Jakarta, 11 September 2013 - PT Timah Tbk (TINS) menyiapkan dana Rp 3 triliun dari pinjaman untuk membeli komoditas timah dari sejumlah produsen menyusul diberlakukannya Permendag No. 32 tahun 2013 pada 30 Agustus 2013. Dampaknya, TINS dapat diuntungkan dari ketentuan yang mengatur bahwa penjualan logam timah harus melalui bursa berjangka ini.
Peraturan Menteri Perdagangan No. 32 tahun 2013 tentang perubahan atas Permendag no. 78 tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Timah membuat sejumlah produsen yang tidak bisa masuk bursa berjangka menjual produknya ke TINS. Sementara itu TINS juga terpaksa mengumumkan kondisi force majeur karena pelanggannya belum terdaftar di bursa berjangka Indonesia.
Bagi TINS, Permendag ini diberlakukan pada saat yang tepat, yaitu ketika harga
timah mulai meningkat lagi sejak menyentuh titik terendahnya di bulan
Agustus 2013. Ini membuat TINS tidak terlalu menderita
kerugian karena walaupun volume penjualan berpotensi turun, tetapi
kenaikan harga dapat menyeimbangkan penurunan itu.
Berdasarkan data Kemendag, ekspor timah Indonesia pada Juni 2013 naik ke level tertinggi sejak 18 bulan. Ekspor ingot dan solder melonjak 20% menjadi 11.111,4 ton dibandingkan dengan Mei sebesar 9.242,05 ton. Ekspor timah per Juni 2012 sebanyak 9.646,7 ton. Total ekspor timah per semester pertama tahun ini naik 16% menjadi 55.011 ton dibandingkan dengan ekspor periode sama 2012.
Sementara TINS di semester I melaporkan penjualan timah yang turun menjadi hanya sebesar 10.951 metrik ton atau turun 36% dibandingkan periode yang sama tahun 2012 yaitu 17.236 mton. Rata-rata harga timah yang dijual perusahaan adalah US$ 22.882/ton atau 1% lebih tinggi dibandingkan tahun 2012. Harga timah tertinggi yang diterima pada semester ini adalah US$ 25.200/mt.
AFN melihat bahwa pinjaman jangka pendek sebesar Rp 3 triliun tersebut masih memberikan kontribusi yang positif bagi TINS karena:
1. Tingkat utang TINS masih moderat. Pada saat ini rasio total liabilitas terhadap ekuitas hanya 0,4x. Dengan pinjaman maksimal Rp 3 triliun, rasio tersebut hanya menjadi 1,07x. Rasio lancar masih pada tingkat moderat yaitu 3,08x pada saat ini dan 0,9x bila pinjaman Rp 3 triliun dimaksimalkan. Walaupun demikian, posisi kas TINS cukup memprihatinkan pada Rp 74,90 miliar.
2. Pembelian saat ini bisa menjadi buy on weakness (BOW) sementara penjualan dapat dilakukan TINS pada harga lebih tinggi di kemudian hari sehingga menimbulkan potensi keuntungan. Tapi hal ini hanya dapat dilakukan apabila pengetatan ekspor ini bisa efektif dalam mendorong harga timah dunia. Sementara sebelumnya, analis mengestimasi kenaikan tipis pada harga timah di 2014 menjadi US$ 23.000/ton dari rata-rata harga tahun ini US$ 22.000/ton.
Di sisi lain, JP Morgan mengambil sikap pesimis bahwa pengetatan ekspor ini akan berlangsung lama. Pasalnya, Indonesia masih relatif bergantung kepada ekspor komoditi pertambangan metal, apalagi dengan turunnya harga batubara. JP Morgan menambahkan, pengetatan ekspor baru akan konsisten dan solid apabila diikuti dengan peningkatan kondisi ekonomi Indonesia secara umum sehingga dapat menyeimbangkan potensi penurunan pertumbuhan akibat pengetatan ekspor.
Menjadikan Indonesia Penguasa Timah Dunia
Indonesia yang merupakan eksportir utama timah dunia memang kurang diuntungkan posisinya karena tidak memiliki instrumen untuk berpartisipasi di dalam penentuan harga. Karenanya Gita Wirjawan memberlakukan peraturan ini dengan tujuan agar mencapai harga yang lebih transparan dan dapat menjadi referensi harga timah dunia.
Indonesia saat ini diperkirakan berkontribusi terhadap 24,8% dari pemenuhan kebutuhan dunia, dan 60% terhadap pemenuhan kebutuhan Nickel Pig Iron (NPI) China.
Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) pada 2 Februari 2012 lalu, sesungguhnya telah menyelenggarakan
perdagangan fisik timah batangan melalui Indonesia Tin (INATIN). Namun,
INATIN hingga saat ini belum menunjukan kinerja yang signifikan
disebabkan para pelaku timah tidak memanfaatkan instrumen tersebut.
Saat ini total anggota BKDI yang siap melakukan transaksi kontrak fisik timah batangan dengan sebanyak 12 perusahaan, antara lain PT Timah Tbk, PT Tambang Timah, PT Refined Bangka Tin, Daewoo International Corporation (Korea), Gold Matrix Resources (Singapura), Great Force Trading (Hong Kong), Noble Resources International (Singapura), Purple Products Pvt Ltd (India), dan Toyota Tsusho Corporation (Jepang).
Tujuan permendag ini adalah untuk meningkatkan penerimaan royalti, mencegah terjadinya praktek under invoice, mencegah perdagangan timah ilegal, meningkatkan daya saing timah Indonesia serta menjadikan Indonesia penentu harga timah dunia.