Monday, April 27, 2015

Biaya Modal Tambang Makin Mahal

Jakarta, 27 April 2015 – Industri tambang akan makin sulit untuk mencari pendanaan murah, apalagi dengan makin besarnya fokus penyaluran kredit ke sektor infrastruktur. Perusahaan-perusahaan tambang akan makin banyak yang mengalami kesulitan keuangan dan pailit atau mengubah lini bisnis mereka di tahun 2015 ini, meninggalkan perusahaan-perusahaan besar untuk memenuhi kebutuhan komoditi tambang.

Total liabilitas pada tahun 2014 dari perusahaan-perusahaan tambang lebih tinggi daripada tahun 2013. Kenaikan ini khususnya nampak pada liabilitas jangka panjang yang memang dibutuhkan perusahaan-perusahaan untuk mempertahankan operasionalnya.

Konsekuensi dari kenaikan utang jangka panjang ini adalah kenaikan beban bunga yang rata-rata mencapai dua kali lipat dari tahun 2013. Golden Energy Mines, Tbk (GEMS) misalnya menanggung biaya bunga lebih dari 8 kali lipat. Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk (PTBA) juga merasakan kenaikan beban bunga sampai dengan 8 kali lipat dari Rp 6,23 miliar di 2013 menjadi Rp 48,7 miliar di 2014.

Makin tinggi beban bunga ini tidak disertai dengan meningkatnya laba yang dapat digunakan untuk membayar bunga. Hal ini membuat tekanan kepada kemampuan perusahaan untuk membayar laba yang diukur dengan rasio laba sebelum bunga dan pajak terhadap beban keuangan. Tahun 2014, rata-rata rasio tersebut hanya 43,53 kali, sementara tahun 2013 masih tercatat di 90,69 kali.


Rasio tersebut masih cukup baik, namun telah menjadi indikasi kehati-hatian untuk banyak perusahaan, seperti Bayan Resources, Tbk (BYAN) yang rasionya tercatat sudah negatif selama 2 tahun berturut-turut. Artinya kerugian perusahan membuat perusahaan makin sulit untuk membayar kewajiban bunganya sekaligus mempertahankan kelangsungan bisnisnya ke depan. Hal yang sama nampak pada Atlas Resources, Tbk (ARII)  yang juga mencatatkan rasio EBIT/beban keuangan yang negatif.

Seperti lingkaran setan, indikator yang tampak memberatkan ini membuat perusahaan tambang sulit untuk mencari pendanaan dalam bentuk utang. Hal tersebut tampak di dalam rata-rata rasio total utang terhadap total aset yang turun dari 0,46 kali di 2013 menjadi 0,43 kali, sementara rasio utang jangka panjang terhadap total ekuitas juga turun dari 1,09 kali di 2013 menjadi 1,04 kali di 2014. Artinya, beban bunga naik secara signifikan tanpa disertai dengan kenaikan nilai utang itu sendiri.

Ke depannya, hal mencari pendanaan akan makin sulit bagi emiten-emiten tambang dengan Moody’s Investor Service telah menetapkan negative outlook untuk industri tambang di Asia untuk tahun 2015. Moody’s memperkirakan EBITDA/ton akan tetap rendah, di bawah USD 10 – 15/ton di 2015. Moody’s juga melihat bahwa strategi efisiensi biaya dari kebanyakan emiten tambang akan memperbaiki kinerja laba, namun tidak mampu menjadi kekuatan dasar bagi kelangsungan hidup jauh ke depan.

Dari sisi perbankan, yaitu penyedia dana utang bagi industri, juga telah mengalihkan fokus pemberian kreditnya dari industri tambang. Dampak pengalihan ini akan makin jelas pada tahun 2015 karena proyek-proyek infrastruktur yang sudah semakin jelas akan mulai dilaksanakan membutuhkan dana.

Dengan sempitnya alternatif pendanaan, apakah emiten tambang dapat mencari pendanaan di pasar saham? TIDAK.

Bila kita melihat dari laporan-laporan riset analis baik dari buy side maupun sell side, kita dapat melihat bahwa emiten-emiten tambang menghadapi lebih banyak tantangan sekarang daripada tahun lalu. Jumlah ‘buy’ dan ‘hold’ lebih sedikit pada 1 tahun terakhir dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, dengan banyaknya alternatif baru yang kini muncul di pasar, alasan investor untuk masuk ke industri tambang akan makin sedikit.


Tahun 2015 mungkin akan menjadi tahun penentuan bagi industri tambang. Kita mungkin akan melihat adanya perubahan strategi yang fundamental dan ekstrim untuk mempertahankan eksistensinya di industri. Bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki visi untuk melihat bahwa di balik tantangan ini, masih ada pasar baru batubara yang sebentar lagi muncul, yaitu pembangkit listrik 35.000MW yang sedang dikerjakan oleh pemerintah. Pertanyaannya, berapa banyak yang sanggup bertahan?

Wednesday, April 15, 2015

Pertumbuhan dan Profitabilitas Retail Bangunan di 2014 Baik

Jakarta, 16 April 2015 – Perusahaan-perusahaan retail bangunan mengalami pertumbuhan positif dengan kinerja profitabilitas yang yang terjaga. PT Catur Sentosa Adiprana, Tbk (CSAP), induk perusahaan dari brand Mitra10 dan Atria, mengalami pertumbuhan laba tertinggi didorong oleh pertumbuhan pendapatan dan peningkatan produktivitas aset-aset.

Pertumbuhan pendapatan Catur Sentosa terdua tertinggi di industrinya dengan tingkat 10,95%. Pendapatan Catur Sentosa tercatat Rp 7,14 triliun, yang sebagian besar masih ditopang oleh segmen distribusi yang menjadi tulang punggung Perseroan sejak awal. Sementara segmen retail yang akan menjadi ujung tombak pertumbuhan Perseroan mencatatkan pertumbuhan 18,5% menjadi Rp 1,82 triliun.

Walaupun hanya mencatatkan peringkat kedua pertumbuhan pendapatan, di bawah PT Ace Hardware Indonesia, Tbk (ACES), namun Catur Sentosa mencatat peringkat pertumbuhan pertumbuhan laba bersih. Sebagian faktor penunjang pertumbuhan dikontribusikan dari penjualan aset berupa tanah dan bangunan gudang yang sudah tak terpakai, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas aset. Laba Perseroan tercatat Rp 104,62 miliar atau naik 47,04% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara itu pertumbuhan Ace Hardware, retail bangunan yang berkapitalisasi terbesar ini, mencapai 16,58% menjadi Rp 4,54 triliun. Seluruh produk yang dijual Ace Hardware turut mendukung pertumbuhan tersebut, dengan kontributor penjualan terbesar pada produk perbaikan rumah.

Laba bersih yang dicatatkan oleh Ace Hardware adalah Rp 554,77 miliar atau mencerminkan marjin laba bersih 12,2%, juga tertinggi di industrinya. Pilihan bisnis perseroan untuk bergerak di sektor retail membuat Ace Hardware memang akan mendapatkan marjin yang lebih tinggi daripada industrinya yang masih memiliki kombinasi yang cukup besar dengan segmen distribusi.

Sementara itu PT Kokoh Inti Arebama, Tbk (KOIN) mencatatkan pertumbuhan pendapatan 8,35% menjadi Rp 1,20 triliun dan laba bersih yang turun 27,81% menjadi Rp 26,48 miliar. Perseroan dengan kapitalisasi pasar terkecil di antara bertiga ini tidak memiliki utang jangka panjang sama sekali dan mampu menghasilkan imbal hasil atas ekuitas yang tinggi, yaitu 23,2%.


Di antara ketiganya, saham Catur Sentosa adalah yang paling undervalued melihat kepada rasio PER dan PBV, serta memiliki struktur permodalan yang paling banyak menggunakan utang.