Thursday, June 19, 2014

Isu Prabowo - Hatta Beli Saham Grup MNC, Benarkah?

 Jakarta, 20 Juni 2014 – Dikabarkan oleh satu broker asing, Tanoesoedibjo Prabowo-Hatta memborong saham-saham Grup MNC beberapa waktu lalu dengan nilai Rp 869,81 miliar. Pemborongan ini tidak ada di dalam keterbukaan informasi, tetapi sejak dua bulan terakhir Hari Tanoesoedibyo memang melakukan gerakan-gerakan pembelian saham.

Dari data yang diperoleh Kompas.com, jumlah tersebut merupakan akumulasi pembelian oleh investor yang bernama "Tanoesoedibyo Prabowo-Hatta" itu. Adapun perincian pembelian itu, menurut broker asing itu, adalah saham PT MNC Investama Tbk (BHIT) sebesar Rp 712,68 miliar. Selain itu, saham yang dibeli adalah PT Global Mediacom Tbk (BMTR) senilai Rp 33,38 miliar, PT MNC Land Tbk (KPIG) Rp 111,98 miliar dan saham PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) Rp 11,76 miliar.

Juru bicara Grup MNC, Arya Sinulingga, membantah bahwa aksi tersebut terkait dengan pasangan Prabowo-Hatta. Menurutnya, dukungan yang diberikan Hary Tanoe terhadap pasangan Prabowo-Hatta dalam bentuk support dukungan publik seperti gerakan rakyat Satu Hati. "Bisa saja Bloomberg di-hack, sehingga muncul nama itu," lanjutnya.

Berdasarkan dokumen-dokumen keterbukaan informasi MNC Investama, memang terlihat adanya gerakan pembelian saham oleh Hari Tanoesoedibyo secara perlahan-lahan, seperti yang tampak di tabel. Akan tetapi besarannya tidak sama dengan yang diisukan oleh broker asing tersebut.

Di Global Mediacom pun pada bulan April tampak adanya gerakan pembelian saham kepada Media Nusantara Citra sebanyak 8,33 miliar lembar sehingga total kepemilikan Global Mediacom menjadi 59,09%.

Pergerakan ini memberikan dorongan kepada kinerja harga saham-saham ini di pasar namun tidak signifikan. Saham Global Mediacom (BMTR) sempat naik sampai 38% ke Rp 2.500 di akhir Maret, namun kemudian turun lagi ke Rp 2.125, walaupun sempat naik tinggi pada tanggal 21 April sampai 8% dalam 1 hari.

Saham MNC Investama (BHIT) sempat naik 5 hari berturut-turut sampai Rp 331. Namun setelah itu harga kembali turun ke Rp 319. 

Garuda, Remains To Struggle In Profitability, Not The Best Airline Company In Domestic

Jakarta, 20 Juni 2014 - PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk (GIAA), the state-owned airline company in Indonesia, booked a loss amounting to US$ 163.90 million in 1Q2014, while revenue just inched up 0.01%. The other airlines in the region have been facing high expenses too, but none experienced a loss like Garuda. Even in domestic routes, Garuda’s passenger growth was lower than Lion Air’s and Indonesia Air Asia’s.

Garuda’s loss occurred due to increasing of expenses, especially direct cost, freight operation expenses, airplanes maintenance expenses, promotion and ticketing and surcharge expenses. Those rose by 19,88% amounting to  US$ 901.09 million, while turnover was relatively flat.

Moreover, loss also occurred in foreign exchange transaction amounting to US$ 27.68 million or increased 3 times over the same period last year. 

In the operational side, Garuda’s international operations remain to struggle with revenue passengers per kilometer declined by 1%, while available seat per kilometers increased by 17%. 

Meanwhile, Garuda‘s international seat load factor was only 63,6% in 1Q2014 or declined from last year with monthly average above 70%. With load factor down and unit cost grow up, it caused declining profitability.

Despite Garuda’s domestic flight traditionally strength with full services jets, market share in premium or full services remains limited, while low cost carrier airlines would be expected grow rapidly. 

In low cost carrier market, Garuda has a subsidiary known as Citilink. Unfortunately it is still under capacity with only 24 aircrafts to take low cost carrier market with 80 million passengers per year in domestic flight. 

In the other hand, Garuda also faces high risk of liquidity and solvency. Garuda’s debt which must be repaid in this year is higher than its cash and receivable. Garuda cash carrying reserves was only US$ 247.69 million with loans maturing in this year amounting to US$ 375.44 billion. 

Garuda’s current ratio stood by 0.58% or the lowest among other airline companies, so Garuda’s ability to pay off its debt has been remaining low.



How about the other airlines?
ASCEND is comparing some of the airline companies that are listed in local bourses and publicizing their reports. 

One of the biggest Garuda’s rival in South East Asia region is Singapore Airlines. It recorded turnover inched up marginally, but its earnings declined by 5,12%. Singapore Airlines which set up more than 100 fleets flying from and to many cities in Asia, Europe and North America, is larger than Garuda by market capitalization, operating range and profitability. 

Garuda has also been facing Malaysian Airlines and Thai Airways in the region. They have a network in many large cities in Europe. Thai Airways even has route to Los Angeles. The financial performance of both of them depressed slightly, not as deep as Garuda.

Meanwhile, Garuda currently has only 1 route to Europe, 2 to the Middle East and some routes in East Asia and Australia with total passengers for last year around 11 million people domestic and international. 

The Garuda’s passengers has been dominated by local passengers. For every 9 domestic passengers, Garuda is serving 2 international passengers. 

Then, the low-cost carrier segment, Citilink, a subsidiary of Garuda, is still relatively smaller than AirAsia, Jet Star, Tiger Air or Scoot’s Singapore Airlines. Citilink has only 24 aircraft operating in only a few cities in Indonesia with 2 international flights. 

Among low-cost carrier airlines, AirAsia booked the highest profitability among others with a profit margin as 10.73% but turnover depressed, while Tiger Air recorded losses amounting to US$ 75.95 million in first quarter, the biggest loss in low-cost carrier segment. 

As the busiest routes in the region connecting Singapore to the main island of Java, until this day, the flight has been dominated by Singapore Airlines and AirAsia, while Garuda has been the third.

The condition of airlines industry in the region have is challenging with excessive capacity levels provoking a reduction in yields and load factor.

IHSG: Antara Piala Dunia dan Pemilihan Presiden

Jakarta, 19 Juni 2014 – Selama musim Piala Dunia, diperkirakan indeks akan naik namun dengan likuiditas yang jauh berkurang. Apalagi faktor tahun ini ditambah dengan adanya pemilihan presiden yang berlangsung cukup ketat antara pilihan nomor 1 dan nomor 2, yaitu Jokowi dan Prabowo. Selama 4 hari berturut-turut terasa adanya penurunan likuiditas dibandingkan pekan sebelumnya.

Tahun ini, penurunan likuiditas ini juga diikuti oleh penurunan kinerja indeks. Hal tersebut tidak terjadi di musim Piala Dunia tahun 2010. Di tahun 2006, penurunan sempat terjadi di awal musim Piala Dunia, akan tetapi meningkat lagi sehingga kinerja harganya positif di akhir pertandingan.

Kinerja indeks tahun ini juga mungkin tertekan dibandingkan musim kejuaraan sebelumnya karena faktor pemilihan presiden yang makin mendekat, yaitu 9 Juli. Makin ketatnya persaingan antara kedua capres-cawapres, yaitu Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta, membuat ketidakpastian di pasar modal makin besar.

Menurut survei Pol Tracking Institute akhir pekan lalu, Prabowo semakin mendekati Jokowi. Elektabilitas Jokowi-Jusuf Kalla berada di angka 48,5% (vs 54,9% bulan Maret) sedangkan Prabowo-Hatta Rajasa berada di 41,1% (vs 27,9% bulan Maret).

Dalam survei yang dilakukan oleh Deutsche Bank Verdana Indonesia terlihat jelas bagaimana posisi investor. Bila Jokowi-JK menang, sekitar 74% investor akan melakukan aksi beli dan 6% akan melakukan aksi jual. Sebaliknya bila Prabowo-Hatta menang, sekitar 56% akan melakukan aksi jual dan 13% akan melakukan aksi beli.

Bagaimana bila kedua faktor – piala dunia dan pemilihan presiden ini – dikombinasikan? Apa yang akan terjadi?




Ascend berusaha menggambarkan skenario pemilihan presiden dengan matriks di bawah ini. Volume akan terus tipis karena banyak pelaku pasar individual masih terpecah perhatiannya kepada pertandingan, baik untuk bertaruh maupun hanya sekedar menonton. Pemilihan presiden yang kebetulan bersamaan waktunya dengan semi final Piala Dunia, akan menentukan skenario lanjutan dari indeks.
 

Bila Jokowi-JK menurut Quick Count menang, maka volume akan naik dengan cepat diikuti dengan kenaikan indeks. Bila terjadi sebaliknya, maka volume likuiditas akan relatif flat dan indeks akan terus berada di level saat ini bahkan mungkin turun.