Jakarta, 31 Juli 2013 - Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi mengatakan saat ini
Indonesia mengalami defisit produk-produk elektrikal. Hal tersebut
karena kebutuhan dalam negeri yang cukup tinggi.Tapi hal tersebut sayangnya tidak tercermin pada kinerja keuangan semester I-2013 yang dilaporkan Supreme Cable Manufacturing & Co, Tbk (SCCO).
Pendapatan Sucaco turun 8,12% menjadi Rp 1,68 triliun dari sebelumnya Rp 1,83 triliun. Ini menekan laba bersihnya 17,7% menjadi Rp 97,86 miliar dari sebelumnya Rp 118,78 miliar. Kinerja pendapatan yang turun ini mungkin berdampak dari kecilnya biaya penjualan dan pemasaran serta terhentinya kegiatan operasional di Pabrik Cikarang akibat kondisi keamanan yang tidak kondusif, yaitu adanya pemblokiran pabrik secara paksa oleh serikat buruh dari luar perusahaan.
Arus kas juga turun signifikan. Arus kas bersih negatif Rp 79,4 miliar dari sebelumnya negatif Rp 23,65 miliar. Hal ini disebabkan oleh negatifnya arus kas dari aktivitas operasional sebesar Rp 107,3 miliar, turun tajam dari periode sebelumnya negatif Rp 13,19 miliar.
Tapi sisi positifnya, marjin kotor perusahaan meningkat. Marjin laba kotor naik dari 9,39% di tahun 2012 menjadi 11,54% di tengah pertama tahun 2013 ini. Harga tembaga yang terus turun pada tahun ini merupakan faktor utama perbaikan kinerja ini. Selain itu biaya penjualan dan pemasaran perusahaan juga turun tajam jadi Rp 13,72 miliar dari sebelumnya Rp 25,69 miliar.
Sayangnya rugi kurs valuta asing sebesar Rp 3,02 miliar telah menekan laba bersih sehingga marjin laba bersih turun dari 6,5% di tahun 2012 menjadi 5,8% pada tahun ini.
AFN melihat bahwa halangan utama dari Sucaco adalah perhentian operasi pabrik Cikarang. Sebelum pabrik tersebut operasional, maka Sucaco tidak mampu untuk menangkap peluang yang digambarkan oleh Bayu Krisnamurthi.
Peluang Domestik
Di saat yang sama Bayu menerangkan, pada tahun lalu, nilai ekspor produk elektrikal
Indonesia di seluruh dunia mencapai US$7,1 miliar. Dari angka
tersebut, US$2,6 miliar lainnya diekspor ke negara-negara ASEAN. Sisanya ke Timur Tengah dan beberapa negara Afrika.
Sementara itu untuk kegiatan impor, nilai produk elektrikan yang masuk
ke Indonesia mencapai US$15 miliar. Angka. Jumlah tersebut juga
mencakup impor dari negara-negara ASEAN sebesar US$3,5 miliar.
Adapun,
impor yang dimaksud tidak hanya untuk kabel, tetapi juga generator yang
tidak produksi di Indonesia. Selain itu impor mencakup pula
penggabungan berbagai jenis produk.
Saat ini permintaan produk elektrikal dalam negeri mencapai US$10 miliar, yang disuplai oleh 25 perusahaan, dan dari jumlah itu, enam
di antaranya merupakan perusahaan bertaraf besar.
No comments:
Post a Comment