Jakarta, 6 Februari 2015 – Menteri Keuangan
Bambang Brodjonegoro melontarkan kemungkinan dipelajarinya langkah merger
antara 2 bank BUMN besar, yaitu PT Bank Mandiri (Persero), Tbk (BMRI) dan PT
Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk (BBNI). Wacana ini mendapat tanggapan
keras dari kedua pihak, terutama pihak internal perbankan. Mengapa merger perlu
atau tidak perlu dilakukan? Lalu kenapa yang disasar Mandiri dan BNI, bukan
misalnya BRI atau BTN?
Menkeu membeberkan alasan pemikiran
merger adalah agar bank Indonesia dapat bersaing di dalam Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA). Pemerintah khawatir tidak ada bank yang bisa melawan serbuan bank-bank
asing dengan aset besar, padahal Indonesia merupakan ‘lahan basah’ bagi
bank-bank ini.
Lain lagi kata Direktur Keuangan BNI
Yap Tjap Soen. Ia mengatakan bahwa memang konsolidasi bank-bank pelat merah
memang sudah dibahas sejak Kementerian BUMN masih seumur jagung namun rencana
yang dibahas secara detail adalah konsolidasi melalui holding company – bukan direct
merger. Apa bedanya? Bedanya menurut Yap adalah direct merger akan membutuhkan
banyak proses yang harus dijalani dan memiliki risiko di setiap langkahnya.
Beberapa pihak mengalasi
penolakannya dengan kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mungkin
dilakukan paska merger. Selain itu ada pula yang berkomentar: “wong sama-sama
sehat, kenapa harus merger?”. Kompleksitas merger kedua bank ini makin tinggi
mengingat bahwa keduanya adalah sama-sama bank milik publik juga, bukan hanya
milik pemerintah, sehingga keputusan merger harus diambil bersama-sama dengan
investor publik.
Pertama-tama, merger bukanlah hal
baru di dalam dunia usaha, bahkan merger antara dua perusahaan yang sehat.
Ambil saja contoh Adidas dan Reebok, dua raksasa peralatan olahraga dengan
merek internasional dan bersaing mendapatkan posisi nomor 2 dan 3 di dunia,
merger untuk memperebutkan posisi nomor 1.
Tiga bank besar Malaysia, termasuk
CIMB Group Holdings Bhd – bank kedua terbesar di Malaysia setelah Malayan
Banking Bhd (Maybank), sedang membicarakan merger. Bila sukses, merger ini akan
membuat CIMB Group menjadi bank terbsar di Malaysia dan salah satu bank
terbesar di Asia Tenggara.
Merger dilakukan untuk memperbesar
pasar, memperkuat posisi, memperkuat daya tawar dan meningkatkan efisiensi. Merger
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki visi menjadi pemimpin pasar,
yang melihat peluang dari kesempatan silang kompetensi dan menghasilkan inovasi
yang menyegarkan.
Pengalaman merger perbankan terbesar
memang kita rasakan pada saat Krisis Moneter tahun 1998, di mana merger
besar-besaran terjadi dan salah satunya melahirkan Bank Mandiri. Proses ini
menyakitkan, melibatkan PHK besar-besaran, membutuhkan beberapa pergantian
pemimpin sebelum Bank Mandiri menjadi bank kedua terbesar setelah PT Bank
Rakyat Indonesia, Tbk (BBRI) dan memiliki brand kuat. Sayangnya pengalaman merger pertama ini pahit
sehingga ide tentang merger diasosiasikan dengan kinerja buruk. Namun suka atau
tidak suka, asosiasi ini harus diluruhkan, sehingga pengalaman perbankan kita
dapat menjadi lebih kaya dan bank-bank kita semakin kuat.
Kedua, dilihat dari sisi aset, maka
bank Indonesia berada di posisi kurang menguntungkan apabila perbankan Asia
Tenggara sudah terbuka. PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BBRI) yang saat ini
adalah bank terbesar di Indonesia hanya menempati posisi 9 di bawah DBS Bank,
Overseas Chinese Banking Corporation, dan United Overseas Bank yang ketiganya dari
Singapore. Bank BRI yang asetnya tercatat US$ 63 miliar, juga harus melompati
Maybank dan CIMB Group Holding dari Malaysia. Awal 2014, Maybank sendiri telah
mencatatkan US$ 148 miliar sementara CIMB Group Holding US$ 101 miliar.
Bergabungnya Bank Mandiri dengan
Bank BNI secara otomatis meningkatkan aset bank dalam negeri menjadi sedikit di
bawah US$100 miliar. Aset sebesar itu dapat memperkuat kepercayaan diri untuk
bersaing dengan bank-bank sekelas CIMB dan DBS.
Ketiga, mengapa Bank Mandiri dan
Bank BNI? Bila kita coba bertanya kepada orang-orang, sebutkan 1 kata yang dapat mendeskripsikan Bank
BRI, maka jawabannya adalah UKM. Satu kata untuk Bank BTN, jawabannya adalah
perumahan. Tapi 1 kata untuk Bank Mandiri dan Bank BNI pasti menghasilkan beberapa
jawaban yang akan tumpang tindih satu sama lain: korporat, konsumen, Syariah dan
kartu kredit.
Jawaban-jawaban ini menggambarkan
bahwa kompetensi Bank Mandiri dan Bank BNI saling terkait dan pembelajaran dapat
berlangsung dengan lebih cepat.
Alasan ini pula yang dapat
menurunkan tingkat risiko merger yang tak dapat disangkal cukup tinggi. Konflik
tenaga kerja, budaya korporasi, serta kegagalan menghasilkan sinergi merupakan faktor-faktor
di belakang sejarah kegagalan merger. Namun manajemen yang solid, strategi
manajemen perubahan yang terencana, serta visi yang jelas akan berkontribusi
terhadap keberhasilan merger kedua bank raksasa ini.