Jakarta, 29 Agustus 2014 - Return on Capital,
atau imbal hasil terhadap modal yang diinvestasikan bank-bank di Indonesia
masih relatif tinggi dibandingkan dengan industri di kawasan Asean, sehingga
hal tersebut cenderung menjadi daya tarik investor untuk masuk di pada
saham-saham sektor perbankan dan cenderung mendorong pergerakan saham tersebut.
Namun, the Fed yang akan menormalisasi kebijakan moneter sehingga biaya bunga
di Indonesia cenderung naik, masihkah perbankan di Indonesia tumbuh signifikan?
Tercatat PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BBRI) merupakan bank tertinggi di Asia Tenggara yang mencatatkan Return on Capital
(ROC) tertinggi hingga 55,91% selama 2013 kemarin. Bahkan dari 10 bank yang
mencatatkan ROC tertinggi di kawasan Asia Tenggara, enam di antaranya berasal
dari Indonesia.
Meskipun
mulai akhir tahun lalu the Fed mengurangi stimulus yang memicu
ketidakpastian ekonomi global, namun
perbankan di Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan pada tahun lalu. Padahal industri
perbankan secara global mengalami perlambatan, termasuk kawasan Asia Tenggara,
dan biaya pendanaan naik signifikan.
Rata-rata
pertumbuhan kredit bank Indonesia tercatat sebesar 13% dengan kenaikan laba
bersih hingga 16%. Imbal hasil terhadap ekuitas juga masih tercatat tinggi
dibandingkan kawasan. ROE perbankan di Indonesia secara rata-rata sebesar 16%.
ROE di Amerika Serikat rata-rata sebesar 13,6%, Eropa sebesar 11,8% dan Asia
Pasifik sebesar 15,96%.
Namun, ke depan
pergerakan sektor perbankan masih dihadapkan oleh masalah yang tidak jauh
berbea. Normalisasi sistem moneter di Amerika Serikat dimana the Fed akan
menaikkan suku bunga acuan yang cenderung mendorong investor asing akan menarik
modalnya di emerging market seperti Indonesia untuk mengurangi risiko.
Persaingan
likuiditas, di mana dana murah dari stumulus the Fed yang terhenti, yang akan
menjadi rebutan di pasar keuangan, akan mendorong beban biaya bunga perbankan
cenderung naik. Marjin bunga pun akan cenderung turun sehingga cenderung
menekan laba perbankan.
Dampaknya, biaya
bunga akan tinggi untuk menarik
likuiditas, yang cenderung akan menahan pertumbuhan laba perbankan.Karena bunga
naik, pertumbuhan kredit akan semakin melambat yang pada gilirannya akan
menekan pendapatan bunga perbankan. Risiko ini sangat tinggi di Indonesia
mengingat basis pendapatan bank-bank di Indonesia berasal dari mayoritas
pendapatan bunga.
Pertanyaaanya,
masihkan kinerja perbankan di Indonesia secerah awal tahun 2013 lalu dan
tahun-tahun sebelumnya dimana pertumbuhan kredit dan pendapatan bunga tinggi?
Ascend
melihat, secara fundamental kebutuhan pembiayaan masih tinggi di Indonesia
sehingga potensi pertumbuhan kredit masih besar. Pada bank-bank skala besar
yang mempunyai kekuatan modal yang besar, tentu masih bisa mengelola
portofolionya meskipun terjadi pengetatan moneter.
Selain itu,
bank-bank skala besar yang dibiayai dengan dana murah masih mempunyai
keunggulan kompetitif dibandingkan bank menengah sehingga beban bunga terhadap
deposannya masih terkelola. Potensi tumbuh untuk bank besar masih terbuka
mengingat pasar di Indonesia juga masih besar seiring pertumbuhan ekonomi yang
masih di atas rata-rata kawasan.
Namun, bank
skala menengah dan kecil masih akan dihadapkan dengan perebutan pendanaan murah
dan persaingan kredit yang tentu saja akibatnya akan menekan kinerja bank-bank yang
relatif kecil tersebut. Keterbatasan modal akan menahan bank-bank menengah dan
kecil untuk tumbuh.
No comments:
Post a Comment