Jakarta, 22 Januari 2014 - PT Pembangkit Listrik Negara (PLN)
tahun ini berencana menambah penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar
pembangkit listrik diesel yang akan dipasok oleh PT Smart, Tbk. (SMAR) dan PT Wilmar
Cahaya Indonesia, Tbk. (CEKA). Dampak jangka pendek belum akan dirasakan, tapi
dalam jangka panjang berpotensi sangat baik.
Dalam pernyataan kepada publik, Nur
Pamudji, Direktur Utama PLN, Senin (20/1) kemarin, menyatakan telah bekerja
sama dengan beberapa perusahaan sawit di antaranya Smart dan Wilmar.
Kerjasama juga direncanakan dengan
PT Astra Agro Lestari Tbk, (AALI) tetapi masih dalam proses perjanjian. Wacana
kerja sama ini telah beredar di pasar pada November tahun kemarin dan baru
disetujui oleh PLN dengan kedua emiten tersebut pada bulan Januari ini.
Dari sisi PLN, penggunaan sawit
sebagai bahan bakar akan menekan biaya produksi hingga 15% dibandingkan
mengunakan minyak diesel yang berasal dari minyak bumi. Harga yang disepakati
oleh PLN terhadap kedua emiten tersebut sebesar 91,37% dari harga minyak bumi
pasar Singapura (MOPS), masih di bawah minyak diesel konvensional.
Dengan penggunaan BBM berbasis
nabati ini diharapkan akan menekan beban subsidi negara yang setiap tahun
mencapai Rp 50 triliun lebih untuk subsidi listrik.
Dari sisi emiten, SMAR dan CEKA
diuntungkan atas perjanjian ini. Di saat harga komoditas CPO dunia tertekan
selama setahun terakhir, kedua emiten tersebut dapat mengamankan target
penjualan dengan memasok PLN yang berpatokan pada harga hampir setara dengan
harga minyak bumi sehingga berpotensi mendapatkan marjin yang lebih tinggi.
Namun, sejauh ini rencana kontrak
kerja sama PLN ini, masih relatif kecil yaitu sebesar Rp 63 miliar dengan menargetkan
penggunaan PPO selama 2014 hingga 6.720 ton yang dipasok oleh SMAR sebesar
3.320 ton dan CEKA sebesar 3.400 ton.
Jika dilihat dari sisi pergerakan
saham kedua emiten tersebut, yaitu SMAR menunjukkan penguatan sejak Desember
akhir tahun lalu, sementara CEKA justru bergerak fluktatif sejak November dan
baru dalam tren menguat di awal tahun.
Sementara itu, indeks sektor
perkebunan yang pergerakannya didominasi AALI, dan saham AALI sendiri, telah
menunjukkan reli sejak Agustus 2013 lalu.
Sementara itu, jika dilihat dari
kinerja fundamental ketiga emiten tersebut, selama kuartal ketiga 2013, CEKA,
SMAR maupun AALI membukukan penurunan laba bersih, penurunan terbesar
dicatatkan oleh CEKA karena dibebani kenaikan beban usaha hingga hampir 2 kali
dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Namun, dari sisi pendapatan, CEKA
selama tiga kuartal tahun lalu justru membukukan kenaikan hingga 103,09%
dibandingkan dengan periode sebelumnya, sementara yang lain justru tertekan.
CEKA juga membukukan nilai PER dan
PBV yang terendah sajauh ini dibanding kedua emiten lainnya, sedangkan SMAR
membukukan return on equity (ROE) tebesar di antara ketiganya.
Dari faktor likuiditas di pasar,
AALI merupakan yang paling likuid, di mana rasio volume perdagangan terhadap
saham floating (<5%) yang terbesar
hingga 0,50%.
AFN melihat, meskipun PLN
meningkatkan permintaan terhadap sawit, namun dalam jangka pendek 1-2 tahun
kedepan hal ini belum mampu mendorong penjualan processed palm oil (PPO) emiten-emiten sawit
tersebut. Target kontrak PLN dalam satu tahun ini saja hanya Rp 63 miliar,
sementara total penjualan ketiga emiten yang sudah mendapat kontrak kerjasama
maupun yanga masih dalam proses mencapai Rp 26,78 triliun.
Namun, jika dalam jangka panjang
komitmen ini ditingkatkan, tidak menutup kemungkinan saham sektor perkebunan
suatu saat akan berubah menjadi sektor energi, namun hal itu pun masih perlu
sarana dan prasarana yang besar juga.