Indeks properti
memang sudah naik hampir 70% selama 3 tahun belakangan ini. Banyak pihak telah
meneriakkan kemungkinan bubble. Akan tetapi, bila kita lihat chart di bawah
ini, maka properti sebenarnya sudah menuju titik ekuilibriumnya lagi. Memang,
di titik tertingginya, 565, kenaikan properti selama 3 tahun mencapai 178,3%,
angka yang mengkuatirkan.
Pergerakan indeks properti ini
sangat dipengaruhi oleh pergerakan 2 saham berkapitalisasi terbesar, yaitu PT Bumi Serpong Damai, Tbk (BSDE)
dan PT Lippo Karawaci, Tbk (LPKR). BSDE sempat naik ke Rp 2.200, mencerminkan kenaikan 150% selama 3
tahun, tetapi kemudian turun ke Rp 1.300 sehingga kenaikannya sekitar 47,3%.
LPKR sempat naik sampai tingkat 172% di Rp 1.850, namun mereda lagi ke Rp 890
sehingga hanya naik 30,88%.
Di sektor riil, para pembeli
properti mulai merasakan kenaikan yang tidak mendasar pada harga propertinya.
Forbes mengingatkan bahwa properti di Jakarta sudah naik 38% di tahun 2012 dan
di Bali 20%. Sejak Juni 2012 sampai Mei 2013, pinjaman untuk pembelian apartemen
sudah berlipat ganda, menjadi Rp 11,42 triliun.
Kenaikan harga dan pembelian ini
telah mendorong pencatatan laba berlipat ganda dari perusahaan-perusahaan
properti. Laba BSDE naik 138,7% pada tahun ini, LPKR 24,3%, PT Summarecon Agung, Tbk (SMRA) 90,4% dan PT Pakuwon Jati, Tbk (PWON)
55,3%.
Pertanyaannya, apakah benar bubble
properti akan terjadi? Definisi bubble adalah ketika pembeli ataupun investor,
dipaksa untuk menjual aset propertinya dengan harga murah dan karenanya memicu
gagal bayar atas kredit properti mereka. Mari kita pertimbangkan.
- Kenaikan yang terjadi di Jakarta sebagian besar terjadi karena kondisi kemacetan di Jakarta yang membuat banyak orang mencari tempat tinggal yang mendekati tempat kerja. Kebutuhan itu membuat properti tersebut memang ditempati, dan utamanya oleh pekerja-pekerja yang memang berada di kelas menengah atas yang makin banyak.
- Kenaikan yang terjadi di Jabodetabek pun sebagian besar terjadi karena banyaknya pasangan muda asal Jakarta maupun pendatang yang mencari penghasilan di Jakarta yang membutuhkan tempat tinggal. Berkembangnya infrastruktur transportasi dari daerah-daerah ini merupakan faktor penarik yang utama untuk berkembangnya properti-properti di daerah ini.
- Kenaikan yang terjadi di Bali adalah salah satu dampak dari promosi gencar akan pariwisata di Bali, didukung oleh perubahan trend hidup orang-orang Eropa dan Amerika yang mencari hidup relatif lebih murah di daerah-daerah Asia Tenggara (termasuk Thailand dan Malaysia).
Pengetatan pemberian kredit oleh
Bank Indonesia terutama kepada pemilik rumah lebih dari 1, telah mengecilkan
kemungkinan bubble properti ini akan terjadi.
Tahun 2014 mendatang, sektor
properti secara keseluruhan pun diprakirakan akan melambat. Fitch dan Moody’s
diskusi outlook properti Indonesia yang dia adakan di Singapura, mengatakan
pendapatan sektor properti hanya akan tumbuh sebesar 17% atau turun dibanding
tahun 2013 ini sebesar 21%. Penurunan ini akan dirasakan pada permintaan sewa
kantor di area CBD Jakarta.
Tapi tahun 2014 diperkirakan adalah
tahun untuk properti-properti yang fokus ke kawasan industri, seperti PT Kawasan Industri Jababeka, Tbk (KIJA) dan
PT Surya Semesta Internusa, Tbk (SSIA). Makin banyak industri yang akan dipindahkan ke luar Jakarta akibat
kemacetan yang makin parah, tuntutan upah buruh yang terlalu tinggi, serta
biaya-biaya berkenaan dengan properti yang semakin mahal di Jakarta. Seiring
dengan ini, perusahaan-perusahaan properti untuk residensial di sekeliling
kawasan industri pun berpotensi tumbuh pesat.