Thursday, August 28, 2014

Kapitalisasi dan Harga Tinggi, Kinerja BUMN Infrastruktur Masih Kalah dengan Swasta

Jakarta, 29 Agustus 2014 – Kapitalisasi pasar keempat BUMN Infrastruktur rata-rata empat kali lebih tinggi daripada kompetitor swastanya. Harganya pun lebih tinggi dilihat dari rata-rata rasio PER dan PBV. Tapi kinerja profitabilitas keempatnya lebih rendah daripada counterpart swastanya.

Rata-rata kapitalisasi pasar BUMN Infrastruktur mencapai Rp 10,84 triliun di mana yang tertinggi adalah PT Wijaya Karya (Persero), Tbk (WIKA) sebesar Rp 17,56 triliun dan PT PP (Persero), Tbk sebesar Rp 11,72 triliun. Sementara rata-rata kapitalisasi pasar emiten infrastruktur swasta hanya Rp 1,97 triliun di mana yang tertinggi adalah PT Total Bangun Persada, Tbk (TOTL) sebesar Rp 2,73 triliun dan PT Nusa Raya Cipta, Tbk (NRCA) sebesar Rp 2,50 triliun.

Saham BUMN infrastruktur lebih diapresiasi pasar dibandingkan teman-teman swastanya. Ini terlihat dari rasio PER dan PBV. Rata-rata rasio harga berbanding laba bersih (PER) BUMN infrastruktur mencapai 46,83 kali, sementara rata-rata PER emiten swasta hanya 13,28 kali. Rata-rata rasio harga berbanding nilai buku ekuitas (PBV) BUMN infrastruktur mencapai 4,39 kali sementara rata-rata PBV swasta hanya 2,62 kali. PBV PT PP Persero mencapai 5,85 kali, yang tertinggi di antara peers infrastruktur, sementara PT Nusa Konstruksi Enjiniring, Tbk (DGIK) hanya 0,87 kali, atau yang terendah.

Apresiasi pasar yang demikian besar kepada emiten-emiten BUMN infrastruktur kurang disertai dengan tingginya kinerja profitabilitas perusahaan. Secara rata-rata, rasio-rasio penunjuk kinerja profitabilitas BUMN infrastruktur berada di bawah kompetitor swastanya.

Rata-rata marjin laba bersih BUMN infrastruktur hanya 2,95%, sementara rata-rata swasta mencapai 7,20%. Rata-rata imbal hasil atas ekuitas (ROE) BUMN infrastruktur hanya 10,48% sementara rata-rata swasta hampir dua kali lipatnya, yaitu 20,45%.

Padahal kinerja ini dicapai oleh emiten swasta dengan mempergunakan utang jangka panjang yang sangat minimal. Rata-rata rasio utang jangka panjang atas ekuitas BUMN infrastruktur mencapai 0,75 kali. Artinya setiap Rp 100 ekuitas, BUMN infrastruktur mencatat  Rp 75 utang jangka panjang. Sementara kompetitor swastanya baru mempergunakan Rp 11 utang untuk setiap Rp 100 ekuitas.


Apresiasi pasar yang fokus hanya kepada emiten-emiten berkapitalisasi besar, dengan likuiditas tinggi, serta proyek-proyek yang bervariasi memang tidak salah. Akan tetapi juga tak ada salahnya melirik potensi emiten-emiten infrastruktur non BUMN yang juga memiliki kinerja bagus. 



Profitabilitas bank di Indonesia tertinggi, masihkah akan tumbuh?

Jakarta, 29 Agustus 2014 - Return on Capital, atau imbal hasil terhadap modal yang diinvestasikan bank-bank di Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan dengan industri di kawasan Asean, sehingga hal tersebut cenderung menjadi daya tarik investor untuk masuk di pada saham-saham sektor perbankan dan cenderung mendorong pergerakan saham tersebut. Namun, the Fed yang akan menormalisasi kebijakan moneter sehingga biaya bunga di Indonesia cenderung naik, masihkah perbankan di Indonesia tumbuh signifikan?

Tercatat PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BBRI) merupakan bank tertinggi di Asia Tenggara yang mencatatkan Return on Capital (ROC) tertinggi hingga 55,91% selama 2013 kemarin. Bahkan dari 10 bank yang mencatatkan ROC tertinggi di kawasan Asia Tenggara, enam di antaranya berasal dari Indonesia.

Meskipun mulai akhir tahun lalu  the Fed mengurangi stimulus yang memicu ketidakpastian ekonomi global,  namun perbankan di Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan pada tahun lalu. Padahal industri perbankan secara global mengalami perlambatan, termasuk kawasan Asia Tenggara, dan biaya pendanaan naik signifikan.

Rata-rata pertumbuhan kredit bank Indonesia tercatat sebesar 13% dengan kenaikan laba bersih hingga 16%. Imbal hasil terhadap ekuitas juga masih tercatat tinggi dibandingkan kawasan. ROE perbankan di Indonesia secara rata-rata sebesar 16%. ROE di Amerika Serikat rata-rata sebesar 13,6%, Eropa sebesar 11,8% dan Asia Pasifik sebesar 15,96%.

Namun, ke depan pergerakan sektor perbankan masih dihadapkan oleh masalah yang tidak jauh berbea. Normalisasi sistem moneter di Amerika Serikat dimana the Fed akan menaikkan suku bunga acuan yang cenderung mendorong investor asing akan menarik modalnya di emerging market seperti Indonesia untuk mengurangi risiko.

Persaingan likuiditas, di mana dana murah dari stumulus the Fed yang terhenti, yang akan menjadi rebutan di pasar keuangan, akan mendorong beban biaya bunga perbankan cenderung naik. Marjin bunga pun akan cenderung turun sehingga cenderung menekan laba perbankan.

Dampaknya, biaya bunga akan tinggi  untuk menarik likuiditas, yang cenderung akan menahan pertumbuhan laba perbankan.Karena bunga naik, pertumbuhan kredit akan semakin melambat yang pada gilirannya akan menekan pendapatan bunga perbankan. Risiko ini sangat tinggi di Indonesia mengingat basis pendapatan bank-bank di Indonesia berasal dari mayoritas pendapatan bunga.

Pertanyaaanya, masihkan kinerja perbankan di Indonesia secerah awal tahun 2013 lalu dan tahun-tahun sebelumnya dimana pertumbuhan kredit dan pendapatan bunga tinggi?

Ascend melihat, secara fundamental kebutuhan pembiayaan masih tinggi di Indonesia sehingga potensi pertumbuhan kredit masih besar. Pada bank-bank skala besar yang mempunyai kekuatan modal yang besar, tentu masih bisa mengelola portofolionya meskipun terjadi pengetatan moneter.

Selain itu, bank-bank skala besar yang dibiayai dengan dana murah masih mempunyai keunggulan kompetitif dibandingkan bank menengah sehingga beban bunga terhadap deposannya masih terkelola. Potensi tumbuh untuk bank besar masih terbuka mengingat pasar di Indonesia juga masih besar seiring pertumbuhan ekonomi yang masih di atas rata-rata kawasan.

Namun, bank skala menengah dan kecil masih akan dihadapkan dengan perebutan pendanaan murah dan persaingan kredit yang tentu saja akibatnya akan menekan kinerja bank-bank yang relatif kecil tersebut. Keterbatasan modal akan menahan bank-bank menengah dan kecil untuk tumbuh.






Thursday, August 21, 2014

Multi Agro Rugi Karena Beli TBS dan Tingginya Beban Bunga

Jakarta, 22 Agustus 2014 – PT Multi Agro Gemilang Plantations, Tbk (MAGP) baru saja merilis laporan keuangannya. Multi Agro mencatatkan peningkatan signifikan pada pendapatan, akan tetapi melaporkan rugi bersih sampai dengan Rp 10,69 miliar atau Rp 1,19/ saham. Kerugian ini disebabkan oleh besarnya beban keuangan yang dibayarkan perusahaan.

Pendapatan Multi Agro naik sampai 275,4% menjadi Rp 72,30 miliar di semester I-2014 dibandingkan Rp 19,26 miliar di periode yang sama tahun lalu. Peningkatan ini didorong oleh kemampuan perusahaan yang kini dapat memproduksi minyak sawit mentah sebesar Rp 65,04 miliar dan inti sawit sebesar Rp 7,26 miliar dibandingkan nol di tahun lalu. Tahun lalu perusahaan hanya mampu melakukan penjualan tandan buah segar (TBS).

Sebagian besar pendapatan itu berasal dari penjualan ke PT Multi Mas Nabati Asah, anggota grup Wilmar sebesar Rp 45,65 miliar. Selain itu ada juga penjualan kepada PT Innowangsa Oils & Fats sebesar Rp 16,39 miliar.

Beban pokok pendapatan sayangnya naik lebih cepat daripada peningkatan pendapatan karena adanya pembelian dari pihak ketiga sebesar Rp 61,70 miliar. Perusahaan mengakui bahwa sampai saat ini perusahaan tengah fokus pada pembenahan internal dan untuk sementara masih belum melakukan penambahan tanaman baru. Apabila perusahaan tidak dapat memasok pabrik kelapa sawitnya dengan tanaman sendiri maka ditengarai beban pokok yang jumlahnya raksasa ini akan terus menekan laba perusahaan.

Ditambah lagi dengan peningkatan signifikan pada beban bunga perusahaan menjadi Rp 9,61 miliar dari sebelumnya hanya Rp 413,76 miliar. Peningkatan beban bunga ini dikarenakan meningkatnya sewa pembiayaan dari beberapa perusahaan pembiayaan termasuk PT Clipan Finance Indonesia, Tbk. Beban bunga rata-rata dari perusahaan pembiayaan ini adalah 16%. Sewa pembiayaan dari perusahaan pembiayaan lainnya, entah mengapa, tidak disebutkan di dalam laporan keuangan ini.


Sejak awal semester kedua, saham Multi Agro berkode MAGP tertekan di harga terendah, Rp 50, dengan likuiditas yang nyaris tidak ada. 


Wednesday, August 20, 2014

Panorama Transportasi Akui Turunnya Laba Karena Bencana

Jakarta, 21 Agustus 2014 – PT Panorama Transportasi, Tbk (WEHA), penyandang brand White Horse, menjelaskan bahwa penurunan laba usaha dan laba bersih di semester I -2014 ini disebabkan oleh bencana banjir Jakarta, letusan Gunung Kelud, serta pemilu.

Pendapatan Panorama naik tipis, 3,2% menjadi Rp 117,69 miliar di semester I tahun 2014 ini. Akan tetapi laba sebelum pajak dan bunganya turun 10,8% menjadi Rp 18,79 miliar. Laba bersih turun bahkan lebih signifikan lagi mencapai 76% menjadi hanya Rp 1 miliar dari periode yang sama tahun 2013, Rp 4,17 miliar. Ini membuat laba bersih per saham hanya Rp 1,16/saham.

Di dalam surat keterbukaan informasinya kepada Bursa pada 20 Agustus 2014, perusahaan mencatat bahwa terjadi penurunan pendapatan di triwulan I untuk lini penyewaan bis, taksi, angkutan antar kota, dan sewa mobil. Penurunan ini disebabkan oleh bencana banjir Jakarta dan sekitarnya di awal tahun ditambah dengan bencana letusan Gunung Kelud yang abunya sampai ke Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kedua bencana ini telah membuat banyak pelanggan menunda dan membatalkan perjalanan baik di dalam kota maupun luar kota.

Di triwulan II, pendapatan juga tidak sebaik yang diharapkan karena efek pemilihan umum legislatif dan persiapan pemilihan umum presiden. Beberapa aksi kampanye dan kekuatiran demonstrasi telah menyebabkan banyak pelanggan memutuskan tidak keluar rumah.

Di semester kedua tahun ini, perusahaan akan berupaya untuk mengejar pelemahan laba yang terjadi di semester 1. Bulan Ramadhan di bulan Juli masih memberikan tekanan pada pendapatan, tetapi arus mudik dan arus balik telah mendorong pendapatan perusahaan. Tingkat permintaan sampai akhir tahun kecenderungannya meningkat karena banyak pelanggan yang menunda perjalanannya di semester I, ditengarai akan kembali mempergunakan jasa perusahaan.

Sementara itu biaya meningkat karena adanya pembayaran konsesi kepada Angkasa Pura II untuk penempatan taksi di Bandara Soekarno Hatta, serta sewa armada luar oleh lini Joglosemar (Jogja Solo Semarang) kepada PT AO Transport yang merupakan partner joint venture perusahaan.


Penurunan laba bersih ini tidak menurunkan minat pasar pada saham yang sudah naik lebih dari 47% sejak awal tahun ke Rp 301. Namun penurunan laba bersih telah membuat rasio harga terhadap laba (PER) menjadi terlalu tinggi yaitu 129,21 kali sementara rasio terhadap nilai bukunya (PBV) baru 1,66 kali. 

Express dan Cipaganti, Dua Emiten Terbaik Transportasi Darat

Jakarta, 20 Agustus 2014 – PT Express Transindo Utama, Tbk (TAXI) mencatatkan kinerja yang terbaik dibandingkan peersnya sesama emiten di bidang transportasi darat bagi konsumen. Express, yang kini memiliki layanan limousine, Tiara, dan bis, selain taxi, memiliki pertumbuhan pendapatan tertinggi, marjin EBITDA dan marjin laba bersih serta imbal hasil atas ekuitas (ROE) terbaik serta kapitalisasi pasar terbesar. Akan tetapi harganya pun sudah cukup di atas rentang rata-rata lainnya.

Express mencatatkan pertumbuhan pendapatan 23,4% menjadi Rp 408,98 miliar, dan menghasilkan laba bersih Rp 79,10 miliar atau Rp 36,87/ saham pada periode Januari – Juni 2014 ini. Marjin laba bersihnya tercatat 19,3% sementara marjin EBITDAnya 52,5%. Imbal hasil atas ekuitasnya (ROE) juga tertinggi di 18,1%.

Sementara itu kasnya adalah yang paling tinggi di antara emiten transportasi darat yaitu Rp 1,05 triliun dengan total aset Rp 2,96 triliun. Utang jangka panjangnya tercatat Rp 1,66 triliun atau 0,56 kali dari total aset perusahaan.

Sementara itu PT Cipaganti Citra Graha, Tbk (CPGT) yang pemilik induknya baru saja mendapatkan pengesahan damai dari krediturnya, mencatatkan penurunan pendapatan dan laba bersih akibat banjir yang sempat terjadi di Jakarta telah menghambat kelancaran rute Jakarta-Bandung yang menjadi andalannya.

Tapi di luar dari penurunan itu, sebenarnya perusahaan yang memperoleh Top Brand Award ini mencatatkan kinerja profitabilitas yang hanya kalah dari Express. Marjin EBITDAnya 46%, sementara imbal hasil atas ekuitasnya (ROE) 8,2%, kedua tertinggi dibandingkan peersnya. Terlebih lagi, harga sahamnya belum termasuk tinggi dilihat dari rasio harga atas laba (PER) dan rasio harga atas nilai buku (PBV).

Transportasi darat adalah industri yang bertumbuh sesuai dengan perkembangan ekonomi di berbagai di daerah di Jawa, khususnya ketika proyek-proyek infrastruktur selesai dibangun. Akan tetapi transportasi darat juga memiliki kendalanya sendiri-sendiri karena rute yang dilayani perlu mendapatkan ijin, yang sering kali prosesnya tidak mudah.


Sementara rute-rute yang panjang tidak mungkin dilayani oleh transportasi darat karena transportasi udara lama-lama menjual paketnya dengan makin ekonomis. Apalagi infrastruktur kereta api juga makin lama makin memberikan layanan yang bersahabat secara biaya maupun kenyamanan.

Monday, August 18, 2014

Enseval dan Catur Sentosa, Emiten Distribusi Terpilih

Jakarta, 18 Agustus 2014 – PT Enseval Putra Megatrading, Tbk (EPMT) serta PT Catur Sentosa Adiprana, Tbk (CSAP)  adalah dua perusahaan distribusi yang perlu mendapat perhatian. Keduanya tumbuh baik pendapatan maupun laba bersih, seraya tetap menjaga kinerja profitabilitas.

Perusahaan distribusi kuat ketika memiliki jaringan yang besar, serta manajemen logistik yang mumpuni. Hal ini tampak melalui kinerjanya yaitu makin tingginya pendapatan karena makin banyak industri yang membutuhkan jasa logistik yang kuat, makin baiknya tingkat profitabilitas yang pengurangan biaya serta tingginya perputaran piutang yang berasal dari manajemen logistik yang baik. Perputaran piutang menunjukkan berapa banyak order yang masuk dan berhasil diantar sehingga dapat dikonversi menjadi pendapatan.

Enseval membukukan peningkatan pendapatan 12,9% menjadi Rp 8,22 triliun dengan laba bersih Rp 80,92 miliar. Kinerja marjin laba bersihnya 2,7%, tertinggi dibandingkan perusahaan distribusi lainnya. Perputaran persediaannya adalah yang tertinggi yaitu 7,92 kali dalam setahun.

Enseval adalah perusahaan distribusi yang khusus di bidang obat-obatan. Awalnya memiliki pendapatan dari PT Kalbe Farma, Tbk yang sangat besar, akan tetapi di dalam perjalanannya mulai memiliki konsumen dari pihak ketiga.

Catur Sentosa membukukan pertumbuhan pendapatan 11,7% menjadi Rp 3,44 triliun dengan peningkatan laba bersih Rp 110,2% menjadi Rp 67,44 miliar. Kinerja marjin laba bersih perusahaan menjadi 2% dengan imbal hasil atas ekuitas 19%. Perputaran piutang Catur Sentosa  adalah kedua yang tertinggi mencapai  7,42 kali dalam setahun.

Catur Sentosa mengkhususkan diri pada distribusi bahan-bahan bangunan yang kini mulai merambah kepada segmen retail bahan bangunan dengan merek Mitra10, Atria, dan Eleganza. 


Thursday, August 14, 2014

Hotel Mandarine Catatkan Penurunan Pendapatan, Investasi Belum Memberi Hasil Nyata

Jakarta, 15 Agustus 2014 – PT

Hotel Mandarine Regency, Tbk (HOME), kembali mencatatkan penurunan pendapatan dan laba bersih pada semester pertama ini, setelah tahun 2013 berhasil meningkatkan pendapatan dan mencatat laba bersih. Pemilik Goodway Hotel ini menghasilkan pendapatan terbesarnya dari klub keanggotaan GVC yang mencapai 40% dari total pendapatan. Sementara itu arus kas investasi terus negatif dan belum memberikan pengembalian yang diharapkan.

GVC atau Goodway Vacation Club adalah sebuah sistem di mana pemilik kartu membayar di depan untuk mendapatkan sejumlah poin yang kemudian dapat ditukarkan dalam bentuk menginap gratis di berbagai hotel yang termasuk di dalam jaringan GVC.

Pendapatan dari klub keanggotaan GVC ini mencapai Rp 10,10 miliar atau naik 61% dibandingkan tahun sebelumnya. Kontribusi pendapatan ini mencapai 40% dari total pendapatan pada tahun 2014, dibandingkan sekitar hanya 23% di tahun 2013.

Hotel Mandarine memiliki rencana strategis untuk memperluas jangkauan area kerja GVC di Indonesia untuk meningkatkan pendapatan perseroan. Walaupun demikian, ASCEND melihat bahwa kelanggengan usaha GVC ini perlu dipertimbangkan dengan hati-hati karena dua faktor. Pertama, trend pembelian di depan untuk produk-produk penginapan masih belum besar di Indonesia, serta harus melalui suatu proses edukasi di masyarakat dulu. Kedua, banyaknya keluhan di media sosial mengenai sistem administrasi dan pemasaran produk GVC ini dapat memberikan tekanan besar terhadap penjualan produk ini di masa mendatang apabila tidak segera dikelola dengan baik.

Sementara itu, Goodway Hotel dan hotel-hotel lainnya yang dimiliki Hotel Mandarine kurang memiliki awareness di kalangan para travellers. Hal ini telah menekan pendapatan dari kamar serta makanan dan minuman  menjadi hanya Rp 14,79 miliar atau turun 22% dari Rp 18,98 miliar. Kontribusinya kini hanya 57% dari total pendapatan semester ini.

Perusahaan ini terus menerus membutuhkan investasi. Hal ini tampak dari arus kas keluar untuk investasi yang cukup besar selama 4 tahun berturut-turut. Walaupun rasio utang jangka panjang terhadap ekuitasnya masih cukup rendah karena sempat ada penawaran umum terbatas di akhir 2012, akan tetapi kenyataan bahwa arus kas bersih negatif terjadi setiap 2 tahun sekali memberikan gambaran bahwa investasi yang digulirkan tidak memiliki produktivitas pengembalian investasi sebagaimana diharapkan. 

Wednesday, August 13, 2014

Siloam Loncat ke Rp 15.000, Harga yang Terlalu Tinggi menurut ASCEND

Jakarta, 14 Agustus 2014 – PT Siloam International Hospitals, Tbk (SILO) meloncat 7,14% atau Rp 1.000 ke Rp 15.000 pada pembukaan pasar. Kenaikan ini merupakan kelanjutan dari kenaikan sebelumnya setelah sempat tertekan sampai ke Rp 14.000 dalam 1 hari kemarin. Harga itu terlalu tinggi, menurut analisis ASCEND. Harga wajarnya hanya di sekitar Rp 2.900.

Kemarin (13/8) harga saham Siloam bergerak anomali dengan likuiditas rendah. Dibuka pada harga Rp 15.050, dan ditutup di harga Rp 14.000 atau turun 7%. Hari ini (14/8) SILO dibuka langsung loncat ke Rp 15.000 untuk menutup pergerakan anomali kemarin dan melanjutkan penguatannya sejak awal tahun dari Rp 9.500.

Di semester pertama ini, Siloam mencatatkan pertumbuhan pendapatan 31% menjadi Rp 1,57 triliun dengan pertumbuhan laba bersih 156% menjadi Rp 44,56 miliar. Laba bersih ini mencerminkan laba bersih persaham Rp 38,54/ saham atau rasio harga per laba bersih (PER) sebesar 194,6 kali.

Dengan rasio per nilai buku (PBV) lebih dari 10 kali, harga Siloam ini termasuk sangat tinggi. Harganya yang wajar adalah di sekitar  Rp 2.900 yang mencerminkan PER 37 kali atau PBV 2 kali. Rasio PBV 2 kali cukup baik bila dibandingkan dengan kompetitornya di bidang perumahsakitan, PT Sejahteraraya Anugrahjaya, Tbk (SRAJ) yang mencatatkan PBV 1,6 kali namun mengalami kerugian.

Sebelumnya Siloam menyatakan akan mengejar pembangunan tiga rumah sakit di sisa tahun ini. Setelah beberapa waktu tertunda, Siloam memastikan akan membuka tiga rumah sakit baru di Medan, Kupang, dan Yogyakarta pada kuartal IV-2014 mendatang.

Sekretaris Perusahaan SILO, Budi Suharto mengatakan, sebenarnya ketiga rumah sakit itu
direncanakan dibuka pada kuartal II lalu, namun pembangunannya mesti mundur. "Tetapi
sekarang sudah hampir selesai dan dipastikan bisa beroperasi pada akhir tahun," jelasnya.


Sementara itu Siloam juga sedang membidik pertumbuhan lewat jalur anorganik, yaitu akuisisi rumah sakit lain. Hal ini dimungkinkan melihat kas Siloam yang cukup tinggi dan rasio solvabilitas yang masih rendah.

Saham PT Siloam International Hospitals, Tbk (SILO

Modern Internasional Tumbuh Didorong 7-Eleven

Jakarta, 13 Agustus 2014 – PT Modern Internasional, Tbk (MDRN) mencatatkan kenaikan pendapatan 17%, namun penurunan laba bersih 12%. Kenaikan pendapatan didorong oleh Gerai waralaba 7-Eleven.

Pendapatan dari gerai waralaba 7-Eleven (Sevel), yang dikelola oleh PT Modern Putra Indonesia, anak usaha Modern Internasional,  tercatat Rp 778,18 miliar selama 6 bulan pada 2014atau naik 53,3% dari periode yang sama tahun sebelumnya.

Gerai Sevel menyumbang 61% dari total pendapatan Modern Internasional dengan jumlah gerai sekitar 160 buah. Pada periode yang sama tahun 2013, kontribusi Sevel hanya 50%.

Kinerja profitabilitas Modern Internasional juga terlihat membaik. Marjin laba kotor dari sebelumnya di bawah 40% kini 40,3% dengan imbal hasil atas ekuitas (ROE) 6%. Pasar juga cukup mengapresiasi kinerja emiten ini dengan memberikan rasio harga terhadap laba (PER) sebesar 43 kali dan rasio harga terhadap nilai buku (PBV) sebesar 2,56 kali.

Namun Modern harus lebih waspada terhadap pengelolaan arus kasnya. Dengan arus kas investasi yang besar, Modern harus mengelola supaya arus kas operasionalnya pun dapat mengejar. 



Sebelumnya Pengelola gerai 7-Eleven telah menyatakan tak berniat lakukan ekspansi ke kota-kota di luar Jakarta. PT Modern Sevel Indonesia sampai akhir tahun ini hanya ingin menambah gerai baru di wilayah Jakarta. Selain itu Sevel menjajaki  penjualan tiket maskapai-maskapai penerbangan di Indonesia. Hal ini sebagai upaya menambah jumlah mitra penjual (merchant) untuk meningkatkan penjualan services.

Strategi Modern Internasional lainnya di awal tahun untuk mempertahankan bisnisnya secara jangka panjang adalah:
  1. Mengembangkan format gerai baru untuk gerai yang telah beroperasi, dengan cara mengimplementasikan program-program baru dari makanan dan minuman segar.
  2. Memperkenalkan layanan-layanan yang bisa menambah kenyamanan konsumen, termasuk layanan digital kios, seperti pembelian tiket konser, pembayaran kartu telepon, tiket kereta api listrik dan pesawat serta pembayaran lainnya. Kemudian juga membuka layanan kerjasama dengan GOJEK, untuk melayani sistem delivery order. Ini juga jadi kesatuan dengan layanan CSR perseroan untuk memberdayakan tukang ojek. Kemudian layanan pemesanan taksi yang sudah dikerjasamakan dengan Blue Bird.
  3. Ekspansi dengan membuka gerai baru dengan format gerai lebih kecil yang membidik areal baru, termasuk di lokasi stasiun kereta api, apartemen dan mall atau pusat perbelanjaan.
  4. Melakukan kerjasama dengan JV dengan Warabeya Nichiko Co Ltd Japan dalam pengembangan keahlian untuk mengembangkan menu makanan segar, penambahan variasi, peningkatan kualitas dan memperbaiki kemasan.
  5. Fokus membangun fasilitas infrastruktur gudang dan pabrik makanan yang menunjang keberadaan dan pengembangan gerai 7-Eleven.
  6. Mengembangkan training center dan fasilitas lainnya yang mendukung rekrut karyawan serta dan pelatihan karyawan secara berkala.
  7. Melakukan pemasaran yang intensif melalui berbagai kegiatan promosi untuk meningkatkan jumlah gerai 7-Eleven di Indonesia.

Tuesday, August 12, 2014

Indeks Pertambangan Menguat Signifikan didorong Penguatan Harga Metal

Jakarta, 13 Agustus 2014 – Indeks Pertambangan menguat signifikan sejak akhir Juli sampai 8%  ke level 1.560. Penguatan harga metal dan mineral khususnya telah menjadi faktor utama penguatan ini. Beberapa emiten khususnya berkapitalisasi besar serta beberapa emiten tambang mineral kecil menunjukkan kenaikan harga yang signifikan.

Emas ditransaksikan menguat seiring dengan investor mencari aset yang aman di tengah ketegangan geopolitik di Ukraina, Irak, dan Gaza.

Sementara itu investor melihat bahwa kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah sebaiknya diteruskan paska transisi pemerintah baru. Diteruskannya kebijakan ini dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap pemerintah, karena dana investasi telah digulirkan dan sumber daya telah diarahkan untuk membangun smelter.

R. Sukhyar, kepala direktorat jenderal batubara dan mineral, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, menegaskan kepada Bloomberg bahwa kedua pemerintahan – Presiden Yudhoyono dan presiden terpilih Joko Widodo – memiliki pandangan yang sama mengenai ekspor barang mentah. Karena itu kemungkinannya sangat besar bahwa kebijakan tersebut akan tetap dipertahankan.

Larangan ekspor ini telah menurunkan pasokan nikel Indonesia ke dunia tahun 2015 dari 29% ke hanya 8,9%. Kekurangan pasokan ini telah meningkatkan harga nikel ke titik tertinggi sejak 2012. Sejak awal tahun, harga nikel telah naik 56% menjadi US$ 21.625/metrik ton

PT Adaro Energy, Tbk (ADRO), PT Vale Indonesia, Tbk (INCO), PT Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk (PTBA), PT Aneka Tambang, Tbk (ANTM) dan PT SMR Utama, Tbk (SMRU) mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan.


Harga saham PT SMR Utama, Tbk (SMRU)
Harga SMR Utama bahkan naik lebih dari dua kali lipat, padahal emiten tersebut masih mencatatkan kerugian masif karena berhentinya operasi tambang akibat harga yang masih terlalu rendah. 

Monday, August 11, 2014

Pendapatan Iklan Naik Terdorong Pemilu, Potensi Iklan Internet Tinggi



Jakarta, 12 Agustus 2014 – Pemilihan legislatif dan pemilihan presiden telah mendongkrak kinerja dan pendapatan iklan emiten-emiten terkait dengan industri iklan nasional. Padahal biaya iklan di sebagian besar perusahaan-perusahaan barang-barang konsumen (consumer goods) turun dibandingkan periode sebelumnya. Analisis Ascend juga menunjukkan bahwa iklan di internet memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi.

Kelima emiten terkait dengan iklan menunjukkan pertumbuhan di semester I- 2014. Pertumbuhan tertinggi diperoleh PT Visi Media Asia, Tbk (VIVA) dengan tingkat kenaikan 46,7% menjadi lebih dari Rp 1 triliun. Kenaikan ini didorong oleh kenaikan pendapatan dari iklan. Laba bersihnya juga berlipat ganda.

Pertumbuhan VIVA selama 2 tahun berturut-turut, yaitu 46,7% pada tahun ini dan 32,22% pada tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa iklan di internet memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi.
Saham PT Surya Citra Media, Tbk (SCMA)

Kenaikan tinggi juga dialami oleh emiten yang memiliki ijin pertelevisian, yaitu PT Surya Citra Media, Tbk (SCMA) dan PT Elang Mahkota Teknologi, Tbk (EMTK) sebesar masing-masing 19,2% dan 18,3%.

Sementara itu emiten-emiten yang menyediakan jasa konsultasi desain dan penempatan seperti PT Mahaka Media, Tbk (ABBA) dan PT Fortune Indonesia, Tbk (FORU) mengalami penurunan laba bersih cukup signifikan walaupun pendapatan mereka meningkat.

Mahaka Media masih melaporkan laba bersih walaupun turun 81,9% karena kenaikan beban umum dan administrasi dan beban bunga. Beban umum dan administrasi yang naik paling besar adalah beban gaji dan tunjangan karyawan, transportasi dan telekomunikasi, serta honorarium tenaga ahli.

Saham PT Fortune Indonesia, Tbk (FORU)
Fortune Indonesia walaupun melaporkan kenaikan pendapatan lebih tinggi daripada Mahaka Media, tetapi sudah mencatatkan kerugian Rp 3,53 miliar. Kerugian tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan beban bunga dan rugi selisih kurs.

Kenaikan pendapatan ini disebabkan oleh kenaikan iklan politik dalam masa persiapan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, karena beberapa emiten besar mencatatkan biaya iklan yang turun. PT Bentoel Internasional Investama, Tbk (RMBA), penghasil rokok, misalnya, mencatatkan beban iklan yang turun 17% menjadi hanya Rp 607,34 miliar. PT Mayora Indah, Tbk (MYOR), manufaktur makanan dan minuman, menurunkan biaya iklannya sampai 22% menjadi hanya Rp 436,52 miliar.


Dugaan ini juga dibenarkan Sigi Kaca Pariwara, perusahaan pengolahan data pengelola situs Adstensity.com, yang menyebutkan bahwa untuk pemilihan presiden saja, kedua calon menghabiskan sekitar Rp 186 miliar untuk iklan kampanye. Sementara iklan kampanye pemilihan legislatif lalu mencapai Rp 340 miliar. Jumlah ini hanya memperhitungkan 13 stasiun TV nasional, belum termasuk iklan di dunia maya. 

Sunday, August 10, 2014

Paska Pilpres, Properti Naik Didukung Pertumbuhan Laba Bersih Big Cap

Jakarta, 11 Agustus 2014 – Paska Pilpres, Indeks Properti naik lebih tinggi daripada IHSG selama bulan Juli dan Agustus. Lima saham big cap properti menjadi pendukung kenaikan ini didukung oleh pertumbuhan laba bersih dn peningkatan harga jual walaupun melambat.

Indeks properti dari kisaran 400 di awal Juli menjadi sempat 476 sebelum koreksi dan mulai naik lagi pada hari ini ke 465. Level ini mencerminkan kenaikan 16% sementara IHSG naik hanya sekitar 4% pada periode yang sama.

Kenaikan ini terutama terdorong oleh kenaikan saham-saham bigcap. Kenaikan tertinggi dicatatkan oleh PT Ciputra Development, Tbk (CTRA) yang naik 31% dari Rp 935 ke Rp 1.225. Kapitalisasi pasar Ciputra adalah Rp 18,66 triliun. Peringkat kedua dan ketiga dengan tingkat kenaikan sama-sama 23% dipegang oleh PT Pakuwon Jati, Tbk (PWON) yang memiliki kapitalisasi R

p 20,42 triliun dan PT Lippo Karawaci, Tbk (LPKR) dengan kapitalisasi Rp 27,00 triliun. Sedangkan saham PT Summarecon Agung, Tbk (SMRA) naik 19%.

PT Bumi Serpong Damai, Tbk (BSDE) yang merupakan emiten properti berkapitalisasi terbesar mengalami kenaikan 10% menjadi Rp 1.610. kapitalisasi pasar BSD saat ini mencapai Rp 29,58 triliun.

Pertumbuhan laba bersih dialami oleh empat dari kelima emiten di atas, kecuali Summarecon. Kenaikan laba bersih berkisar antara 24% - 54%. Kenaikan tertinggi dialami oleh BSD sebesar 54,4% menjadi Rp 144,46 miliar, diikuti oleh Pakuwon sebesar 42,6% dan Ciputra sebesar 40,2%.

Sementara itu pertumbuhan pendapatan yang sebagian besar didorong oleh penjualan unit-unit properti juga terjadi pada empat dari lima emiten, kecuali BSD. Kenaikan tertinggi dicatat oleh Pakuwon, emiten asal Surabaya, dengan tingkat 21,7%. Kenaikan itu berasal dari penjualan unit superblock Kota Kasablanka.


Properti, walaupun sempat tertekan karena kebijakan Loan to Value (LTV) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia awal tahun ini, akan tetapi mendapatkan agin segar dari kenaikan optimisme paska pemilihan presiden. Presiden yang diperkirakan akan mampu memperbaiki daya saing bisnis ini mampu menjadi leverage bagi properti yang sebenarnya sudah oversupply. 

Thursday, August 7, 2014

Harga CPO Diprediksi Turun Semester Depan, Saham Perkebunan Tertekan

Jakarta, 8 Agustus 2014 – Dalam 1 bulan terakhir ini indeks perkebunan mencatatkan kinerja yang lebih rendah dibandingkan indeks komposit. Hal ini dikarenakan prediksi penurunan harga CPO yang akan terjadi pada semester kedua tahun ini. Padahal fundamental saham-saham perkebunan di semester I sangat baik.

RAM Rating Services, sebuah perusahaan pemeringkat kredit di Malaysia, memprediksikan bahwa harga CPO di semester 2 akan berkisar di antara RM 2300 – 2500. Semester pertama mencatatkan harga jual CPO di rata-rata RM 2736. Penurunan harga ini disebabkan oleh tertundanya badai tahunan El-Nino, serta ditundanya proyek bio-diesel di Indonesia maupun Malaysia yang rencananya selesai pada tahun ini.

Emiten-emiten perkebunan mengalami kenaikan tingkat pertumbuhan yang signifikan yang didorong oleh kenaikan produksi. Di sisi lain, kenaikan produksi ini ikut menekan harga dunia karena Indonesia dan Malaysia bersama-sama merupakan pemasok 86% CPO dunia.  

Kekuatiran akan penurunan harga ini telah melemahkan kinerja harga saham-saham perkebunan sejak pertengahan bulan Juni. Selama 1 bulan terakhir, indeks perkebunan telah turun 4,2% dibandingkan IHSG yang naik 1,4% paska pemilihan presiden.

Sementara itu catatan kinerja emiten perkebunan yang cukup baik terlihat tidak berhasil memberikan dampak apapun di pasar, karena memang harga jual rata-rata tahun ini lebih baik daripada tahun sebelumnya.

Pertumbuhan pendapatan dan laba bersih PT Astra Agro Lestari, Tbk (AALI), PT PP London Sumatra Plantations, Tbk (LSIP), PT Sampoerna Agro, Tbk (SGRO), dan PT Gozco Plantations, Tbk (GZCO) dapat dikatakan fantastis. Gozco misalnya mencatatkan kenaikan pendapatan 61,8% sementara Sampoerna Agro mencatatkan kenaikan laba bersih 595,1%. Pertumbuhan ini didorong oleh kenaikan volume produksi keempat emiten.

Sampoerna Agro mencatat produksi Tandan Buah Segar (TBS) 691.942 ton pada 6M14, atau lebih tinggi 37% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan ekstraksi minyak saat buah diproses di pabrik pengolahan juga turut mendorong kenaikan ini. Harga jual rata-rata adalah  Rp8.865 per kg pada semester I 2014, atau 38% lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2013.

Lonsum mencatatkan kenaikan pendapatan 23,1% didorong oleh pertumbuhan volume produksi CPO dan inti sawit masing-masing sebesar 24,0% dan 28,1%. TBS yang diproses meningkat 23,3% menjadi 914.298 ton di semester I 2014. Dua faktor utama adalah peningkatan TBS eksternal yang diproses dan peningkatan  produktivita TBS inti menjadi 8,6 ton/ ha.

Astra Agro mencatatkan penurunan volume penjualan, namun peningkatan harga jual menjadi Rp 8.728 dari periode sebelumnya telah membuat perusahaan mencatat kenaikan pendapatan 45,7% dan kenaikan laba bersih 90,9%.


ASCEND merekomendasikan investor untuk BUY saham-saham perkebunan secara selektif. Lonsum misalnya masih lebih murah dibandingkan Astra Agro walaupun dari sisi kinerja tidak memiliki perbedaan yang signifikan, bahkan sedikit lebih baik di beberapa unsur. Sementara itu Sampoerna Agro yang harganya masih di bawah rata-rata saham emiten perkebunan berfundamental baik lainnya juga merupakan emiten yang dapat dipertimbangkan. 

Wednesday, August 6, 2014

Emiten Baru LQ45 Rata-rata Punya Pertumbuhan Lebih Baik


Jakarta, 6 Agustus 2014 – Indeks LQ45 yang dikeluarkan bulan Agustus 2014 dan berlaku sampai akhir Januari 2015 mencatat lima emiten baru dan mengeluarkan lima emiten. Tiga dari kelima emiten baru memang memiliki pertumbuhan positif dan stabil sementara empat dari kelima emiten yang dikeluarkan memiliki pertumbuhan negatif dibandingkan tahun sebelumnya.

Kelima emiten yang baru masuk adalah PT Aneka Tambang, Tbk (ANTM), PT Vale Indonesia, Tbk (INCO), PT Matahari Department Store, Tbk (LPPF), PT Surya Citra Media, Tbk (SCMA), dan PT Bank Tabungan Negara, Tbk (BBTN). Sebenarnya Antam, Vale Indonesia, dan Bank BTN sudah menjadi penghuni lama LQ45 namun sempat tercoret di indeks LQ45 per Februari 2014.

Sementara kelima emiten yang keluar adalah PT Sentul City, Tbk (BKSL), PT Malindo Feedmill, Tbk (MAIN), PT Surya Semesta Internusa, Tbk (SSIA), PT Visi Media Asia, Tbk (VIVA), serta PT Multipolar, Tbk (MLPL).

Dari kelima emiten yang baru, ada 3 emiten yang mencatatkan pertumbuhan positif baik pendapatan maupun laba bersih. Pertumbuhan pendapatan tertinggi dicatatkan oleh Bank BTN sebesar 23,9% menjadi Rp 6,57 triliun diikuti oleh Matahari Department Store sebesar 21,5% menjadi Rp 3,33 triliun.

Pertumbuhan laba bersih tertinggi dicatatkan oleh Vale Indonesia sebesar 54% menjadi US$ 67,99 juta. Sementara itu Bank BTN walaupun mencatatkan pertumbuhan pendapatan, namun mengalami penurunan laba bersih sebesar 20% menjadi Rp 538,85 miliar.

Sebaliknya dari kelima emiten yang keluar, hanya satu yang mengalami pertumbuhan positif yaitu PT Visi Media Asia, Tbk sebesar 46,7% pada pendapatan sehingga mencapai Rp 1,06 triliun dan 202,5% di laba bersih sehingga mencatatkan Rp 84,32 miliar. Keempat emiten lainnya mengalami penurunan pendapatan dan laba bersih.

Penurunan pendapatan terbesar dialami oleh PT Sentul City, Tbk (BKSL) sebesar 30,1% menjadi Rp 374,8 miliar. Hal ini terjadi karena tahun lalu Sentul City memang menjual banyak sekali proyek-proyek perumahan yang sudah selesai, dan saat ini perusahaan sedang di dalam proses pembangunan. Akibatnya penurunan laba bersih yang terbesar pun dialami oleh Sentul City.

Sementara itu, Malindo Feedmill dan Surya Semesta sama-sama mengalami terpotongnya laba bersih sekitar setengah dari laba bersih tahun kemarin.

Dari kelima emiten yang baru, ada 1 emiten yaitu Antam yang belum mengeluarkan laporan keuangan semester satu. Sementara dari kelima emiten yang keluar pun ada satu yaitu Multipolar yang belum menyampaikan laporan keuangannya. Keduanya akan dianalisa dengan menggunakan laporan kinerja triwulan I.



Tuesday, August 5, 2014

Dua Emiten Bank Tumbuh Moderat, Bahan Baku Ban Tumbuh Cepat

Jakarta, 5 Agustus 2014 – PT Indo Kordsa, Tbk (BRAM), manufaktur bahan baku ban, mencatatkan pertumbuhan yang signifikan di triwulan II 2014. Sementara itu manfaktur ban, PT Gajah Tunggal, Tbk (GJTL) dan PT Multistrada Arah Sarana, Tbk (MASA) mengalami pertumbuhan moderat.  

Indo Kordsa yang menghasilkan benang nylon dan kain ban mencatatkan pertumbuhan pendapatan 36,6% dan pertumbuhan laba bersih 1247,6%. Kenaikan pendapatan ini disebabkan oleh tingginya permintaan benang ban (tire cord) dan polyester.

Sementara pendapatan naik cukup tinggi, biaya bahan produksi naik hanya kurang dari 1%. Ini mendorong kenaikan laba kotor menjadi 197,9% dan laba bersih akhirnya mencatat kenaikan 1247% ke angka setara Rp 95,82 miliar atau Rp 425,85/ saham.

Gajah Tunggal, penguasa pasar ban di Indonesia, mencatatkan pertumbuhan pendapatan 7,1% menjadi Rp 6,56 triliun. Namun pertumbuhan pendapatan tersebut diiringi dengan pertumbuhan biaya-biaya yang lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan pendapatan. Hasilnya, laba bersih Gajah Tunggal turun lebih dari setengahnya menjadi hanya Rp 228,29 miliar atau Rp 131,2/ saham.

Kenaikan pendapatan yang dialami oleh Gajah Tunggal terdorong oleh kenaikan penjualan ekspor sebesar 25%, sementara penjualan lokal malah turun walaupun tipis. Kenaikan biaya yang cukup tinggi berasal kenaikan harga bahan baku,biaya pabrikasi, dan biaya transportasi.

Multistrada, pendatang baru yang mulai menggerogoti pangsa pasar Gajah Tunggal dengan Achilles dan Corsa, mencatatkan kenaikan pendapatan 5,2% menjadi setara Rp 1,77 triliun. Namun kenaikan ini disebabkan oleh pelemahan Rupiah. Laporan keuangan dalam dolar yang diterbitkan perusahaan menggambarkan penurunan pendapatan 12% menjadi US$ 150,06 juta. Penurunan ini didorong oleh penurunan baik di pasar ekspor maupun lokal. Saat ini Multistrada lebih banyak melakukan ekspor ketimbang melayani pasar lokal.

Di sisi lain, pertumbuhan negatif malah dialami oleh PT Goodyear Indonesia, Tbk (GDYR). Goodyear merupakan satu-satunya manufaktur ban yang mengalami pertumbuhan negatif. Pendapatan turun 5,6% menjadi setara Rp 935,03 miliar, sementara laba bersih turun sekitar 94% menjadi hanya setara Rp 3,3 miliar. Penurunan pendapatan disebabkan oleh pasar dalam maupun luar negeri.

Padahal Juli kemarin, Duta Besar Amerika Serikat Robert Blake sempat mengunjungi  fasilitas manufaktur PT. Goodyear Indonesia di Bogor, Jawa Barat, untuk mendukung  kontribusi jangka panjang Negeri Paman Sam di Indonesia. Dubes sempat memuji Goodyear atas kontribusinya dalam meningkatkan keselamatan dan kualitas kendaraan bermotor di seluruh Indonesia melalui teknologi yang diterapkan pada produk ban. Dubes juga sempat memuji program-program tanggung jawab sosial untuk komunitas yang dilakukan oleh Goodyear.

Ekonomi Indonesia Melambat (lagi) pada Triwulan Kedua 2014, Investor Perlu Sesuaikan Portofolio

Jakarta, 5 Agustus 2014Badan Pusat Statistik (BPS) dalam siaran pers pagi ini, mengumumkan ekonomi Indonesia melambat pada triwulan kedua 2014 yang tumbuh hanya sebesar 5,12% dibandingkan pada triwulan pertama lalu yang tumbuh hingga 5,21%. Dengan data ini berarti perlambatan pertumbuhan sudah terjadi selama 3 triwulan berturut-turut. ASCEND merekomendasikan investor untuk menyesuaikan portofolionya seiring dengan perlambatan ekonomi apabila pemerintah baru tidak juga melakukan dorongan terhadap pertumbuhan infrastruktur.

Dalam tiga triwulan terakhir, ekonomi Indonesia sudah menunjukkan perlambatan. Ketergantungan ekonomi Indonesia hanya dari sektor konsumsi rumah tangga yang menyumbang 55,79% komponen ekonomi Indonesia, sementara komponen lainnya seperti sektor investasi dan perdagangan belum mampu tumbuh  secara signifikan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat.

Beberapa unsur yang cenderung membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat aalah pertumbuhan infrastruktur yang masih rendah, juga produktivitas yang rendah dibanding negara lain, beban anggaran subsidi yang dinilai tidak tepat dan defisit perdagangan pada pos-pos penting terutama pada segmen kebutuhan pokok, serta Indonesia yang cenderung dijadikan pasar pada produk-produk penting tertentu dari negara lain padahal nilai tambah tersebut seharusnya dapat diciptakan di Indonesia.

Sebelumnya menurut riset yang dilakukan Reuters, beberapa analis dan ekonom yang disurvey Reuters meyakini dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia masih akan tumbuh di bawah target pemerintah terpilih sebesar 7% per tahun dan untuk triwulan kedua 2014 ini masih mampu tumbuh sebesar 5,3%.

Secara sektoral, pertumbuhan masih didorong oleh sektor konsumsi domestik rumah tangga yang tumbuh sebesar 5,59%, pertumbuhan sektor investasi sebesar 4,53% dan penurunan impor hingga 5,02%, sedangkan pengeluaran pemerintah turun 0,71% dan ekspor melambat 1,04%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih ditopang pada sektor konsumsi, sementara sektor investasi dan pengeluaran pemerintah terutama yang ditujukan pada belanja infrastruktur tidak tumbuh terlalu signifikan. Selain itu, melemahnya neraca perdagangan dengan penurunan ekspor, membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti berjalan di tempat. Sektor tambang melambat selama semester pertama, sedangkan sektor perkebunan dan industri olahan tumbuh.

Di sisi lain, Bank Indonesia dalam upayanya untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah dan menahan arus modal asing kembali ke negara asal, telah menaikkan suku bunga setidaknya lima kali dalam setahun terakhir. Namun, upaya tersebut nampaknya belum mampu mendorong investasi terutama dalam sektor riil.

Pemerintah dalam upayanya menciptakan nilai tambah, telah melakukan pembatasan dan pelarangan ekspor bijih tambang dengan menerbitkan peraturan pembangunan smelter untuk mendorong nilai tambah ekspor dan produksi tambang. Namun, karena baru berjalan sejak Januari lalu dan realitasnya hanya sedikit smelter yang beroperasi belum mampu meningkatkan nilai ekonomi dari sektor tambang untuk menyumbang pertumbuhan PDB dalam waktu dekat ini.

Pemerintah terpilih yang telah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 6 hingga 7% per tahun dalam beberapa tahun ke depan, dihadapkan pada tantangan untuk merealisasikan janjinya ketika menjabat mulai 20 Oktober 2014 mendatang.

Melihat data ini, ASCEND merekomendasikan investor sebaiknya kembali menyesuaikan portofolionya terhadap pertumbuhan ekonomi negara terbesar di Asia Tenggara ini yang melambat di bawah perkiraan dan cenderung underperform terhadap target semestinya.

ASCEND melihat pertumbuhan infrastruktur perlu dipacu oleh pemerintah. Selain itu pemerintah juga harus berupaya melalui kebijakan seperti memproteksi produk nasional, menekan impor, menciptakan produk impor tersebut di dalam negeri dan memperbaiki kebijakan-kebijakan yang justru menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti mencabut subsidi bahan bakar minyak untuk menciptakan nilai tambah sehingga pertumbuahn PDB terdorong signifikan.

Sebagai catatan, meskipun PDB Indonesia tertinggi se-Asean dan nomor 18 peringkat global, namun PBD per kapita Indonesia masih jauh lebih rendah dibanding negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Sunday, August 3, 2014

Kinerja Berlina Naik, ASCEND Rekomendasi Buy untuk Jangka Panjang

Jakarta, 4 Agustus 2014 – PT Berlina (BRNA) mencatatkan pertumbuhan pendapatan sampai dengan 40% dan pertumbuhan laba bersih sampai dengan 78%. Pertumbuhan ini mendorong harga saham Berlina naik 50% dari tahun sebelumnya. Kinerja ini sesuai dengan prediksi ASCEND.

ASCEND telah merekomendasikan Berlina sebelumnya pada artikel 14 November 2013 berjudul “Industri Kemasan Tahun 2014 Akan Mencapai Omset Rp 62 Triliun, AFN Rekomendasikan Berlina”. Dalam rekomendasi tersebut beberapa alasannya adalah posisi kas dan arus kas yang lebih tinggi, kinerja laba yang lebih baik, serta rasio utang yang masih baik.

Sejak rekomendasi tersebut, harga saham Berlina telah melesat dari Rp 470 menjadi sempat tertinggi pada tahun ini di Rp 760 walaupun pada hari ini turun lagi ke Rp 700. Harganya sekarang mencerminkan rasio PER 6,40x dan PBV 1,52x. Harga ini lebih rendah daripada sebelumnya mengingat kinerja Berlina yang naik tinggi.

Kinerja triwulan kedua ini cukup banyak. Selain pertumbuhan pendapatan 40% menjadi Rp 646,47 miliar dan pertumbuhan laba bersih 78% menjadi Rp 37,75 miliar, kinerja profitabilitasnya pun meningkat. Kinerja marjin laba kotor meningkat menjadi 19,2%, marjin laba bersih menjadi 5,8%, ROE menjadi 23,8%.

Sementara itu rasio leverage membaik di mana rasio utang jangka panjang atas ekuitas turun jadi 0,82x dan kemampuan EBIT untuk membayar beban keuangan naik jadi 2,89x.


ASCEND tetap melihat bahwa kedua saham ini sebaiknya hanya dimasuki oleh investor-investor dengan horison investasi jangka panjang karena likuiditas perdagangan sahamnya yang sangat rendah. Jumlah saham beredar yang memang tidak besar di pasar turut menekan kinerja likuiditas ini.