Tuesday, July 1, 2014

XL Axiata Berencana Jual Menara Untuk Bayar Hutang, Dorong Marjin dan Perputaran

Jakarta, 2 Juli 2014 – PT XL Axiata, Tbk (EXCL) berencana melepas beberapa kepemilikan atas jaringan menara transmisinya. ASCEND melihat upaya tersebut dilakukan XL untuk menekan beban penyusutan yang cukup tinggi sehingga mengurangi laba perseroan cukup signifikan. Dengan upaya pelepasan menara BTS tersebut, perputaran dan marjin laba diharapkan akan naik, namun nilai asetnya akan berkurang.

Hasnul Suhaimi, Direktur Utama XL Axiata, dalam keterbukaan informasi menyatakan XL Axiata saat ini menggunakan sekitar 10.000 unit menara BTS dengan 80% merupakan milik sendiri dan rencananya akan dikurangi hingga 7.000 unit melalui penjulanan sistem lelang. Sebelumnya dalam paparannya kepada publik awal tahun lalu, XL berencana mengurangi hampir seluruh menaranya hingga 8.000 unit.

Sementara itu, dalam portofolio asetnya, XL Axiata merupakan operator seluler berbasis GSM memiliki jaringan infrasturktur terbesar ketiga di seluruh Nusantara setelah Telkomsel dan Indosat. Sejak mulai beroperasi tahun 1995 lalu,  XL telah mengakusisi jaringan infrastruktur telekomunikasi sebesar Rp 54,58 triliun.

Karena beban penyusutan yang harus disisihkan untuk pengelolaan aset tersebut termasuk menara BTS tersebut sangat tinggi yaitu hingga Rp 5 triliun per tahun, sementara pembangunan menara XL Axiata dibiayai menggunakan hutang, marjin XL Axiata pun cenderung berkurang.

Dengan melepas sebagian besar aset yang berupa menara telekomunikasi, diharapkan XL Axiata dapat menekan beban penyusutan dari asetnya tersebut. Selain itu, pendapatan dari segmen sewa menara juga relatif rendah, sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan infrastruktur tersebut relatif tinggi.

Tercatat pendapatan sewa selama triwulan pertama 2014 sebesar Rp 256,46 miliar hanya berkontribusi sebesar  4,56% dari seluruh total pendapatan, sementara beban pemeriharan dan perbaikan jaringan mencapai Rp 623,94 miliar atau sebesar 35% dari beban langsung.
Biaya sewa menara 7.000 menara tiap tahun diprakirakan mencapai  Rp 4,5 hingga Rp 5 triliun tiap tahun, sementara beban penyusutan yang mencapai Rp 5 triliun per tahun tersebut dapat dialihkan untuk pembayaran sewa, sedangkan biaya perawatan seluruh jaringan infrastruktur berkurang signifikan sehingga menekan beban operasional, maka kebijakan XL Axiata tersebut diharapkan mendorong oportunitas marjin dari selisih beban tersebut.

Diprakirakan  tiap tahun, secara financial  XL Axiata akan menghemat sekitar Rp 1,5 triliun per tahun dengan cara menyewa menara telekomunikasi tersebut.

Namun, dengan penjualan itu, XL Axiata kehilangan beberapa oportunitas lain. Dengan rencana XL Axiata menjual menara tersebut, XL Axiata secara operasional akan mengandalkan pihak lain untuk penyediaan telekomunikasi.

Selain itu, secara neraca finansial, aset XL akan berkurang karena Rp 28 triliun secara nilai buku dari Rp 61 triliun asetnya merupakan perangkat telekomunikasi dan jaringan menara tersebut.

XL Axiata juga bergantung pada pihak ketiga, jika terdapat gangguan telekomunikasi, intersep atau gangguan lainnya, dipastikan akan ada jeda waktu lama untuk memperbaiki. Selain itu, faktor kepercayaan beberapa segmen pelanggan kemungkinan cenderung berkurang, dimana aliran data yang diselenggarakan XL Axiata akan melalui pihak ketiga.

Rencananya, pendapatan penjualan menara menara tersebut digunakan untuk membayar hutang. Tercatat hutang yang harus dibayar XL Axiata sebesar Rp 22,72 triliun dengan yang jatuh tempo pada tahun ini sebesar Rp 3,07 triliun dengan suku bunga rata-rata 10% hingga 11% pertahun. Hutang XL Axiata sebesar 48% atau sekitar Rp 10,5 triliun  dalam denominasi Dollar AS, sementara pendapatan XL Axiata berbasis Rupiah, sehingga hal ini juga cenderung mendorong beban keuangan XL Axiata.

Sebagai catatan nilai buku peralatan dan jaringan XL Axiata saat ini sebesar Rp 25 triliun termasuk menara BTS didalamnya, maka penjualan seluruh menara BTS itu pun belum tentu akan menutup seluruh hutangnya.

Dengan penjualan 7000 menara BTS tersebut diprakirakan hanya menutup 60% hingga 75% dari seluruh total hutang XL Axiata, artinya meskipun menjual seluruh menara BTS, biaya keuangan yang masih ditanggung tetap masih ada, meskipun relatif turun.

Sebagai catatan biaya keuangan XL Axiata cukup tinggi hingga sebesar Rp 556,60 miliar atau 10% dari turnover yang dibukukan pada triwulan pertama 2014 ini.

ASCEND melihat kedepan, upaya yang dilakukan XL Axiata ini lebih cenderung mengalihkan protofolionya menjadi tidak sepenuhnya berbasis penyedia informasi, tetapi juga sebagai perusahaan keuangan dimasa mendatang.

ASCEND melihat, perputaran sektor infrastruktur relatif lebih rendah dibandingkan dengan perputaran penyedia jasa informasi dan konten itu sendiri. Selain itu, dimasa mendatang, sistem pembayaran online yang menjanjikan perputaran cukup tinggi telah mulai diselenggarakan oleh beberapa operator telekominikasi seperti XL Axiata, tidak hanya oleh perbankan.


Upaya penjualan beberapa aset ini adalah untuk beralih ke sektor bisnis yang menjanjikan perputaran tinggi.  

Sejak Diperiksa KPK, Sentul City Terus Tertekan

Jakarta, 2 Juli 2014 – PT Sentul City, Tbk, (BKSL) diperdagangkan pada harga Rp 85 per saham atau turun 46,20% sejak direktur utamanya menjalani pemeriksaan oleh KPK sebagai saksi terkait kasus gratifkasi Bupati Bogor pada pertengahan Mei lalu. Sejak pertengahan Mei hingga sekarang likuiditas naik signifikan dengan posisi offer cenderung lebih banyak. Namun, fundamental perusahaan yang masih tumbuh berpotensi kembali menguat jika permasalahan kasus hukum tersebut terselesaikan.

Tercatat terakhir kali berada pada level harga saham Sentul City dibawah Rp 100 pada Februari 2010 lalu.

Dalam keterbukaan informasi yang disampaikan kepada publik, Sentul City menyatakan nama-nama yang terlibat kasus gratifikasi tidak merupakan bagian dari Sentul City maupun anak usaha Sentul City.


Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Bupati Bogor RY, kemudian MZ, dan Y sebagai tersangka atas dugaan gratifikasi tukar menukar lahan di kawasan Bogor seluas 2.754 ha. Sementara itu, didalam pemberitaan media massa MZ dan Y disebutkan bagian dari  Bukit Jonggol Asri yang merupakan anak usaha Sentul City.

Tampaknya, sentimen permasalahan hukum yang melibatkan Sentul City membuat pasar merespon negatif pergerakan saham Sentul City meskipun secara fundamental kinerjanya masih menunjukkan pertumbuhan.

Maybank Kim Eng, harga wajar Sentul City Rp 200
Awal April lalu, sebelum pemeriksaan Direktur Utama Sentul City, Maybank Kim Eng merilis riset tentang Sentul City dengan merekomendasikan buy pada target harga Rp 200 dengan price to earnings ratio (PER) 12,78 kali. Harga tersebut premium 9% pada harga pasar saat itu Rp 183 per saham.

Asumsi Maybank Kim Eng menilai premium Sentul City tersebut karena sebelumnya saat bertemu dengan 15 investor di Kuala Lumpur, mayoritas menyatakan ketertarikan dengan Sentul City meskipun belum familiar di ASEAN, sehingga dinilai Sentul City profitable.

Selain itu, Maybank Kim Eng menganggap akuisisi terhadap Bukit Jonggol Asri akan mendorong pertumbuhan Sentul City dimasa mendatang, memeperkuat sisi operasional dan upaya Sentul City untuk melakukan refinancing terhadap pembiayaan banknya.

Maybank Kim Eng memprakirakan penjualan Sentul City akan naik menjadi Rp 1,76 triliun atau naik 79% dengan kenaikan EBIT hingga 161%.

Sebagai catatan, tahun 2013 lalu, Sentul City menguasai 65% saham Bukit Jonggol Asri dengan membeli kepemilikan dari Bakrieland Development, Tbk (ELTY) sebanyak 15% dan berencana menambah kepemilikan lagi sebesar 10% sehingga menjadi 85% pada tahun ini.

Penilaian Maybank Kim Eng lainnya yaitu adanya potensi sinergi pasca akuisisi Bukit Jonggol Asri untuk mengembangkan Sentul City Township dengan kerjasama antara Bank Mandiri, AEON Mall, Ikea, Decathlon, BCA, Universitas Trisakti, dan adanya proyek regensi dari Novotel dan Hyatt Regency.

Sentul City saat ini berusaha melakukan refinancing terhadap hutang yang didominasi oleh bank hingga Rp 1,5 triliun dengan bunga 15% - 17%. Diharapkan dengan refinancing tersebut, bunga dapat diturunkan menjadi sebesar 11,75% - 12%.

Pra-penjualan Sentul City untuk tahun 2014 ditargetkan sebesar Rp 2,5 triliun atau naik dari tahun lalu sebesar Rp 2,17 triliun, namun pra-penjualan untuk kuartal pertama ini mengalami tekanan dengan tercatat turun 20% menjadi hanya sebesar Rp 392,8 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 508,2 miliar.

Kinerja Sentul City secara bottom line selama tahun 2013 mencatatkan pertumbuhan laba bersih sebesar 185% menjadi sebesar Rp 630,23 miliar setelah didukung laba dari Bukit Jonggol Asri, entitas anak sebesar Rp 380,17 miliar dan keuntungan dari goodwill atas kepemilikan Bukit Jonggol Asri sebesar Rp 349,40 miliar.

Sebagai catatan, Sentul City meskipun mengendalikan Bukit Jonggol Asri belum atau tidak mengkonsolidasikan pendapatan Bukit Jonggol tersebut ke dalam laporan keuangannya pada periode 2013 lalu.

Kinerja operasional Sentul City sendiri masih tertekan dengan dibanyagi kenaikan beban usaha yang tinggi sehingga menekan marjin laba usaha yang tercatat sebesar 7,51% pada tahun 2013 dengan laba usaha hanya sebesar Rp 68,82 miliar atau turun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp 233,74 miliar.

Kenaikan beban usaha tercatat naik hingga 4 kali lipat terutama didominasi meningkatnya beban gaji  dan tenaga ahli. Tercatat beban usaha sebesar Rp 528,24 miliar dari sebelumnya sebesar Rp 109,96 miliar.

Sementara itu, pendapatan Sentul City tercatat tumbuh hingga 54,49% menjadi Rp 961,99 miliar selama 2013 yang didominasi oleh penjualan terhadap rumah, lahan siap bangun, ruko dan apartemen. Laba kotor yang dihasilkan dari penjualan tersebut juga mengalami kenaikan hingga 73,71% menjadi sebesar Rp 597,06 miliar.