Jakarta, 26 September 2014 - Sejak awal Agustus dan makin jelas
pada awal September, Rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Ada beberapa
faktor yang ditengarai menjadi penyebabnya, baik internal maupun eksternal.
Bagaimana investor harus memilih di tengah-tengah pelemahan seperti ini?
Sudah lima hari berturut-turut,
Rupiah menetap di angka lebih dari Rp 12.000/dolar AS. Padahal di awal Agustus,
Rupiah baru menyentuh Rp 11.533/dolar AS. Artinya selama hampir 2 bulan ini,
Rupiah sudah melemah lebih dari 4%. Penyebab pelemahan ini berasal baik dari
luar Indonesia, maupun dari dalam negeri.
Faktor luar yang tidak dapat
ditentukan oleh Indonesia namun dapat diprediksi, adalah kenaikan suku bunga
The Fed yang diperkirakan akan terjadi awal tahun depan. The Fed telah menyatakan
hal tersebut sejak awal tahun ini, yaitu apabila indikator perekonomian Amerika
terlihat membaik dan angka pengangguran menurun.
Langkah the Fed untuk menghentikan
stimulusnya mendorong Bank Sentral Eropa dan Bank Sentral China juga bergerak
untuk mempertahankan perekonomiannya masing-masing. Bank Sentral Eropa
menyatakan akan tetap mengambil kebijakan moneter longgar sehingga inflasi
dapat didorong sampai tetap di bawah 2%. Likuiditas yang akan mengalir kembali ke
Amerika akibat kenaikan suku bunga The Fed, dikuatirkan akan menekan
pertumbuhan ekonomi Eropa apabila Bank Sentral Eropa tidak mengambil kebijakan
tersebut.
Seiring dengan itu, Bank Sentral
China juga memberikan sinyal akan melonggarkan kebijakan moneternya dengan cara
menginjeksi dana stimulus kepada bank-bank terbesarnya. China akan mengambil
keuntungan dengan melemahkan mata uang Yuannya untuk mendorong ekspor. Kebijakan
ketiga bank sentral yang paling berpengaruh ini membawa dampak Rupiah yang
makin melemah terhadap dolar AS.
Dari dalam negeri, pelemahan Rupiah
juga disebabkan oleh defisit neraca perdagangan yang telah terjadi empat
triwulan berturut-turut serta ekspektasi utang valas yang sedianya akan banyak
jatuh tempo pada tahun ini. Selain itu penantian kabinet baru juga mempengaruhi
kehati-hatian pelaku pasar di dalam membuat keputusan.
Tekanan nilai Rupiah ini
diperkirakan akan terus berlangsung sampai tahun 2015 karena dorongan inflasi.
Inflasi akan dipicu oleh pengurangan subsidi BBM yang telah diindikasikan oleh
pemerintahan baru.
Kini yang lebih penting, di dalam
situasi tekanan Rupiah ini, perusahaan-perusahaan mana yang masih menarik untuk
diinvestasikan? Pertama adalah perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki utang
valas jangka panjang, sehingga dampak tekanan nilai Rupiah kecil. Kedua, adalah
perusahaan-perusahaan yang sebagian pendapatannya adalah dari ekspor terutama yang
pembayarannya dalam mata uang dolar AS, sehingga terjadi lindung nilai alami.
Ketiga, adalah perusahaan-perusahaan yang bahan bakunya bukan impor tapi dari
sumber-sumber domestik.
Ke depannya, untuk mengurangi risiko ekonomi nasional, Bank Indonesia sedang mengkaji untuk membatasi utang sektor swasta berbasis valutas asing maksimal 70% dari aset. Porsi ini adalah porsi yang sangat moderat karena berarti bisa saja seluruh utang perusahaan berupa mata uang asing. Tetapi yang perlu diperhatikan dari kebijakan ini adalah intensi Bank Indonesia untuk meningkatkan pengawasan dan mendorong adanya strategi lindung nilai agar tidak terjadi lagi krisis moneter seperti tahun 1998.
Ke depannya, untuk mengurangi risiko ekonomi nasional, Bank Indonesia sedang mengkaji untuk membatasi utang sektor swasta berbasis valutas asing maksimal 70% dari aset. Porsi ini adalah porsi yang sangat moderat karena berarti bisa saja seluruh utang perusahaan berupa mata uang asing. Tetapi yang perlu diperhatikan dari kebijakan ini adalah intensi Bank Indonesia untuk meningkatkan pengawasan dan mendorong adanya strategi lindung nilai agar tidak terjadi lagi krisis moneter seperti tahun 1998.