Jakarta, 13 Agustus 2014 – Indeks Pertambangan
menguat signifikan sejak akhir Juli sampai 8%
ke level 1.560. Penguatan harga metal dan mineral khususnya telah menjadi
faktor utama penguatan ini. Beberapa emiten khususnya berkapitalisasi besar
serta beberapa emiten tambang mineral kecil menunjukkan kenaikan harga yang
signifikan.
Emas ditransaksikan menguat seiring
dengan investor mencari aset yang aman di tengah ketegangan geopolitik di
Ukraina, Irak, dan Gaza.
Sementara itu investor melihat bahwa
kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah sebaiknya diteruskan paska transisi
pemerintah baru. Diteruskannya kebijakan ini dapat meningkatkan kepercayaan
investor terhadap pemerintah, karena dana investasi telah digulirkan dan sumber
daya telah diarahkan untuk membangun smelter.
R. Sukhyar, kepala direktorat
jenderal batubara dan mineral, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, menegaskan
kepada Bloomberg bahwa kedua pemerintahan – Presiden Yudhoyono dan presiden terpilih
Joko Widodo – memiliki pandangan yang sama mengenai ekspor barang mentah.
Karena itu kemungkinannya sangat besar bahwa kebijakan tersebut akan tetap
dipertahankan.
Larangan ekspor ini telah menurunkan
pasokan nikel Indonesia ke dunia tahun 2015 dari 29% ke hanya 8,9%. Kekurangan
pasokan ini telah meningkatkan harga nikel ke titik tertinggi sejak 2012. Sejak
awal tahun, harga nikel telah naik 56% menjadi US$ 21.625/metrik ton
PT Adaro Energy, Tbk (ADRO), PT Vale
Indonesia, Tbk (INCO), PT Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk (PTBA), PT Aneka
Tambang, Tbk (ANTM) dan PT SMR Utama, Tbk (SMRU) mengalami kenaikan harga yang
cukup signifikan.
Harga saham PT SMR Utama, Tbk (SMRU) |
Harga SMR Utama bahkan naik lebih
dari dua kali lipat, padahal emiten tersebut masih mencatatkan kerugian masif
karena berhentinya operasi tambang akibat harga yang masih terlalu rendah.