Ketiga skenario pendanaan tersebut adalah:
1. Mencari pendanaan proyek dari Export Credit Agency (ECA) di Eropa, terutama negara Skandinavia. Sekarang ini, pihak ECA sedang mengkaji kelayakan proyek untuk melihat apakah pendanaan itu feasible di tengah jatuhnya harga nikel.
2. Commercial funding diharapkan akan berasal dari konsorsium perbankan dari dalam dan luar negeri yang akan dipimpin oleh Bank Mandiri dan Deutsche Bank. Rencananya akan ada 7 bank yang ikut di dalam konsorsium.
3. Untied program adalah pendanaan dari pembeli feronikel sendiri.
Proyek Feronikel di Halmahera Timur ini ditargetkan akan jadi proyek strategis perusahaan, yang akan memiliki kapasitas memproduksi 27.000 ton nikel/tahun dalam ferronickel. Groundbreaking proyek ini sudah sejak 30 November 2011.
Biaya tunai produksi feronikel diperkirakan US$ 8.800/ton, dan harga jual di sekitar US$ 17.000/ton. Biaya tunai dapat dikurangi dengan cara menggunakan cadangan Antam sendiri serta penggunaan tenaga listrik berbahan bakar batubara. Perhitungan laba kotor per tahun dari proyek ini adalah sekitar US$ 221,4 juta per tahun. Periode pengembalian proyek ini adalah lebih dari 7,2 tahun tergantung kepada biaya operasional.
Saat ini Antam memiliki tiga pabrik feronikel yakni pabrik FeNi I, FeNi II dan FeNi III. Kapasitas terpasang ketiga pabrik tersebut adalah 26.000 TNi dengan mengasumsikan beban puncak 42MW serta menggunakan umpan bijih nikel dengan kadar 2,38%. Meski demikian, untuk konservasi cadangan, Antam umumnya menggunakan umpan bijih dengan kadar rata-rata 1,8%-2,0% dan beban pabrik sekitar 38-40MW, sehingga total produksi ketiga pabrik feronikel berada di kisaran level 18.000-20.000 TNi.
AFN melihat bahwa ketiga skenario ini cukup feasible dengan kelemahannya masing-masing. Opsi pertama, ECA, mungkin merupakan yang paling feasible karena negara-negara di Eropa memang sedang mencari peluang investasi di tengah kesulitan finansialnya sendiri. Dengan ekspektasi imbal hasil yang relatif tinggi bagi mereka, ECA akan memiliki kepentingan untuk masuk ke proyek ini. Apalagi ada tendensi bahwa negara-negara Skandinavia mulai mengincar Indonesia untuk menempatkan dananya.
Akan tetapi ECA memiliki kelemahan karena kredit yang diberikan biasanya bersifat jangka pendek, dan harus mendapatkan garansi dari pemerintah negara debitur, dalam hal ini Indonesia. Kredit jangka pendek untuk pabrik yang breakevennya panjang akan membuat proposal ini ditolak.
Opsi kedua, adalah yang paling feasible mengingat bahwa Antam masih memiliki ruang untuk pendanaan dari utang. Tetapi apabila seluruhnya merupakan utang, maka tingkat leverage Antam akan langsung naik dan risiko pemegang saham bisa meroket.
Sementara opsi ketiga, untied program, mungkin akan sulit mengingat harga nikel yang masih mungkin jatuh lagi.
AFN memperkirakan kajian pendanaan untuk feronikel ini akan cukup memakan waktu lama, baik dari skenario pendanaan yang manapun juga karena harga nikel.Harga nikel diperkirakan akan naik tipis di rata-rata US$ 18.000- 21.000/ton- pada 2014, yang mencerminkan permintaan dan pasokan dunia terutama karena ekspektasi kenaikan permintaan dari Cina. Akan tetapi kenaikan harga ini diperkirakan belum akan membawa break even yang cepat kepada pabrik baru.
Namun harga batubara yang tetap tertekan karena tingginya pasokan, serta ekspektasi banyaknya pabrikan ferronikel di dunia yang tutup karena kerugian, akan membuat permintaan tetap tinggi, dan pada akhirnya memperbaiki harga ferronikel.