Friday, January 10, 2014

Batubara, saatnya rebound

Jakarta, 10 Januari 2014 – AFN memperkirakan saham batubara akan rebound pada 2014. Kesimpulan ini ditarik dari peningkatan penjualan batubara secara volume dan penguatan tren perdagangan saham batubara  sejak awal semester kedua tahun lalu. 


Secara industri, indeks pertambangan yang didominasi emiten batubara menguat hingga 11,45% sejak akhir Juli tahun lalu. Penguatan tertinggi dicapai PT Resource Alam  Indonesia, Tbk (KKGI) hingga 43,08% dan disusul PT Adaro Energy, Tbk (ADRO) menguat hingga 30,94%, sementara PT Borneo Lumbung Energy, Tbk (BORN) masih terkoreksi signifikan hingga 41,38% dan PT Delta Dunia Makmur, Tbk (DOID) turun hingga 26,96%. 

Di sisi lain, sejak tiga tahun terakhir, sektor batubara telah terkoreksi hingga 71,3% sehingga potensi rebound semakin besar. Penurunan ini sangat signifikan akibat harga komoditas dunia tertekan karena pasokan berlebih sedangkan permintaan tumbuh moderat.  

Diskon yang sudah telalu besar ini memperkuat prakiraan bahwa sektor batubara telah mencapai bottom line sehingga berpotensi rebound di tahun ini. Apalagi perlu diingat bahwa nilai aset beberapa emiten batubara justru mengalami pertumbuhan.

Sementara itu, walaupun di pasar global batubara masih kelebihan pasokan, kebutuhan batubara dalam negeri untuk PLN sendiri masih tinggi sekitar 78,6 juta ton pada tahun ini sehingga produksi batubara dalam negeri diharapkan dapat diserap oleh PLN dengan prakiraan total produksi batubara di Indonesia selama tahun 2013 mencapai 120 juta ton. 

Berikut ini merupakan pilihan saham emiten batubara yang layak diperhatikan:
PT Adaro Energy, Tbk (ADRO) merupakan saham lapis utama sektor batubara yang mengalami kenaikan tertinggi selama semester kedua ini dan dengan tingginya kemampuan produksi ADRO, AFN merekomendasikan saham ini layak diperhatikan.

ADRO diprakirakan selama tahun 2013 ini memproduksi batubara hingga 23 juta ton. Walaupun beberapa situs tambangnya seperti di Tutupan mengalami penurunan, namun di sisi lain situs tambang di Wara justru mengalami kenaikan produksi signifikan. 

Namun, kinerja fundamental ADRO sendiri masih tertekan selama kuartal ketiga tahun 2013 dengan membukukan penurunan penjualan hingga 11,62% menjadi Rp 26,29 triliun  dan penurunan laba bersih 47,21% menjadi Rp 1,98 triliun. 

Dilihat perbandingan harga dengan nilai buku (PBV) ADRO membukukan PBV sebesar 0,89 kali atau dinilai undervalue oleh pasar sehingga masih berpotensi menguat selama 2014.

Selain ADRO, saham utama batubara yang perlu diperhatikan dan kami rekomendasikan adalah PT Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk (PTBA). Di antara sektor batubara, PTBA mempunyai kinerja secara fundamental yang relatif baik dibanding semua saham.

Jika diperhatikan dalam tabel perbandingan kinerja sektor batubara, PTBA membukukan marjin yang tertinggi diantara peers, dengan marjin laba kotor sebesar 29,3% dan marjin laba bersih sebesar 15,31%. PTBA juga membukukan return on equity (ROE) tertinggi hingga 25,25%. Namun di sisi lain, PBV dan PER PTBA relatif tinggi sebesar masing-masing 3,45 kali dan 13,89 kali sehingga hal ini bisa jadi dinilai overvalue oleh sebagian investor. 

Saham lain seperti PT Indika Energy, Tbk (INDY) dan PT Bayan Resources, Tbk (BYAN) juga layak diperhatikan. Menurut AFN, meskipun kedua emiten ini masih tertekan selama 2013 dengan penurunan pendapatan dan laba bersih karena beban keuangan, kurs nilai tukar dan penurunan harga batubara, namun kenaikan produksi batubara yang dihasikan kedua emiten tersebut diekspektasikan masing-masing mencapai 18 juta ton dan 8 juta ton di tahun 2013. Kenaikan ini  diprakirakan akan memperbaiki kinerja laba bersih di akhir 2013 ini. 

Untuk saham terkait sektor batubara, AFN merekomendasikan PT ABM Investama, Tbk (ABMM). Seperti diketahui, ABMM memiliki diversifikasi yang luas pada lini usahanya. Di tengah penurunan sektor batubara selama 2013 kemarin, kinerja ABMM masih positif ditopang lini bisnis lain yaitu jasa tambang dan energi. 

Kinerja fundamental ABMM masih kuat dibanding saham sektor batubara lainnya, tercatat ABMM membukukan marjin laba kotor hingga 23,16% dengan marjin laba bersih sebesar 2,73%. Selain itu, dalam denominasi Rupiah, ABMM justru membukukan kenaikan pendapatan meskipun hanya 3,05%. 

Sementara itu, AFN merekomendasikan untuk menghindari saham tambang grup Bakrie, meskipun PT Bumi Resources, Tbk (BUMI) merupakan produsen batubara terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi hingga 40 juta ton. Tata kelola yang masih perlu diuji ulang serta ancaman tuntutan hukum menjadi dua faktor utama yang memberatkan.

Selain itu, melihat dari kinerja fundamental, AFN juga merekomendasikan untuk menghindari PT Borneo Lumbung Energy, Tbk (BORN) karena kinerjanya yang tertekan diantara semua kompetitor. BORN mencatatkan penurunan pendapatan hingga hampir 50% dan laba tertekan hingga hampir 400%. Dengan debt to equity sebesar 5 kali dan rasio lancar hanya 0,29 kali menambah risiko solvabilitas saham ini.

Pasar saham batubara global

Sebagai perbandingan, lima perusahaan besar global yang memproduksi hampir 50% kapasitas batubara di dunia selain di Indonesia menunjukkan pergerakan beragam sejak akhir Juli 2013 lalu. 

Xstrata yang kapasitas produksi mencapai lebih dari 60 juta ton pertahun, di bursa London selama semester kedua 2013 mencatatkan kenaikan saham hingga 7.30%, sementara Anglo American yang memproduksi batubara hingga 16 juta ton per tahun mencatatkan penurunan harga saham hingga 12,39%. 

Rio Tinto yang kapasitas produksi batubara mencapai 12 juta ton per tahun membukukan kenaikan harga sahamnya hingga 14,65%, namun seperti diketahui, Rio Tinto memiliki diversifikasi bisnis mineral yang luas.

2 comments:

  1. Semoga dengan dilaksanakannya UU Minerba tidak membuat sektor ini semakin tertekan.

    Regards,
    Doddy
    www.dnacapitalgroup.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. setahu saya ESDM sudah mengatakan batubara tidak termasuk dalam polemik UU minerba kemarin....karena tidak ada nilai lebih lagi.....yang perlu diperhatikan adalah harga batubara, US dolar, dan impor pajak dari China. Tetapi China sudah menandatangani FTA dengan ASEAN sehingga mestinya pajak impor itu tidak ada lagi.

    ReplyDelete