rp 22,78 triliun dibandingkan tahun sebelumnya Rp 18,88 triliun. Pertumbuhan laba tercatat 11,89% menjadi Rp 2,07 triliun atau Rp 355/saham. Sebagian besar pendapatan dan laba tersebut berasal dari produk-produk mi instannya yang di bawah payung merk Indomie, Supermi, Sarimi, Sakura, Pop Mie, Mi Telur Cap 3 Ayam dan Pop Bihun.

Sebelumnya perseroan bersama Asahi Group Holdings Southeast Asia Pte Ltd membentuk dua perusahaan patungan yakni PT Asahi Indofood Beverage Makmur (AIBM) yang memproduksi minuman non alkohol, dan PT Indofood Asahi Sukses Beverage (IASB) yang menangani pemasaran dan distribusi produk tersebut. Jumlah pabrik AIBM adalah 17 pabrik termasuk dua pabrik milik Pepsi Cola Indobeverages (PCIB) dan 14 pabrik air minum dalam kemasan (AMDK).

Pada Oktober 2013, perusahaan patungan Indofood dengan Asahi juga mengakuisisi perusahaan air minum dalam kemasan dengan merek dagang Club dengan nilai akuisisi Rp 2,2 triliun.
Tahun ini perseroan juga akan mendorong peluncuran produk kategori kopi siap minum dan functional drink. Selain dari bisnis minuman non alkohol, perseroan juga fokus mendorong bisnis dairy dan eskrim.

Dengan akuisisi agresif,  pemilik brand minuman Pepsi, Tropicana Twister, dan Tekita ini diharapkan mampu mencapai pendapatan dari bisnis minuman sampai dengan Rp 5 triliun pada tahun 2017.


Akuisisi-akuisisi agresif yang dilakukan oleh perusahaan telah mendorong harga saham perseroan naik 8,6% sejak awal tahun 2014 ke Rp 11.050 dan sempat mencapai harga tertinggi Rp 11.700. 



Wednesday, November 19, 2014

Pieter Tanuri Ambil Alih Saham Multistrada

Jakarta, 20 November 2014 – PT Multistrada Arah Sarana, Tbk (MASA) mengumumkan pengalihan saham dari PVP XVIII Pte Ltd kepada Pieter Tanuri selaku presiden direktur Multistrada. Pengalihan saham yang terjadi pada tanggal 14 November tersebut menjadi puncak penguatan saham MASA sejak September lalu.

PVP XVIII Pte Ltd Singapura selaku pemegang saham MASA 15,9% per tanggal 30 September 2014 mengalihkan sebagian besar sahamnya, sebanyak 1.169.456.500 dari 1.465.000.000 kepada Pieter Tanuri yang sebelumnya telah memiliki saham sebesar 2%. Paska pengalihan, Pieter Tanuri menjadi pemegang saham kedua terbesar dengan jumlah saham 15,32%.

Pada 9 bulan tahun 2014 ini Multistrada melaporkan penurunan pendapatan sebesar 11% menjadi US$ 220,83 juta dari sebelunya US$ 249,25 juta. Laba bersih juga turun tipis, 4%, menjadi US$ 1,23 juta dibandingkan sebelumnya US$ 1,28 juta.

Walaupun diperdagangkan pada rasio harga atas laba (P/E) yang tinggi, yaitu 192 kali, akibat rendahnya laba bersih, akan tetapi harga saham MASA saat itu, Rp 420, hanya mencerminkan rasio PBV 0,9 kali.



Dengan harga ini, tidak heran Pieter Tanuri yang juga merupakan pelaku pasar modal dengan jejak rekam baik, berani untuk membeli saham yang cukup banyak dengan harga di atas harga pasar.  Ini juga memberikan sinyal yang baik bagi pasar tentang harga wajar dari produsen ban merk Achiles dan Corsa ini. Apalagi pengalihan saham ini adalah transaksi internal karena Pieter Tanuri 

Sebelumnya, Multistrada baru saja melaporkan penggunaan dana rights issue yang dilaksanakan tahun 2011 sebesar 88%, atau Rp 1,32 triliun untuk kebutuhan investasi mesin dan gedung perseroan. Multistrada juga telah merencanakan untuk mendirikan pabrik ban di Kazakhstan dengan menggandeng badan usaha milik negara Kazahkstan, Samruk Kazyna Invest.




Tuesday, November 18, 2014

Malindo, Kinerja Saham Tertekan, Wajarkah?

Jakarta, 19 November 2014 - PT Malindo Feedmill, Tbk. (MAIN) mencatatkan penurunan saham signifikan hingga 27,30% sejak sebulan terakhir pasca rilis laporan keuangan yang menunjukkan penurunan laba hingga 92,35%. Dikombinasikan dengan adanya transaksi pemegang saham di pasar negosiasi pada harga Rp 2.280, muncullah pertanyaan: wajarkah penurunan harga tersebut dan apakah sinyal tersebut ditangkap oleh pemilik mayoritas namun belum diketahui investor minoritas saat itu?

Malindo mencatatkan penurunan laba bersih hingga 92,35% menjadi  Rp 18,53 miliar meskipun pendapatan masih menunjukkan kenaikan hingga 9,22% menjadi Rp 3,40 triliun. Dampaknya, marjin laba bersih turun signifikan menjadi hanya sebesar 0,55%.

Selain Malindo, kedua kompetitornya pada industri akan ternak juga mengalami penurunan laba bersih dan kenaikan pendapatan pada triwulan 3 yang lalu. Namun penurunan kinerja Malindo lebih signifikan.
 
PT Charoen Pokphand, Tbk. (CPIN) pemain terbesar industri pakan ternak, mencatatkan penurunan laba bersih hingga 22,46% menjadi Rp 1,71 triliun meskipun pendapatan naik 16,59% menjadi Rp 21,78 triliun. Marjin laba bersih Charoen tercatat 7,86%. Sementara PT Japfa Comfeed, Tbk. (JPFA) mencatatkan penurunan laba bersih hingga 57.27% menjadi Rp 327,66 miliar dengan kenaikan pendapatan hingga 17% pada Rp 18,69 triliun dengan penurunan marjin laba bersih hingga 3% menjadi 1,75%.

Kinerja ketiganya mengalami penurunan, namun hanya MAIN yang mengalami penurunan harga saham di pasar hingga  27,30% sejak sebulan terakhir pasca rilis penurunan kinerja pada triwulan ketiga ini, sementara Charoen Pokphand, Tbk. (CPIN) tercatat hanya turun 1,04% sejak sebulan terakhir, Japfa Comfeed, Tbk. (JPFA) melemah 8,12%.

Proyeksi beberapa sekuritas tersebut yang masih berdasarkan laporan keuangan pada semester pertama tahun ini masih terlalu optimis. Kim Eng Maybank yang merekomendasikan target harga Malindo pada harga Rp 3.300 memproyeksikan laba bersih per saham hanya turun 19% pada  akhir tahun mendatang. Sementara Bahana Securities bahkan memproyeksikan laba bersih per saham masih tumbuh 26% meskipun sejak tahun lalu sudah mengalami penurunan dengan menargetkan harga emiten pada Rp 4.000 per saham.

Pada riset tersebut sebenarnya telah menunjukkan tanda-tanda bahwa momentum perolehan laba bersih perusahaan cenderung menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena kondisi pasar pakan ternak yang kelebihan pasokan dan biaya produksi pakan yang tinggi. Namun turunnya kinerja MAIN pada triwulan ketiga ini yang melebihi ekspektasi, wajarlah jika harga pun turun tajam.


Di sisi lain perlu dicermati pula adanya transaksi pemegang saham mayoritas beberapa periode lalu, di mana terjadi pre-emptive right issue sebanyak 5% saham pada harga pelaksanaan Rp 3.500. Saham baru dibeli oleh Ginger Company untuk kemudian pada bulan Agustus dipindahkan kepada Dragon Amity Holding Ltd. dengan harga sebesar Rp 2.280 per saham.

Setelah pengalihan saham hasil pre-emptive right issue tersebut, Dragon Amity Ltd., mengalihkan 51% saham MAIN kepada Dragon Amity Pte. Ltd yang merupakan private company atau perusahaan swasta tertutup pada harga Rp 2.280 per saham. Kedua perusahaan ini dikendalikan oleh keluarga Lau dari Malaysia yang juga memiliki Leong Hub Feedmill di Malaysia.

Perihal ini transaksi tersebut, Malindo sempat diwajibkan oleh OJK membuka proses transaksi ini kepada publik. Dalam pernyataannya perusahaan juga menambahkan bahwa hasil pendanaan right issue tersebut untuk ekspansi dan membangun pabrik pakan ternak sehingga kembali lagi ke dalam operasional MAIN.

Harga Rp 2.280 tersebut lebih rendah dibandingkan harga pasar saat itu pada Rp 3.130. Ini menimbulkan dugaan bahwa ada kemungkinan kinerja Malindo yang turun signifikan pada triwulan ketiga 2014 sudah diketahui oleh pemegang saham pengendali, namun tidak tertangkap oleh investor minoritas.

Berbasis kurangnya keterbukaan informasi yang wajar, ASCEND menyimpulkan bahwa Malindo memiliki kekurangan standar proses keterbukaan informasi yang perlu diperbaiki.

Walaupun demikian, transaksi tersebut belum merugikan investor minoritas secara langsung karena transaksi ini berada di level pemegang saham Malindo dan tidak mengubah pengendali akhir (ultimate beneficial owner). Selisih harga ini mungkin disebabkan karena Dragon Amity Pte.Ltd. adalah perusahaan terbuka yang harus melaksanakan penilaian perusahaan sebelum pengalihan saham.

ASCEND melihat justru ada hal yang menarik karena Dragon Amity hingga saat ini mempertahankan Malindo dalam portofolionya. Industri pakan ternak yang merupakan hulu dari industri makanan masih dibutuhkan semua orang, sehingga seiring pertumbuhan demografi penduduk maka pertumbuhan industri ini termasuk Malindo masih cukup terbuka.Selain itu Dragon Amity juga mempunyai jaringan usaha sejenis yang berada di Malaysia yaitu Leong Hub Feedmill yang dikendalikan oleh keluarga Lau.

  
Kinerja MAIN: Fundamental Tertekan
Secara fundamental, MAIN memang membukukan penurunan laba bersih meskipun pendapatan tumbuh akibat kenaikan beban langsung yang membuat laba kotor mengalami penurunan. Analisis ASCEND menunjukkan beban langsung yang meningkat hingga 21% tidak dapat diteruskan ke pembeli sehingga menekan profitabilitas MAIN.

Di samping itu, pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat juga cenderung menekan bisnis bahan pokok seperti ternak ayam dan turunannya. Pendapatan diperkirakan masih cenderung melambat setidaknya hingga pertengahan tahun depan.

Kenaikan beban langsung ini berasal dari kenaikan beban pembelian bahan baku yang sebagian besar impor, dan juga peningkatan beban fabrikasi. Beban bahan baku meningkat seiring kenaikan komoditas kedelai, jagung dan kelapa sawit pada semester pertama tahun ini, diharapkan pada semester kedua yang mana tren harga komoditas cenderung melambat akan menekan beban langsung hingga akhir tahun nanti.

Meskipun pembelian beban langsung dengan menggunakan Dollar, sejauh ini depresiasi Rupiah terhadap Dollar hanya memiliki sensitivitas sebesar 2% pada tahun ini, tidak seperti tahun lalu yang sebesar 7% terhadap risiko perseroan secara keseluruhan, jadi sebenarnya nilai tukar tidak signifikan terhadap beban.

Hasilnya pun laba kotor Malindo tertekan hingga 39,98% sehingga marjin laba kotor pun juga tertekan menjadi hanya 9,89%. Bahkan EBITDA perusahaan pun melambat dengan mencatatkan penurunan 51,05% yang menunjukkan profitabilitas dari operasional melambat. Hal tersebut juga dialami oleh tiga emiten pakan ternak lainnya.

Imbal hasil terhadap ekuitas (ROE) MAIN pun tertekan hingga 2,08% atau menurun dibandingkan tahun lalu yang mencapai 28,06%.

Pada industri pakan ternak, kami melihat bahwa MAIN dalam SWOT analisis memiliki beberapa keunggulan yaitu berada dalam high industry barrier to entry  yang mempunyai pangsa pasar besar sehingga oportunitas tumbuh cukup besar.

Malindo memiliki oportunitas dimana ekonomi Indonesia yang masih menarik dan potensi tumbuh besar dibandingkan dengan negara ASEAN lain dan potensi pasar yang besar.

Namun, Malindo memiliki kelemahan dimana volatilitas bahan baku dan nilai tukar cederung mendorong biaya, begitu pula peraturan impor bahan baku yang tidak konsisten. Dibutuhkan efisiensi biaya dimana saat ini industri poultry memiliki marjin yang cukup tipis. Selain itu, ancaman terhadap wabah penyakin ternak selalu membayangi.

Malindo juga memiliki ancaman pada posisi industri secara keseluruhan, yaitu pasar pakan ternak yang masuk dalam fase kelebihan pasokan sehingga cenderung menekan pertumbuhan. Selan itu, ancaman dari pasar China yang menawarkan biaya yang lebih murah ke petani juga mengancam industri akan ternak di Indonesia.


Berdasarkan analisis tersebut, ASCEND melihat ke depan potensi Malindo untuk tumbuh masih terbuka, namun selama setahun kedepan kondisi fundamental masih akan tertekan dari faktor biaya dan penurunan pendapatan. Dalam jangka panjang Malindo masih berpotensi tumbuh.




Monday, November 17, 2014

Naik Tinggi, Laba Jembo Cable Baru Capai 56,8% dari Target

Jakarta, 18 November 2014 – PT Jembo Cable Company, Tbk (JECC) mengungkapkan pada paparan publiknya tanggal 13 November lalu,  bahwa kenaikan laba bersih setinggi 73% menjadi Rp 35,94 miliar masih belum sesuai target. Laba bersih tersebut baru mencerminkan 56,8% dari target laba bersih tahun 2014 yang ditetapkan pada awal tahun sebesar Rp 63,2 miliar.

Kenaikan laba bersih tersebut didorong oleh kenaikan pendapatan sebesar 14% menjadi Rp 1,11 triliun serta laba selisih nilai tukar mata uang asing sejumlah Rp 1,94 miliar dibandingkan tahun sebelumnya rugi Rp 31,87 miliar. Padahal beban keuangan naik hampir dua kali lipat menjadi Rp 30,53 miliar dari sebelumnya Rp 15,92 miliar.

Pertumbuhan  pendapatan terutama disebabkan oleh kenaikan kabel telekomunikasi yang sampai 89% menjadi Rp 301,54 miliar dari sebelumnya hanya Rp 159,23 miliar. Walaupun naik signifikan, pendapatan sampai dengan kuartal III-2014 ini baru mencerminkan 58,8% dari target 2014 sebesar Rp 1,89 triliun.

Manajemen yang dipimpin oleh pendiri perusahaan, Santoso,  memaparkan bahwa penyebab penjualan Jembo Cable belum mencapai target karena terjadi penurunan penjualan kabel aluminium tegangan rendah dan tegangan menengah ke PT Perusahaan Listrik Negara akibat kompetisi harga yang ketat, sehingga banyak order PLN tidak diambil perusahaan. Penjualan kabel listrik tegangan rendah hanya naik 8% menjadi Rp 622,14 miliar, sementara kabel listrik tegangan menengah malah turun 33% menjadi Rp 81,13 miliar.

Produk-produk perusahaan meliputi kabel listrik tegangan rendah tembaga(LV-CU insulated cable), kabel listrik tegangan rendah aluminium (LV-AL insulated cable), kabel listrik tegangan menengah (medium voltage cable), kabel telekomunikasi metalik (telecommunication cable metallic), kabel serat optik (optical fiber cable), dan kabel data (data cable).

Sementara itu marjin laba kotor turun menjadi 11,6% dari sebelumnya 12,1%. Hal ini menurut manajemen, disebabkan oleh kontrak penjualan kabel Fiber Optic yang jangka panjang sehingga harga jual dan harga pokok produksi relatif tidak berubah.

Kinerja laba bersih perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1973 ini juga terkendala oleh besarnya beban bunga yang naik 92%. Kenaikan signifikan ini disebabkan oleh kenaikan pinjaman bank jangka pendek bila dibandingkan rata-rata pinjaman bank jangka pendek pada 3 triwulan tahun 2013.

Walaupun masih mencatatkan tingkat pencapaian yang relatif rendah, namun manajemen optimis bahwa target laba bersih akan tercapai di akhir 2014. Sementara target penjualan perusahaan untuk tahun 2014 direvisi menjadi sama dengan 2013 yaitu Rp 1,4 triliun – Rp 1,5 triliun.

Selanjutnya ke depan perusahaan kabel yang bergantung pada pasar domestik ini mentargetkan pertumbuh pendapatan sebesar 20% dari perolehan penjualan tahun 2014. Untuk mendukung target tersebut, manajemen telah menganggarkan USD2 juta untuk melengkapi mesin produksi.

Produsen kabel berkapitalisasi Rp 449,82 miliar ini dikendalikan oleh PT Monas Permata Persada dan Fujikura Group, dan saham public hanya 9,85% dari total saham beredar. Saham berkode JECC ini ditransaksikan di harga Rp 2.975, dengan rasio harga atas laba (P/E) 9,39 kali dan rasio harga atas ekuitas (PBV) 2,45 kali. Dengan likuiditas sangat rendah, nilai emiten berfundamental baik kurang dinikmati oleh pelaku pasar modal, padahal harga JECC sempat naik dari Rp 1.600 di awal 2013.

ASCEND melihat perusahaan ini memiliki prospek yang cukup baik mengingat bahwa:
  1. Kemungkinan infrastruktur telekomunikasi dan listrik akan diperbaiki dan diekspansi dalam pemerintahan baru Presiden Joko Widodo;
  2. Jembo memiliki jejak rekam sebagai kabel berkualitas baik;
  3. Tingkat leverage (utang) perusahaan masih di atas standar keamanan, dengan rasio EBITDA pada beban keuangan aman di 3,26 kali.


Akan tetapi ada beberapa hal yang layak menjadi perhatian yaitu:
  1. Arus kas dari aktivitas operasional cukup sering di angka negatif, yang membuat perusahaan ini akan sering membutuhkan kas pendanaan;
  2. Harga produk Jembo yang cukup mahal menjadi kendala ketika masuk ke proyek-proyek raksasa milik pemerintah dan harus bersaing dalam hal harga;
  3. Ketidakpastian ini juga mengakibatkan kinerja marjin profitabilitas berfluktuasi dari periode ke periode.
  4. Kompetitor Jembo, PT Voksel Electric, Tbk (VOKS) memiliki likuiditas perdagangan saham yang lebih baik, walaupun dengan karakteristik fundamental yang serupa. 





Harga Emas Turun, Antam Terimbas

Jakarta, 18 November 2014 - Penurunan harga emas yang sudah mencapai 2% pada tahun ini belum cukup untuk memikat pembeli kembali ke pasar Bullion dengan permintaan global yang terus jatuh pada kuartal ketiga, menurut World Gold Council (WGC). Penurunan ini jelas dampaknya bagi PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM) yang harga sahamnya sudah 72% dibandingkan akhir Juli tahun ini.

Kontrak Emas Des 2014, CNBC
Permintaan untuk emas tergelincir 2% pada tahun ini menjadi 929 ton pada periode Juli sampai dengan September. Laporan tren permintaan emas terbaru dari WGC menunjukkan tingkat terendah sejak kuartal keempat di tahun 2009. Hal ini sebanding dengan 964 ton pada kuartal April sampai dengan Juni, yang menandai adanya penurunan sebanyak 16% pada tahun itu.

Spot emas mencapai US$1.325 pada awal kuartal ketiga, namun turun hampir 9 persen selama periode tiga bulan terakhir pada $ 1.208. Terakhir diperdagangkan di US$1.160. Nafsu akan emas telah menurun dalam beberapa bulan terakhir karena adanya kenaikan minat di pasar ekuitas global.

Permintaan perhiasan global melemah 4% di tahun ini menjadi 534 ton karena konsumen Cina yang menahan pembeliannya. Permintaan perhiasan Cina sendiri turun 39% menjadi 147 ton. Penurunan dapat terbantu oleh kenaikan permintaan dari India sebesar 183 atau naik 60% di tahun ini karena perbaikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi dan peningkatan kuat dalam membeli menjelang musim festival. Perhiasan tetap komponen terbesar dari permintaan emas, yang mewakili lebih dari setengah dari semua permintaan.

Analis memperkirakan turunnya minat dalam emas ini juga karena penguatan dolar AS. Indeks US Dolar telah naik 8% sejak awal Juli setelah The Fed mengumumkan akan menghentikan program pembelian obligasinya. Dengan naiknya suku bunga US, investor lebih berminat untuk memegang US Dollar ketimbang Euro atau Yen Jepang. Sementara itu, pembelian oleh bank sentral hanya 93 ton, 9% lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu.

Penurunan yang mungkin akan terjadi dalam jangka waktu cukup lama ini berdampak signifikan terhadap Antam. Antam mencatatkan penjualan emas sebesar Rp. 2,79 triliun pada kuartal 3 tahun ini, sebuah penurunan sebesar 37,79% dari tahun 2013 yang berjumlah Rp. 3.85 triliun.

Penurunan ini berdampak pula kepada penurunan pada total penjualan sampai 34% menjadi Rp 5,81 triliun dibandingkan Rp 8,81 triliun di tahun 2013. Apalagi emas adalah kontributor utama dari pendapatan Antam, yang diikuti oleh feronikel. Pada gilirannya, Antam mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 563.91 miliar dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat laba Rp 347,99 miliar.











Harga saham Antam sejak Juli tahun ini turun signifikan sampai ke level Rp 930 dari Rp 1.275, yang mencerminkan penurunan fundamental sejak awal tahun ini serta tekanan yang terjadi di pasar emas global. 




Tuesday, November 11, 2014

Tower Bersama Catatkan Laba Rp 1,14 Triliun

Jakarta, 11 November 2014 – PT Tower Bersama Infrastructure, Tbk (TBIG) mencatatkan kenaikan laba bersih sampai dengan 38%  menjadi Rp 1,14 triliun didorong oleh kenaikan pendapatan dan turunnya rugi selisih kurs dibandingkan tahun kemarin.


Pendapatan naik 24% menjadi Rp 2,43 triliun dari Rp 1,96 triliun yang mendorong EBITDA naik 62% menjadi Rp 2,02 triliun dari sebelumnya Rp 1,25 triliun. Laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk naik 38% menjadi Rp 1,14 triliun dari sebelumnya Rp 824,97 miliar.

Kontributor utama pendapatan perusahaan masih Telkomsel sebesar Rp 863,85 miliar atau 35,5% dari total pendapatan. Kontributor kedua dan ketiga adalah Indosat dan XL, masing-masing sebesar Rp 547.84 miliar (22,5%) dan Rp 341.69 miliar (14,1%). Pendapatan dari ketiganya juga berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan.

Pertumbuhan EBITDA dan laba bersih juga ditopang oleh menurunnya rugi selisih kurs menjadi hanya Rp 92,26 miliar. Padahal beban keuangan naik 43% menjadi Rp 735,43 miliar gara-gara kenaikan utang jangka pendek yang berasal dari bagian pinjaman jangka panjang pihak ketiga yang cukup besar.

Tower Bersama memiliki 18,802 penyewaan dan 11,686 site telekomunikasi per 30 September 2014. Sitetelekomunikasi milik Perseroan terdiri dari 10.623 menara telekomunikasi, 967 shelter-only, dan 96 jaringan DAS. Dengan angka total penyewaan pada menara telekomunikasi sebanyak 17.739, maka rasio kolokasi (tenancy ratio) Perseroan menjadi 1,67.

Baru-baru ini perusahaan juga menandatangani perjanjian penukaran saham dengan PT Telkom atas saham di PT Dayamitra Telekomunikasi sebagaimana telah dianalisa pada “Tukar saham Mitratel, Telkom dapat saham Tower Bersama, Siapa yang Untung? http://fundamental-saham.blogspot.com/2014/10/tukar-saham-mitratel-telkom-dapat-saham.html”   

Dengan kapitalisasi pasar yang cukup besar karena kenaikan yang signifikan sejak awal Oktober lalu, kini Tower Bersama diperjualbelikan pada harga yang cukup tinggi yaitu dengan PER 28,44 kali dan PBV 10,25 kail. Kapitalisasi Tower Bersama mencapai Rp 43,17 triliun. 

Thursday, November 6, 2014

Kain Mendorong Pendapatan Sri Rejeki Tumbuh 38%

Jakarta, 7 November 2014 – PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) mencatatkan pertumbuhan pendapatan 38% menjadi Rp 4,81 triliun. Kenaikan pertumbuhan terutama didorong oleh pertumbuhan kain mentah dan kain jadi yang masing-masing tumbuh 43% dan 33%.

Perusahaan tekstil yang memproduksi berbagai jenis tekstil termasuk untuk militer ini hanya mencatat laba bersih 6% dikarenakan peningkatan beban keuangan yang cukup tinggi, 59% menjadi Rp 226,28 miliar.

Pendapatan perusahaan naik 38% menjadi Rp 4,81 triliun dibandingkan tahun lalu Rp 3,5 triliun. Angka ini bahkan lebih tinggi dari perolehan setahun penuh di tahun 2013, yaitu Rp 4,71 triliun. Perusahaan menjual kain jadi, benang, pakaian jadi dan kain mentah baik ke Negara lain maupun ke pasar sendiri. Ekspor perusahaan mencapai Rp 2,72 triliun atau 53% dari total penjualan, sementara sisanya yaitu Rp 2,41 triliun atau 47% dijual di dalam negeri.

Pertumbuhan tertinggi perusahaan berasal dari produk kain mentah yang naik 43% jadi Rp 775,53 miliar dari sebelumnya Rp 542,72 miliar. Akan tetapi kontribusi kain mentah termasuk kecil yaitu hanya sekitar 15% dari total penjualan. Sementara kontributor pertumbuhan kedua adalah kain jadi yang naik 33% jadi Rp 1,6 triliun, dan kontributor ketiga adalah benang yang naik 20% jadi Rp 2,19 miliar. Benang juga merupakan kontributor utama dari Sri Rejeki.

Peningkatan beban keuangan yang menekan laba bersih perusahaan berasal dari peningkatan utang jangka panjang sampai dengan Rp 3,57 triliun dibandingkan akhir tahun 2013 yang hanya Rp 1,04 triliun. Utang jangka panjang tersebut adalah wesel bayar dalam US Dollar dengan bunga 9% dan jatuh tempo pada 2019. Wesel bayar ini akan diperdagangkan di SGX-ST dan memiliki opsi membeli kembali dengan kondisi-kondisi tertentu. 

Hal ini membuat kinerja profitabilitas Sri Rejeki menurun terutama pada marjin laba bersih menjadi 5,5% dari sebelumnya 7,2%. Namun  imbal hasil atas ekuitas melonjak jadi 31,2% dari 13,3% karena peningkatan utang tersebut.

Menurut ASCEND peningkatan utang yang cukup tinggi itu tidak memberikan pengaruh negative yang terlalu besar terhadap kinerja perusahaan. Rasio EBITDA pada beban keuangan masih sangat kuat di 3,16 kali. Namun arus kas perusahaan perlu diwaspadai karena pembayaran kepada pemasok dan kontraktor cukup banyak sehingga menimbulkan arus kas keluar.

Perusahaan sampai dengan 9 bulan ini mencatat arus kas dari aktivitas operasional yang negative, Rp 203,18 miliar keluar dari kantong perusahaan. Untuk investasi, perusahaan juga mengeluarkan Rp 465,07 miliar lebih besar daripada pemasukan dari investasi. Namun karena perusahaan berhasil mendapatkan pendanaan lebih Rp 799,78 miliar, maka kas perusahaan bertambah Rp 130,18 miliar menjadi Rp 204,62 miliar.





Wednesday, November 5, 2014

Laba Duta Anggada Melonjak 270%

Jakarta, 6 November 2014 – PT Duta Anggada Realty, Tbk (DART) mencatatkan lonjakan pendapatan sampai 77% menjadi Rp 992,27 miliar dan laba bersihnya juga melonjak 270% menjadi Rp 99,69 miliar. Kinerja yang baik ini didukung oleh pertumbuhan penjualan unit strata dan penurunan beban keuangan.

Pertumbuhan pendapatan 77% disebabkan oleh kenaikan pendapatan penjualan unit strata sampai dengan 173% menjadi Rp 678,72 miliar dari sebelumnya Rp 249 miliar. Pendapatan sewa naik 8% menjadi Rp 197,64 miliar dari sebelumnya Rp 183,39. Sementara pendapatan dari jasa pemeliharaan dan lain-lain turun.

Beban keuangan sebaliknya, turun 43% menjadi Rp 53,96 miliar dari sebelumnya Rp 94,32 miliar. Penurunan ini disebabkan oleh turunnya beban pembiayaan dari utang bank dan tidak adanya bunga obligasi aktivitas pendanaan sampai tidak ada sama sekali.

Penurunan bunga ini juga meningkatkan rasio EBITDA pada beban keuangan secara drastik menjadi 8,06 kali dari sebelumnya hanya 3,17 kali padahal rasio utang atas aset relative tidak berubah di 0,36 kali.  Rasio utang jangka panjang atas ekuitas juga relative tidak berubah di 0,42 kali.

Kinerja profitabilitas meningkat secara signifikan terutama pada marjin laba bersih yang membaik jadi 31,6%, sementara imbal hasil atas ekuitas naik jadi 29,8% dari sebelumnya hanya 6,2%. Tingkat perputaran aset juga meningkat 0,60 kali dari sebelumnya 0,17 kali.

ASCEND melihat bahwa emiten pembangun beberapa gedung ternama di Indonesia, seperti Bursa Efek Jakarta, Plaza Bapindo dan City Walk Sudirman, dan sebagainya memiliki prospek yang baik. Perusahaan pemeringkat, Fitch, memberikan peringkat B kepada obligasi yang akan diterbitkan oleh Duta Anggada. 


Risiko yang menjadi perhatian dari Fitch adalah keterbatasan diversifikasi proyek yang dialami oleh perusahaan dibandingkan peersnya. Proyek-proyek perusahaan sebagian besar adalah gedung pencakar langit di Jakarta. Ketergantungan perusahaan terhadap siklus property komersial dan industrial ini perlu dimitigasi terutama dengan kondisi pasar property di Jakarta yang mulai tersaturasi. 



Tuesday, November 4, 2014

Laba Bersih Catur Sentosa Melonjak 76%

Jakarta, 5 November 2014 PT Catur Sentosa Adiprana Tbk (CSAP), pada kuartal tiga 2014 membukukan lonjakan laba bersih 76% menjadi Rp 70 miliar dan Laba Bersih Per Saham (EPS) sebesar 24 atau mengalamai pertumbuhan 75%. Lonjakan ini ditopang oleh kenaikan penjualan serta strategi pembenahan pendapatan dan efisiensi beban.

Pada sembilan bulan 2014 perusahaan pemilik brand Mitra10 dan Atria tersebut membukukan pendapatan Rp 5 triliun atau tumbuh 10% dari sebelumnya Rp  4,5 triliun. Pertumbuhan tersebut dikontribusikan dari sektor retail yang tumbuh 20% atau Rp 1,34 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2013 Rp 1,11 triliun.

Kuatnya penjualan di sektor retail akan mendorong pertumbuhan Catur Sentosa ke depan. Sementara distribusi tetap menjadi penggerak utama pendapatan Catur Sentosa dengan kontribusi 72% dari total pendapatan. Sektor ini tumbuh 7% menjadi Rp 3,7 triliun dari sebelumnya Rp 3,49 triliun.

Kenaikan pendapatan terutama terjadi di Sumatera, Jawa dan Bali. Jawa dan Bali masih menjadi kontributor utama pendapatan perusahaan, yaitu 86% dari total pendapatan, dan tumbuh 11,1% menjadi Rp 4,28 triliun dari sebelumnya Rp 3,85 triliun. Sementara itu Sumatera yang berkontribusi 8% kepada total pendapatan, naik 12,9% menjadi Rp 404,8 miliar dari sebelumnya Rp 358,45 miliar.

Produk yang naik paling kuat penjualannya adalah peralatan rumah tangga yang mencapai 26,2% atau Rp 759,49 miliar dari sebelumnya Rp 601,90 miliar. Peralatan rumah tanggal meningkatkan kontribusinya menjadi 15% dari sebelumnya 13%. Keramik dan cat sebagai kontributor utama pendapatan, 37% dan 22%, tumbuh 8% dan 5%, menjadi Rp 1,88 triliun dari Rp 1,12 triliun.

Laba bersih naik 75,6% menjadi Rp 70,29 miliar dari sebelumnya Rp 40,02 miliar, menyebabkan marjin laba bersih naik jadi 1,4% dari sebelumnya 0,9%, dan ROE disetahunkan menjadi 29,5%. Kenaikan ini ditunjang oleh kenaikan laba kotor 17% menjadi Rp 702,15 miliar dan marjin laba kotor naik jadi 14% dari sebelumnya 13,2%. Ini menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan menjual dengan harga yang lebih baik meningkat.

Kenaikan marjin laba kotor ditunjang oleh makin tingginya kontribusi retail terhadap total pendapatan serta membaiknya marjin laba kotor segmen distribusi. Marjin laba kotor distribusi naik jadi 11,04% dari sebelumnya 10,51%. Sementara marjin laba kotor retail juga membaik menjadi 21,93% dari sebelumnya 21,10%, segmen berlaba tebal ini tumbuh jauh lebih cepat daripada distribusi.

EBITDA naik 30,2% menjadi Rp 205,28 miliar dari sebelumnya Rp 157,66 miliar. EBITDA adalah laba sebelum pajak, bunga, dan depresiasi. Marjin EBITDA meningkat jadi 4,1% dari 3,5%. Rasio EBITDA pada beban keuangan, yang mengindikasikan kekuatan perusahaan untuk membayar beban bunganya, stabil dan aman di 2,70 kali.

Total Aset perusahaan tercatat Rp 3,05 triliun, yang didanai oleh ekuitas Rp 714,37 miliar dan liabilitas jangka panjang Rp 188,39 miliar serta liabilitas jangka pendek Rp 2,06 triliun. Rasio utang panjang atas ekuitas hanya 0,26 kali atau sangat kecil, sementara rasio utang atas asset mencapai 0,74 kali karena besarnya liabilitas jangka pendek. .

Harga saham Catur Sentosa tanggal 4 November Rp 640 per saham, mencerminkan kapitalisasi pasar Rp 1,93 triliun, P/E ratio 20 kali dan PBV ratio 2,32 kali. 

Sekilas Catur Sentosa
PT. Catur Sentosa Adiprana Tbk. (Kode IDX: CSAP) merupakan perusahaan (1) Distribusi independen Bahan Bangunan, Kimia, & Consumer Goods dan (2) Ritel Moderen Bahan Bangunan & Home Improvement Mitra10, dan ATRIA Furniture terbesar di Indonesia. Diawali pada tahun 1966, sebagai toko cat di Jakarta Barat yang kemudian berkembang menjadi perusahaan Distribusi dan Ritel Moderen terkemuka di Indonesia.

Sampai saat ini Catur Sentosa telah memiliki 48 cabang Distribusi Bahan Bangunan di 39 kota, 4 cabang Distribusi Bahan Kimia, 14 area Distribusi Consumer Goods, 20 outlet Ritel Moderen Mitra10, dan 11 showroom Atria furniture yang tersebar di seluruh Indonesia, difasilitasi dengan luas gudang > 180.000 m2, > 600 kendaraan transportasi, > 7.000 karyawan, dan mendistribusikan + 89.000 item produk. Itu semua berkat kerjasama dan kepercayaan dari > 30 pemasok utama (merek-merek utama) untuk Distribusi dan lebih dari 400 pemasok untuk outlet Ritel Moderen.

Sunday, November 2, 2014

Laba Bersih Bumi Serpong Tumbuh 49% Di Kuartal III-2014

Jakarta, 3 November 2014 – PT Bumi Serpong Damai Tbk (Kode emiten BEI: “BSDE”) membukukan pertumbuhan laba bersih 49% pada kuartal III-2014 menjadi Rp 3,2 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2013 sebesar Rp 2,1 triliun. Perolehan tersebut setara laba bersih per saham sebesar Rp 236 per saham pada kuartal III-2014 dibandingkan periode yang sama tahun 2013 sebesar Rp 164 atau setara pertumbuhan 44,19%.


Kinerja solid pengembang kota mandiri terbesar di Indonesia dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp27,03 triliun tersebut ditopang oleh penjualan properti. Pada sembilan bulan pertama Perseroan membukukan pendapatan sebesar Rp 3,9 triliun, dimana 82% atau Rp 3,2 triliun masih disumbangkan oleh penjualan tanah, rumah tinggal, ruko dan bangunan industry.

Kuatnya permintaan konsumen atas produk properti berkualitas membuat pendapatan organik pada kuartal III-2014 tumbuh 34% dibandingkan periode yang sama tahun 2013 sebesar Rp 2,9 triliun.

Total pendapatan di 2013 memang lebih tinggi, yaitu Rp 4,2 triliun berkat adanya transaksi istimewa (aksi korporasi) berupa penjualan kavling tanah sebesar Rp 1,3 triliun kepada tiga perusahaan JV antara Bumi Serpong dengan Hongkong Land, AEON Mall Jepang, dan Dyandra.

Kontribusi terbesar pendapatan bersumber dari penjualan kavling tanah sebesar 32% terhadap total pendapatan konsolidasi atau Rp 1,5 triliun. Sedangkan kontributor terbesar kedua untuk pendapatan Perseroan dibukukan oleh penjualan dari segmen residensial sebesar 32% atau setara Rp 1,2 triliun.

Untuk kontributor terbesar ketiga dibukukan oleh segmen komersial dengan kontribusi 20% atau setara Rp 493,7 miliar dan segmen rental (recurring income) membukukan Rp 493,8 triliun atau menempati kontributor terbesar keempat terhadap pendapatan Perseroan.

Saat ini Bumi Serpong tengah menggarap area seluas 825 hektar senilai Rp 2,8 triliun dan memiliki cadangan lahan yang siap dikembangkan seluas 3.841 hektar senilai Rp 7,2 triliun termasuk 2,277 hektar diantaranya berada di BSD City.

Kesediaan land bank yang luas akan memperkuat pertumbuhan berkelanjutan Perseroan dimasa mendatang. BSD City Perseroan sedang membangun Tahap II seluas 2.000ha hingga tahun 2020. Sedangkan untuk Tahap III Bumi Serpong  telah menyiapkan lahan seluas 2.450ha.

Hingga akhir September 2014, total aset Bumi Serpong tercatat Rp 27,3 triliun atau tumbuh 1% dibandingkan periode yang sama tahun 2013 Rp 27 triliun. Total aset tersebut diantaranya terdiri dari kas dan setara kas sebesar Rp 3,4 triliun, persediaan Rp 4,8 triliun. Pertumbuhan terbesar untuk aset dikontribusikan oleh investasi dalam bentuk saham yang tumbuh 25% menjadi Rp 4,8 triliun yang sebagian besar berupa penyertaan saham di Plaza Indonesia.


Perolehan laba bersih dari investasi saham Plaza Indonesia (PLIN) sebesar Rp 1,6 triliun mendorong pencapaian laba bersih Perseroan ke level Rp 3,2 triliun. Strategi investasi tersebut memperkuat rerata pertumbuhan laba bersih Perseroan yang mencapai 76% secara CAGR (Compound Annual Growth Rate) dalam lima tahun terakhir.

 Rasio Kinerja

Pada sembilan bulan pertama 2014, Bumi Serpong  berhasil mempertahankan rasio marjin laba kotor di kisaran 75,7% dan marjin laba bersih di kisaran 82,1%. Sedangkan rasio utang seperti current asset berada dikisaran 2,12x dan rasio DER di kisaran 0,45.

Rendahnya rasio utang dan besarnya kas Perseroan senilai Rp3,4 triliun memberikan keluasaan bagi Bumi Serpong untuk melakukan pengembangan dan aksi korporasi dimasa mendatang. Baik itu dengan mengandalkan kas internal ataupun opsi pendanaan lainnya.

Sekilas mengenai PT Bumi Serpong Damai Tbk
PT Bumi Serpong Damai Tbk merupakan pengembang BSD City, salah satu kota mandiri terbesar di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Kota mandiri ini menempati area seluas 5.950ha yang terdiri atas kawasan perumahan dan kawasan niaga terpadu. Awal tahun 2011, Bumi Serpong , anggota kelompok usaha Sinar Mas Land telah merampungkan proses akuisisi perusahaan terafiliasi yakni PT Duta Pertiwi Tbk, PT Sinar Mas Teladan dan PT Sinar Mas Wisesa. Akuisisi ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja Bumi Serpong  terutama portofolio pendapatan dan diversifikasi usaha Bumi Serpong .