Jakarta, 3 Oktober 2013 – Tanggal 1 Oktober 2013 yang lalu, lembaga legislatif
Amerika Serikat menetapkan penutupan pelayanan di seluruh AS karena tiadanya
keputusan pasti akan Obamacare, padahal sebentar lagi batas waktu keputusan
utang selesai. Shutdown ini membuat semua seluruh aktivitas di Amerika yang
membutuhkan pelayanan pemerintah, dihentikan – termasuk Bank Sentral. Efeknya
adalah kebutuhan kas dolar yang segera harus terpenuhi, serta bila ini
berlangsung lama, akan menyebabkan ekonomi Amerika kembali pada resesi lagi.
Titik tolak perdebatan ini adalah
apakah Obamacare akan dibiayai oleh penambahan pagu utang maksimal yang sudah
senilai US$16,7 triliun. Partai Republik yang memang sejak awal tidak
menyetujui usulan Obamacare ini menolak setiap usulan yang masuk dari
Pemerintah, dan berujung kepada shutdown. Keputusan ini menimbulkan pro kontra
bahkan di diri Partai Republik sendiri, karena dilihat merugikan Partai
Republik yang juga melakukan shutdown 17 tahun yang lalu.
Namun di Indonesia, efek dari
penutupan ini secara jangka pendek adalah kebutuhan dolar yang tinggi karena
aktivitas perbankan dan lembaga pasar modal mandek, sehingga rakyat AS
membutuhkan uang tunai Dollar.
Jangka menengahnya, risiko di pasar akan
makin tinggi, mengakibatkan keluarnya arus investasi dari negara-negara
berkembang, terutama Indonesia. Ini akan membuat nilai Rupiah makin tertekan. Tidak heran
Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo segera memberikan tanda waspada bagi
Rupiah.
Jangka panjangnya, apabila shutdown
ini terjadi berkepanjangan, maka AS akan kembali ke masa resesi. Kekuatiran ini
diungkapkan juga oleh beberapa politikus dari Partai Republik yang kontra
terhadap shutdown ini dan memperingatkan potensi makin tertekannya suara bagi
Partai Republik gara-gara keputusan ini.
Akan tetapi ada juga pendapat lain
yang lebih optimis yang mengatakan dengan shutdown ini, maka ada kemungkinan
The Fed akan melanjutkan program QE-nya untuk memperkuat fundamental ekonomi
AS.