Jakarta, 5 September 2013 - Belakangan ini sering sekali terdengar rencana emiten-emiten untuk melakukan pembelian saham kembali (buyback) akibat jatuhnya harga saham mereka di pasar. Tetapi penentunya adalah bagaimana pembelian tersebut akan berakibat kepada kinerja operasional, serta bagaimana kinerja emiten tersebut di mata pasar.
Tujuan buyback saham adalah untuk memberikan sinyal kepada pelaku pasar bahwa harga yang sekarang sudah undervalue (di bawah harga wajarnya). Buyback saham bisa efektif apabila sinyal tersebut kuat dan didukung oleh fundamental. Sebaliknya buyback saham akan dapat berbalik menjadi kesempatan pemilik saham untuk 'buang saham'nya dan merugikan perusahaan di dalam prosesnya.
Mengingat hal ini, maka perusahaan dan investor perlu melihat apakah kriteria-kriteria di bawah ini sudah tercapai, sebelum melakukan buyback saham dan menerima sinyal dari buyback:
1. Posisi kas dan arus kas operasional dapat menutupi kebutuhan kas yang diperlukan buyback. Jangan buyback saham apabila menggunakan pendanaan eksternal atau akan mengganggu kinerja operasional;
2. Apabila harga wajar tidak terlalu jauh dibandingkan harga sekarang, maka buyback tidak perlu dilakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku saham belum memiliki confidence yang cukup kepada emiten. Malah, emiten perlu menggiatkan aktivitas relasi investornya yang dapat meningkatkan kepercayaan tersebut;
Berdasarkan kriteria di atas, maka AFN menyarankan beberapa emiten ini tidak melakukan buyback:
1. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) karena harga wajarnya sudah di sekitar harganya sekarang. Lagipula posisi kasnya hanya sedikit di atas dana yang disiapkan untuk buyback sementara arus kas bersihnya masih negatif. Apalagi ke depannya TLKM masih membutuhkan dana ekspansi yang cukup besar
2. PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) yang harganya kini sudah berada pada kisaran harga wajarnya dan arus kas bersihnya masih negatif.
3. PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk (PTBA) yang harganya kini sudah berada pada kisaran harga wajar akibat kondisi komoditas yang kurang kondusif.
4. PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) yang arus kas operasional maupun bersihnya masih negatif signifikan.
5. PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) yang masih mengalami arus kas operasional maupun bersih negatif signifikan.
Wednesday, September 4, 2013
Saham-saham Berebut Buyback, Hanya ada Beberapa yang Akan Efektif
Labels:
Bank Tabungan Negara,
BBTN,
buyback saham,
Media Nusantara Citra,
MNCN,
PTBA,
RALS,
Ramayana Lestari Sentosa,
Tambang Batubara Bukit Asa,
Telekomunikasi Indonesia,
TLKM
Pemerintah: Rupiah Melemah Hingga 2014, AFN: Rp 10.000 Akan Lama
Jakarta, 4 September 2013 - Menteri Keuangan Chatib Basri dalam Rapat Paripurna DPR menyatakan pergerakan Rupiah akan melemah hingga 2014. Tapi beliau optimistis Rupiah akan menguat kembali hingga mencapai rata-rata nilai tukar pada Rp 9.750 di 2014. Sebaliknya menurut AFN, fundamental makroekonomi menunjukkan Rupiah akan berada di level 10.000 pada waktu yang relatif lama.
Chatib Basri menyebutkan faktor eksternal menekan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS. Pertama, kebijakan stimulus moneter AS yang akan dipangkas selambatnya pada akhir kuartal ketiga 2012 ini.
Kedua, kekhawatiran investor terhadap perkembangan ekonomi negara berkembang seperti China, India dan Brasil yang berpotensi melambat paska berakhirnya stimulus the Fed.
Tiga, faktor kenaikan harga minyak akibat eskalasi ketegangan politik di Timur Tengah.
Keempat, selisih suku bunga acuan BI yang turun dibanding suku bunga di negara-negara lain berpotensi memperbesar arus keluar modal (capital outflow).
Karenanya, Pemerintah yakin Rupiah akan kembali pada 9.750 per Dollar AS di 2014. Untuk itu, pemerintah akan menjaga stabilitas ekonomi, meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat dan mendorong ekspor komoditas andalan.
Beberapa upaya lagi adalah insentif pajak bagi industri padat karya dan padat modal sebesar 30% yang produknya berorientasi ekspor, pelonggaran kuota ekspor mineral dan hasil tambang, kenaikan pajak barang mewah barang impor hingga 125-150% serta memperbesar porsi biodiesel. Pengurangan impor bahan konsumsi dan barang jadi.
Namun AFN melihat bahwa faktor eksternal bukan satu-satunya menekan pergerakan Rupiah hingga “liar”. Sebelumnya dalam riset AFN pernah menyatakan Rupiah saat ini bergeser pada level keseimbangan baru.
Fundamental ekonomi RI melemah akan mendorong Rupiah pada level keseimbangan baru, meningkatnya kebutuhan minyak yang dipenuhi dari impor, defisit neraca perdagangan, inflasi tinggi, utang pemerintah dan swasta tinggi dalam denominasi Dollar AS membuat tekanan terhadap Rupiah.
Defisit neraca berjalan pada semester kedua mencapai 4,4% dari PDB atau sebesar US$ 9,85 miliar. Defisit transaksi minyak dan gas sebesar US$ 5,26 miliar, sementara neraca barang juga mengalami defisit hingga US$ 601 juta dibanding kuartal pertama lalu surplus sebesar US$ 1,6 miliar. Tambahan lagi, tekanan inflasi yang diprakirakan mencapai 8,1% di akhir tahun.
Defisit neraca perdagangan tahun 2012 mencapai US$ 24 miliar atau 2,7% dari total PDB Utang perusahaan swasta juga telah mencapai US$ 128 miliar, angka yang mengkuatirkan dan tidak dapat turun signifikan dalam waktu dekat. Cadangan devisa pun pada akhir Juli 2013 mencapai US$ 92,67 miliar. Jumlah ini setara dengan 5,2 bulan impor.
Resiko hutang RI sekarang berpotensi meningkat setelah pelemahan Rupiah terhadap Dollar. Pada semester pertama 2013, utang jatuh tempo sebesar US$ 27,78 miliar dengan hutang swasta sebesar US$ 22,27 miliar. Diprakirakan hutang jatuh tempo pada kuartal ketiga akan meningkat signifikan.
Sementara itu, rasio hutang terhadap PDB sebesar 23% dengan debt to services ratio mencapai 41%, artinya 41% ekspor Indonesia digunakan untuk melunasi hutang. Rasio hutang jangka pendek RI terhadap cadangan devisa pun mencapai 40%.
Saat terjadi capital outflow masif, permintaan terhadap US$ naik signifikan, cadangan devisa turun karena sebagian besar dari hasil ekspor komoditas yang juga dalam tren penurunan, maka kebijakan apapun oleh BI dan pemerintah sangat sulit untuk menahan Rupiah menembus Rp. 10.000 poin.
Capital inflow tidak signifikan secara langsung menyumbang GDP Indonesia, karena dilihat 5 tahun terakhir capital inflow lebih banyak masuk ke sektor komoditas, dan menyebabkan produksi komoditas naik signifikan. Cadangan devisa dalam 5 tahun terakhir mayoritas berasal dari sektor tambang. Namun, sektor tambang dalam setahun terakhir tertekan menyebabkan devisa tertekan. Capital inflow dari dana murah berasal dai QE sebegian besar masuk pasar saham hanya sedikit yang masuk sektor riil dan memperbesar risiko fundamental ekonomi RI.
Dari semua factor ini, maka AFN merekomendasikan supaya investor lebih waspada terhadap pelemahan nilai Rupiah, dan mendiskon angka yang diberikan dari Pemerintah untuk menjaga portofolio aset agar tetap solid.
Stimulus The Fed Dipangkas, IHSG Bisa Koreksi Lagi
Jakarta, 4 September 2013 - Ketidakpastian kelanjutan stimulus the Fed membayangi
bursa saham. Investor asing lebih memilih melepas saham dan memegang Dollar
mengakibatkan nilai tukar dan bursa saham di negara berkembang termauk
Indonesia terkoreksi. Keputusan the Fed hanya tinggal menunggu waktu, cepat
atau lambat akan dikurangi hingga dihentikan sama sekali.
Quantitative easing The Fed awalnya
adalah untuk memulihkan pasar perumahan di Amerika Serikat paska krisis subprime
mortgage. Data bulan Juli 2013 menunjukkan harga rumah di Amerika
Serikat naik 6,5% dari rata-rata penjualan bulan Juni. Namun, penjualan rumah
justru turun pada 13,6% menjadi 394 ribu unit secara tahunan atau merupakan
level terendah sejak 9 bulan berturut-turut. Data ekonomi tersebut menunjukkan
ekonomi AS belum sepenuhnya pulih. Dari sisi ini, the Fed seharusnya
belum mempertimbangkan untuk menghentikan program stimulusya.
Namun, stimulus tersebut akan terus
membebani neraca dan menekan kredit the Fed yang harus mencetak uang baru
untuk membiayai program tersebut. Quantitative easing ketiga saja
biayanya mencapai US$ 85 miliar setiap bulannya untuk membeli mortgage
backed securities (MBS) yang diharapkan mengalirkan kas ke institusi
finansial di Amerika Serikat yang membantu penjualan perumahan.
Akhirnya setelah QE yang ketiga ini muncullah
pertanyaan, seberapa besar efektivitas stimulus ini terhadap pencapaian tujuan
awal yaitu pemulihan pasar residensial dengan beban yang harus ditanggung
pemerintah?
Dalam pernyataannya pada rapat komite bulan Mei
lalu, Ben Bernanke, Gubernur the Fed menyatakan akan tetap melanjutkan program
stimulus hingga ekonomi Amerika Serikat pulih dengan parameter pengangguran
turun mencapai 6,5% dan target inflasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi sebesar
2,5%. Saat ini pengangguran Amerika Serikat sebesar 7,4% dengan inflasi 2% pada
bulan Juli.
Namun, oleh beberapa anggota the Fed program
tersebut dinilai tidak efektif dan salah sasaran. Saat ini di The Fed sendiri
muncul dua kubu yang pro dan kontra terhadap kelanjutan program stimulus.
Hal utama yang menjadi perdebatan adalah bahwa
stimulus itu mengalir ke aset yang bukan miliknya Amerika Serikat. Ekspektasi
the Fed awalnya agar institusi finansial AS menempatkan dana di AS untuk memacu
pertumbuhan ekonomi dan menekan pengangguran di AS. Dana tersebut akan
mendorong ekspansi ekonomi Amerika Serikat yang berbasis pada pertanian dan
manufaktur. Targetnya, pengangguran menurun dan pendapatan perkapita naik
sehingga pengeluaran individu meningkat dan mendorong perekonomian Amerika
Serikat.
Namun, negara berkembang menawarkan yield
yang lebih tinggi dari pada di AS membuat institusi finansial AS tertarik untuk
berinvestasi di negara-negara berkembang seperti Brasil, Rusia, India,
Indonesia, China, Afrika Selatan. Akibatnya dana segar dari program stimulus
the Fed mengalir ke negara berkembang sejak awal program QE3 yang diumumkan
pertengahan tahun lalu.
Indeks harga saham Negara reli akibat aksi beli
investor dan institusi finansial yang mendapat pendanaan dari stimulus the Fed.
Bursa Indonesia telah naik hingga mencapai 5.200 poin di awal tahun ini
akibat aksi beli investor asing dari akhir tahun hingga kuartal pertama tahun
ini. Portofolio IHSG pun bertambah hingga 50-50 kepemilikan asing dan domestik
dari tahun 2010 pasca krisis finansial lalu investor asing hanya sebesar 30%.
November ini Presiden Obama dijadwalkan memilih
penganti Ben Bernanke yang telah menjabat selama 10 tahun. Larry Summer dan
Janet Yellen disebut sebagai calon terkuat. Summer pernah menyebut tidak setuju
dengan kebijakan the Fed saat ini pada bulan Maret lalu. Sementara Janet Yellen
yang dikenal lebih pro pasar namun pada pada periode yang sama pernah
menyatakan akan memangkas stimulus the Fed dan mencari pendanaan lain untuk
memulihkan ekonomi Amerika Serikat. Bila pergantian terjadi, maka kita
sudah akan mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi dengan stimulus itu. Pertanyaannya
adalah kapan?
Survei yang dilakukan institusi finansial di
Amerika menunjukkan harapan mereka besar pada Janet Yellen. Obat yang dipaksa
ditelah oleh Summer, walaupun membuat para pelaku pasar finansial ini untung,
telah menorehkan luka yang tidak mudah sembuh. Dengan Yellen, ada kemungkinan
stimulus akan dikurangi dengan tingkat yang lebih lambat, memberikan waktu yang
panjang bagi pelaku pasar untuk mengubah portofolio mereka tanpa guncangan
berarti.
Bank-bank besar yang berkontribusi di dalam
survey yang dilakukan oleh US Economic Radar sebagian besar berpendapat bahwa
pemangkasan stimulus akan dilakukan antara September 2013 dan Desember 2013.
Hanya Bank Mizuho yang berpendapat setelah 2014. Namun, sebelumnya the Fed
telah melakukan melakukan quantitave easing yang masing-masing
dalam periode satu tahun,QE 1 dilakukan periode Maret 2009 hingga Maret 2010,
QE 2 dilakukan pada November 2010 hingga November 2011, sementara QE 3
dilakukan sejak September 2012.
US Economic Radar http://www.floatingpath.com
|
Dampaknya di Indonesia: Bursa
Saham Indonesia Makin Terkoreksi, Rupiah Makin Melemah
Rencana the Fed memangkas program
stimulusnya telah membuat ketidakpastian di pasar saham dan nilai tukar.
Investor mengamankan protofolionya dengan beralih pada Dollar AS atau
emas. Aksi jual oleh investor asing secara masif terjadi sejak Mei lalu
dan mengakibatkan arus modal asing keluar semakin besar. Capital outflow
di Indonesia sendiri tercatat sebesar US$ 4,1 miliar hingga bulan Juli lalu.
Tercermin pada Indeks Harga Saham Gabungan yang terkoreksi signifikan dari Mei
hingga Agustus sekarang yang mencapai 30%. Bursa Saham Indonesia bergerak antara
level 3.800 hingga 4.100 pada akhir Agustus, atau level yang sama tahun lalu
sebelum the Fed melakukan program stimulusnya.
Akibat pemangkasan stimulus the
Fed, nilai tukar juga menurun signifikan akibat naiknya permintaan terhadap Dollar
AS. Penurunan nilai tukar ini juga dipengaruhi faktor lain seperti
defisit neraca berjalan dan pembengkakan subsidi anggaran pemerintah. Rupiah
telah menembus level Rp. 11.000 poin atau turun 13% dan asumsi awal pada tahun
2013 yang diprakirakan bergerak dalam rentang 9.700 hingga 9.800 poin.
Jadi kombinasi faktor eksternal dan internal ini membuat AFN berpendapat bahwa IHSG masih menyisakan ruang untuk
koreksi, walaupun sudah turun
sedemikian dalam.
Subscribe to:
Posts (Atom)