Jakarta, 24 Juli 2013 - Telekomunikasi Indonesia, Tbk. (TLKM)
mencatatkan pertumbuhan pendapatan hingga 9,4% atau sebesar Rp. 40 triliun pada
semester pertama 2013 di tengah stagnasi
industri telekomunikasi. Pertumbuhan disumbang oleh sektor data dan internet
yang naik hingga 18% menjadi Rp. 15 triliun dari sebelumnya Rp. 12,7 triliun.
Sektor selular hanya naik 5% menjadi Rp. 15 triliun dari sebelumnya Rp. 14,6
triliun.
Dibandingkan kompetitor seperti XL Axiata, Tbk
(EXCL) atau Indosat, Tbk (ISAT), TLKM mencatatkan performa yang lebih baik. Berdasarkan
laporan keuangan kuartal pertama 2013, pertumbuhan pendapatan
TLKM 9,8% dan pertumbuhan laba bersih 4,7%; sedangkan EXCL membukukan kenaikan
pendapatan 9,1% dengan penurunan laba bersih 11,75%. ISAT hanya mampu tumbuh 1% pada topline, dengan penurunan laba bersih mencapai
105%.
Tingkat pengembalian modal TLKM tertinggi
diantara kompetor, TLKM membukukan ROE
sebesar 20,86% sedangkan EXCL dan ISAT masing-masing 6,37 dan 1,47%. Selain itu
rasio solvabilitas TLKM juga yang paling rendah. Tercatat Debt to Equity Ratio
TLKM sebesar 0,29 kali, sementara EXCL dan ISAT masing-masing 0,93 kali dan 0,
97 kali.
Seiring dengan meningkatnya pendapatan, biaya usaha
TLKM pun meningkat. Beban usaha naik 7,8% menjadi Rp. 26 triliun dari
sebelumnya Rp. 24,5 triliun pada akhir semester tahun lalu.
Walaupun demikian,
TLKM masih membukukan kenaikan laba operasi hingga 12,6% menjadi Rp.
13,8 triliun dari sebelumnya Rp. 12,3 triliun. Marjin laba operasi
tercatat naik menjadi 34,5% dibanding tahun lalu sebesar 33,5%.
Sementara laba bersih TLKM naik 11% menjadi Rp. 7,14 triliun dari priode
tahun lalu Rp. 6,4 triliun. Marjin laba operasi naik tipis menjadi
17,8% dari sebelumnya 17,5%.
Kinerja ini baik mengingat industri sedang berada di dalam stagnasi. Penggunaan percakapan dan SMS pada perangkat selular pada
dekade ini diprakirakan telah mencapai level puncaknya. Sebagian
pengguna selular cenderung beralih ke komunikasi berbasis data. Perang
tarif rendah antar operator pun cenderung menahan pertumbuhan dari
segmen selular. Dari demografi pengguna jasa telekomunikasi selular di
Indonesia, 63% merupakan usia di antara 16 hingga 25 tahun dan cenderung
lebih banyak mengakses data internet dari pada percakapan selular secara
langsung.
Secara garis besar, pertumbuhan pendapatan ini menguatkan opini AFN
terdahulu bahwa TLKM saat ini adalah perusahaan operator telko terbaik
di Indonesia. Tetapi, TLKM tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk keluar dari stagnasi.
AFN melihat peluang pertumbuhan TLKM justru ada di Indonesia bagian
timur. Sebagian kompetitor masih belum mempunyai jaringan memadai di
Indonesia bagian timur. Belanja infrastruktur pemerintah di Indonesia
Timur yang meningkat diharapkan mampu mendorong mobilitas masyarakat di
sana dan efeknya, jasa telekomunikasi di sana meningkat.
TLKM perlu ekspansi untuk menstimulasi pertumbuhan perusahaan karena perusahaan dalam level steady growth pada top performance dan sebagai pemimpin pasar. Ekspansi ke Indonesia Timur dengan memperkuat layanan selular dan data diharapkan menjadi motor pertumbuhan. Ekspansi juga dapat dilakukan dengan mengakuisisi operator selular lain di kawasan Asia Tenggara maupun ekspansi ke negara-negara berkembang lainnya.
Lini bisnis lain seperti electronic money yang berpotensi besar diharapkan mampu mendorong pendapatan perusahaan dimasa mendatang. Industri uang virtual ini masih belum menjadi tren di Indonesia, namun di masa mendatang diharapkan akan tumbuh.
Jika diimplementasikan, wacana perubahan peraturan Kemenkominfo tentang kenaikan harga kartu perdana untuk telepon selular, cenderung akan menekan pendapatan sektor telko termasuk TLKM. Selain itu, berkembangnya WiMax atau layanan nirkabel yang mencakup area hingga 10 Km atau lebih dan memungkinkan penggunanya mengakses data dengan biaya murah atau cenderung gratis akan menjadi ancaman bisnis ini.
Selain itu, kendala yang dihadapi semua oprator selular, termasuk TLKM lewat anak usahanya Telkomsel adalah pembagian jaringan radio yang diatur oleh Kemenkominfo. Beberapa kanal yang rawan ter-intercept oleh operator lain atau peralatan militer dan keamanan nasional lain, membuat beberapa operator enggan untuk mengikuti aturan pembagian jatah kanal frekuensi radio. Akibatnya perang perpindahan kanal radio akhirnya justru menekan pendapatan dari sisi selular karena terbatasnya kanal frekuensi yang disediakan pemerintah.