Jakarta, 29 Agustus 2014 – Kapitalisasi
pasar keempat BUMN Infrastruktur rata-rata empat kali lebih tinggi daripada kompetitor
swastanya. Harganya pun lebih tinggi dilihat dari rata-rata rasio PER dan PBV.
Tapi kinerja profitabilitas keempatnya lebih rendah daripada counterpart
swastanya.
Rata-rata kapitalisasi pasar BUMN
Infrastruktur mencapai Rp 10,84 triliun di mana yang tertinggi adalah PT Wijaya
Karya (Persero), Tbk (WIKA) sebesar Rp 17,56 triliun dan PT PP (Persero), Tbk
sebesar Rp 11,72 triliun. Sementara rata-rata kapitalisasi pasar emiten
infrastruktur swasta hanya Rp 1,97 triliun di mana yang tertinggi adalah PT
Total Bangun Persada, Tbk (TOTL) sebesar Rp 2,73 triliun dan PT Nusa Raya
Cipta, Tbk (NRCA) sebesar Rp 2,50 triliun.
Saham BUMN infrastruktur lebih
diapresiasi pasar dibandingkan teman-teman swastanya. Ini terlihat dari rasio
PER dan PBV. Rata-rata rasio harga berbanding laba bersih (PER) BUMN infrastruktur
mencapai 46,83 kali, sementara rata-rata PER emiten swasta hanya 13,28 kali. Rata-rata
rasio harga berbanding nilai buku ekuitas (PBV) BUMN infrastruktur mencapai
4,39 kali sementara rata-rata PBV swasta hanya 2,62 kali. PBV PT PP Persero
mencapai 5,85 kali, yang tertinggi di antara peers infrastruktur, sementara PT
Nusa Konstruksi Enjiniring, Tbk (DGIK) hanya 0,87 kali, atau yang terendah.
Apresiasi pasar yang demikian besar
kepada emiten-emiten BUMN infrastruktur kurang disertai dengan tingginya
kinerja profitabilitas perusahaan. Secara rata-rata, rasio-rasio penunjuk
kinerja profitabilitas BUMN infrastruktur berada di bawah kompetitor swastanya.
Rata-rata marjin laba bersih BUMN
infrastruktur hanya 2,95%, sementara rata-rata swasta mencapai 7,20%. Rata-rata
imbal hasil atas ekuitas (ROE) BUMN infrastruktur hanya 10,48% sementara rata-rata
swasta hampir dua kali lipatnya, yaitu 20,45%.
Padahal kinerja ini dicapai oleh
emiten swasta dengan mempergunakan utang jangka panjang yang sangat minimal. Rata-rata
rasio utang jangka panjang atas ekuitas BUMN infrastruktur mencapai 0,75 kali.
Artinya setiap Rp 100 ekuitas, BUMN infrastruktur mencatat Rp 75 utang jangka panjang. Sementara
kompetitor swastanya baru mempergunakan Rp 11 utang untuk setiap Rp 100
ekuitas.
Apresiasi pasar yang fokus hanya
kepada emiten-emiten berkapitalisasi besar, dengan likuiditas tinggi, serta
proyek-proyek yang bervariasi memang tidak salah. Akan tetapi juga tak ada
salahnya melirik potensi emiten-emiten infrastruktur non BUMN yang juga
memiliki kinerja bagus.