Jakarta, 4 Desember 2013- PT Budi Starch & Sweetener, Tbk (BUDI) menyampaikan rencana ekspansi di di tengah penurunan pendapatan dan kerugian bersih. AFN melihat bahwa rencana ekspansi ini harus diikuti dengan rencana strategis pemasaran yang dapat mendorong laba bersih jadi positif.
Perusahaan yang dahulu bernama PT Budi Acid Jaya Tbk ini menjual tepung tapioka dan sweetener. Sementara produk asam sitratnya dihentikan sejak bulan Maret 2013 karena tidak dapat bersaing dengan produk Cina. Budi menjual 97% produknya ke pasar domestik.
Di tahun 2014, ekspansi yang akan direalisasikan oleh perusahaan adalah produksi glukose, sorbitol, dan maltodexterine di Lampung sebesar 72.000 ton, fruktose di Jawa Timur sebesar 72.000 ton, frukose di anak perusahaan sebesar 21.600 ton dan pabrik tapioka di Makasar sebesar 30.000 ton.
Sebelumnya Budi telah melakukan ekspansi di pabrik tapioka Madiun sebesar 30.000 ton per tahun dan glukose di Jawa Tengah sebesar 36.000 ton per tahun.
Budi juga pada tahun ini telah melakukan pembelian kembali saham sebesar Rp 3,47 miliar dengan harga rata-rata Rp 2.061. Rencananya saham yang dibeli akan sebanyak-banyaknnya 5% dari jumlah modal ditempatkan. Harga saham Budi meloncat dari sekitar Rp 95 menjadi Rp 130.
Sampai dengan triwulan III – 2013, pendapatan perusahaan turun 2,1%. Penurunan ini bukan hanya terjadi dalam 1 tahun ini melainkan sudah sejak tahun 2011. Kerugian bersih memang baru dialami pada tahun ini. Padahal, tahun ini laba kotor dan laba usaha naik. Hal ini disebabkan oleh kerugian selisih kurs karena adanya utang bank jangka panjang dalam mata uang dolar AS.
Sementara itu, arus kas operasional naik jadi Rp 83,9 miliar dari sebelumnya Rp 51,88 miliar. Ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk bertahan, ber-ekspansi, dan membayar kewajibannya.
AFN melihat bahwa pasar Budi memang masih besar, mengingat produk-produk yang membutuhkan starch dan sweetener semakin digemari di kalangan konsumen, terutama untuk makanan dan minuman jadi.
Walaupun demikian, AFN merekomendasikan agar Budi merambah pasar-pasar baru yang dapat meningkatkan harga jualnya, misalnya ke pasar-pasar yang akan membayar dengan mata uang yang sama, atau mengkonversi mata uang pelaporannya, tergantung kepada yang mana yang berdampak lebih besar. Dengan demikian, Budi dapat menahan laju penurunan laba/rugi bersihnya.
Tuesday, December 3, 2013
BUDI Teruskan Ekspansi di Tengah Kerugian Bersih
Labels:
BUDI,
Budi Acid Jaya,
Budi Starch & Sweetener
Pangsa Pasar Turun, Laba Bersih Indocement Naik 7,17% Karena Harga Naik.
Jakarta, 4 Desember 2013 - PT Indocement
Tunggal Prakasa, Tbk (INTP) mengalami penurunan pangsa pasar sebesar 1,7%
hingga Oktober 2013. Akibatnya kenaikan
volume penjualan hanya sebesar 1% menjadi 13.104 ribu ton selama kuartal ketiga
2013. Namun, laba bersih perseroan
tumbuh 7,17% menjadi Rp 3,81 triliun karena didukung oleh kenaikan harga jual
hingga 7%, pendapatan operasi dan pendapatan keuangan.
Sampai
Oktober 2013, Indocement mengalami penurunan pangsa pasar sebesar 1,7% yoy
menjadi 30,5% di seluruh Indonesia. Kebutuhan semen di Indonesia hingga Oktober
2013 tercatat mencapai 47,16 juta ton dan INTP memasok kebutuhan itu sebesar
14,38 juta ton.
Hal yang
sama terjadi pada PT Holcim Indonesia, Tbk (SMCB) yang mengalami penurunan
pangsa pasar 1,2% menjadi 14,5%. Sementara PT Semen Indonesia (Persero), Tbk (SMGR)
justru mengalami kenaikan pangsa pasar 3,2% menjadi 43,8%.
Permintaan semen di Indonesia |
Dalam
paparan publiknya 28 November 2013 lalu, Tju Lie Sukanto,
Direktur Keuangan Indocement menyatakan masih mengkaji ulang dalam menaikkan kembali
harga jual untuk mendorong pendapatan. Pasalnya biaya produksi semen 40% sampai 50% menggunakan biaya
mata uang dolar AS dan juga mengantisipasi kenaikan
upah buruh. Pada kuartal pertama lalu, Indocement telah menaikkan harga jual
sebesar 7%.
Kinerja keuangan Indocement
Kinerja
keuangan Indocement pada kuartal ketiga 2013 menunjukkan pertumbuhan pendapatan
7,90% menjadi Rp 13,25 triliun dari sebelumnya Rp 12,37 triliun karena kenaikan
harga jual hingga 7% pada kuartal pertama lalu. Namun, secara volume, penjualan
Indocement hanya naik 1% menjadi 13.104 ribu ton dari sebelumnya 13.022 ribu
ton.
Sementara
itu, laba bersih Indocement tercatat naik 7,17% menjadi Rp 3,81 triliun dibanding
periode tahun lalu sebesar Rp 3,37 triliun.
Selama
kuartal ketiga 2013, beban langsung INTP naik 9% atau lebih tinggi dari
kenaikan penjualan menjadi sebesar Rp 7,08 triliun dari sebelumnya Rp 6,52
triliun. Sehingga laba bruto hanya naik 7% menjadi Rp 6,27 triliun dari
sebelumnya Rp 5,85 triliun. Namun, marjin laba bruto terkoreksi tipis menjadi
47,0% dari sebelumnya 47,3%.
Kenaikan
beban langsung ini karena meningkatnya biaya bahan baku, beban tenaga kerja,
beban fabrikasi dan beban pengepakan, sementara biaya bahan bakar dan listrik
justru menurun.
Laba usaha Indocement mengalami
kenaikan 7% menjadi Rp 4,43 triliun dari sebelumnya Rp 4,15 triliun. marjin
usaha Indocement terkoreksi tipis menjadi US$ 33,2% dari
sebelumnya 33,5%.
Meskipun
beban usaha naik 9% menjadi Rp 1,92 triliun dibanding sebelumnya Rp 1,76
triliun, kenaikan laba usaha masih terjaga pada 7% seperti kenaikan beban
langsung karena Indocement membukukan kenaikan pendapatan operasi lainya dari
transaksi dengan pihak berelasi sebesar Rp 82,6 miliar.
Indocement juga
membukukan pendapatan keuangan hingga Rp 341,4 miliar naik 36% dari periode
yang sama tahun lalu sehingga masih menjaga laba bersih naik hingga 7,17%.
Tercatat marjin laba bersih Indocement turun tipis menjadi 27,03% atau dari
periode yang sama tahun lalu sebesar 27,21%.
Dalam
neraca, tercatat kas Indocement sebesar Rp 11 triiun atau 44,79% dari total
aset. Tju Lie
Sukanto, Direktur Keuangan Indocement , kas tersebut rencananya akan
digunakan untuk ekspansi pembangunan pembangunan cement mill dan
pabrik Brown Field di Citereup dengan nilai sebesar Rp 5,5 – 6,5 triliun yang
mampu menampung kapasitas hingga 4,4 juta ton pertahun dan pembangunan pabrik
Green Field di Jawa Tengah hingga diharapkan menampung kapasitas hingga
2-2,5 juta ton per tahun.
Pertumbuhan
aset Indocement selama tahun ini sebesar 8,10% menjadi Rp 24,60 triliun dari
akhir tahun lalu sebesar Rp 22,76 triliun.
Keunggulan
dari Indocement dibanding yang lain karena ketersediaan kas yang cukup besar
dan kekuatan modal yang besar, bahkan rasio likuiditas terhadap modal hanya 0,1
kali dan tidak mencatatkan pinjaman untuk modal, berpotensi mendorong Indocement
untuk berekspansi lebih besar.
Indocement vs Industri
Tercatat
price to earnings ratio (PER) Indocement masih
yang terendah dari semua kompetitor, dan PBV pun masih setara dengan rata-rata
kompetitor, sehingga potensi Indocement untuk naik cukup besar. Bahkan PERnya
yang lebih rendah dari pasar berpotensi mendorong kenaikan .
Return on
equity (ROE) Indocement sebesar 21,41% pun relatif tinggi untuk industri semen
walaupun masih dibawah Semen Indonesia karena leveragenya yang lebih besar
sehingga mendorong ROE.
Dalam kasus
Indocement, leverage belum dibutuhkan mengingat ketersediaan kas yang mencapai
40% dari aset, namun jika INTP melakukan ekspansi besar seperti mengakuisisi
perusahaan baru, misalnya, pembiayaan melalui hutang dapat dilakukan untuk
mendorong laverage sehingga mendorong ROE.
Sementara
itu, secara industri, AFN memprakirakan industri semen masih berpotensi tumbuh
selama tahun 2014 mendatang. Permintaan semen tetap tinggi seiring dengan meningkatnya belanja
infrastruktur pemerintah dan tumbuhnya sektor properti dalam jangka panjang.
Sektor konstruksi diprakirakan masih akan
tumbuh mengingat belanja anggaran pemerintah untuk infrastruktur kembali
mengalami kenaikan. Dalam kerangka APBN 2014, pemerintah merencanakan
mengeluarkan belanja infrastruktur hingga Rp 188,7 triliun. Tentu ini akan
menambah kenaikan pendapatan emiten kontruksi terutama BUMN. Sehingga hal ini
akan mendorong permintaan semen di dalam negeri.
Selain itu, sektor properti properti meskipun
tahun depan diprakirakan melambat dan hanya akan tumbuh sebesar 17% dibanding
tahun ini pada 21%, menunjukkan permintaan properti masih tinggi. Demografi
mayarakat Indonesia menurut BPS rata-rata berusia 28 tahun cenderung
menciptakan sisi permintaan yang sangat tinggi pada properti khususnya rumah
tempat tinggal. Dalam jangka panjang 10 tahun mendatang, sektor properti masih
akan tumbuh, namun untuk tahun ini diprakirakan melambat. Diharapkan permintaan
semen masih tinggi dari sektor properti karena kedua industri ini bersifat komplemen.
Labels:
Holcim Indonesia,
Indocement Tunggal Prakarsa,
INTP,
properti,
semen,
Semen Indonesia,
SMCB,
SMGR
Subscribe to:
Posts (Atom)