Jakarta, 26 November 2013 - Bank-bank di Indonesia dihadapkan
pada tantangan likuiditas pada tahun 2014 mendatang. Bahkan beberapa bank besar
nasional telah menetapkan suku bunga simpanan hingga 9% - 12%. Dana murah
sepertinya sulit diserap dari masyarakat, maka salah satu pilihannya untuk
meningkatkan aset likuidnya adalah menerbitkan efek beragun aset (EBA) atau Asset Backed Securities.
Outlook ekonomi tahun 2014 mendatang
dihadapkan dengan perlambatan ekonomi dan ancaman pemangkasan stimulus the Fed.
Ini berpotensi menekan pertumbuhan bank dan lembaga keuangan. Karenanya, bank
akan menjaga likuiditasnya. Maka pendanaan (funding) alternatif yang akan ditempuh bank adalah
dengan menerbitkan EBA.
Di Indonesia, EBA atau KIK-EBA
(Kontrak Investasi Kolektif-EBA) pertama kali diterbitkan oleh bank PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk (BBTN) dalam bentuk mortgage backed securities. BTN yang merupakan bank BUMN, mempunyai
segmen khusus pada pemberian kredit kepemilikan rumah (KPR). Saat itu, BTN
menyerap dana lewat penerbitan mortgage
backed securities sebesar Rp 100 miliar. Hingga sekarang BTN hanya
satu-satunya lembaga keuangan di Indonesia yang mempunyai portofolio berupa mortgage backed securities dengan nilai
hingga Rp 2,9 triliun.
Sebagai penjelasan, EBA sendiri
adalah surat berharga yang diterbitkan dengan jaminan berupa aset. Apabila aset
yang dipakai jaminan berupa hipotek surat berharga tersebut lebih dikenal
sebagai mortgage-backed securities (MBS).
KIK-EBA mirip reksadana, di mana
manajer investasi mengumpulkan dana dari masyarakat atau lembaga keuangan
lainnya untuk diinvestasikan pada unit ini. Efek ini juga mempunyai
karakteristik mirip obligasi, di mana apabila suku bunga acuan naik maka
harganya akan turun. Namun tidak seperti obligasi yang pokok pinjamannya
dibayar di akhir, pokok pinjaman EBA akan dibayar bersama bunga selama periode
pembayaran.
Efek ini diperdagangkan secara over-the-counter atau di luar
perdagangan bursa, namun masih dalam pengawasan OJK. Seperti obligasi, harganya
biasanya dipengaruhi oleh risiko gagal bayar dan risiko suku bunga, namun masih
memperhitungkan satu risiko lagi yaitu pelunasan lebih awal akibat nilai suku
bunga yang turun.
Saat ini, PT Bank Mandiri, Tbk (BMRI), yang
merupakan salah satu bank terbesar nasional, berencana menambah likuiditas
dengan menerbitkan EBA dengan target mencapai Rp 700 - 800 miliar.
Bank Mandiri menargetkan dana pensiun dan asuransi akan menyerap
sekuritas ini karena hingga saat ini publik di Indonesia belum begitu familiar
dengan perdagangan EBA
Sebagai acuan, EBA DBTN 01 yang
diterbitkan BTN tahun 2010 lalu yang mendapat rating kredit AAA dari Pefindo
memberikan yield 9,25%. Yield tersebut dari sisi penerbit atau
bank tentu lebih menguntungkan dibanding harus mendapatkan pendanaan melalui
dana pihak ketiga atau deposito berjangka dengan biaya bunga pada kisaran 9%
hingga 12% saat ini pada beberapa bank.
AFN merekomendasikan EBA sebagai
salah satu instrumen investasi alternative yang menarik. Tapi perlu diperhatikan
keterbukaan informasi mengenai penilaian aset yang dijadikan jaminan dan
likuiditas aset tersebut. Selain itu, investor perlu memperhatikan rating
kredit terhadap MBS atau EBA yang diterbitkan lembaga keuangan atau bank.
Semakin tinggi rating kredit akan mengurangi risiko gagal bayar.