Thursday, February 26, 2015

Laba Adhi Karya Turun, Cermati Harganya

Jakarta, 27 Februari 2015 – PT Adhi Karya (Persero), Tbk (ADHI), BUMN yang bergerak di bidang konstruksi infrastruktur,  mencatatkan penurunan laba 20% tertekan oleh penurunan pendapatan 12%. Laba bersih juga turun karena kenaikan beban pokok pendapatan, penurunan pendapatan bersih venture bersama konstruksi, kenaikan beban usaha, dan tidak adanya penjualan asset seperti tahun lalu.

Pendapatan Adhi Karya turun 12% menjadi Rp 8,65 triliun dibandingkan tahun lalu Rp 9,80 triliun. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan pendapatan di segmen konstruksi sebesar 9%; yang walaupun bukan merupakan penurunan terbesar, namun karena kontribusinya yang signifikan membuat penurunan segmen ini cukup signifikan dampaknya bagi Perseroan. Konstruksi turun menjadi Rp 7,27 triliun dari sebelumnya Rp 8,0 triliun.

Sementara itu segmen EPC mencatatkan penurunan terbesar 54% menjadi Rp 863,12 miliar dari sebelumnya Rp 1,89 triliun. Kontribusi segmen ini turun dari sebelumnya 18% menjadi hanya 9%. Real Estate dan Properti mencatatkan kenaikan pendapatan 22% menjadi Rp 858,8 miliar dari sebelumnya Rp 705,5 miliar. Tahun ini ada segmen pendapatan baru yang dicatat oleh Perseroan, yaitu dari investasi infrastruktur.

Pendapatan usaha dari beberapa pelanggan besar tetap Adhi Karya tahun ini turun secara signifikan. Pendapatan dari PT Pertamina tahun ini hanya Rp 681,74 miliar dibandingkan sebelumnya Rp 1,52 triliun. Dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) turun menjadi hanya Rp 271,43 miliar dari sebelumnya Rp 645,72 miliar. Dari PT Angkasa Pura II juga turun menjadi hanya Rp 267,36 miliar dari sebelumnya Rp 700,88 miliar.

Namun Adhi Karya berhasil mendapatkan pekerjaan dari beberapa perusahaan swasta baru, seperti PT Cengkareng Business Centre sebesar Rp 349,55 miliar; PT Rita Ritelindo sebesar Rp 94,84 miliar, dan RS Atma Jaya sebesar Rp 94,70 miliar.

Pendapatan bersih venture bersama konstruksi Perseroan tahun ini juga turun 66,3% menjadi hanya Rp 18,39 miliar dari sebelumnya Rp 54,6 miliar. Hal ini menyebabkan laba kotor Perseroan setelah laba ventura bersama turun 18,5% menjadi hanya Rp 1,02 triliun dari sebelumnya Rp 1,25 triliun.

Laba penjualan asset tetap juga turun jadi hanya Rp 183,42 juta dari sebelumnya Rp 10,16 miliar. Tahun 2013, Adhi Karya menjual asset dengan nilai tercatat Rp 2 miliar dengan harga jual Rp 12,14 miliar. Sementara tahun ini walaupun Perseroan juga menjual asset senilai buku Rp 1,33 miliar, namun harga jualnya tidak jauh dari nilai buku tersebut, yaitu Rp 1,51 miliar.

Beban usaha naik 9,7% menjadi Rp 361,18 miliar dari sebelumnya Rp 328,96 miliar, terutama disebabkan oleh kenaikan beban pengawai, beban umum, dan beban penyusutan.

Penurunan pendapatan dan laba bersih ini telah mengakibatkan penurunan marjin laba kotor dan marjin laba bersih serta imbal hasil atas ekuitas, namun marjin EBITDA naik sedikit. Tingkat perputaran asset juga turun karena asset Rp 1 tidak menghasilkan pendapatan sebesar tahun lalu.

Rata-rata hari piutang yang meningkat dan hari utang usaha yang meningkat juga perlu diwaspadai sebagai salah satu strategi Perseroan berkapitalisasi Rp 6,2 triliun ini untuk mencari solusi atas kesulitan arus kas yang mungkin dialami. Hal ini tampak dari arus kas operasional yang tahun ini negative Rp 978,23; artinya operasi Adhi Karya telah membuat kas keluar dari kantong perusahaan.


Dengan harga saham yang mencerminkan Rasio Harga atas Laba sampai 19,12 kali dan Rasio Harga atas Nilai Buku sampai 3,54 kali, saham berkode ADHI ini adalah salah satu saham yang perlu dicermati secara hati-hati oleh investor. Optimisme akan guyuran proyek infrastruktur yang dianggarkan oleh Pemerintah Joko Widodo dan disahkan oleh DPR barusan, dan penambahan modal yang telah disetujui oleh DPR, belum tentu akan membuat kinerja perusahaan ini membaik secara signifikan. 

Wednesday, February 25, 2015

Astra Graphia Catat Laba Naik 25% karena Penurunan Biaya Pendapatan dan Penjualan Investasi

Jakarta, 26 Februari 2015 – PT Astra Graphia, Tbk, anak perusahaan Grup Astra yang bergerak di bidang solusi dokumen dan solusi teknologi informasi dan komunikasi, mencatatkan pertumbuhan laba bersih sampai dengan 25% dengan hanya didorong pertumbuhan pendapatan 1%. Kenaikan laba bersih ini didorong juga oleh keuntungan dari divestasi, keuntungan selisih kurs, dan penurunan biaya pendapatan.

Pendapatan Perseroan pada tahun 2014 tercatat Rp 2,28 triliun dari sebelumnya Rp 2,26 triliun. Pendapatan tersebut berasal dari dua bidang utama Perseroan yaitu Solusi Dokumen, senilai Rp 1,44 triliun atau 63% dari total pendapatan; dan Solusi Teknologi Informasi dan Komunikasi senilai Rp 907,04 miliar.

Laba kotor Perseroan tercatat naik 4% menjadi Rp 681,83 miliar terutama karena penurunan biaya pendapatan di bisnis Solusi Dokumen sampai dengan 7,58% menjadi hanya Rp 872,03 miliar dari sebelumnya Rp878,69 miliar. Padahal pendapatan dari Solusi Dokumen naik 2%.

Bersamaan dengan itu, Perseroan juga menjual investasi pada entitas joint venturenya. PT Agit Monitise Indonesia (PT AMI) adalah entitas yang didirikan bersama-sama oleh Perseroan dan Monitise Asia Pacific Limited, Hong Kong pada tahun 2011, di mana saham Perseroan adalah 51%.  PT AMI bergerak di bidang penyediaan platform yang mampu memberi dukungan software dan solusi terhadap layanan mobile banking, mobile payment dan mobile commerce bagi bank, lembaga keuangan, serta mobile operators, dan mobil wallets bagi masyarakat yang tidak memiliki rekening bank. Sampai dengan Juni 2014, PT AMI mencatatkan pendapatan Rp 246 juta dan jumlah asset Rp 59,23 miliar.

Pada Juni 2014, Perseroan menjual saham PT AMI kepada partnernya, Monitise Plc, senilai US$ 12,02 juta atau sekitar 150,25 miliar. Tapi karena Perseroan membeli lisensi perangkat lunak yang dimiliki oleh PT AMI dan ada layanan 3 tahun yang akan diberikan oleh Perseroan kepada PT Monitise Mobile Indonesia, maka hasil penjualan bersih dari PT AMI adalah Rp 68,78 miliar. Keuntungan penjualan joint venture ini mencapai Rp 43,37 miliar.

Selain itu Perseroan juga mencatatkan keuntungan selisih kurs Rp 3,60 miliar, dimana tahun lalu pos tersebut negative Rp 11,63 miliar.

Kombinasi ketiganya menghasilkan peningkatan laba bersih 25% menjadi Rp 260,22 miliar atau Rp 192,93/lembar.

ASCEND juga mengamati bahwa ada peningkatan utang dan beban keuangan yang cukup signifikan pada tahun 2014. Utang jangka panjang naik menjadi Rp 59,47 miliar dari sebelumnya Rp 47,96 miliar karena sewa pembiayaan. Tanggal 25 Maret Perseroan kembali melakukan perjanjian pembiayaan 3 tahun dengan PT Hewlett-Packard Finance Indonesia untuk pembelian mesin server sebesar Rp 30 miliar.

Akibatnya beban keuangan naik dua kali lipat menjadi Rp 5,54 miliar dari sebelumnya Rp 1,40. Rasio EBITDA terhadap beban keuangan turun jadi 84,17 kali dari sebelumnya 276,17 kali. Posisi keuangan paska kenaikan utang ini masih sangat kuat.  


Dengan rasio harga terhadap laba (P/E) sebesar 10,13 kali dan harga terhadap nilai buku (PBV) sebesar 2,92 kali, maka pasar masih terlihat apresiatif terhadap saham Astra Graphia yang berkapitalisasi Rp 2,64 triliun ini. Terbitnya laporan keuangan segera mendorong harga saham perusahaan berkode ASGR ini 6,48% ke Rp 1.970, bahkan sempat menyentuh Rp 2.050 (10,81%).

 

Tuesday, February 24, 2015

Darma Henwa Catatkan Laba Bersih

Jakarta, 25 February 2015 – PT Darma Henwa, Tbk (DEWA) akhirnya mencatatkan laba bersih setelah mengalami 3 tahun kerugian berturut-turut. Laba bersih tercatat US$ 356.705 atau Rp 0.20/lembar, didorong oleh peningkatan pendapatan 6% menjadi US$ 234,66 juta.

Darma Henwa, perusahaan penyedia jasa pertambangan terintegrasi, berkapitalisasi Rp 1,09 triliun, selama 3 tahun terakhir tertekan karena prospek industry pertambangan yang kurang menguntungkan. Tahun ini perseroan berhasil mencatatkan pertumbuhan pendapatan 6% menjadi US$ 234,66 juta dari sebelumnya US$222,03 juta, walaupun belum mencapai level yang pernah dicatat perseroan pada tahun 2012 sebesar US$ 335 juta.  

Namun tahun ini dengan pertumbuhan laba kotor disertai dengan penurunan biaya bahan bakar, penurunan penyusutan, serta penurunan biaya perbaikan dan pemeliharaan. Penurunan biaya-biaya ini dikarenakan kurangnya pesanan tahun lalu sehingga memberikan kesempatan perusahaan untuk menyusun strategi ulang atas biaya-biaya ini, salah satunya dengan meningkatkan peran subkontraktor untuk mengurangi biaya-biaya sendiri.

Perseroan juga menurunkan utang jangka panjangnya sehingga rasio utang jangka panjang terhadap ekuitas turun menjadi 0,08 kali dari sebelumnya 0,15 kali. Salah satu utang yang banyak dilunasi adalah utang sewa pembiayaan, terutama kepada PT Hitachi Construction Machinery Finance Indonesia, prinsipal utama perseroan. Ini mengakibatkan beban bunga turun menjadi hanya US$ 2,42 juta dari sebelumnya US$ 3,73 juta.

Baru-baru saja Perseroan membeli PT Cipta Multi Prima, perusahaan yang bergerak di bidang jasa, pembangunan, perbengkelan, perdagangan dan pengangkutan darat. Perusahaan tersebut nantinya akan memperkuat bisnis DEWA di bidang jasa kontraktor pertambangan. Nilai pembelian tersebut mencapai Rp 21 miliar untuk membeli 99% saham dari kedua pemegang saham terdahulu.

Sebelumnya Perseroan juga telah mendapatkan proyek jasa pertambangan bawah tanah (underground) pertama dari Grup Bakrie  yaitu PT Dairi Prima Minerals senilai US$ 141 juta.  Kegiatan yang akan dilakukan Darma Henwa mencakup mengupas tanah (overburden), menyiapkan lahan untuk pabrik pengolahan serta menyiapkan areal untuk kegiatan produksi di Blok Anjing Hitam, Sumatra Utara.


Diharapkan dengan pelebaran bisnis ini ke depannya Darma Henwa akan lebih baik dalam pencatatan pertumbuhan dan laba, dan mampu mengangkat harga saham dari Rp 50 saat ini.  

Thursday, February 19, 2015

BTPN Dijual TPG, Harga akan Naik ke Rp 5.800

Jakarta, 20 Februari 2015 – PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional, Tbk (BTPN) naik 6,77% hari ini paska penjualan saham oleh TPG Nusantara S.a.r.l. ke Grup Sumitomo. Penjualan  tersebut dilakukan pada harga Rp 5.800/ lembar, jauh di atas harga pasar yang pada tanggal 17 Februari 2015 hanya Rp 4.060. Harga ini hanya sedikit di bawah rekor tertinggi BTPN di Rp 6.050 yang terjadi tahun 2013.

Sebelumnya Grup Sumitomo, lewat Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) telah membeli saham-saham bank BTPN dari TPG Nusantara juga. Tahun 2013, SMBC membeli 1,42 miliar lembar atau sekitar 24,26%. Tahun 2014, SMBC kembali membeli sebanyak jumlah yang sama dan meningkatkan kepemilikannya menjadi 40%.

 Dengan pembelian terakhir melalui Summit Global Capital Management, B.V. ini,  Grup Sumitomo menetapkan posisinya sebagai pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan 57,5% atau 3,36 miliar lembar saham.

Bank BTPN sejak menyentuh titik tertinggi di Rp 6.050 pada 6 Mei 2013 memang turun dan mendatar serta tidak pernah lagi melampaui level Rp 5.000 di harga penutupan. Karena itu pembelian Grup Sumitomo dengan harga di atas pasar diharapkan dapat mendorong optimisme investor untuk menuju harga pembelian tersebut.

Tahun ini, setelah sempat melemah di tahun 2014, Perseroan optimistis bisa mencetak kinerja yang gemilang pada tahun ini. Sepanjang tahun 2015, BTPN menargetkan pertumbuhan antara 15% hingga 17% dari 2014.

TPG Nusantara S.a.r.l mengakuisisi Bank BTPN pada tahun 2007 dari beberapa pemegang saham sebelumnya, yaitu PT Recapital Advisors, Fuad Hasan Masyhur, PT Danatama Makmur, dan PT Bakrie Capital Indonesia sebesar 675,98 juta atau 71,61%.


Bank BTPN sendiri pada akhir Desember  2014 mencatatkan kredit yang disalurkan mencapai Rp 49,44 triliun naik 6,9%, total asset Rp 71,89 triliun naik 3,2%, dana pihak ketiga Rp 50,60 triliun turun tipis. Laba bersih belum diaudit yang dicatatkan di Bank Indonesia mencapai Rp 1,81 triliun, turun 15,1%, karena penurunan bunga jadi Rp 11,72 triliun  dan pendapatan bunga bersih jadi Rp 6,57 triliun. 


Thursday, February 5, 2015

Merger Bank Mandiri - BNI, Perlukah?

Jakarta, 6 Februari 2015 – Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro melontarkan kemungkinan dipelajarinya langkah merger antara 2 bank BUMN besar, yaitu PT Bank Mandiri (Persero), Tbk (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk (BBNI). Wacana ini mendapat tanggapan keras dari kedua pihak, terutama pihak internal perbankan. Mengapa merger perlu atau tidak perlu dilakukan? Lalu kenapa yang disasar Mandiri dan BNI, bukan misalnya BRI atau BTN?

Menkeu membeberkan alasan pemikiran merger adalah agar bank Indonesia dapat bersaing di dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Pemerintah khawatir tidak ada bank yang bisa melawan serbuan bank-bank asing dengan aset besar, padahal Indonesia merupakan ‘lahan basah’ bagi bank-bank ini.

Lain lagi kata Direktur Keuangan BNI Yap Tjap Soen. Ia mengatakan bahwa memang konsolidasi bank-bank pelat merah memang sudah dibahas sejak Kementerian BUMN masih seumur jagung namun rencana yang dibahas secara detail adalah konsolidasi melalui holding company – bukan direct merger. Apa bedanya? Bedanya menurut Yap adalah direct merger akan membutuhkan banyak proses yang harus dijalani dan memiliki risiko di setiap langkahnya.

Beberapa pihak mengalasi penolakannya dengan kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mungkin dilakukan paska merger. Selain itu ada pula yang berkomentar: “wong sama-sama sehat, kenapa harus merger?”. Kompleksitas merger kedua bank ini makin tinggi mengingat bahwa keduanya adalah sama-sama bank milik publik juga, bukan hanya milik pemerintah, sehingga keputusan merger harus diambil bersama-sama dengan investor publik.

Pertama-tama, merger bukanlah hal baru di dalam dunia usaha, bahkan merger antara dua perusahaan yang sehat. Ambil saja contoh Adidas dan Reebok, dua raksasa peralatan olahraga dengan merek internasional dan bersaing mendapatkan posisi nomor 2 dan 3 di dunia, merger untuk memperebutkan posisi nomor 1.

Tiga bank besar Malaysia, termasuk CIMB Group Holdings Bhd – bank kedua terbesar di Malaysia setelah Malayan Banking Bhd (Maybank), sedang membicarakan merger. Bila sukses, merger ini akan membuat CIMB Group menjadi bank terbsar di Malaysia dan salah satu bank terbesar di Asia Tenggara.

Merger dilakukan untuk memperbesar pasar, memperkuat posisi, memperkuat daya tawar dan meningkatkan efisiensi. Merger dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki visi menjadi pemimpin pasar, yang melihat peluang dari kesempatan silang kompetensi dan menghasilkan inovasi yang menyegarkan.

Pengalaman merger perbankan terbesar memang kita rasakan pada saat Krisis Moneter tahun 1998, di mana merger besar-besaran terjadi dan salah satunya melahirkan Bank Mandiri. Proses ini menyakitkan, melibatkan PHK besar-besaran, membutuhkan beberapa pergantian pemimpin sebelum Bank Mandiri menjadi bank kedua terbesar setelah PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BBRI) dan memiliki brand kuat.  Sayangnya pengalaman merger pertama ini pahit sehingga ide tentang merger diasosiasikan dengan kinerja buruk. Namun suka atau tidak suka, asosiasi ini harus diluruhkan, sehingga pengalaman perbankan kita dapat menjadi lebih kaya dan bank-bank kita semakin kuat.

Kedua, dilihat dari sisi aset, maka bank Indonesia berada di posisi kurang menguntungkan apabila perbankan Asia Tenggara sudah terbuka. PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BBRI) yang saat ini adalah bank terbesar di Indonesia hanya menempati posisi 9 di bawah DBS Bank, Overseas Chinese Banking Corporation, dan  United Overseas Bank yang ketiganya dari Singapore. Bank BRI yang asetnya tercatat US$ 63 miliar, juga harus melompati Maybank dan CIMB Group Holding dari Malaysia. Awal 2014, Maybank sendiri telah mencatatkan US$ 148 miliar sementara CIMB Group Holding US$ 101 miliar.

Bergabungnya Bank Mandiri dengan Bank BNI secara otomatis meningkatkan aset bank dalam negeri menjadi sedikit di bawah US$100 miliar. Aset sebesar itu dapat memperkuat kepercayaan diri untuk bersaing dengan bank-bank sekelas CIMB dan DBS.

Ketiga, mengapa Bank Mandiri dan Bank BNI? Bila kita coba bertanya kepada orang-orang,  sebutkan 1 kata yang dapat mendeskripsikan Bank BRI, maka jawabannya adalah UKM. Satu kata untuk Bank BTN, jawabannya adalah perumahan. Tapi 1 kata untuk Bank Mandiri dan Bank BNI pasti menghasilkan beberapa jawaban yang akan tumpang tindih satu sama lain: korporat, konsumen, Syariah dan kartu kredit.

Jawaban-jawaban ini menggambarkan bahwa kompetensi Bank Mandiri dan Bank BNI saling terkait dan pembelajaran dapat berlangsung dengan lebih cepat.  

Alasan ini pula yang dapat menurunkan tingkat risiko merger yang tak dapat disangkal cukup tinggi. Konflik tenaga kerja, budaya korporasi, serta kegagalan menghasilkan sinergi merupakan faktor-faktor di belakang sejarah kegagalan merger. Namun manajemen yang solid, strategi manajemen perubahan yang terencana, serta visi yang jelas akan berkontribusi terhadap keberhasilan merger kedua bank raksasa ini.



Tuesday, February 3, 2015

Impack Pratama Ekspor ke Australia dan New Zealand

Jakarta, 4 Februari 2015 – PT Impack Pratama Industri, Tbk (IMPC) untuk pertama kali melakukan ekspor Polycarbonate Roofing Sheet ke Australia dan New Zealand dengan merk “Laserlite” senilai US$ 5juta. Langkah ini makin memantapkan posisi perseroan sebagai top 3 perusahaan roofing polycarbonate sedunia. Walaupun demikian, perseroan memprediksi tingkat pertumbuhan yang lebih lambat di tahun 2015.

Sebelumnya di bulan November perseroan telah mengakuisisi aset Australia & New Zealand Polycarbonate dari Bayer Material Science, termasuk di dalamnya property intelektual yaitu merk “Laserlite”. Aset berupa peralatan ini akan direlokasi ke Delta Silicon II, Lippo Cikarang dan menambah kapasitas produksi sebanyak 3.600 metrik ton/ tahun.

Perseroan mencatatkan sahamnya di pasar modal tanggal 17 Februari yang lalu dengan hasil bersih Rp 180,84 miliar. Sampai dengan 31 Desember 2014, perseroan melaporkan bahwa dana tersebut belum digunakan sama sekali. Rencananya 60% dana tersebut akan digunakan untuk pembelian tanah terutama di Delta Silicon 8.

Pencapaian perseroan pada tahun 2014 termasuk produksi panel komposit aluminium berkualitas premium produk alcotuff dan alcolite yang lebih tahan api di pabrik berkapasitas 2,5 juta m2/ tahun. Perseroan juga memproduksi SealTuff, sealant hybrid berkinerja tinggi berbasis teknologi Jepang dengan total instalasi 1,2 juta liter /tahun.

Produsen material konstruksi dan plastik ini memprediksi pertumbuhan yang melambat pada 2015, sebesar hanya 10 – 15% di pendapatan dan 10% di laba bersih. Padahal Impack mencatat laba bersih di semester 1 2014 meloncat 60% ke Rp 121 miliar dengan pendapatan naik 27% ke Rp696 miliar. Estimasi pendapatan tahun ini  mencapai Rp 1,38 triliun dengan laba bersih Rp 290 miliar.


Sampai hari ini saham IMPC sudah naik 66,4% dari harga IPOnya di Rp 3.800 menjadi Rp 6.325 di pagi ini. Likuiditas saham sangat tipis dengan saham yang beredar di publik sebanyak 150 juta lembar atau 31,04%.