Jakarta, 15 September 2014 - PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) kembali
membukukan rugi hingga US$ 211,7 juta, jauh lebih besar dibandingkan tahun lalu
sebesar US$ 10,9 juta, tertekan oleh turunnya pendapatan penerbangan internasional sementara penerbangan domestik masih tumbuh.
Pertumbuhan penumpang untuk penerbangan
internasional turun 2,2% menjadi sebanyak 1,87 juta selama semester pertama
2014 dibandingkan sebelumnya yang mencapai 1,91 juta, sedangkan untuk pasar
domestik tercatat masih tumbuh 10,7% hingga 8,15 juta dari sebelumnya
7,36 juta.
Profitabilitas operasi penerbangan Garuda
Indonesia menurun setelah tingkat keterisian kursi tertekan terutama pada
penerbangan internasional dengan yield
pendapatan penumpang mengalami penurunan
disertai peningkatan biaya per unit penerbangan, sehingga profitabilitas
operasional penerbangan tertekan.
Operasional Garuda untuk penerbangan
internasional mencatatkan penurunan pendapatan per kilometer (Revenue Per Kilometer)
hingga 2,6% menjadi 7,28 miliar unit RPK dengan yield per
penumpang menurun 3,6% sehingga mengakibatkan pendapatan Garuda mengalami
tekanan.
Di sisi lain, ketersediaan tempat duduk per
kilometer (ASK) yang naik 14,8% dengan kenaikan beban per unit naik hingga 3,6%
menjadi 11,47 miliar unit ASK membuat profitabilitas operasional tertekan
karena pendapatan lebih rendah dibandingkan beban dengan rasio 0,70 kali
dibanding sebelumnya 0,88 kali. Breakeven
load factor tercapai apabila rasio tersebut mencapai 1 kali.
Sementara itu, tingkat keterisian penumpang di
untuk penerbangan internasional mengalami penurunan hingga 11,4% menjadi
sebesar 63,4%.
Meskipun jumlah dan frekuensi penerbangan
internasional Garuda hanya sekitar seperlima dibandingkan penerbangan domestik,
pendapatan dari penerbangan ini mencapai 54,5% dari pendapatan penerbangan
Garuda Indonesia.
Pada penerbangan domestik, Garuda juga
mengalami penurunan profitabilitas dengan rasio pendapatan dan beban
penerbangan menjadi sebesar 0,85 kali dibandingkan dengan sebelumnya 0,95 kali.
Penurunan pada pasar domestik ini akibat dari
penurunan yield pendapatan per
penumpang dan load factor turun meskipun beban per unit mengalami penurunan. Selain
itu, kenaikan ASK yang lebih tinggi
dibandingkan RPK juga menekan profitabilitas Garuda.
Di sisi lain, pelemahan kurs nilai tukar yang
terjadi untuk penerbangan domestik, membuat yield
dalam denominasi Dollar AS turun 9,5%
sehingga menekan pertumbuhan pendapatan, sementara beban yang ditanggung mayoritas dalam
denominasi Dollar AS.
Kedua pasar Garuda tersebut jika digabungkan
mencatatkan rasio profitabilitas operasional penerbangan menjadi sebesar 0,78
kali atau lebih rendah dibandingkan tahun lalu sebesar 0,93 kali. Penurunan ini
seiring dengan ditunjukkan oleh penurunan laba bersih yang tercatat pada
periode ini.
Sementara itu, untuk unit operasional low cost carrier (LCC) yang dioperasikan
oleh Citilink tercatat mengalami pertumbuhan meskipun masih belum mampu menutup
breakeven load factor.
Tingkat keterisian penumpang pada segmen LCC
ini tumbuh 4,5% y-o-y. Rasio profitabilitas unit operasional Citilink ini
sebesar 0,85 kali atau masih belum mampu breakeven meskipun pertumbuhan
penumpang, pendapatan per penumpang tumbuh melebihi ketersediaan kursi, load factor
meningkat, yield naik, dan beban per
unit turun. Hal tersebut disebabkan karena beban bahan bakar masih cukup tinggi
hingga 51% dari total beban per unit sehingga menekan profitabilitas.
Secara keseluruhan pendapatan per kilometer
(RPK) Garuda tercatat naik 6,8%, namun karena yield yang turun 5,7%, load factor turun 6,3%, kapasitas kursi yang naik hingga 16,5%, beban per unit juga
naik 0,4% masih menekan profitabilitas dengan hanya mencatatkan rasio
profitabilitas penerbangan sebesar 0,78 kali atau turun dari tahun lalu sebesar
0,91 kali.
Hasilnya dalam nilai Dollar AS, Garuda hanya
mencatatkan kenaikan tipis pendapatan sebesar 0,7% menjadi sebesar US$ 1,74
miliar dengan pendapatan dari penerbangan terjadwal sebesar US$ 1,59 miliar
atau naik 2,3%. Sementara itu, beban
penerbangan meningkat.
Beban bahan bakar tercatat naik 15,8% menjadi
US$ 759,20 juta dengan beban sewa pesawat tercatat naik hingga 47,15% menjadi
US$ 325.96 juta.
Selain itu, komponen beban terbesar kedua,
beban sewa guna pesawat (operation
leasing for aircraft) tercatat naik 47,1% selama 2014 ini menjadi US$
325,96 juta. Hal ini karena 117 pesawat yang dioperasikan Garuda dibiayai
menggunakan sewa guna usaha. Biaya pemeliharaan juga tercatat meningkat 15,6% menjadi
US$ 164,32 juta.
Dengan kenaikan beban yang lebih tinggi
tersebut dan operasional Garuda yang melambat, hingga semester pertama 2014
ini, Garuda masih tercatat membukukan kerugian sebelum pajak hingga US$ 266,38
juta.
Setidaknya laba sebelum beban keuangan, pajak,
penyusutan, amortisasi dan biaya sewa (EBITDAR) Garuda yang tercatat sebesar
US$ 169,5 juta menunjukkan profitabilitas Garuda masih positif meskipun
mengalami penurunan.