Thursday, March 19, 2015

Manajemen Berubah, Konsolidasi Perbankan Melalui Merger Kembali Diwacanakan

Jakarta, 20 Maret 2015 – Perubahan susunan manajemen tiga bank BUMN terbesar di Indonesia merupakan angin segar yang berpotensi untuk membuka kembali wacana merger bank-bank BUMN. Sebelumnya beberapa bank mengekspresikan secara terbuka keberatannya untuk dimerger, padahal merger dibutuhkan untuk melahirkan bank nasional yang kuat dan mampu bertahan di area regional, terutama di tengah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

(Baca juga: Merger Bank Mandiri - BNI, Perlukah? http://fundamental-saham.blogspot.com/2015/02/merger-bank-mandiri-bni-perlukah.html )

Melihat dari perubahan susunan manajemen baru dan lama ini, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan:

  1. PT Bank BNI (Persero), Tbk (BBNI) adalah bank yang paling banyak dirubah susunan manajemennya;
  2. Dua orang dari direksi aktif PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk (BBRI) dimasukkan ke dalam Bank BNI.
  3. Terdapat peningkatan jumlah di komisaris independen PT Bank Mandiri (Persero), Tbk (BMRI). Kini komisaris independen terdiri atas 3 pilar yaitu: pengamat high profile seperti Aviliani (lama) dan Goei Siauw Hong, partai politik yaitu Cahaya Dwi Rembulan Sinaga dari PDIP, dan profesional yaitu Bangun Sarwito Kusmuljono dan Abdul Azis. 


Melihat dari susunan baru ini, ASCEND menganalisa bahwa ada tujuan-tujuan tertentu yang kemungkinan disasar oleh Kementerian BUMN, yaitu:

  1. Membuka kembali kemungkinan merger Bank Mandiri dan Bank BNI yang sebelumnya ditolak secara cukup agresif dari Bank BNI. Hal ini searah dengan konsolidasi perbankan yang diinginkan oleh pemerintah.
  2. Bank Mandiri akan dijadikan bank induk, sehingga membutuhkan dukungan komisaris independen dari pilar-pilar masyarakat yang bervariasi.
  3. Bank BRI akan diperkuat secara profesional, namun tidak berubah dari fokus bisnisnya yang sekarang, yaitu peningkatan kekuatan di UMKM. 
Yang pasti pasar melihat perubahan susunan manajemen ini secara positif, terbukti dari pergerakan naik yang dialami oleh ketiga bank besar ini, terutama Bank Mandiri yang akan mendapat dampak paling signifikan dan positif dari hasil konsolidasi. 


Kinerja BSD Bagus, Private Placement Mudah

Jakarta, 19 Maret 2015 - PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), emiten properti nasional dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia, membukukan laba bersih FY 2014 (audited) sebesar Rp 3,82 triliun, karena penguatan penjualan proyek-proyek properti terutama di segmen residensial dan diversifikasi bisnis. Dengan kinerja sebaik ini, ASCEND optimis private placement Perseroan senilai Rp 1,65 triliun akan mudah tercapai.

Sepanjang 2014, Perseroan membukukan pendapatan Rp 5,57 triliun dikontribusikan 82,9% dari penjualan tanah dan bangunan. Perseroan telah menjualn sebanyak 2.422 unit perumahan, lahan, ruko, strata title dan industrial. Pendapatan sewa bertumbuh 25,9% menjadi Rp 580.77 miliar. Pendapatan dari pengelolaan gedung juga tumbuh 4,8% menjadi Rp 249,09 miliar.

Laba melonjak 42% dibandingkan FY 2013 yakni Rp 2,69 triliun.Lonjakan pertumbuhan laba juga dikontribusikan oleh ekuitas pada laba bersih dari investasi dalam saham PT Plaza Indonesia Realty, Tbk (PLIN) pada pertengahan tahun 2014 sebesar Rp 1,66 triliun. Hal tersebut membuat laba bersih Perseroan melonjak 42% menjadi Rp 3,81 triliun.

Perolehan laba bersih tersebut setara marjin laba bersih 68,6% dan Imbal hasil atas ekuitas (ROE) menjadi 24,8%. Marjin laba kotor naik menjadi 74,1% dari sebelumnya 72,6%.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Rabu (18/3), Perseroan akan mengeluarkan sisa saham baru dari sisa simpanan (portepel) sebanyak - banyaknya 874,85 juta saham baru mewakili 5% dari modal disetor dan ditempatkan dalam perseroan. Harga pelaksanaan adalah Rp 1.890 per saham, sama dengan harga penjualan kedua pemegang saham utama Perseroan sebelumnya.

Per Desember 2014 aset BSDE tumbuh 25% menjadi Rp 28,13 triliun dibandingkan tahun 2013 sebesar Rp 22,57 triliun. Kenaikan ini ditopang oleh pertumbuhan aset tidak lancar yang mencapai 54% menjadi Rp 16,51 triliun dibandingkan periode 2013 sebesar Rp 10,74 triliun.

Emiten dengan kapitalisasi pasar Rp 37,66 triliun ini membukukan pertumbuhan utang jangka pendek sebesar 20% menjadi Rp 5,32 triliun namun kenaikan tersebut tidak memberikan perubahan signifikan pada rasio leveragenya. Sedangkan utang jangka panjang turun 8% menjadi Rp 4,33 triliun dibanding tahun 2013 yakni Rp 4,72 triliun.


Rasio utang jangka panjang atas ekuitas tercatat 0,28x sedangkan rasio utang atas aset menjadi 0,34 x, yang merupakan indikasi sangat sehatnya Perseroan. Rasio lancar juga solid di 2,18x. Rasio harga atas laba (PER) adalah 9,86 kali sementara rasio harga atas nilai buku ekuitas (PBV) adalah 2,45 kali. 

Tuesday, March 10, 2015

Emiten Elektronik Melemah Paska Pelemahan Rupiah

Jakarta, 10 Maret 2015 – Beberapa emiten terkait elektronik mengalami tekanan pada harga sahamnya paska pelemahan Rupiah. Emiten-emiten ini akan sangat terpukul karena banyak melakukan impor dengan valas dan belum tentu dapat mengalihkan kerugian valas tersebut kepada harga jual produknya.

Pelemahan Rupiah sampai di atas Rp 13.000/US$ akan melemahkan kinerja perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan baku impor, salah satunya adalah emiten terkait elektronik. Produk elektronik masih memiliki banyak komponen impor, walaupun beberapa di antaranya merupakan merek lokal. Komponen impor ini akan memberikan tekanan besar kepada kinerja perusahaan.

Beberapa emiten yang menjual alat-alat elektronik bermerek lokal tidak mampu untuk menaikkan harga jualnya, sementara emiten yang fokus di alat elektronik bermerek, seperti iPhone masih dapat mengalihkan dampak pelemahan Rupiah kepada harga jualnya. Produk iPhone 6 misalnya kini dihargai Rp 11,3 juta, atau naik dari harga sebelumnya Rp 10,8 juta untuk 16 gigabyte (GB). Demikian juga harga beberapa alat elektronik lain seperti Mouse merek Logitech juga ikut naik dari Rp 150.000 menjadi Rp 170.000 dan  keyboard merek Logitech, dari harga Rp 250.000 menjadi Rp 270.000.

Pasar saham sudah sejak beberapa waktu lalu mendiskon harga saham emiten-emiten elektronik. Lihat saja PT Erajaya Swasembada, Tbk (ERAA) yang sudah turun 17,2% ke Rp 1.035/ lembar sejak harga tertingginya di 2015, Rp 1.250/lembar. PT Tiphone Mobile Indonesia, Tbk (TELE) turun 9,05% ke Rp 955 dari Rp 1.050, harga rekor tertingginya.

Rupiah sendiri diperkirakan masih akan melemah lagi karena penguatan dolar AS, terutama bila terjadi peningkatan suku bunga oleh The Fed di bulan Juni seiring dengan makin jelasnya pemulihan ekonomi yang terjadi di AS.


Pemerintah sendiri terlihat tidak kuatir dengan pelemahan Rupiah ini, dan walaupun Bank Indonesia terlihat melakukan beberapa gerakan, namun gerakan itu sendiri tidak agresif. Kerangka pemikiran pemerintah adalah bahwa pelemahan Rupiah saat ini lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang terlalu berbiaya besar bila harus ditahan oleh BI, sementara kondisi pelemahan ini dirasa tidak sistemik (berpotensi mengakibatkan keruntuhan sistem ekonomi Indonesia). 

Thursday, March 5, 2015

Kinerja Bank BTN Terendah, Target M&A bagi Bank BUMN Lain

Jakarta, 5 Maret 2015 – Empat bank BUMN telah mengeluarkan laporan keuangan tahunannya dengan pertumbuhan positif dan kinerja yang baik di tengah situasi ekonomi makro yang kurang kondusif, kecuali PT Bank Tabungan Negara, Tbk (BBTN).

Pertumbuhan rata-rata pendapatan bunga bersih ketiga bank BUMN terbesar adalah di atas 20%, kecuali Bank BTN yang sedikit di bawah yaitu 18,77%. Rasio-rasio kinerja Bank BTN juga terlihat di bawah rata-rata ketiga bank BUMN lainnya. NPL Bank BTN lebih tinggi daripada rata-rata di mana NPL Gross mencapai 4,01% sementara ketiga bank lainnya di bawah 2%. Rasio return on equity (ROE) hanya 10,66%, sementara lainnya di atas 20%. Marjin pendapatan bunga (NIM) hanya 4,47% sementara lainnya di atas 5%. Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional juga mendekati 90% sementara lainnya di bawah 70%.

Kinerja Bank BTN yang di bawah rata-rata bank BUMN ini menjadi salah satu alasan tidak dilibatkannya lagi Bank ini di dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah menjadi salah satu cara bank untuk meningkatkan kinerja penanganan risikonya tanpa peningkatan modal minimum (CAR).

Kegagalan Bank BTN untuk menyamai kinerja bank BUMN lain walaupun sama-sama menghadapi tantangan ekonomi makro yang sama, mungkin akan meningkatkan willingness pemerintah untuk menyatukan Bank BTN dengan bank lainnya, seperti PT Bank Negara Indonesia, Tbk (BBNI).

Wacana merger ini memang meresahkan karyawan Bank BTN setelah dikibarkan kembali oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro setelah upaya merger dengan PT Bank Mandiri, Tbk (BMRI) dibatalkan dengan keputusan presiden pada masa Susilo Bambang Yudhoyono. Namun dengan keterbatasan manajemen Bank BTN pada saat ini untuk meningkatkan kompetensi dan kinerjanya secara signifikan, maka pemerintah sebagai pemilik saham terbesar, sekaligus pemangku kepentingan untuk mempertahankan industri perbankan nasional, harus mencari cara agar merger antara bank BUMN dapat berhasil.


Sebelumnya ASCEND telah merekomendasikan merger antara Bank Mandiri dan Bank BNI tetap diteruskan walaupun ada berbagai pro dan kontrak. [baca: Merger Bank Mandiri - BNI, Perlukah? http://fundamental-saham.blogspot.com/2015/02/merger-bank-mandiri-bni-perlukah.html] Padahal kedua bank tersebut memiliki kinerja yang kurang lebih sama, sehingga proses seleksi akan jauh lebih rumit. Maka seharusnya merger antara salah satu bank BUMN dengan Bank BTN akan berlangsung dengan lebih mudah, baik dari sisi bisnis maupun dari sisi akuisisi kompetensi.