Monday, November 25, 2013

Likuiditas Tipis, Efek Beragun Aset Akan Dilirik Perbankan



Jakarta, 26 November 2013 - Bank-bank di Indonesia dihadapkan pada tantangan likuiditas pada tahun 2014 mendatang. Bahkan beberapa bank besar nasional telah menetapkan suku bunga simpanan hingga 9% - 12%. Dana murah sepertinya sulit diserap dari masyarakat, maka salah satu pilihannya untuk meningkatkan aset likuidnya adalah menerbitkan efek beragun aset (EBA) atau Asset Backed Securities.

Outlook ekonomi tahun 2014 mendatang dihadapkan dengan perlambatan ekonomi dan ancaman pemangkasan stimulus the Fed. Ini berpotensi menekan pertumbuhan bank dan lembaga keuangan. Karenanya, bank akan menjaga likuiditasnya. Maka pendanaan (funding)  alternatif yang akan ditempuh bank adalah dengan menerbitkan EBA.

Di Indonesia, EBA atau KIK-EBA (Kontrak Investasi Kolektif-EBA) pertama kali diterbitkan  oleh bank PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk (BBTN)  dalam bentuk mortgage backed securities. BTN yang merupakan bank BUMN, mempunyai segmen khusus pada pemberian kredit kepemilikan rumah (KPR). Saat itu, BTN menyerap dana lewat penerbitan mortgage backed securities sebesar Rp 100 miliar. Hingga sekarang BTN hanya satu-satunya lembaga keuangan di Indonesia yang mempunyai portofolio berupa mortgage backed securities dengan nilai hingga Rp 2,9 triliun.

Sebagai penjelasan, EBA sendiri adalah surat berharga yang diterbitkan dengan jaminan berupa aset. Apabila aset yang dipakai jaminan berupa hipotek surat berharga tersebut lebih dikenal sebagai mortgage-backed securities (MBS).

KIK-EBA mirip reksadana, di mana manajer investasi mengumpulkan dana dari masyarakat atau lembaga keuangan lainnya untuk diinvestasikan pada unit ini. Efek ini juga mempunyai karakteristik mirip obligasi, di mana apabila suku bunga acuan naik maka harganya akan turun. Namun tidak seperti obligasi yang pokok pinjamannya dibayar di akhir, pokok pinjaman EBA akan dibayar bersama bunga selama periode pembayaran.

Efek ini diperdagangkan secara over-the-counter atau di luar perdagangan bursa, namun masih dalam pengawasan OJK. Seperti obligasi, harganya biasanya dipengaruhi oleh risiko gagal bayar dan risiko suku bunga, namun masih memperhitungkan satu risiko lagi yaitu pelunasan lebih awal akibat nilai suku bunga yang turun.

Saat ini, PT Bank Mandiri, Tbk (BMRI), yang merupakan salah satu bank terbesar nasional, berencana menambah likuiditas dengan menerbitkan EBA dengan target mencapai Rp 700 -  800 miliar.  Bank Mandiri menargetkan dana pensiun dan asuransi akan menyerap sekuritas ini karena hingga saat ini publik di Indonesia belum begitu familiar dengan perdagangan EBA

Sebagai acuan, EBA DBTN 01 yang diterbitkan BTN tahun 2010 lalu yang mendapat rating kredit AAA dari Pefindo memberikan yield 9,25%. Yield tersebut dari sisi penerbit atau bank tentu lebih menguntungkan dibanding harus mendapatkan pendanaan melalui dana pihak ketiga atau deposito berjangka dengan biaya bunga pada kisaran 9% hingga 12% saat ini pada beberapa bank.

AFN merekomendasikan EBA sebagai salah satu instrumen investasi alternative yang menarik. Tapi perlu diperhatikan keterbukaan informasi mengenai penilaian aset yang dijadikan jaminan dan likuiditas aset tersebut. Selain itu, investor perlu memperhatikan rating kredit terhadap MBS atau EBA yang diterbitkan lembaga keuangan atau bank. Semakin tinggi rating kredit akan mengurangi risiko gagal bayar.