Jakarta, 13 November 2013 - Kemarin, Bank Indonesia secara tidak terduga menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 7,5%. Sejak Mei lalu suku bunga acuan telah naik 5 kali sebesar 175 bps. Dampak dari kenaikan ini berpotensi menekan pertumbuhan emiten di bursa efek dan juta pertumbuhan ekonomi Indonesia.
BI menaikkan suku bunga acuan kemarin pada level tertinggi sejak 4 tahun terakhir. BI juga menaikkan suku bunga fasilitas pinjaman BI (FASBI) menjadi 7,5% dan fasilitas pembiayaan repo menjadi sebesar 5,75%. Ini semua adalah biaya pendanaan yang akan dirasakan langsung oleh debitur.
Menurut BI, kenaikan suku bunga ini memiliki beberapa tujuan:
1. Sebagai langkah antisipasi jika the Fed mengurangi program stimulusnya.
2. Dalam jangka pendek kebijakan ini diharapkan menekan defisit transaksi berjalan.
3. Dalam jangka panjang untuk menjaga inflasi tetap terkendali.
Neraca perdagangan RI tercatat defisit sebesar US$ 657 juta selama September 2013 dibanding Agustus lalu, Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) tercatat surplus hingga US$ 132,4 juta.
Sementara itu, inflasi bulanan pada Oktober 2013 sebesar 0,09%. Kenaikan inflasi terjadi karena kenaikan harga barang konsumsi sebesar 0,55%. Namun inflasi tahunan tercatat sebesar sebesar 8,32%. BI menargetkan inflasi hingga akhir tahun berada sedikit di bawah level 9%.
Sementara itu nilai tukar Rupiah kemarin bergerak melemah terhadap Dollar AS pada level 11.576 poin.
AFN melihat bahwa sejak awal tahun tekanan inflasi terjadi karena faktor penawaran, yaitu kenaikan bahan bakar minyak, dan bukan dari faktor permintaan yang berlebih. Karena itu AFN melihat bahwa intervensi terhadap inflasi akibat lewat kebijakan moneter menjadi kurang efektif. Jika suku bunga naik, harga BBM belum tentu turun. Kebijakan menaikkan suku bunga cenderung efektif jika tujuannya menekan inflasi dari sisi permintaan.
AFN malah mengkuatirkan apabila memang inflasi dari sisi penawaran sedang terjadi, maka kenaikan suku bunga akan membuat ekonomi terkontraksi. Konsekuensinya, pasar tenaga kerja akan turun ke tingkat yang lebih rendah, daya beli berkurang dan harga turun.
Harapan kenaikan suku bunga BI akan menekan defisit pun masih diragukan AFN. Penyumbang terbesar defisit adalah dari komponen impor migas, sekali lagi, dengan menaikkan suku bunga belum tentu menekan defisit transaksi dari komponen migas. Kebutuhan migas nasional akan selalu naik sementara produksi migas nasional dalam tren penurunan.
Upaya kenaikan suku bunga dapat berdampak positif jika dilihat dari upaya untuk menumbuhkan ekspor dari sisi non migas. Dengan kenaikan suku bunga acuan BI, diharapkan penanaman modal asing akan masuk ke Indonesia yang menawarkan yield lebih. Setidaknya yield bebas risiko Indonesia lebih tinggi dari negara maju lainnya sehingga menarik bagi investor. Dengan masuknya invetasi asing diharapkan akan mendorong industri non-migas sehingga menutup defisit transaksi berjalan. Namun, hal ini baru akan terjadi dalam periode yang lama dan perlu didukung dengan perbaikan daya saing bisnis.
Di sisi lain dampak positif kenaikan suku bunga acuan BI ini akan
mendorong investasi. Pemegang dana cenderung memarkirkan kasnya untuk
investasi seperti deposito berjangka atau surat berharga lainnya.
Diharapkan permintaan Rupiah akan tinggi dan mendorong penguatan nilai
tukar Rupiah.
Tetapi, dampak kenaikan suku bunga BI ini akan dirasakan oleh sektor riil. Suku bunga pinjaman perbankan akan naik mengikuti kenaikan BI rate sehingga berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Usaha kecil atau menengah yang mengandalkan pendanaan dari perbankan berpotensi melambat karena lebih tingginya biaya keuangan.
Kenaikan ini juga akan menekan pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga. Jika suku bunga simpanan ikut naik, maka rumah tangga cenderung menyimpan kas dari pada membelanjakan untuk konsumsi. Mengingat bahwa PDB RI masih didominasi oleh sektor konsumsi maka secara makro kenaikan ini berpotensi menekan pertumbuhan PDB.
Tampaknya yang menjadi kekhawatiran BI adalah jika the Fed memangkas stimulusnya, setidaknya harus ada insentif lebih yang menarik investor asing untuk tidak menarik dananya di Indonesia. Salah satu insentif tersebut adalah dengan memberikan yield yang lebih tinggi lewat yield bebas risiko sebesar 7%.
Namun, dampak dari kenaikan suku bunga acuan BI justru direspon negatif pasar modal kemarin, bahkan sampai hari ini. Tercatat IHSG (12/11) diperdagangkan turun 61,08 poin (-1,37%) pada level 4.380,64 poin. Bahkan secara teknikal, IHSG telah menembus resisten jangka pendek 4.400 dan berpotensi turun dengan menguji level resisten 4.191 poin. IHSG diprakirakan bergerak pada kisaran 4.191 hingga 4.420 poin.