Jakarta, 19 November 2014 - PT Malindo
Feedmill, Tbk. (MAIN) mencatatkan penurunan saham signifikan hingga 27,30%
sejak sebulan terakhir pasca rilis laporan keuangan yang menunjukkan penurunan
laba hingga 92,35%. Dikombinasikan dengan adanya transaksi pemegang saham di
pasar negosiasi pada harga Rp 2.280, muncullah pertanyaan: wajarkah penurunan
harga tersebut dan apakah sinyal tersebut ditangkap oleh pemilik mayoritas
namun belum diketahui investor minoritas saat itu?
Malindo
mencatatkan penurunan laba bersih hingga 92,35% menjadi Rp 18,53 miliar
meskipun pendapatan masih menunjukkan kenaikan hingga 9,22% menjadi Rp 3,40
triliun. Dampaknya, marjin laba bersih turun signifikan menjadi hanya sebesar
0,55%.
Selain Malindo, kedua
kompetitornya pada industri akan ternak juga mengalami penurunan laba bersih dan
kenaikan pendapatan pada triwulan 3 yang lalu. Namun penurunan kinerja Malindo
lebih signifikan.
PT Charoen
Pokphand, Tbk. (CPIN) pemain terbesar industri pakan ternak, mencatatkan
penurunan laba bersih hingga 22,46% menjadi Rp 1,71 triliun meskipun pendapatan
naik 16,59% menjadi Rp 21,78 triliun. Marjin laba bersih Charoen tercatat 7,86%.
Sementara PT Japfa Comfeed, Tbk. (JPFA) mencatatkan penurunan laba bersih
hingga 57.27% menjadi Rp 327,66 miliar dengan kenaikan pendapatan hingga 17%
pada Rp 18,69 triliun dengan penurunan marjin laba bersih hingga 3% menjadi
1,75%.
Kinerja ketiganya
mengalami penurunan, namun hanya MAIN yang mengalami penurunan harga saham di
pasar hingga 27,30% sejak sebulan terakhir pasca rilis penurunan kinerja
pada triwulan ketiga ini, sementara Charoen Pokphand, Tbk. (CPIN) tercatat hanya
turun 1,04% sejak sebulan terakhir, Japfa Comfeed, Tbk. (JPFA) melemah 8,12%.
Proyeksi beberapa
sekuritas tersebut yang masih berdasarkan laporan keuangan pada semester
pertama tahun ini masih terlalu optimis. Kim Eng Maybank yang merekomendasikan
target harga Malindo pada harga Rp 3.300 memproyeksikan laba bersih per saham
hanya turun 19% pada akhir tahun mendatang. Sementara Bahana Securities
bahkan memproyeksikan laba bersih per saham masih tumbuh 26% meskipun sejak
tahun lalu sudah mengalami penurunan dengan menargetkan harga emiten pada Rp
4.000 per saham.
Pada riset
tersebut sebenarnya telah menunjukkan tanda-tanda bahwa momentum perolehan laba
bersih perusahaan cenderung menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya
karena kondisi pasar pakan ternak yang kelebihan pasokan dan biaya produksi
pakan yang tinggi. Namun turunnya kinerja MAIN pada triwulan ketiga ini yang melebihi
ekspektasi, wajarlah jika harga pun turun tajam.
Di sisi lain perlu
dicermati pula adanya transaksi pemegang saham mayoritas beberapa periode lalu,
di mana terjadi pre-emptive right issue sebanyak 5% saham pada
harga pelaksanaan Rp 3.500. Saham baru dibeli oleh Ginger Company untuk
kemudian pada bulan Agustus dipindahkan kepada Dragon Amity Holding Ltd. dengan
harga sebesar Rp 2.280 per saham.
Setelah pengalihan
saham hasil pre-emptive right issue tersebut, Dragon Amity
Ltd., mengalihkan 51% saham MAIN kepada Dragon Amity Pte. Ltd yang merupakan private company atau
perusahaan swasta tertutup pada harga Rp 2.280 per saham. Kedua perusahaan ini
dikendalikan oleh keluarga Lau dari Malaysia yang juga memiliki Leong Hub
Feedmill di Malaysia.
Perihal ini
transaksi tersebut, Malindo sempat diwajibkan oleh OJK membuka proses transaksi
ini kepada publik. Dalam pernyataannya perusahaan juga menambahkan bahwa hasil
pendanaan right issue tersebut untuk ekspansi dan membangun
pabrik pakan ternak sehingga kembali lagi ke dalam operasional MAIN.
Harga Rp 2.280 tersebut
lebih rendah dibandingkan harga pasar saat itu pada Rp 3.130. Ini menimbulkan
dugaan bahwa ada kemungkinan kinerja Malindo yang turun signifikan pada
triwulan ketiga 2014 sudah diketahui oleh pemegang saham pengendali, namun tidak
tertangkap oleh investor minoritas.
Berbasis kurangnya
keterbukaan informasi yang wajar, ASCEND menyimpulkan bahwa Malindo memiliki
kekurangan standar proses keterbukaan informasi yang perlu diperbaiki.
Walaupun demikian,
transaksi tersebut belum merugikan investor minoritas secara langsung karena
transaksi ini berada di level pemegang saham Malindo dan tidak mengubah
pengendali akhir (ultimate beneficial
owner). Selisih harga ini mungkin disebabkan karena Dragon Amity Pte.Ltd.
adalah perusahaan terbuka yang harus melaksanakan penilaian perusahaan sebelum
pengalihan saham.
ASCEND melihat
justru ada hal yang menarik karena Dragon Amity hingga saat ini mempertahankan Malindo
dalam portofolionya. Industri pakan ternak yang merupakan hulu dari industri
makanan masih dibutuhkan semua orang, sehingga seiring pertumbuhan demografi
penduduk maka pertumbuhan industri ini termasuk Malindo masih cukup terbuka.Selain
itu Dragon Amity juga mempunyai jaringan usaha sejenis yang berada di Malaysia
yaitu Leong Hub Feedmill yang dikendalikan oleh keluarga Lau.
Kinerja MAIN: Fundamental Tertekan
Secara
fundamental, MAIN memang membukukan penurunan laba bersih meskipun pendapatan
tumbuh akibat kenaikan beban langsung yang membuat laba kotor mengalami
penurunan. Analisis ASCEND menunjukkan beban langsung yang meningkat hingga 21%
tidak dapat diteruskan ke pembeli sehingga menekan profitabilitas MAIN.
Di samping itu,
pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat juga cenderung menekan bisnis bahan
pokok seperti ternak ayam dan turunannya. Pendapatan diperkirakan masih
cenderung melambat setidaknya hingga pertengahan tahun depan.
Kenaikan beban
langsung ini berasal dari kenaikan beban pembelian bahan baku yang sebagian
besar impor, dan juga peningkatan beban fabrikasi. Beban bahan baku meningkat
seiring kenaikan komoditas kedelai, jagung dan kelapa sawit pada semester
pertama tahun ini, diharapkan pada semester kedua yang mana tren harga
komoditas cenderung melambat akan menekan beban langsung hingga akhir tahun
nanti.
Meskipun pembelian
beban langsung dengan menggunakan Dollar, sejauh ini depresiasi Rupiah terhadap
Dollar hanya memiliki sensitivitas sebesar 2% pada tahun ini, tidak seperti
tahun lalu yang sebesar 7% terhadap risiko perseroan secara keseluruhan, jadi
sebenarnya nilai tukar tidak signifikan terhadap beban.
Hasilnya pun laba
kotor Malindo tertekan hingga 39,98% sehingga marjin laba kotor pun juga
tertekan menjadi hanya 9,89%. Bahkan EBITDA perusahaan pun melambat dengan
mencatatkan penurunan 51,05% yang menunjukkan profitabilitas dari operasional melambat.
Hal tersebut juga dialami oleh tiga emiten pakan ternak lainnya.
Imbal hasil
terhadap ekuitas (ROE) MAIN pun tertekan hingga 2,08% atau menurun dibandingkan
tahun lalu yang mencapai 28,06%.
Pada industri pakan ternak,
kami melihat bahwa MAIN dalam SWOT analisis memiliki beberapa keunggulan yaitu
berada dalam high industry barrier to entry yang mempunyai
pangsa pasar besar sehingga oportunitas tumbuh cukup besar.
Malindo memiliki oportunitas
dimana ekonomi Indonesia yang masih menarik dan potensi tumbuh besar
dibandingkan dengan negara ASEAN lain dan potensi pasar yang besar.
Namun, Malindo memiliki
kelemahan dimana volatilitas bahan baku dan nilai tukar cederung mendorong
biaya, begitu pula peraturan impor bahan baku yang tidak konsisten. Dibutuhkan
efisiensi biaya dimana saat ini industri poultry memiliki marjin yang cukup
tipis. Selain itu, ancaman terhadap wabah penyakin ternak selalu membayangi.
Malindo juga memiliki ancaman
pada posisi industri secara keseluruhan, yaitu pasar pakan ternak yang masuk
dalam fase kelebihan pasokan sehingga cenderung menekan pertumbuhan. Selan itu,
ancaman dari pasar China yang menawarkan biaya yang lebih murah ke petani juga
mengancam industri akan ternak di Indonesia.
Berdasarkan analisis tersebut,
ASCEND melihat ke depan potensi Malindo untuk tumbuh masih terbuka, namun
selama setahun kedepan kondisi fundamental masih akan tertekan dari faktor
biaya dan penurunan pendapatan. Dalam jangka panjang Malindo masih berpotensi
tumbuh.