Thursday, October 2, 2014

Mempertanyakan Rights Issue BW Plantations

Jakarta, 2 Oktober 2014 – PT BW Plantations, Tbk (BWPT) baru saja mengumumkan rencana penawaran umum dengan HMETD (Rights issue) dengan harga exercise Rp 390 -  411 ketika harga pasarnya rata-ratanya adalah Rp 1.167 dan harga tertingginya Rp 1.420. Pengumuman itu langsung disambut dengan terjun bebasnya harga BWPT mendekati harga rights issuenya. OJK mensuspensi saham tersebut dan beberapa pihak menuntut diadakannya penyelidikan atas rencana tersebut. Pertanyaannya, apakah harga exercise serendah tersebut wajar? Bila ya, maka apakah ada yang dirugikan dari penawaran tersebut?

Penawaran umum yang dilakukan oleh BWPT ini adalah memberikan rights kepada pemilik setiap saham lama untuk membeli 6 saham baru. Pemilik yang tidak menggunakan haknya akan terdilusi sampai dengan 85,78%, sementara secara historis, investor minoritas di Indonesia tidak menggunakan haknya di dalam rights issue. Potensi dilusi raksasa inilah yang kemudian digugat oleh beberapa pihak telah merugikan kepentingan investor minoritas.

Dana yang diharapkan oleh perusahaan dari penawaran umum ini mencapai Rp 10,8 triliun. Sebagian besar dana hasil HMETD tersebut akan digunakan untuk mengakusisi Green Eagle Group, salah satu perusahaan yang juga bergerak dalam perkebunan sawit. Green Eagle Group terafiliasi dengan Rajawali Corpora yang dimiliki oleh Peter Sondakh. Saat ini Rajawali Corpora telah memiliki saham BW Plantations sebesar 21,4% secara tidak langsung.

Menurut penilaian UOB Kay Hian Securities, akuisisi BW Plantations atas Green Eagle dengan  harga Rp 10,53 triliun tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan nilai  wajar atas Green Eagle yang seharusnya. Menurut UOB Kay Hian, akuisisi tersebut setara dengan nilai US$ 11.392 per hektar  dengan metode penilaian aset yang setara dengan perbandingan  enterprise value terhadap lahan tertanam (EV/Planted) sebesar US$ 13,564 hektar, sementara  harga wajar atas Green Eagle seharusnya pada kisaran  US$ 9.600  per hektar. Jadi harga wajar Green Eagle seharusnya Rp 8,87 triliun.

Rights Issue
Rights Issue atau penawaran umum dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu adalah jenis penawaran yang mempertimbangkan hak-hak pemegang saham lama yang mungkin tidak menginginkan haknya atas perusahaan terdilusi, atau berkurang karena penerbitan saham baru.

Realitanya di dalam rights issue banyak terjadi praktek-praktek backdoor listing, yaitu akuisisi bisnis yang lain sama sekali dengan jumlah yang melampaui bisnis lama atau memberikan kesempatan kepada pemegang saham non mayoritas untuk menjadi pemegang saham mayoritas melalui posisinya sebagai standby buyer. Biasanya indikator praktek-praktek ini adalah banyaknya jumlah saham baru yang dikeluarkan dan nilai penawaran umum yang relatif besar terhadap nilai buku ekuitas perusahaan itu.

Potensi backdoor listing atau peralihan pemegang saham mayoritaslah yang dikuatirkan terjadi pada rights issue BW Plantations kali ini. Yang perlu digali adalah apakah harga exercise serendah tersebut wajar?

Dengan logika belanja biasa, kita akan keberatan bila kita memiliki barang seharga Rp 1000 dan melihat barang yang sama dijual kepada orang lain dengan harga Rp 400. Secara naluriah kita akan berpikir bahwa kita membeli barang itu terlalu mahal. Namun logika tersebut tidak dapat diterapkan di dalam penawaran umum saham dengan HMETD karena saham lama dan saham baru bukanlah barang yang berbeda tapi bagian dari barang yang sama.

Ketika saham baru dijual, nilai total dari perusahaan tersebut tidak berubah. Contohnya, bila nilai perusahaan Rp 1 triliun sebelum rights issue, maka nilai perusahaan tetap Rp 1 triliun. Perbedaannya adalah sebelum penawaran, Rp 1 triliun tersebut dibagi dengan 1miliar lembar sehingga per saham tersebut mewakili kepemilikan nilai Rp 1.000, yaitu Rp 1 triliun dibagi 1 miliar. Sementara paska penerbitan saham baru, Rp 1 triliun yang sama dibagikan kepada 2 miliar lembar, sehingga per saham bernilai Rp 500. Artinya harga exercise yang rendah memang ditentukan oleh berapa jumlah saham baru yang dikeluarkan.

Mari kita lihat di dalam kasus BW Plantations sendiri. Sebelumnya jumlah saham yang beredar adalah 4,47 miliar lembar dengan nilai buku ekuitas Rp 2,28 triliun dan kapitalisasi pasar Rp 5,22 triliun. Angka ini mencerminkan rasio harga atas nilai buku ekuitas (PBV) sebesar 2,29 kali.

Melalui rights issue, BW Plantations hendak menaikkan jumlah lembar saham beredarnya menjadi 31,30 miliar lembar dan ekuitas saat itu langsung menjadi Rp 13,30 triliun karena adanya uang kas yang dimasukkan ke dalam perusahaan. Dengan harga Rp 411, maka kapitalisasi pasar menjadi Rp 12,86 triliun dan rasio PBV menjadi 1 kali.

PBV 1 kali menjadi masuk akal karena apresiasi pasar terhadap potensi kombinasi aset baru dan aset lama masih tidak diketahui dan karenanya wajar apabila dihargai pada nilai bukunya saja.

Terakhir, ketika saham baru dan saham lama dikombinasikan di dalam pasar, berapa harga wajarnya secara teoritis?  Seharusnya adalah bobot dari saham lama dikalikan dengan harganya saat itu di tambah dengan bobot saham baru dikalikan dengan harga exercise rightsnya atau:

Harga baru BWPT = {(1 lembar x Rp 1.167) + (6 lembar x Rp 411)}  / 7 lembar = Rp 519/ saham.


Kesimpulan
Kesimpulannya? Penetapan harga rights issue dari BW Plantation tidak mengandung unsur-unsur ketidakwajaran.

Tapi, BW Plantations tetap merugikan investor karena BW Plantations melakukan akuisisi dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga wajar. Biasanya keputusan akuisisi seperti ini membutuhkan keputusan RUPS yang dihadiri oleh investor minoritas karena sifatnya yang berpotensi memiliki benturan kepentingan.


Rekomendasi ASCEND agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki kebijakan di dalam menghadapi rights issue yang berpotensi merugikan ini  khususnya mengenai motif-motif dari rights issue itu sendiri. 

Kinerja BW Plantation meningkat

Jakarta, 3 Oktober 2014 - Selama semester pertama lalu, PT BW Plantation, Tbk membukukan kenaikan laba bersih hingga 67,3% menjadi Rp 141,22 miliar yang didorong atas peningkatan penjualan dan kenaikan beban yang lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan pendapatan.

Peningkatan harga komoditas sawit selama semester pertama tahun ini menjadi pada kisaran Rp 8,1 juta per metrik ton ikut mendorong pendapatan BW Plantation selama semester pertama tahun ini dibadingkan dengan tahun lalu pada kisaran Rp 7 juta per metrik ton.   

Di sisi lain, beban produksi juga meningkat dengan unit cost produksi CPO BW Plantation menjadi sebesar Rp 5,47 juta per metrik ton dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 4,61 juta. Peningkatan produksi tersebut sejauh ini masih seiring dengan kenaikan hasil produksi CPO BW Plantations yang naik menjadi 74.167 metrik ton dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 66.814 metrik ton.

Hasilnya, laba kotor BW Plantation tercatat mengalami pertumbuhan hingga 42,3% menjadi sebesar Rp 339,4 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp 238,6 miliar dan  dengan marjin laba kotor yang menguat menjadi 45,6% dibandingkan tahun lalu sebesar 43,7%.

Sementara itu, laba usaha tercatat mengalami pertumbuhan hingga 51,46% menjadi sebesar Rp 224,8 miliar setelah beban usaha yang hanya mengalami kenaikan hingga 27,2% atau lebih rendah jika dibandingkan ddengan laba kotor.


Beban keuangan yang dibukukan BW Plantation masih relatif tinggi hingga mencapai Rp 44,8 miliar ada tahun ini seiring dengan obligasi yang dikeluarkan hingga senilai Rp 700 miliar dan hutang bank yang senilai hingga Rp 2,86 triliun.

Sebagai catatan, pada  semester kedua ini, Pefindo telah memberikan peringkat obligasi yang dikeluarkan BW Plantations dengan peringkat idBBB+ dengan jangka waktu hingga 1 Agustus 2015 tahun depan yang menunjukkan BW Plantations setidaknya masih masuk dalam investment rating.

Dengan meningkatnya laba atas entitas anak yang tahun ini mencapai Rp 8,14 miliar dan keuntungan dari selisih kurs dan pendapatan bunga lainnya yang lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, membuat laba bersih BW Plantation terdorong naik hingga 67,3%, meskipun beban keuangan masih tinggi.

Marjin laba bersih yang dibukukan tercatat sebesar 19,0% atau naik dari 15,5% pada tahun lalu dengan imbal hasil terhadap ekuitas tercatat sebesar 12,1%.