Thursday, August 28, 2014

Kapitalisasi dan Harga Tinggi, Kinerja BUMN Infrastruktur Masih Kalah dengan Swasta

Jakarta, 29 Agustus 2014 – Kapitalisasi pasar keempat BUMN Infrastruktur rata-rata empat kali lebih tinggi daripada kompetitor swastanya. Harganya pun lebih tinggi dilihat dari rata-rata rasio PER dan PBV. Tapi kinerja profitabilitas keempatnya lebih rendah daripada counterpart swastanya.

Rata-rata kapitalisasi pasar BUMN Infrastruktur mencapai Rp 10,84 triliun di mana yang tertinggi adalah PT Wijaya Karya (Persero), Tbk (WIKA) sebesar Rp 17,56 triliun dan PT PP (Persero), Tbk sebesar Rp 11,72 triliun. Sementara rata-rata kapitalisasi pasar emiten infrastruktur swasta hanya Rp 1,97 triliun di mana yang tertinggi adalah PT Total Bangun Persada, Tbk (TOTL) sebesar Rp 2,73 triliun dan PT Nusa Raya Cipta, Tbk (NRCA) sebesar Rp 2,50 triliun.

Saham BUMN infrastruktur lebih diapresiasi pasar dibandingkan teman-teman swastanya. Ini terlihat dari rasio PER dan PBV. Rata-rata rasio harga berbanding laba bersih (PER) BUMN infrastruktur mencapai 46,83 kali, sementara rata-rata PER emiten swasta hanya 13,28 kali. Rata-rata rasio harga berbanding nilai buku ekuitas (PBV) BUMN infrastruktur mencapai 4,39 kali sementara rata-rata PBV swasta hanya 2,62 kali. PBV PT PP Persero mencapai 5,85 kali, yang tertinggi di antara peers infrastruktur, sementara PT Nusa Konstruksi Enjiniring, Tbk (DGIK) hanya 0,87 kali, atau yang terendah.

Apresiasi pasar yang demikian besar kepada emiten-emiten BUMN infrastruktur kurang disertai dengan tingginya kinerja profitabilitas perusahaan. Secara rata-rata, rasio-rasio penunjuk kinerja profitabilitas BUMN infrastruktur berada di bawah kompetitor swastanya.

Rata-rata marjin laba bersih BUMN infrastruktur hanya 2,95%, sementara rata-rata swasta mencapai 7,20%. Rata-rata imbal hasil atas ekuitas (ROE) BUMN infrastruktur hanya 10,48% sementara rata-rata swasta hampir dua kali lipatnya, yaitu 20,45%.

Padahal kinerja ini dicapai oleh emiten swasta dengan mempergunakan utang jangka panjang yang sangat minimal. Rata-rata rasio utang jangka panjang atas ekuitas BUMN infrastruktur mencapai 0,75 kali. Artinya setiap Rp 100 ekuitas, BUMN infrastruktur mencatat  Rp 75 utang jangka panjang. Sementara kompetitor swastanya baru mempergunakan Rp 11 utang untuk setiap Rp 100 ekuitas.


Apresiasi pasar yang fokus hanya kepada emiten-emiten berkapitalisasi besar, dengan likuiditas tinggi, serta proyek-proyek yang bervariasi memang tidak salah. Akan tetapi juga tak ada salahnya melirik potensi emiten-emiten infrastruktur non BUMN yang juga memiliki kinerja bagus. 



Profitabilitas bank di Indonesia tertinggi, masihkah akan tumbuh?

Jakarta, 29 Agustus 2014 - Return on Capital, atau imbal hasil terhadap modal yang diinvestasikan bank-bank di Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan dengan industri di kawasan Asean, sehingga hal tersebut cenderung menjadi daya tarik investor untuk masuk di pada saham-saham sektor perbankan dan cenderung mendorong pergerakan saham tersebut. Namun, the Fed yang akan menormalisasi kebijakan moneter sehingga biaya bunga di Indonesia cenderung naik, masihkah perbankan di Indonesia tumbuh signifikan?

Tercatat PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BBRI) merupakan bank tertinggi di Asia Tenggara yang mencatatkan Return on Capital (ROC) tertinggi hingga 55,91% selama 2013 kemarin. Bahkan dari 10 bank yang mencatatkan ROC tertinggi di kawasan Asia Tenggara, enam di antaranya berasal dari Indonesia.

Meskipun mulai akhir tahun lalu  the Fed mengurangi stimulus yang memicu ketidakpastian ekonomi global,  namun perbankan di Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan pada tahun lalu. Padahal industri perbankan secara global mengalami perlambatan, termasuk kawasan Asia Tenggara, dan biaya pendanaan naik signifikan.

Rata-rata pertumbuhan kredit bank Indonesia tercatat sebesar 13% dengan kenaikan laba bersih hingga 16%. Imbal hasil terhadap ekuitas juga masih tercatat tinggi dibandingkan kawasan. ROE perbankan di Indonesia secara rata-rata sebesar 16%. ROE di Amerika Serikat rata-rata sebesar 13,6%, Eropa sebesar 11,8% dan Asia Pasifik sebesar 15,96%.

Namun, ke depan pergerakan sektor perbankan masih dihadapkan oleh masalah yang tidak jauh berbea. Normalisasi sistem moneter di Amerika Serikat dimana the Fed akan menaikkan suku bunga acuan yang cenderung mendorong investor asing akan menarik modalnya di emerging market seperti Indonesia untuk mengurangi risiko.

Persaingan likuiditas, di mana dana murah dari stumulus the Fed yang terhenti, yang akan menjadi rebutan di pasar keuangan, akan mendorong beban biaya bunga perbankan cenderung naik. Marjin bunga pun akan cenderung turun sehingga cenderung menekan laba perbankan.

Dampaknya, biaya bunga akan tinggi  untuk menarik likuiditas, yang cenderung akan menahan pertumbuhan laba perbankan.Karena bunga naik, pertumbuhan kredit akan semakin melambat yang pada gilirannya akan menekan pendapatan bunga perbankan. Risiko ini sangat tinggi di Indonesia mengingat basis pendapatan bank-bank di Indonesia berasal dari mayoritas pendapatan bunga.

Pertanyaaanya, masihkan kinerja perbankan di Indonesia secerah awal tahun 2013 lalu dan tahun-tahun sebelumnya dimana pertumbuhan kredit dan pendapatan bunga tinggi?

Ascend melihat, secara fundamental kebutuhan pembiayaan masih tinggi di Indonesia sehingga potensi pertumbuhan kredit masih besar. Pada bank-bank skala besar yang mempunyai kekuatan modal yang besar, tentu masih bisa mengelola portofolionya meskipun terjadi pengetatan moneter.

Selain itu, bank-bank skala besar yang dibiayai dengan dana murah masih mempunyai keunggulan kompetitif dibandingkan bank menengah sehingga beban bunga terhadap deposannya masih terkelola. Potensi tumbuh untuk bank besar masih terbuka mengingat pasar di Indonesia juga masih besar seiring pertumbuhan ekonomi yang masih di atas rata-rata kawasan.

Namun, bank skala menengah dan kecil masih akan dihadapkan dengan perebutan pendanaan murah dan persaingan kredit yang tentu saja akibatnya akan menekan kinerja bank-bank yang relatif kecil tersebut. Keterbatasan modal akan menahan bank-bank menengah dan kecil untuk tumbuh.