Jakarta, 1 Agustus 2013 - Pertumbuhan laba kuartal kedua dari 8 bank
terbesar nasional mencapai 18% dibanding semester kedua tahun lalu. Tetapi,
perbankan nasional dihadapkan dengan tantangan terhadap inflasi, kenaikan suku
bunga, penurunan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dan kondisi makroekonomi
dunia yang belum menentu.
Pertumbuhan laba tertinggi dibukukan oleh Bank
BNI yang naik hingga 30% sebesar Rp. 4,28 triliun. Sementara laba dengan nilai
tertinggi dibukukan oleh Bank Mandiri sebesar Rp. 8,29 triliun. Pendapatan
bunga bersih secara rata-rata tumbuh 15% year on year. Pertumbuhan pendapatan
tertinggi dibukukan oleh Bank BCA yang naik hingga 24% dibanding periode tahun
lalu. Sementara pendapatan bunga tertinggi dibukukan oleh Bank Mandiri sebesar
Rp. 15,14 triliun.
Di sisi lain BI telah menaikkan tingkat bunga
referensinya 2 kali dalam dua bulan terakhir menjadi 6,5% akan menekan
pendapatan perbankan. Bahkan diprakirakan BI rate akan dinaikan lagi pada
kuartal ketiga tahun ini menjadi 7% untuk menekan inflasi.
Kredit sebagai produk utama bank diproyeksikan
turun pasca kenaikan BI rate. Kenaikan BI akan memicu kenaikan bunga kredit dan
cenderung menekan jumlah kredit tersalurkan. Marjin bunga bersih bank
diprakirakan turun pada semester kedua ini. Biaya bunga untuk pembayaran dana
pihak ketiga diprakirakan naik sehingga menekan pendapatan bunga bersih. Laba
bank pun cenderung turun karena pendapatan operasional perbankan di Indonesia
rata-rata lebih kecil atau tidak signifikan dibanding porsi pendapatan bunga
bersih.
Namun sisi positif kenaikan BI rate akan
mengerem pertumbuhan kredit, terutama kredit konsumer yang tumbuh signifikan
beberapa tahun terakhir sehingga bank lebih pruden. Bank diharapkan tidak hanya
mengejar laba semata, namun menjaga risiko sistematik lebih diutamakan. Istilah
too big too fail tidak berlaku lagi pada bank-bank besar, mengingat
salah satu bank besar di Amerika jatuh saat krisis finansial 2008 lalu. Menurut
Fitch, Indonesia merupakan negara dengan indikator makro prudensial skala 3
atau berisiko sistematis tinggi.
Efek melemahnya nilai tukar juga membuat risiko
perbankan semakin tinggi. Debitur bank sebagian besar yang memperoleh kredit
dalam nominal tinggi adalah perusahaan manufaktur dan industri yang mengimpor
bahan baku dalam denominasi Dollar, sementara penjualan produk di dalam negeri
dalam bentuk Rupiah. BI memprakirakan laba perusahaan manufaktur dan industri
akan tertekan hingga 3%. Penurunan kinerja debitur akan berdampak terhadap
risiko pembayaran kredit kepada bank. Jika kredit macet semakin tinggi
akan menekan laba dari bank itu sendiri. Per Juni 2013, Non Perfoming Loan dari
109 bank dibawah pengawasan BI tercatat rata-rata 3,1% dan Rasio Kecukupan
Modal Minimum rata-rata pada 17,31%.
AFN
memprediksi bahwa pertumbuhan laba q-to-q perbankan di kuartal ketiga dan
keempat tidak lagi semanis kuartal kedua ini.