Jakarta, 6 Desember 2013 - Dihadapkan
dengan persoalan likuiditas dan pengetatan moneter oleh BI, Maryono, Direktur
Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk (BBTN), menyatakan bahwa BTN berencana akan menerbitkan sekuritas berharga hingga
Rp 4,5 triliun pada tahun depan untuk pembiayaan aset.
Tahun lalu
BTN telah berhasil menerbitkan pinjaman subordinasi berupa obligasi sebesar Rp
2 triliun pada kuartal kedua tahun ini. Pendanaan dari sekuritas ini dinilai
lebih bersifat jangka panjang untuk memenuhi likuiditas BTN .
Sementara
itu menurut Evi Firmansyah, Deputi Direktur
menyatakan mengandalkan
likuiditas dari dana pihak ketiga (DPK) seperti deposito, paling lama hanya 3 bulan, padahal Bank BTN yang
membiayai KPR bersifat jangka panjang, hal ini dilakukan untuk menekan
biaya.
BTN merupakan bank yang portofolio kreditnya sebagian besar dari KPR atau kredit
kepemilikan rumah. Dengan adanya agunan kredit berupa properti, hal ini
merupakan keunggulan bagi BTN , mengingat harga properti selama lima tahun
kebelakang telah naik 30% CAGR, sehingga ada oportunitas bagi BBTN untuk
menerbitkan sekuritas baru seperti dalam bentuk efek beragun aset (EBA).
Sebelumnya BTN merupakan bank di Indonesia yang
menerbitkan sekuritas berjenis mortgage
backed securities (MBS) dalam bentuk kontrak investasi kolektif-efek
beragun aset (KIK-EBA). Mengenai KIK-EBA sebelumnya pernah dibahas AFN dalam
artikel sebelumnya. http://fundamental-saham.blogspot.com/2013/11/likuiditas-tipis-efek-beragun-aset-akan.html
Diharapkan
dengan menerbitkan sekuritas baru, BBTN dapat menekan cost of fund pada tahun mendatang karena bunga deposito sudah
mencapai double digit akibat
pengetatan moneter BI.
Selain itu,
defisit APBN yang semakin besar tentu akan dibiayai hutang oleh pemerintah,
sementara tren penjualan surat utang negara dari tahun ketahun meningkat dan
permintaan masih tinggi, hal ini dapat “mengkanibalisasi” bank dan memaksa
pertarungan surat utang negara dan deposito yang menawarkan yield yang tak jauh beda. Untuk itu,
pembiayaan alternatif melalui sekuritisasi layak diperhitungkan.
Jika
dilihat dari kinerja keuangan BTN, terlihat bahwa BTNmenghadapi permasalahan
dengan biaya bunga dan biaya operasional yang tinggi sehingga menghambat
pertumbuhan laba bersih. Terlihat meskipun pendapatan bunga dan pendapatan lain
masing-masing naik hampir 20%, namun laba bersih hanya naik 3,52%.
Dari sisi
pos neraca, komposisi dana pihak ketiga (DPK) dari deposito sebesar 39% dari
total aset sehingga hal ini mendorong beban biaya bunga yang cukup tinggi. Jika
BTNmengandalkan dana pihak ketiga untuk pemenuhan likuiditas tentu akan
menekan marjin pada tahun depan.
Artinya
untuk meningkatkan likuiditas pada tahun mendatang, BTN salah satu carayang
efisien yaitu lewat pendanaan yang lebih
murah yang sifatnya jangka panjang untuk mendorong pertumbuhan laba bersih.
Kinerja Bank BTN
Laba
bersih selama kuartal ketiga 2013 tumbuh
moderat 3,52% menjadi Rp 1,06 triliun dibanding tahun lalu Rp 1,02 triliun.
Sementara itu pendapatan bunga naik 19,87% menjadi Rp 8,07 triliun dari
sebelumnya Rp 6,73 triliun. Dari sisi pendapatan operasional, BTNmembukukan
kenaikan 19,33% menjadi Rp 466 miliar dari sebelumnya Rp 390 miliar.
Pertumbuhan laba bersih yang moderat ini karena beban bunga dan beban
operasional naik melebihi kenaikan pendapatan.
Beban bunga
BTNtercatat naik 23,07% selama kuartal ketiga menjadi Rp 3,93 triliun
dibanding periode tahun lalu sebesar Rp 3,20 triliun. Sementara itu beban
operasional bank juga naik 26,00% menjadi Rp 3,17 triliun dibanding sebelumnya
Rp 2,52 triliun.
Net interest margin (NIM) tercatat terkoreksi menjadi sebesar
5,45% pada kuartal ketiga tahun 2013 ini dibandingkan dengan periode yang sama
tahun sebelumnya sebesar 6,00%. Penurunan marjin ini karena dampak pengetatan
moneter BI yang salah satunya menaikkan suku bunga acuan sejak Mei lalu
sehingga mendorong kenaikan beban bunga.
Rasio beban
BTN juga menunjukkan kenaikan seiring dengan kenaikan beban bunga. Tercatat cost to income ratio (CIR) naik menjadi
57,34% dari periode sebelumnya 56,43%. Sementara rasio biaya dilihat dari
perbandingan biaya operasional terhadap pendapatan (BOPO) menunjukkan kenaikan
menjadi 83,29% dari periode sebelumnya 80,26%.
Sementara
itu, meskipun laba bersih menguat tipis, return
on equity (ROE) BTN mengalami penurunan menjadi 14,52% dari periode
kuartal ketiga tahun lalu sebesar 19,06% atau akhir tahun lalu sebesar 18,23%.
Penurunan ini diakibatkan oleh kenaikan modal inti yang termasuk dalam modal
inti menjadi Rp 9,87 triliun dari posisi akhir tahun lalu sebesar Rp 9,04
triliun karena akumulasi laba dari tahun lalu.
Sementara
itu, rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) tercatat turun tipis menjadi 109%
dari sebelumnya 110%. Portofolio penyaluran pinjaman BTN yang sebagian besar
didominasi kredit properti memungkinkan BTN memberikan pinjaman yang lebih
besar dari pada penyerapan dana pihak ketiga. Sementara itu, loan to funding ratio atau perbandingan
kredit terhadap pendanaan tercatat sebesar 89,50% pada kuartal ketiga 2013 atau
naik dari 87,79% pada periode yang sama tahun lalu. Funding atau pendanaan
diperoleh dari DPK, obligasi, pinjaman dan repo.
Dari situ,
terlihat bahwa pertumbuhan pendanaan aset tumbuh bukan dari DPK melainkan dari
pendanaan lainnya. Tercatat BTN baru saja menerbitkan obligasi Rp 2 triliun.
Salah satu
permasalahan keuangan lainya yaitu non
performing loan BBTN tertinggi diantara 15 bank terbesar nasional lainnya.
NPL BTN tercatat sebesar 4,88% dengan NPL net sebesar 3,81%. Dan kredit macet
dari NPL pun tercatat sebesar 3,30% atau senilai Rp 3,19 triliun.
Tingginya
NPL ini berasal dari sektor konsumer dan KPR subsidi. Untuk NPL dari KPR
subsidi karena ada agunan kredit berupa properti tentu recovery penagihan kredit tidak menjadi masalah karena harga
perolehan kembali kemungkinan menuutup kredit macet. Namun, untuk kredit sektor
konsumer akan menjadi perhatian karena risiko gagal bayarnya semakin besar.