Kondisi koreksi harga besar-besaran serta keengganan investor terhadap risiko baru-baru ini terhadap saham-saham di negara berkembang, telah membuat beberapa saham berfundamental baik tertekan dan tidak dapat naik lagi. PT Indosat Tbk (ISAT), menurut Arnold, adalah salah satu saham ini.
Indosat adalah penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi yang terintegrasi, menawarkan jasa telekomunikasi di Indonesia dan luar Indonesia. Indosat juga adalah operator seluler kedua terbesar di Indonesia berdasarkan jumlah pelanggan dan penyedia jasa telekomunikasi jarak jauh yang terbesar di Indonesia.

Valuasi menunjukkan Indosat masih sangat murah. TTM EV/EBITDAnya 3,9x yang artinya investor tidak rela membayar untuk pertumbuhan ataupun free cash flow Indosat. Di tahun 2012, Indosat menghasilkan US$ 445 juta free cash flow, sementara pertumbuhan pendapatan 14%. Bukan kinerja yang buruk, menurut Arnold.
Dengan kinerja ini, seharusnya wajar bila investor menghargai 10 - 15x TTM EV/FCF atau 5x TTM EV/EBITDA karena Indosat sedang di tahap pertumbuhan. Indosat mentargetkan US$ 1,17 miliar di tahun 2013, dan target ini wajar mengingat Indosat adalah perusahaan yang tumbuh sehat di ekonomi yang sedang berkembang dan memiliki populasi keempat terbesar di dunia, dengan barriers to entry yang tinggi.
Risiko yang perlu dicermati selain makroekonomi, adalah skandal terkait dengan penggunaan frekuensi 2,1Ghz yang kasus hukumnya masih berlangsung namun diyakini tidak akan merugikan perusahaan lebih dalam lagi.
Indosat juga sempat menerima opini qualified dalam audit keuangannya karena kontrol internal manajemen terhadap pelaporan finansial. Akan tetapi opini ini mungkin terkait dengan sale-and-leaseback menara kepada PT Tower Bersama Infrastructure, Tbk (TBIG)yang akuntansinya memang sangat rumit. Artinya kontrol internal manajemen mungkin berada dalam kondisi yang baik.