Jakarta, 14 Februari 2014 – PT
Central Omega Resources, Tbk (DKFT) mencatatkan pertumbuhan pendapatan hanya 1,3%
dan pertumbuhan laba bersih 11,2%. Pertumbuhan laba bersih yang lebih besar
disebabkan oleh kenaikan keuntungan selisih kurs serta penurunan beban umum dan
administrasi. Tahun 2014, pendapatan dan laba mungkin akan menurun apabila perusahaan
tidak segera mendapatkan target pasar baru domestik.
Pendapatan Central Omega yang
seluruhnya berasal dari penjualan bijih nikel tercatat naik 1,3% menjadi Rp
859.28 miliar dibandingkan sebelumnya Rp 848,50 miliar. Sementara tercatat
kenaikan penjualan kepada Ivoryline Investment Ltd sebesar 20% serta penjualan
baru kepada Shanxi Minmetals Industrial and Trading Co.Ltd serta Minecore
Resources Inc. yang mendorong peningkatan pendapatan, perusahaan juga
kehilangan penjualan dari Multi Success Trading Ltd., Ningbo Cimei Import
&Export Co Ltd dan Sino Legend Ltd.
Secara umum kinerja tahun 2013
perusahaan lebih baik daripada tahun 2012. Pertumbuhannya memang tidak besar karena seiring dengan kondisi
industri yang melemah. Marjin laba kotor
memang tertekan, tetapi marjin laba sebelum pajak dan bunga serta marjin laba
bersih naik karena adanya pelemahan Rupiah sementara penjualan dilakukan dengan
mata uang dolar. Selain itu, rasio utang membaik karena tidak adanya utang
usaha, dan kemampuan memenuhi kewajikan jangka pendek baik.
Harga saham DKFT pada penutupan sesi
1 tanggal 14 Februari ini adalah Rp 406, mencerminkan rasio P/E 6,78x dan rasio
PBV 1,57x. Angka ini memang masih kecil, tetapi investor perlu mempertimbangkan
bahwa Central Omega adalah salah satu emiten tambang yang terkena dampak
langsung peraturan pemerintah yang melarang ekspor mineral mentah pada 12
Januari lalu.
Perusahaan sudah menghentikan
kegiatan ekspor atas bijih nikel yang dihasilkan perusahaan hingga ada
ketentuan yang memperbolehkan melakukan kegiatan ekspor kembali. Sementara itu
proyek pembangunan smelter perusahaan masih dalam tahap persiapan pembangunan
yang akan dimulai pada kuartal 1 tahun 2014 berupa pemancangan tiang pertama
(ground breaking). Diperkirakan smelter baru akan berproduksi pada akhir tahun
2015.
Melihat ini maka AFN mengingatkan
investor agar waspada terhadap 2 tahun ke depan ini. Apabila perusahaan tidak
mampu mendapatkan pembeli domestik dalam waktu singkat, maka perusahaan
kemungkinan besar akan menghentikan secara total operasi perusahaan.
Positifnya, AFN melihat bahwa
apabila sektor infrastruktur di Indonesia paska pemilu bisa digenjot, maka
kebutuhan akan nikel domestik akan sangat tinggi. Tetapi sekali lagi, hal itu
butuh waktu.