Sunday, October 26, 2014

Kabinet Jokowo: Not the Dream Team

Jakarta, 27 Oktober 2014 – Kabinet baru sudah terbentuk, namun tidak semua orang puas karena banyak dari anggotanya belum berpengalaman di politik. Reaksi pasar pada hari ini negatif dengan volume likuiditas turun. ASCEND memperkirakan pasar masih bereaksi moderat dan fokus kepada pencarian informasi mengenai nama-nama menteri dan bagaimana ekspektasi kebijakan-kebijakan mereka ke depan.

Beberapa menteri yang dipertanyakan adalah Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan), Saleh Husin (Menteri Perindustrian), Sudirman Said (Menteri ESDM), dan Rachmat Gobel (Menteri Perdagangan), dan

Susi Pudjiastuti merupakan wanita lulusan SMP yang berhasil mendirikan Susi Air dan menyediakan pesawat ke pedalaman. Pengalamannya di manajerial masih sedikit karena perusahaan yang dibentuknya baru satu. Sementara perhatiannya kepada kelautan dan perikanan belum tentu dapat menopang kebijakan-kebijakan yang pro terhadap pertumbuhan sektor ini.

Saleh Husin adalah politisi Partai Hanura asal Rote, NTT yang sempat menjabat komisaris di PT. Ades Alfindo Putra Setia, Tbk (air minum Ades). Tidak banyak yang diketahui tentang karir Saleh Husin dan bagaimana perhatiannya kepada dunia perindustrian secara umum.

Sudirman saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Pindad dan sebelumnya menjabat sebagai sebagai Wakil Direktur PT Petrosea. Menurut Presiden Jokowi, Sudirman Said adalah seorang manajerial yang handal, aktivis anti korupsi, pernah sebagai Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). Walaupun bagus secara profesional, namun Sudirman harus berjuang untuk mampu mengatasi konflik-konflik politik yang mewarnai sektor strategis ini tanpa terjatuh ke dalam lubang korupsi seperti pendahulunya, Jero Wacik.

Rachmat Gobel paska terpilih menjadi menteri perdagangan, melepas jabatannya sebagai direktur di Panasonic Gobel Group. Dengan karirnya sebagai pemimpin di Panasonic, diharapkan ia memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjadi menteri perdagangan: kemampuan manajerial, pengendalian yang kuat, kreativitas untuk meningkatkan perdagangan Indonesia, serta sikap anti korupsi.

Selain keempat menteri di atas, secara umum hanya sedikit menteri yang telah diprediksi dan mampu menimbulkan sentiment positif kepada pasar. ASCEND melihat bahwa hanya dua faktor yang mampu mendorong kabinet ini mampu bekerja dengan baik: (1) Kepemimpinan Jokowi untuk dapat menggabungkan semua orang dengan ragam dan rupa kemampuan ini, serta (2) tidak ada lagi penyelewengan-penyelewengan baik di tingkat menteri maupun bawahnya sehingga kinerja secara umum akan membaik tanpa melihat siapa pemimpinnya.


Thursday, October 23, 2014

Tukar saham Mitratel, Telkom dapat saham Tower Bersama, Siapa yang Untung?

Jakarta, 24 Oktober 2014 - PT Telekomunikasi Indonesia (Persero), Tbk berencana melepas kepemilikan saham atas PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) kepada PT Tower Bersama Infrastructure, Tbk (TBIG). Diversifikasi ini akan dilakukan dengan cara share swap antara saham Mitratel dan saham Tower Bersama. Siapakah yang diuntungkan?

ASCEND melihat sejauh ini transaksi ini masih wajar dan cenderung tidak ada yang dirugikan baik Telkom maupun Tower Bersama. Nilai transaksi tukar guling saham ini tidak jauh berbeda dengan harga rata-rata saham TBIG yang akan ditukar dengan Mitratel.

Sebagaimana dalam keterangan kepada wartawan dan juga keterbukaan informasi Telkom, Mitratel akan dilepas sebanyak dua tahap. Pada tahap pertama, Telkom akan menukar 49% saham Mitratel dengan 5,7% saham Tower Bersama. Hak untuk mengonsolidasikan Mitratel diserahkan kepada Tower Bersama.

Tahap kedua akan dijalankan dalam jangka waktu 2 tahun mendatang setelah tahap pertama dieksekusi. Telkom mempunyai opsi untuk menukar sisa 51% saham Mitratel dengan 6% saham Tower Bersama ditambah bonus Rp 1,74 triliun apabila Mitratel mencapai kinerja yang disepakati oleh keduanya.

Dalam transaksi ini, jika terealisasi, diprakirakan nilai transaksi akan mencapai Rp 11,06 triliun atau setara dengan  perolehan Telkom atas 13,7% saham TBIG pada harga Rp 7.972 per saham. Mitratel dengan transaksi ini berhasil dijual Telkom dengan harga yang mencerminkan PBV 1,36 kali

Transaksi tersebut juga sudah termasuk pembayaran atas hutang Mitratel sebesar Rp 2,71 triliun atas Bank BRI dan sindikasi Bank BRI, BNI dan Mandiri, ditambah dengan estimasi penyesuaian saat penutupan transaksi sebesar Rp 534 miliar.

Keuntungan yang diperoleh Telkom dari divestasi ini adalah:
  1. Menara dapat memperoleh nilai tambah lebih bila dioperasikan oleh Tower Bersama, yaitu dengan meningkatkan jumlah pengguna dan tidak terbatas di kalangan Telkom sendiri;
  2. Efisiensi biaya. Pasca pemberhentian operasi Flexi yang sekarang dialihkan kepada anak usaha Telkom lainnya, Telkomsel, maka tingkat penyewaan menara pada Mitratel akan cenderung menurun karena mayoritas pengguna menara Mitratel adalah Telkom Flexi. Dengan pengalihan kepemilikan menara, Telkom tidak terbebani dengan biaya-biaya terkait pemeliharaan menara;
  3. Telkom dapat memperoleh imbal hasil investasi yang sebelumnya diperoleh dari Mitratel menjadi dari Tower Bersama.

Namun langkah yang perlu menjadi perhatian Telkom dan investor adalah:
  1. Telkom kehilangan hak konsolidasikan asset dan pendapatan Mitratel pada tahap pertama, padahal masih memiliki hak pengendalian. Kalau pada 2 tahun ke depan Tower Bersama kemudian tidak melaksanakan (exercise) haknya untuk mengambil sisa Mitratel, artinya Telkom tetap kehilangan hak konsolidasi itu untuk nilai yang lebih kecil daripada seharusnya;
  2. Pembayaran Rp 1,74 triliun akan dilakukan apabila kinerja Mitratel mencapai tingkat tertentu. Pertanyaan yang patut diajukan adalah siapakah yang bertanggungjawab atas pencapaian performa tersebut? Apakah Telkom sebagai pengendali 51%, atau Tower Bersama yang sudah mengkonsolidasikan kinerja ke dalam kinerja perusahaannya sendiri?
  3. Transaksi ini juga masih berpotensi mendapatkan kendala dari sisi hukum bagi Telkom. Sesuai UU Keuangan Negara, penjualan aset pemerintah yang melebihi nilai Rp 100 miliar harus mendapatkan persetujuan DPR, kecuali asset tersebut berpotensi merugikan keuangan Negara.

Mitratel yang hingga saat ini sepenuhnya masih dikendalikan oleh Telkom yang mempunyai 3.928 menara dengan 4.363 penyewaan. Di samping itu, aset Mitratel juga dibiayai oleh hutang bank yang mencapai Rp 2,7 triliun sementara nilai buku ekuitas sekitar Rp 5,75 triliun.

Pasar terlihat mengapresiasi rencana divestasi ini, terlihat dari kecenderungan harga yang naik cukup signifikan dibandingkan bulan sebelumnya.

Sementara di sisi Tower Bersama, akuisisi ini  akan membuat saham lama akan terdilusi hingga mencapai 13%.

Sebagai catatan, kinerja Tower Bersama selama semester pertama lalu tidak terlalu bagus. Perusahaan mencatat penurunan laba bersih hingga 21,3% menjadi hanya Rp 664 miliar yang salah satu penyebabnya karena beban keuangan yang meningkat hingga 51%.

Selama enam bulan kemarin, pendapatan Tower Bersama masih tercatat tumbuh hingga 24,4% menjadi Rp 1,58 triliun dibandingkan dengan sebelumnya sebesar Rp 1,27 triliun dengan didukung oleh pendapatan dari 18.028 titik penyewaan menara.

Sebelum akuisisi, Tower Bersama memiliki 11.266 menara untuk tersedia disewakan kepada penyedia layanan telekomunikasi yang tersebar di seluruh Indonesia hingga akhir semester pertama lalu. Paska akuisisi, Tower Berama akan memiliki hamper 15.000 menara.

Setelah aksi korporasi ini, 50,6% saham Tower Bersama dimiliki dan dikendalikan Grup Saratoga dan sebesar 35,6% oleh publik, sementara sisanya oleh Telkom. Sejauh ini, akibat rencana aksi korporasi yang belum terealisasi ini, tampaknya TBIG mendapat apresiasi oleh pasar dengan membukukan  kenaikan harga hingga 10,4% dari penutupan pada 10 Oktober 2014 lalu saat pengumuman resmi dari kedua emiten yang terlibat aksi korporasi ini.





Monday, October 6, 2014

Asia Pacific Fibers Catatkan Utang Berbunga Tinggi

Jakarta, 6 Oktober 2014 – PT Asia Pacific Fibers, Tbk (POLY) mencatatkan utang baru US$ 117,8 juta dengan bunga yang cukup tinggi. Rasio utang terhadap aset berpotensi naik menjadi 3,93 kali dari 3,58 kali. Pinjaman baru tersebut berasal dari pemegang saham mayoritasnya, Damiano Investment BV, dan akan digunakan untuk ekspansi tahun ini.

Fasilitas US$117,8 juta itu terdiri atas pinjaman investasi sebesar US$ 17,8 juta dan utang modal kerja US$ 100 juta. Bunga yang dibebankan kreditur cukup tinggi yaitu 10%. Manajemen perusahaan mengaku bahwa pinjaman tersebut berbunga tinggi karena perusahaan tidak punya pilihan lain sebab sedang melakukan restrukturisasi utang dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

Perusahaan sudah mengajukan usulan baru atas restrukturisasi utang terjamin senilai US$ 280 juta kepada Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Salah satu poin usulan tersebut adalah penerbitan obligasi wajib tukar atau mandatory convertible bond (MCB). Perusahaan berencana menerbitkan MCB senilai US$ 45 juta kepada kreditor utang terjamin dengan tenor 9 tahun.

Usulan ini belum dapat disetujui oleh Kementerian Keuangan karena emiten dianggap masih terkait dengan pemegang saham mayoritas lama, yaitu Grup Texmaco. Sedangkan grup Texmaco sendiri masih terlibat sengketa hukum dengan Kementerian Keuangan, PPA, dan PT Bank Negara Indonesia, Tbk (BBNI) terkait perjanjian restrukturisasi utang.

Karena proses restrukturisasi utang yang belum jelas ini maka Asia Pacific terkendala dalam mencari pendanaan eksternal. Padahal dana tersebut dibutuhkan perusahaan untuk membangun pabrik baru di Kendal, Jawa Tengah, senilai investasi US$ 92 juta. Pabrik baru tersebut akan memproduksi bahan baku untuk membuat benang. Selama ini pabrik perusahaan di Kendal mendapatkan pasokan bahan baku dari pabrik di Karawang sebanyak 150 ton per hari. Dengan adanya pabrik baru ini, perusahaan akan mampu menghemat distribusi pengiriman bahan baku.

Dengan tingkat bunga yang relatif tinggi untuk pinjaman berdenominasi dollar ini, maka perusahaan berpotensi meningkatkan rasio utangnya menjadi 3,93 kali. Rasio EBITDA berbanding beban keuangan menjadi 0,41 kali dari 0,01 kali. Artinya risiko investasi menjadi lebih tinggi daripada sebelumnya.

Pada semester ini perusahaan mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 11% menjadi US$ 263.19 juta. Perusahaan juga masih mencatatkan rugi bersih sebesar US$ 25,19 juta.  Kerugian bertubi-tubi telah menyebabkan ekuitasnya defisit cukup besar yaitu US$ 853,09 juta. 

Arus kas operasional juga merupakan indikator yang perlu diwaspadai. Perusahaan mencatatkan arus kas dari aktivitas operasional yang turun signifikan menjadi hanya US$ 1,50 juta dari sebelumnya US$ 207,91 juta. 



Thursday, October 2, 2014

Mempertanyakan Rights Issue BW Plantations

Jakarta, 2 Oktober 2014 – PT BW Plantations, Tbk (BWPT) baru saja mengumumkan rencana penawaran umum dengan HMETD (Rights issue) dengan harga exercise Rp 390 -  411 ketika harga pasarnya rata-ratanya adalah Rp 1.167 dan harga tertingginya Rp 1.420. Pengumuman itu langsung disambut dengan terjun bebasnya harga BWPT mendekati harga rights issuenya. OJK mensuspensi saham tersebut dan beberapa pihak menuntut diadakannya penyelidikan atas rencana tersebut. Pertanyaannya, apakah harga exercise serendah tersebut wajar? Bila ya, maka apakah ada yang dirugikan dari penawaran tersebut?

Penawaran umum yang dilakukan oleh BWPT ini adalah memberikan rights kepada pemilik setiap saham lama untuk membeli 6 saham baru. Pemilik yang tidak menggunakan haknya akan terdilusi sampai dengan 85,78%, sementara secara historis, investor minoritas di Indonesia tidak menggunakan haknya di dalam rights issue. Potensi dilusi raksasa inilah yang kemudian digugat oleh beberapa pihak telah merugikan kepentingan investor minoritas.

Dana yang diharapkan oleh perusahaan dari penawaran umum ini mencapai Rp 10,8 triliun. Sebagian besar dana hasil HMETD tersebut akan digunakan untuk mengakusisi Green Eagle Group, salah satu perusahaan yang juga bergerak dalam perkebunan sawit. Green Eagle Group terafiliasi dengan Rajawali Corpora yang dimiliki oleh Peter Sondakh. Saat ini Rajawali Corpora telah memiliki saham BW Plantations sebesar 21,4% secara tidak langsung.

Menurut penilaian UOB Kay Hian Securities, akuisisi BW Plantations atas Green Eagle dengan  harga Rp 10,53 triliun tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan nilai  wajar atas Green Eagle yang seharusnya. Menurut UOB Kay Hian, akuisisi tersebut setara dengan nilai US$ 11.392 per hektar  dengan metode penilaian aset yang setara dengan perbandingan  enterprise value terhadap lahan tertanam (EV/Planted) sebesar US$ 13,564 hektar, sementara  harga wajar atas Green Eagle seharusnya pada kisaran  US$ 9.600  per hektar. Jadi harga wajar Green Eagle seharusnya Rp 8,87 triliun.

Rights Issue
Rights Issue atau penawaran umum dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu adalah jenis penawaran yang mempertimbangkan hak-hak pemegang saham lama yang mungkin tidak menginginkan haknya atas perusahaan terdilusi, atau berkurang karena penerbitan saham baru.

Realitanya di dalam rights issue banyak terjadi praktek-praktek backdoor listing, yaitu akuisisi bisnis yang lain sama sekali dengan jumlah yang melampaui bisnis lama atau memberikan kesempatan kepada pemegang saham non mayoritas untuk menjadi pemegang saham mayoritas melalui posisinya sebagai standby buyer. Biasanya indikator praktek-praktek ini adalah banyaknya jumlah saham baru yang dikeluarkan dan nilai penawaran umum yang relatif besar terhadap nilai buku ekuitas perusahaan itu.

Potensi backdoor listing atau peralihan pemegang saham mayoritaslah yang dikuatirkan terjadi pada rights issue BW Plantations kali ini. Yang perlu digali adalah apakah harga exercise serendah tersebut wajar?

Dengan logika belanja biasa, kita akan keberatan bila kita memiliki barang seharga Rp 1000 dan melihat barang yang sama dijual kepada orang lain dengan harga Rp 400. Secara naluriah kita akan berpikir bahwa kita membeli barang itu terlalu mahal. Namun logika tersebut tidak dapat diterapkan di dalam penawaran umum saham dengan HMETD karena saham lama dan saham baru bukanlah barang yang berbeda tapi bagian dari barang yang sama.

Ketika saham baru dijual, nilai total dari perusahaan tersebut tidak berubah. Contohnya, bila nilai perusahaan Rp 1 triliun sebelum rights issue, maka nilai perusahaan tetap Rp 1 triliun. Perbedaannya adalah sebelum penawaran, Rp 1 triliun tersebut dibagi dengan 1miliar lembar sehingga per saham tersebut mewakili kepemilikan nilai Rp 1.000, yaitu Rp 1 triliun dibagi 1 miliar. Sementara paska penerbitan saham baru, Rp 1 triliun yang sama dibagikan kepada 2 miliar lembar, sehingga per saham bernilai Rp 500. Artinya harga exercise yang rendah memang ditentukan oleh berapa jumlah saham baru yang dikeluarkan.

Mari kita lihat di dalam kasus BW Plantations sendiri. Sebelumnya jumlah saham yang beredar adalah 4,47 miliar lembar dengan nilai buku ekuitas Rp 2,28 triliun dan kapitalisasi pasar Rp 5,22 triliun. Angka ini mencerminkan rasio harga atas nilai buku ekuitas (PBV) sebesar 2,29 kali.

Melalui rights issue, BW Plantations hendak menaikkan jumlah lembar saham beredarnya menjadi 31,30 miliar lembar dan ekuitas saat itu langsung menjadi Rp 13,30 triliun karena adanya uang kas yang dimasukkan ke dalam perusahaan. Dengan harga Rp 411, maka kapitalisasi pasar menjadi Rp 12,86 triliun dan rasio PBV menjadi 1 kali.

PBV 1 kali menjadi masuk akal karena apresiasi pasar terhadap potensi kombinasi aset baru dan aset lama masih tidak diketahui dan karenanya wajar apabila dihargai pada nilai bukunya saja.

Terakhir, ketika saham baru dan saham lama dikombinasikan di dalam pasar, berapa harga wajarnya secara teoritis?  Seharusnya adalah bobot dari saham lama dikalikan dengan harganya saat itu di tambah dengan bobot saham baru dikalikan dengan harga exercise rightsnya atau:

Harga baru BWPT = {(1 lembar x Rp 1.167) + (6 lembar x Rp 411)}  / 7 lembar = Rp 519/ saham.


Kesimpulan
Kesimpulannya? Penetapan harga rights issue dari BW Plantation tidak mengandung unsur-unsur ketidakwajaran.

Tapi, BW Plantations tetap merugikan investor karena BW Plantations melakukan akuisisi dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga wajar. Biasanya keputusan akuisisi seperti ini membutuhkan keputusan RUPS yang dihadiri oleh investor minoritas karena sifatnya yang berpotensi memiliki benturan kepentingan.


Rekomendasi ASCEND agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki kebijakan di dalam menghadapi rights issue yang berpotensi merugikan ini  khususnya mengenai motif-motif dari rights issue itu sendiri. 

Kinerja BW Plantation meningkat

Jakarta, 3 Oktober 2014 - Selama semester pertama lalu, PT BW Plantation, Tbk membukukan kenaikan laba bersih hingga 67,3% menjadi Rp 141,22 miliar yang didorong atas peningkatan penjualan dan kenaikan beban yang lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan pendapatan.

Peningkatan harga komoditas sawit selama semester pertama tahun ini menjadi pada kisaran Rp 8,1 juta per metrik ton ikut mendorong pendapatan BW Plantation selama semester pertama tahun ini dibadingkan dengan tahun lalu pada kisaran Rp 7 juta per metrik ton.   

Di sisi lain, beban produksi juga meningkat dengan unit cost produksi CPO BW Plantation menjadi sebesar Rp 5,47 juta per metrik ton dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 4,61 juta. Peningkatan produksi tersebut sejauh ini masih seiring dengan kenaikan hasil produksi CPO BW Plantations yang naik menjadi 74.167 metrik ton dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 66.814 metrik ton.

Hasilnya, laba kotor BW Plantation tercatat mengalami pertumbuhan hingga 42,3% menjadi sebesar Rp 339,4 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp 238,6 miliar dan  dengan marjin laba kotor yang menguat menjadi 45,6% dibandingkan tahun lalu sebesar 43,7%.

Sementara itu, laba usaha tercatat mengalami pertumbuhan hingga 51,46% menjadi sebesar Rp 224,8 miliar setelah beban usaha yang hanya mengalami kenaikan hingga 27,2% atau lebih rendah jika dibandingkan ddengan laba kotor.


Beban keuangan yang dibukukan BW Plantation masih relatif tinggi hingga mencapai Rp 44,8 miliar ada tahun ini seiring dengan obligasi yang dikeluarkan hingga senilai Rp 700 miliar dan hutang bank yang senilai hingga Rp 2,86 triliun.

Sebagai catatan, pada  semester kedua ini, Pefindo telah memberikan peringkat obligasi yang dikeluarkan BW Plantations dengan peringkat idBBB+ dengan jangka waktu hingga 1 Agustus 2015 tahun depan yang menunjukkan BW Plantations setidaknya masih masuk dalam investment rating.

Dengan meningkatnya laba atas entitas anak yang tahun ini mencapai Rp 8,14 miliar dan keuntungan dari selisih kurs dan pendapatan bunga lainnya yang lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, membuat laba bersih BW Plantation terdorong naik hingga 67,3%, meskipun beban keuangan masih tinggi.

Marjin laba bersih yang dibukukan tercatat sebesar 19,0% atau naik dari 15,5% pada tahun lalu dengan imbal hasil terhadap ekuitas tercatat sebesar 12,1%.

Wednesday, October 1, 2014

Tiga Pilar Tambah Modal untuk Besarkan Taro

Jakarta, 2 Oktober 2014- PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (AISA) mengumumkan akan melaksanakan penambahan modal tanpa HMETD senilai Rp 658,35 miliar. Rencananya penambahan modal ini akan digunakan untuk penambahan mesin baru dan memperluas pabrik Taro di Jawa Tengah.

Emiten ingin memperluas kapasitas pabrik Taro seiring dengan rencananya memasukkan snack berbrand kuat ini ke Malaysia dan Cina. Dengan penambahan kapasitas, manajemen memperkirakan penjualan Taro akan berlipat ganda menjadi Rp 816 miliar dibandingkan sebelumnya sekitar Rp 360 miliar.

Selain itu perusahaan juga terus memperbesar lini usaha perkebunan melalui partisipasi publik dengan melepas 20 – 30% saham ke publik. PT Golden Plantations bergerak di bidang industri perkebunan kelapa sawit dengan aset per Juni 2014 sebesar Rp 1,18 triliun dan dimiliki sepenuhnya oleh Tiga Pilar sejak dibeli pada Maret 2014 dari pihak berelasi.  Segera setelah akuisisi tersebut, Golden Plantations melakukan penjualan atas beberapa anak perusahaan untuk konsolidasi internal.  

Saham baru yang akan dikeluarkan adalah 292,6 juta atau 10% dari jumlah saham beredar dengan harga Rp 2.250. Pembeli baru adalah Trophy 2014 Investors Ltd., sebuah private equity yang tidak diketahui manajemennya dan diperkirakan terafiliasi dengan private equity ternama, Kohlberg Kravis Roberts (KKR).  Sebelumnya Trophy telah termasuk di dalam jajaran pemegang saham AISA sebanyak 6,20%. Dengan peningkatan saham ini, maka Trophy akan memiliki lebih dari 15% dari saham emiten.

Saat ini publik memiliki 44,29% saham perusahaan, sementara pemegang saham mayoritas adalah tersebar di beberapa pemilik yaitu PT Tiga Pilar Corpora (14,38%), PT Permata Handrawati Sakti (10,12%), JP Morgan Chase Bank Non Treaty Clients (9,08%), Primanex Limited (8,14%), Primanex Pte Ltd (7,79%) dan Trophy Investors II Ltd (6,20%).

Sepanjang semester I tahun 2014 ini, emiten telah mencatatkan pertumbuhan pendapatan dan laba yang signifikan. Pendapatan naik 37% menjadi Rp 2,45 triliun sementara laba bersih naik 29% menjadi Rp 172,96 miliar.

Beberapa produk yang menjadi andalan emiten adalah beras yang menyumbang 65% dari pendapatan, diikuti oleh mie kering  dan mie instan yang berkontribusi 15%, serta wafer stick dan snack ekstrusi menyumbang 10% dari pendapatan.


ASCEND merekomendasikan investor terus mencermati emiten ini karena memiliki potensi untuk bertumbuh. Akan tetapi saat ini harganya masih cukup mahal bila melihat kepada kapasitas kininya. Rasio harga terhadap laba (PER) mencapai 19,24 kali sementara rasio harga terhadap nilai buku ekuitas (PBV) sudah mencapai 3,08 kali.  Bandingkan ini dengan PER pasar di sekitar 16 kali dan PBV pasar di sekitar 1,5 kali.