Jakarta, 30 Agustus 2013 - Kondisi pasar saham yang bearish dalam beberapa pekan belakangan ini telah menyulut minat para emiten untuk melakukan pembelian kembali (buyback) saham-sahamnya. Walaupun tindakan ini serupa dengan yang terjadi pada tahun 2008 - 2009, namun AFN melihat bahwa buyback kali ini tidak akan se-efektif saudara tuanya.
Minat buyback saham ini mengikuti peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang resmi diberlakukan sejak 26 Agustus 2013, yaitu mengijinkan emiten melakukan buyback tanpa persetujuan RUPS. Tujuannya adalah untuk meredam gejolak pasar yang tertekan dari titik tertingginya di 5.251 menjadi hanya 4.195 setelah sempat di bawah level 4.000 pada pekan ini.
Secara umum tujuan buyback ada dua. Pertama adalah untuk memberi sinyal pada pasar bahwa harga wajar saham ada di atas harga pasarnya. Kedua, adalah perusahaan memiliki potensi laba dari selisih buyback dan penjualan kembali saham treasuri tersebut.
Pada tahun 2008, banyak buyback dilakukan untuk memberikan sinyal dan kepercayaan kepada pasar bahwa harga saham ada di bawah nilai wajarnya (undervalued). Beberapa saham yang di-buyback tahun 2008 memiliki P/E di bawah 10, seperti PT Wijaya Karya, Tbk (WIKA). Waktu itu IHSG hanya di level 1.200.
Kini, IHSG sudah 4 kali lipat dari level tersebut. Artinya harga sudah berada di sekitar nilai wajar - kalau tidak melampauinya (overvalued). Apakah sinyal yang akan ditransmisikan perusahaan melalui buyback itu akan diterima oleh pasar? AFN melihat bahwa penurunan ini disebabkan oleh sudah overvalued-nya pasar dan pasar malah sedang mencari titik ekuilibrium yang lebih wajar.
Bila dilihat pada tabel, beberapa saham malah sudah memiliki harga di atas 3 kali nilai buku, seperti Semen Gresik, dan MNC Sky Vision. Apakah pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sedemikian agresifnya di tengah pelemahan ekonomi dunia, sehingga harga tersebut dapat dijustifikasi, bahkan ditingkatkan lagi?
Karena alasan-alasan ini, maka AFN merekomendasikan supaya buyback yang dilakukan oleh emiten harus:
1. Mempertimbangkan dengan lebih hati-hati nilai wajar dari saham, bukan hanya melihat kepada harga tertinggi yang pernah dicapai tetapi juga ekonomi secara keseluruhan;
2. Melakukan buyback untuk menjaga likuiditas, terutama untuk saham-saham yang kurang likuid seperti Mitra Pinasthika Mustika (MPMX) dan Perdana Gapuraprima (GPRA);
3. Buyback dilakukan bukan untuk memberikan sinyal naik, namun untuk membantu saham kembali ke harga wajarnya melalui penyusutan jumlah saham beredar. Hal ini nampak sekali pada saham-saham yang memiliki nilai buku lebih dari 5 seperti MNC Sky Vision (MSKY) dan Media Nusantara Citra (MNCN);
4. Tidak berasal dari dana leverage (utang) atau dana yang akan digunakan oleh operasional dan investasi ke depan, serta harus siap dengan adanya kerugian dari buyback tersebut (harga jual di bawah harga beli).