Thursday, June 26, 2014

Harga Minyak Naik, Defisit Sektor Migas Cenderung Melebar

Jakarta, 26 Juni 2014 Kenaikan signifikan harga minyak dunia hingga mencapai 7% dalam dua pekan terakhir cenderung menekan defisit perdagangan Indonesia terutama dari sektor migas mengingat kebutuhan terhadap energi masih didominasi dari minyak yang didatangkan dari luar negeri.

Ketegangan di Iraq sejak pekan kemarin mendorong harga minyak dunia meningkat yang akibatnya untuk ekonomi Indonesia yang masih mengandalkan energi dari minyak berpotensi mendorong defisit perdagangan. Dengan melebarnya defisit perdagangan tersebut, efek simultannya juga bisa menekan pergerakan nilai tukar Rupiah dan juag menekan pertumbuhan ekonomi nasional.

Harga minyak jenis light sweet WTI yang ditransaksikan di pasar Nymex tercatat sebesar US$ 107 per barrel atau naik 5% jika dibandingkan dengan dua pekan lalu pada kisaran harga US$ 102 per barrel, sementara minyak jenis brent crude tercatat ditransaksikan pada harga US$ 115 atau naik 7,5% dibandingkan awal bulan lalu. Saat ini harga patokan Indonesian Crude Price (ICP) berada pada kisaran US$ 112 hingga 115 per barrel pasca kenaikan harga minyak dunia.

Dengan kenaikan harga minyak tersebut cenderung mengakibatkan kenaikan defisit perdagangan terutama dari sektor migas mengingat 63% kebutuhan energi minyak domestik dipenuhi lewat impor.

Berdasarkan nilainya, defisit yang diakibatkan oleh sektor migas pada April 2013 hingga April 2014 lalu sebesar US$ 12,29 miliar atau masih menurun dibandingkan defisit migas dari Desember 2013 lalu sebesar US$ 12,63 miliar. Hal ini terjadi sebelum kenaikan harga minyak dunia sejak dua pekan terakhir ini.

Pada April tersebut harga minyak dunia masih pada kisaran US$ 100 per barrel. Namun, kenaikan harga minyak yang mencapai 7% sejak dua pekan terakhir, diprakirakan defisit akan cenderung naik lebih dari kenaikan harga minyak, mengingat 93% impor migas adalah hasil minyak dan minyak mentah, sementara yang merupakan minyak mentah dan hasil minyak kurang dari keseluruhan ekspor migas. 

Dengan asumsi defisit kebutuhan minyak minyak 1 juta barrel per hari dan kenaikan harga minyak ICP pada harga US$ 115 per  barrel sejak hampir dua pekan ini, nilai impor perdagangan migas selama Mei dan Juni diprakirakan akan bertambah sebesar US$ 5 miliar sehingga secara year on year defisit dari sektor migas naik hingga 9 hingga 11%.

Sebagai catatan, kebutuhan impor bahan bakar minyak selama tahun 2014 ini diprakirakan akan naik menjadi 1,7 barrel per hari atau naik jika dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 1,6 juta barrel per hari. Sementara produksi dalam negeri hanya dapat dipenuhi sebesar 600 ribu barrel per hari. 

Sementara itu, selama bulan April kemarin tercatat defisit neraca perdagangan sebesar US$ 1,96 juta atau defisit terbesar bulanan selama 2014. Selama tahun 2014 tercatat defisit perdagangan sebesar US$ 894 juta. Impor Indonesia tercatat naik hingga 11,93% menjadi US$ 16,26 miliar selama April jika dibandingkan dengan Maret lalu, namun masih tercatat turun 4,23% selama tahun berjalan jika dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara itu, ekspor selama April tercatat turun hingga 5,92% menjadi US$ 14,29 miliar dibandingkan dengan Maret lalu. Selama tahun berjalan tercatat ekspor turun 2,63%.

Dari total defisit neraca perdagangan, sejak April 2013 hingga 2014 defisit terjadi diakibatkan oleh defisit migas sebesar US$ 12,27 juta, sementara dari sektor non-migas mencatatkan surplus sebesar US$ 9,27 juta. Kontribusi impor hasil minyak yang masih tinggi juga mendorong defisit dari sektor migas tersebut hingga sebesar US$ 24,12 miliar, sementara sektor gas mencatatkan surplus sebesar US$ 15,31 miliar.

Wednesday, June 25, 2014

Rencanakan Private Placement, Indoritel (DNET) Cari Fund Manager Asing

Jakarta, 26 Juni 2014 - PT Indoritel Makmur Internasional, Tbk. (DNET) akan melakukan private placement atau penerbitan saham baru tanpa hak memesan efek terlebih dahulu, dimana penggunaan dana direncanakan untuk ekspansi usaha. Private placement tersebut rencananya akan digunakan untuk ekspansi.

Ekspansi yang direncanakan kemungkinan dengan cara menambah kepemilikan saham pada entitas dan untuk menambah saham beredar di masyarakat.

Tercatat dalam perdagangan hari ini (Rabu, 25/6) saham DNET berada pada level Rp 755. Pergerakan sejak tiga bulan terakhir masih wajar dan tidak ada peningkatan signifikan pada likuiditas perdagangan.

Rumor yang beredar di pasar Indoritel akan melakukan private placement dengan investor asing akan dijadikan target untuk menyerap saham baru tersebut setelah Indoritel melakukan persiapan road show ke luar negeri.

Sebagai catatan, Indoritel sendiri sejak semester pertama 2013 lalu mengalihkan lini usahanya menjadi perusahaan ritel di bidang barang konsumer setelah sebelumnya sejak didirikan tahun 2000 bergerak dibidang teknologi informasi.

Indoritel tergabung dalam grup Salim yang 39,64% sahamnya dimilik melalui Hannawell Group dan 29,66% melalui Treasure East Investement Ltd dan Megah Eraraharja mempunyai 27,82%. Masayarakat hanya mempunyai 2,88% atau 408 juta lembar saham Indoritel.

Portofolio aset Indoritel sendiri didominasi oleh investasi kepada entitas anak usaha yaitu Indomaret (40%), PT Nippon Indosari Corpindo, Tbk atau ROTI (31,50%) dan PT Fast Food Indonesia , Tbk atau FAST (35,84%). Dari ketiga entitas asosiasi tersebut yang asetnya senilai Rp 6,95 triliun atau 95,97% dari asetnya tidak sepenuhnya dikendalikan oleh DNET dan ketiganya juga tidak dilaporkan sebagai konsolidasi pendapatan dalam laporan keuangan kuartal pertama ini.

Operator ritel modern Indomaret hanya dimiliki 40% oleh Indoritel sehingga Indoritel bukan merupakan saham pengendali, sementara Fast Food (FAST) yang merupakan pemegang kemitraan KFC di Indonesia dikendalikan oleh grup Gelael.

Sari Roti (ROTI) meskipun saham terbesarnya dikuasai oleh Indoritel sebesar 31,50%, namun pemegang saham Sari Roti lainnya seperti Bonlight, Pasco Shikizima dan Sojizt yang kemungkinan besar satu grup, sehingga pengendali bukan oleh DNET.

Dari rencana private palcement tersebut, akankah digunakan untuk menambah kepemilikan dari salah satu dari ketiga entitas DNET tersebut.

ASCEND melihat bahwa kemungkinan besar yang dilakukan Indoritel adalah menambah kepemilikan saham Indomaret kedalam portofolio Indoritel sehingga terkonsolidasi dalam pendapatan DNET.

ASCEND melihat kemungkinan kecil DNET akan menambah kepemilikan saham pada KFC yang dikendalikan oleh Grup Gelael, ataupun pada saham Sari Roti yang dikendalikan oleh perusahaan asal Jepang.

Di sisi lain, dengan private placement tersebut pula, ASCEND melihat merupakan upaya DNET untuk mendorong saham yang beredar di pasar bertambah untuk memenuhi regulasi Bursa Efek Indonesia, dimana saham beredar harus lebih dari 7,5% dari jumlah modal disetor dengan paling kurang 50 juta saham. Saat ini, saham DNET yang dipegang publik hanya sebesar 2,88% atau 408 juta lembar saham sehingga berpotensi delisting.

Thursday, June 19, 2014

Isu Prabowo - Hatta Beli Saham Grup MNC, Benarkah?

 Jakarta, 20 Juni 2014 – Dikabarkan oleh satu broker asing, Tanoesoedibjo Prabowo-Hatta memborong saham-saham Grup MNC beberapa waktu lalu dengan nilai Rp 869,81 miliar. Pemborongan ini tidak ada di dalam keterbukaan informasi, tetapi sejak dua bulan terakhir Hari Tanoesoedibyo memang melakukan gerakan-gerakan pembelian saham.

Dari data yang diperoleh Kompas.com, jumlah tersebut merupakan akumulasi pembelian oleh investor yang bernama "Tanoesoedibyo Prabowo-Hatta" itu. Adapun perincian pembelian itu, menurut broker asing itu, adalah saham PT MNC Investama Tbk (BHIT) sebesar Rp 712,68 miliar. Selain itu, saham yang dibeli adalah PT Global Mediacom Tbk (BMTR) senilai Rp 33,38 miliar, PT MNC Land Tbk (KPIG) Rp 111,98 miliar dan saham PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) Rp 11,76 miliar.

Juru bicara Grup MNC, Arya Sinulingga, membantah bahwa aksi tersebut terkait dengan pasangan Prabowo-Hatta. Menurutnya, dukungan yang diberikan Hary Tanoe terhadap pasangan Prabowo-Hatta dalam bentuk support dukungan publik seperti gerakan rakyat Satu Hati. "Bisa saja Bloomberg di-hack, sehingga muncul nama itu," lanjutnya.

Berdasarkan dokumen-dokumen keterbukaan informasi MNC Investama, memang terlihat adanya gerakan pembelian saham oleh Hari Tanoesoedibyo secara perlahan-lahan, seperti yang tampak di tabel. Akan tetapi besarannya tidak sama dengan yang diisukan oleh broker asing tersebut.

Di Global Mediacom pun pada bulan April tampak adanya gerakan pembelian saham kepada Media Nusantara Citra sebanyak 8,33 miliar lembar sehingga total kepemilikan Global Mediacom menjadi 59,09%.

Pergerakan ini memberikan dorongan kepada kinerja harga saham-saham ini di pasar namun tidak signifikan. Saham Global Mediacom (BMTR) sempat naik sampai 38% ke Rp 2.500 di akhir Maret, namun kemudian turun lagi ke Rp 2.125, walaupun sempat naik tinggi pada tanggal 21 April sampai 8% dalam 1 hari.

Saham MNC Investama (BHIT) sempat naik 5 hari berturut-turut sampai Rp 331. Namun setelah itu harga kembali turun ke Rp 319. 

Garuda, Remains To Struggle In Profitability, Not The Best Airline Company In Domestic

Jakarta, 20 Juni 2014 - PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk (GIAA), the state-owned airline company in Indonesia, booked a loss amounting to US$ 163.90 million in 1Q2014, while revenue just inched up 0.01%. The other airlines in the region have been facing high expenses too, but none experienced a loss like Garuda. Even in domestic routes, Garuda’s passenger growth was lower than Lion Air’s and Indonesia Air Asia’s.

Garuda’s loss occurred due to increasing of expenses, especially direct cost, freight operation expenses, airplanes maintenance expenses, promotion and ticketing and surcharge expenses. Those rose by 19,88% amounting to  US$ 901.09 million, while turnover was relatively flat.

Moreover, loss also occurred in foreign exchange transaction amounting to US$ 27.68 million or increased 3 times over the same period last year. 

In the operational side, Garuda’s international operations remain to struggle with revenue passengers per kilometer declined by 1%, while available seat per kilometers increased by 17%. 

Meanwhile, Garuda‘s international seat load factor was only 63,6% in 1Q2014 or declined from last year with monthly average above 70%. With load factor down and unit cost grow up, it caused declining profitability.

Despite Garuda’s domestic flight traditionally strength with full services jets, market share in premium or full services remains limited, while low cost carrier airlines would be expected grow rapidly. 

In low cost carrier market, Garuda has a subsidiary known as Citilink. Unfortunately it is still under capacity with only 24 aircrafts to take low cost carrier market with 80 million passengers per year in domestic flight. 

In the other hand, Garuda also faces high risk of liquidity and solvency. Garuda’s debt which must be repaid in this year is higher than its cash and receivable. Garuda cash carrying reserves was only US$ 247.69 million with loans maturing in this year amounting to US$ 375.44 billion. 

Garuda’s current ratio stood by 0.58% or the lowest among other airline companies, so Garuda’s ability to pay off its debt has been remaining low.



How about the other airlines?
ASCEND is comparing some of the airline companies that are listed in local bourses and publicizing their reports. 

One of the biggest Garuda’s rival in South East Asia region is Singapore Airlines. It recorded turnover inched up marginally, but its earnings declined by 5,12%. Singapore Airlines which set up more than 100 fleets flying from and to many cities in Asia, Europe and North America, is larger than Garuda by market capitalization, operating range and profitability. 

Garuda has also been facing Malaysian Airlines and Thai Airways in the region. They have a network in many large cities in Europe. Thai Airways even has route to Los Angeles. The financial performance of both of them depressed slightly, not as deep as Garuda.

Meanwhile, Garuda currently has only 1 route to Europe, 2 to the Middle East and some routes in East Asia and Australia with total passengers for last year around 11 million people domestic and international. 

The Garuda’s passengers has been dominated by local passengers. For every 9 domestic passengers, Garuda is serving 2 international passengers. 

Then, the low-cost carrier segment, Citilink, a subsidiary of Garuda, is still relatively smaller than AirAsia, Jet Star, Tiger Air or Scoot’s Singapore Airlines. Citilink has only 24 aircraft operating in only a few cities in Indonesia with 2 international flights. 

Among low-cost carrier airlines, AirAsia booked the highest profitability among others with a profit margin as 10.73% but turnover depressed, while Tiger Air recorded losses amounting to US$ 75.95 million in first quarter, the biggest loss in low-cost carrier segment. 

As the busiest routes in the region connecting Singapore to the main island of Java, until this day, the flight has been dominated by Singapore Airlines and AirAsia, while Garuda has been the third.

The condition of airlines industry in the region have is challenging with excessive capacity levels provoking a reduction in yields and load factor.

IHSG: Antara Piala Dunia dan Pemilihan Presiden

Jakarta, 19 Juni 2014 – Selama musim Piala Dunia, diperkirakan indeks akan naik namun dengan likuiditas yang jauh berkurang. Apalagi faktor tahun ini ditambah dengan adanya pemilihan presiden yang berlangsung cukup ketat antara pilihan nomor 1 dan nomor 2, yaitu Jokowi dan Prabowo. Selama 4 hari berturut-turut terasa adanya penurunan likuiditas dibandingkan pekan sebelumnya.

Tahun ini, penurunan likuiditas ini juga diikuti oleh penurunan kinerja indeks. Hal tersebut tidak terjadi di musim Piala Dunia tahun 2010. Di tahun 2006, penurunan sempat terjadi di awal musim Piala Dunia, akan tetapi meningkat lagi sehingga kinerja harganya positif di akhir pertandingan.

Kinerja indeks tahun ini juga mungkin tertekan dibandingkan musim kejuaraan sebelumnya karena faktor pemilihan presiden yang makin mendekat, yaitu 9 Juli. Makin ketatnya persaingan antara kedua capres-cawapres, yaitu Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta, membuat ketidakpastian di pasar modal makin besar.

Menurut survei Pol Tracking Institute akhir pekan lalu, Prabowo semakin mendekati Jokowi. Elektabilitas Jokowi-Jusuf Kalla berada di angka 48,5% (vs 54,9% bulan Maret) sedangkan Prabowo-Hatta Rajasa berada di 41,1% (vs 27,9% bulan Maret).

Dalam survei yang dilakukan oleh Deutsche Bank Verdana Indonesia terlihat jelas bagaimana posisi investor. Bila Jokowi-JK menang, sekitar 74% investor akan melakukan aksi beli dan 6% akan melakukan aksi jual. Sebaliknya bila Prabowo-Hatta menang, sekitar 56% akan melakukan aksi jual dan 13% akan melakukan aksi beli.

Bagaimana bila kedua faktor – piala dunia dan pemilihan presiden ini – dikombinasikan? Apa yang akan terjadi?




Ascend berusaha menggambarkan skenario pemilihan presiden dengan matriks di bawah ini. Volume akan terus tipis karena banyak pelaku pasar individual masih terpecah perhatiannya kepada pertandingan, baik untuk bertaruh maupun hanya sekedar menonton. Pemilihan presiden yang kebetulan bersamaan waktunya dengan semi final Piala Dunia, akan menentukan skenario lanjutan dari indeks.
 

Bila Jokowi-JK menurut Quick Count menang, maka volume akan naik dengan cepat diikuti dengan kenaikan indeks. Bila terjadi sebaliknya, maka volume likuiditas akan relatif flat dan indeks akan terus berada di level saat ini bahkan mungkin turun. 

Thursday, June 5, 2014

Diakuisisi Telkom, Ekspansi Tiphone Bisa Makin Laju

Jakarta, 6 Juni 2014 - BUMN telekomunikasi, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero), Tbk, (TLKM)  dikabarkan akan mengakuisisi perusahaan distributor ritel alat telekomunikasi PT TiPhone Mobile Indonesia, Tbk (TELE) dengan pembelian  25% saham. Rencana akuisisi ini akan menguntungkan investor Tiphone, ketimbang investor Telkom.

Rencananya, akuisisi ini akan dilakukan melalui anak usaha Telkom yaitu Premises Integration Service (PINS) yang juga merupakan produsen ponsel lokal dan peralatan jaringan. Saat ini produksi ponsel oleh PINS masih berskala kecil dibandingkan industri perakitan ponsel. Dengan akuisisi ini, diharapkan aset Telkom akan bertambah dan dapat memanfaatkan jaringan ritel Tiphone untuk memasarkan peralatan yang diproduksi dan dijual PINS.

Menurut riset Danareksa Sekuritas, pembelian ini tidak akan berpengaruh signifikan terhadap Telkom. Dengan harga pasar sekarang, Telkom harus membayar Rp 1,15 triliun dengan ekspektasi pertambahan laba bersih hanya sebesar Rp 61 miliar atau hanya menambah kurang dari 1% dari laba per saham.

Analisis ASCEND pun menunjukkan hal itu. Jika rencana akuisisi ini terwujud, ASCEND melihat dalam jangka pendek belum tentu akan mendorong pertumbuhan anorganik Telkom karena aset Tiphone hanya sebesar Rp 4,17 triliun dengan laba bersih sebesar Rp 242,84 miliar, atau jauh jika dibandingkan dengan Telkom yang tercatat memiliki aset sebesar Rp 130,47 triliun dengan laba bersih sebesar Rp 14,60 triliun (disetahunkan).

Namun jika sinergi terjadi, dalam jangka panjang, Tiphone bergerak dalam segmen ritel dan konsumer yang belum dimiliki Telkom , akan mendorong akan mampu mendorong pertumbuhan segmen lain dari Telkom terutama lewat anak usaha Telkomsel.

Selain itu, pendapatan Telkomsel berpeluang meningkat lewat penjualan bundling paket data atau paket telekomunikasi lainnya dengan jaringan distributor ritel yang dimiliki Tiphone yang sebagai salah satu distributor ponsel merek Apple dan merek Samsung untuk Jabodetabek dan Tiphone juga dikenal sebagai produsen ponsel kelas menengah kebawah TiPhone yang memiliki pangsa pasar yang besar.

Sebaliknya dari sisi Tiphone, ASCEND melihat bahwa masuknya partner bisnis yang merupakan perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia ini dapat membantu mengembangkan jaringan bisnisnya dan dapat memenuhi kekuatan pendanaan untuk ekspansi.

Kinerja Fundamental Telkom
Sementara itu, Telkom dalam kinerjanya pada kuartal pertama 2014 ini, hanya membukukan pertumbuhan pendapatan sebesar 8,71% menjadi sebesar Rp 21,25 triliun dengan pertumbuhan laba bersih sebesar 4,95% menjadi sebesar Rp 3,65 triiun.

Pertumbuhan pendapatan dan usaha yang rendah ini menunjukkan Telkom dari sisi siklus bisnis berada dalam kondisi maturity sehingga tidak mampu tumbuh signifikan kecuali dengan  pertumbuhan anorganik.

Kinerja Fundamental Tiphone
Selama kuartal pertama, Tiphone membukukan pertumbuhan pendapatan hingga 51,68% menjadi sebesar Rp 3 triliun dengan pertumbuhan laba bersih tercatat sebesar 17,07% atau sebesar Rp 61 miliar.

Dalam siklus sebuah perusahaan, dengan pertumbuhan pendapatan yang tinggi dan pertumbuhan laba yang relatif besar menunjukkan bahwa Tiphone masih dalam fase pertumbuhan.

Tercatat sejak perusahaan ini didirikan yanitu tahun 2008 lalu atau 6 tahun yang lalu Tiphone membukukan laba ditahan lebih dari 40% atau Rp 601 miliar dari nilai ekuitasnya  sebesar Rp 1,47 triliun dan masih kemungkinan bertambah seiring pertumbuhan laba bersih.

Namun, secara fundamental, segmen usaha perdagangan alat telekomunikasi ritel oleh Tiphone hanya mencatatkan marjin yang kecil. Tercatat marjin laba kotor hanya sebesar 5%, sementara marjin laba bersih sebesar 2,02% dengan perputaran aset mencapai 2,88 kali.


Selain itu, rasio hutang Tiphone sangat tinggi sebesar 1,14 kali  yang menunjukkan dalam aktivitas bisnisnya lebih banyak dibiayai melalui hutang. Dengan akuisisi oleh Telkom yang memiliki kekuatan pendanaan besar, ekspansi Tiphone ke depannya bisa makin lancar.

Tuesday, June 3, 2014

Fund Asing Beli 21% Saham Catur Sentosa

Jakarta, 3 Juni 2014 – PT Catur Sentosa Adiprana Tbk (CSAP) melakukan private placement kepada NT Asian Discovery Master Fund, sebuah fund yang berasal dari Thailand. Penjualan saham 21% atau sebesar 608 juta lembar saham senilai Rp 221,9 miliar. Harga rata-rata Rp 365 per saham, dilakukan pada pasar negosiasi BEI pada 30 Mei 2014.



Saham yang dijual adalah saham-saham milik PT Ekasentosa Jayasukses yang sebelumnya memegang 456,15 juta lembar atau  15,75% menjadi 81,48 juta lembar atau 2,81%; PT Budilestari Sentosa pemilik 3,47%, PT Darmapatria Sentosa Abadi pemilik 2,295%, PT Tunaskurnia Abadi pemilik 2,295% menjadi 0%.

Laba bersih di triwulan I tahun 2014 naik 69% menjadi Rp 19,26 miliar dari sebelumnya Rp 11,38 miliar. Laba bersih per saham naik menjadi Rp 6,65 / lembar. Kenaikan ini disebabkan oleh kenaikan pendapatan, perbaikan portofolio produk, serta efisiensi biaya.

Pendapatan naik 12% menjadi Rp 1,64 triliun dari sebelumnya Rp 1,46 triliun. Kenaikan pendapatan ini ditopang oleh kenaikan Home Etc yang naik lima kali lipat menjadi Rp 226.60 miliar, serta kenaikan keramik 11% menjadi Rp 621,55 miliar.

Produk Home Etc yang sebelumnya hanya berkontribusi 3% kepada total penjualan, kini meningkat menjadi 14%. Produk ini memiliki marjin laba yang lebih tinggi. Hasilnya adalah marjin laba kotor yang lebih tinggi, yaitu 14,6% dibandingkan 12, 7% periode yang sama tahun 2013. Kinerja ini meningkatkan imbal hasil atas ekuitas (ROE) menjadi 11,6% dari sebelumnya 7,1%.

Neraca CSAP solid dengan total aset tumbuh menjadi Rp 3,19 triliun dan aset lancar Rp 2,34 triliun. Utang bank jangka panjang hanya Rp 161,80 untuk menjaga efisiensi biaya. Rasio lancar solid di 1,08 kali.



TOTO Bagikan Dividen Rp 99,1 Miliar

Jakarta, 3 Juni 2014 – Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Surya Toto Indonesia, Tbk (TOTO), produsen perabotan kamar mandi, memutuskan untuk membagikan deviden sebesar Rp 99,1 miliar, atau 49,1% dari laba bersih tahun 2013.

Pemegang saham terbesar Toto, yaitu Toto Ltd Jepang yang memiliki 39,5% akan mendapatkan Rp 39,14 miliar. PT Multifortuna Asindo yang memegang 31,4% akan mendapatkan Rp 31,12 miliar. PT Suryaparamitra Abad dengan kepemilikan 25,3% akan mendapatkan Rp 25,07 miliar. Sisanya, sebesar Rp 3,77 miliar dibagikan kepada publik.

Sisa dari laba bersih yang tidak dibagikan sebagai dividen menjadi laba ditahan perusahaan dengan jumlah Rp 102,73 miliar.

Kinerja Toto selama 5 tahun berturut-turut menunjukkan pertumbuhan, baik di sisi pendapatan, laba sebelum bunga pajak dan depresiasi, serta laba bersih. Aset dan ekuitas juga terus meningkat sebagai hasil dari laba bersih ditahan.

Di triwulan I 2014, Toto juga menunjukkan adanya pertumbuhan sebesar 18,4% menjadi Rp 494,96 miliar dibandingkan triwulan I 2013 sebesar Rp 417,90 miliar. Laba bersih melonjak cukup signifikan sebesar 22,98% menjadi Rp 84,5 miliar dari sebelumnya Rp 68,71 miliar.

Di dalam paparan publiknya, manajemen Toto mengungkapkan kekuatiran bahwa ketidakpastian pemilu, kenaikan biaya energi dan perubahan valuta dapat menjadi tantangan besar bagi perusahaan. Di sisi positifnya, upah minimum sektor industri tidak naik sesignifikan 2 tahun yang lalu sehingga memberikan napas pada ongkos produksi.

Permintaan lokal diharapkan bertambah sampai akhir tahun. Promosi yang lebih intensif dan penambahan produk baru direncanakan untuk mendukung penjualan tahun ini. Di triwulan I, peningkatan penjualan domestik adalah 9,91% sementara penjualan ekspor 52,53%. Pada triwulan I ini, penjualan domestik berkontribusi sebesar 74,2% dari total penjualan. Melemahnya Rupiah, membuat strategi kami bergeser sedikit pada strategi berorientasi ekspor pada tahun ini.