Jakarta, 21 Oktober 2015 – PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) terus
tertekan sejak batal diakuisisi oleh Saratoga. Perubahan tren transportasi
masyarakat Jakarta yang menuju Uber dan Go-Jek serta aplikasi-aplikasi online
serupa, juga menjadi tekanan baru bagi
kinerja perusahaan terbaik kedua setelah Blue Bird ini.
Grup Saratoga dan pemilik mayoritas Express
yaitu PT Rajawali Corpora, PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPMX) dan Golden
Valley Advisors Inc pada tanggal 6 Juli 2015 telah menandatangani Perjanjian
Jual Beli Bersyarat (CSPA) atas 51% saham Express. CSPA tersebut seyogyanya
akan diselesaikan pada 90 hari sejak penandatanganan. Namun pada tanggal 9
Oktober 2015, Perseroan mendapatkan informasi bahwa terjadi pembatalan akuisisi
karena kondisi pasar yang kurang kondusif.
Pada tanggal penandatanganan CSPA, saham
berkode TAXI dihargai pasar Rp 1.045. Berlawanan dengan kebiasaan pasar, sejak
informasi tersebut dirilis, saham TAXI terus tertekan. Tekanan tersebut terjadi
terus selama proses due diligence sampai pada harga terendah di Rp 297/ saham
pada tanggal 30 September dan akhirnya disuspensi oleh Bursa pada tanggal 1
Oktober. Penurunan harga tersebut lebih dalam daripada penurunan yang dialami
oleh IHSG maupun peersnya, PT Blue Bird Tbk (BIRD).
Mungkin due diligence akhirnya tidak
menghasilkan keputusan akuisisi karena utang Perseroan yang tinggi.Rasio utang
jangka panjang terhadap ekuitas Express tercatat 1,72 kali – lebih tinggi
daripada 3 perusahaan lain yang bergerak di bidang pertaksian di Indonesia.
Rasio EBITDA terhadap beban keuangannya adalah terendah kedua setelah PT WEHA
Transportasi Indonesia Tbk (WEHA), yaitu 2,82 kali.
Struktur pendanaan yang cukup berat di utang
ini menjadi batu sandungan bagi Express untuk meningkatkan asetnya di kemudian
hari. Padahal untuk merebut pangsa pasar pertaksian Blue Bird yang sudah
memiliki 24.000 unit mobil, membutuhkan dana yang tak sedikit bagi Express yang
baru memiliki 8.000 unit.
Mungkin juga akuisisi batal karena Express yang
selalu disandingkan dengan Blue Bird, dilihat kurang mampu untuk meningkatkan
nilai pemegang saham karena imbal hasil atas ekuitas yang lebih rendah daripada
kompetitornya. ROE Express hanya 7,05% sementara Blue Bird sudah mencapai 22,93%
setelah dianualisasi.
Atau mungkin juga karena Express memiliki
banyak piutang yang tak lancar kepada karyawan, sehingga rasio perputaran
asetnya terendah di antara keempat perusahaan taksi di bursa saham.
Sementara itu tekanan pada saham Perseroan
dikarenakan juga karena tekanan kinerja yang terjadi karena perubahan tren
pasar dari transportasi terutama di Jakarta. Uber dan Go-Jek serta
aplikasi-aplikasi online makin menekan kemampuan Perseroan untuk mencatatkan
pendapatan. Express terlihat hanya mampu menghasilkan Rp 520 dari tiap Rp 1000 nilai
aset armada yang dimilikinya, bandingkan dengan Blue Bird yang menghasilkan Rp 810.
Untuk mempersiapkan diri di pasar yang online,
Express menetapkan fokus utama perusahaan dalam bidang infrastruktur teknologi
informasi ini mencakup ERP System, Rapid Dispatch System (RDS), Passenger
Censor, dan Car Hiring. Perbaikan IT akan dilakukan juga meliputi meningkatkan
kualitas dari call center, website, dan perangkat informasi lainnya dalam
menunjang kualitas pelayanan kepada konsumen. Tapi apakah langkah ini tidak terlambat
mengingatkan kedua aplikasi di atas sudah menghiasi tiap smart phone pengguna
taksi di Jakarta?
Apapun alasannya, dengan rasio P/E tertinggi
kedua setelah Blue Bird dan PBV terendah dibandingkan ketiga saham lainnya,
TAXI menjadi tidak lagi menarik untuk disimpan.
Oleh karena itu Perseroan perlu memiliki
rencana restrukturisasi dan perencanaan jangka panjang untuk memperbaiki
struktur keuangan serta merebut kembali pangsa pasar yang telah terkikis.