Tuesday, October 20, 2015

TAXI – Kedua Terbaik yang Ditinggalkan

Jakarta, 21 Oktober 2015 – PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) terus tertekan sejak batal diakuisisi oleh Saratoga. Perubahan tren transportasi masyarakat Jakarta yang menuju Uber dan Go-Jek serta aplikasi-aplikasi online serupa, juga  menjadi tekanan baru bagi kinerja perusahaan terbaik kedua setelah Blue Bird ini.

Grup Saratoga dan pemilik mayoritas Express yaitu PT Rajawali Corpora, PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPMX) dan Golden Valley Advisors Inc pada tanggal 6 Juli 2015 telah menandatangani Perjanjian Jual Beli Bersyarat (CSPA) atas 51% saham Express. CSPA tersebut seyogyanya akan diselesaikan pada 90 hari sejak penandatanganan. Namun pada tanggal 9 Oktober 2015, Perseroan mendapatkan informasi bahwa terjadi pembatalan akuisisi karena kondisi pasar yang kurang kondusif.



Pada tanggal penandatanganan CSPA, saham berkode TAXI dihargai pasar Rp 1.045. Berlawanan dengan kebiasaan pasar, sejak informasi tersebut dirilis, saham TAXI terus tertekan. Tekanan tersebut terjadi terus selama proses due diligence sampai pada harga terendah di Rp 297/ saham pada tanggal 30 September dan akhirnya disuspensi oleh Bursa pada tanggal 1 Oktober. Penurunan harga tersebut lebih dalam daripada penurunan yang dialami oleh IHSG maupun peersnya, PT Blue Bird Tbk (BIRD).

Mungkin due diligence akhirnya tidak menghasilkan keputusan akuisisi karena utang Perseroan yang tinggi.Rasio utang jangka panjang terhadap ekuitas Express tercatat 1,72 kali – lebih tinggi daripada 3 perusahaan lain yang bergerak di bidang pertaksian di Indonesia. Rasio EBITDA terhadap beban keuangannya adalah terendah kedua setelah PT WEHA Transportasi Indonesia Tbk (WEHA), yaitu 2,82 kali.

Struktur pendanaan yang cukup berat di utang ini menjadi batu sandungan bagi Express untuk meningkatkan asetnya di kemudian hari. Padahal untuk merebut pangsa pasar pertaksian Blue Bird yang sudah memiliki 24.000 unit mobil, membutuhkan dana yang tak sedikit bagi Express yang baru memiliki 8.000 unit.

Mungkin juga akuisisi batal karena Express yang selalu disandingkan dengan Blue Bird, dilihat kurang mampu untuk meningkatkan nilai pemegang saham karena imbal hasil atas ekuitas yang lebih rendah daripada kompetitornya. ROE Express hanya 7,05% sementara Blue Bird sudah mencapai 22,93% setelah dianualisasi.

Atau mungkin juga karena Express memiliki banyak piutang yang tak lancar kepada karyawan, sehingga rasio perputaran asetnya terendah di antara keempat perusahaan taksi di bursa saham.

Sementara itu tekanan pada saham Perseroan dikarenakan juga karena tekanan kinerja yang terjadi karena perubahan tren pasar dari transportasi terutama di Jakarta. Uber dan Go-Jek serta aplikasi-aplikasi online makin menekan kemampuan Perseroan untuk mencatatkan pendapatan. Express terlihat hanya mampu menghasilkan Rp 520 dari tiap Rp 1000 nilai aset armada yang dimilikinya, bandingkan dengan Blue Bird yang menghasilkan Rp 810.

Untuk mempersiapkan diri di pasar yang online, Express menetapkan fokus utama perusahaan dalam bidang infrastruktur teknologi informasi ini mencakup ERP System, Rapid Dispatch System (RDS), Passenger Censor, dan Car Hiring. Perbaikan IT akan dilakukan juga meliputi meningkatkan kualitas dari call center, website, dan perangkat informasi lainnya dalam menunjang kualitas pelayanan kepada konsumen.  Tapi apakah langkah ini tidak terlambat mengingatkan kedua aplikasi di atas sudah menghiasi tiap smart phone pengguna taksi di Jakarta?

Apapun alasannya, dengan rasio P/E tertinggi kedua setelah Blue Bird dan PBV terendah dibandingkan ketiga saham lainnya, TAXI menjadi tidak lagi menarik untuk disimpan.

Oleh karena itu Perseroan perlu memiliki rencana restrukturisasi dan perencanaan jangka panjang untuk memperbaiki struktur keuangan serta merebut kembali pangsa pasar yang telah terkikis.

 


Monday, April 27, 2015

Biaya Modal Tambang Makin Mahal

Jakarta, 27 April 2015 – Industri tambang akan makin sulit untuk mencari pendanaan murah, apalagi dengan makin besarnya fokus penyaluran kredit ke sektor infrastruktur. Perusahaan-perusahaan tambang akan makin banyak yang mengalami kesulitan keuangan dan pailit atau mengubah lini bisnis mereka di tahun 2015 ini, meninggalkan perusahaan-perusahaan besar untuk memenuhi kebutuhan komoditi tambang.

Total liabilitas pada tahun 2014 dari perusahaan-perusahaan tambang lebih tinggi daripada tahun 2013. Kenaikan ini khususnya nampak pada liabilitas jangka panjang yang memang dibutuhkan perusahaan-perusahaan untuk mempertahankan operasionalnya.

Konsekuensi dari kenaikan utang jangka panjang ini adalah kenaikan beban bunga yang rata-rata mencapai dua kali lipat dari tahun 2013. Golden Energy Mines, Tbk (GEMS) misalnya menanggung biaya bunga lebih dari 8 kali lipat. Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk (PTBA) juga merasakan kenaikan beban bunga sampai dengan 8 kali lipat dari Rp 6,23 miliar di 2013 menjadi Rp 48,7 miliar di 2014.

Makin tinggi beban bunga ini tidak disertai dengan meningkatnya laba yang dapat digunakan untuk membayar bunga. Hal ini membuat tekanan kepada kemampuan perusahaan untuk membayar laba yang diukur dengan rasio laba sebelum bunga dan pajak terhadap beban keuangan. Tahun 2014, rata-rata rasio tersebut hanya 43,53 kali, sementara tahun 2013 masih tercatat di 90,69 kali.


Rasio tersebut masih cukup baik, namun telah menjadi indikasi kehati-hatian untuk banyak perusahaan, seperti Bayan Resources, Tbk (BYAN) yang rasionya tercatat sudah negatif selama 2 tahun berturut-turut. Artinya kerugian perusahan membuat perusahaan makin sulit untuk membayar kewajiban bunganya sekaligus mempertahankan kelangsungan bisnisnya ke depan. Hal yang sama nampak pada Atlas Resources, Tbk (ARII)  yang juga mencatatkan rasio EBIT/beban keuangan yang negatif.

Seperti lingkaran setan, indikator yang tampak memberatkan ini membuat perusahaan tambang sulit untuk mencari pendanaan dalam bentuk utang. Hal tersebut tampak di dalam rata-rata rasio total utang terhadap total aset yang turun dari 0,46 kali di 2013 menjadi 0,43 kali, sementara rasio utang jangka panjang terhadap total ekuitas juga turun dari 1,09 kali di 2013 menjadi 1,04 kali di 2014. Artinya, beban bunga naik secara signifikan tanpa disertai dengan kenaikan nilai utang itu sendiri.

Ke depannya, hal mencari pendanaan akan makin sulit bagi emiten-emiten tambang dengan Moody’s Investor Service telah menetapkan negative outlook untuk industri tambang di Asia untuk tahun 2015. Moody’s memperkirakan EBITDA/ton akan tetap rendah, di bawah USD 10 – 15/ton di 2015. Moody’s juga melihat bahwa strategi efisiensi biaya dari kebanyakan emiten tambang akan memperbaiki kinerja laba, namun tidak mampu menjadi kekuatan dasar bagi kelangsungan hidup jauh ke depan.

Dari sisi perbankan, yaitu penyedia dana utang bagi industri, juga telah mengalihkan fokus pemberian kreditnya dari industri tambang. Dampak pengalihan ini akan makin jelas pada tahun 2015 karena proyek-proyek infrastruktur yang sudah semakin jelas akan mulai dilaksanakan membutuhkan dana.

Dengan sempitnya alternatif pendanaan, apakah emiten tambang dapat mencari pendanaan di pasar saham? TIDAK.

Bila kita melihat dari laporan-laporan riset analis baik dari buy side maupun sell side, kita dapat melihat bahwa emiten-emiten tambang menghadapi lebih banyak tantangan sekarang daripada tahun lalu. Jumlah ‘buy’ dan ‘hold’ lebih sedikit pada 1 tahun terakhir dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, dengan banyaknya alternatif baru yang kini muncul di pasar, alasan investor untuk masuk ke industri tambang akan makin sedikit.


Tahun 2015 mungkin akan menjadi tahun penentuan bagi industri tambang. Kita mungkin akan melihat adanya perubahan strategi yang fundamental dan ekstrim untuk mempertahankan eksistensinya di industri. Bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki visi untuk melihat bahwa di balik tantangan ini, masih ada pasar baru batubara yang sebentar lagi muncul, yaitu pembangkit listrik 35.000MW yang sedang dikerjakan oleh pemerintah. Pertanyaannya, berapa banyak yang sanggup bertahan?

Wednesday, April 15, 2015

Pertumbuhan dan Profitabilitas Retail Bangunan di 2014 Baik

Jakarta, 16 April 2015 – Perusahaan-perusahaan retail bangunan mengalami pertumbuhan positif dengan kinerja profitabilitas yang yang terjaga. PT Catur Sentosa Adiprana, Tbk (CSAP), induk perusahaan dari brand Mitra10 dan Atria, mengalami pertumbuhan laba tertinggi didorong oleh pertumbuhan pendapatan dan peningkatan produktivitas aset-aset.

Pertumbuhan pendapatan Catur Sentosa terdua tertinggi di industrinya dengan tingkat 10,95%. Pendapatan Catur Sentosa tercatat Rp 7,14 triliun, yang sebagian besar masih ditopang oleh segmen distribusi yang menjadi tulang punggung Perseroan sejak awal. Sementara segmen retail yang akan menjadi ujung tombak pertumbuhan Perseroan mencatatkan pertumbuhan 18,5% menjadi Rp 1,82 triliun.

Walaupun hanya mencatatkan peringkat kedua pertumbuhan pendapatan, di bawah PT Ace Hardware Indonesia, Tbk (ACES), namun Catur Sentosa mencatat peringkat pertumbuhan pertumbuhan laba bersih. Sebagian faktor penunjang pertumbuhan dikontribusikan dari penjualan aset berupa tanah dan bangunan gudang yang sudah tak terpakai, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas aset. Laba Perseroan tercatat Rp 104,62 miliar atau naik 47,04% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara itu pertumbuhan Ace Hardware, retail bangunan yang berkapitalisasi terbesar ini, mencapai 16,58% menjadi Rp 4,54 triliun. Seluruh produk yang dijual Ace Hardware turut mendukung pertumbuhan tersebut, dengan kontributor penjualan terbesar pada produk perbaikan rumah.

Laba bersih yang dicatatkan oleh Ace Hardware adalah Rp 554,77 miliar atau mencerminkan marjin laba bersih 12,2%, juga tertinggi di industrinya. Pilihan bisnis perseroan untuk bergerak di sektor retail membuat Ace Hardware memang akan mendapatkan marjin yang lebih tinggi daripada industrinya yang masih memiliki kombinasi yang cukup besar dengan segmen distribusi.

Sementara itu PT Kokoh Inti Arebama, Tbk (KOIN) mencatatkan pertumbuhan pendapatan 8,35% menjadi Rp 1,20 triliun dan laba bersih yang turun 27,81% menjadi Rp 26,48 miliar. Perseroan dengan kapitalisasi pasar terkecil di antara bertiga ini tidak memiliki utang jangka panjang sama sekali dan mampu menghasilkan imbal hasil atas ekuitas yang tinggi, yaitu 23,2%.


Di antara ketiganya, saham Catur Sentosa adalah yang paling undervalued melihat kepada rasio PER dan PBV, serta memiliki struktur permodalan yang paling banyak menggunakan utang. 



Thursday, March 19, 2015

Manajemen Berubah, Konsolidasi Perbankan Melalui Merger Kembali Diwacanakan

Jakarta, 20 Maret 2015 – Perubahan susunan manajemen tiga bank BUMN terbesar di Indonesia merupakan angin segar yang berpotensi untuk membuka kembali wacana merger bank-bank BUMN. Sebelumnya beberapa bank mengekspresikan secara terbuka keberatannya untuk dimerger, padahal merger dibutuhkan untuk melahirkan bank nasional yang kuat dan mampu bertahan di area regional, terutama di tengah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

(Baca juga: Merger Bank Mandiri - BNI, Perlukah? http://fundamental-saham.blogspot.com/2015/02/merger-bank-mandiri-bni-perlukah.html )

Melihat dari perubahan susunan manajemen baru dan lama ini, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan:

  1. PT Bank BNI (Persero), Tbk (BBNI) adalah bank yang paling banyak dirubah susunan manajemennya;
  2. Dua orang dari direksi aktif PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk (BBRI) dimasukkan ke dalam Bank BNI.
  3. Terdapat peningkatan jumlah di komisaris independen PT Bank Mandiri (Persero), Tbk (BMRI). Kini komisaris independen terdiri atas 3 pilar yaitu: pengamat high profile seperti Aviliani (lama) dan Goei Siauw Hong, partai politik yaitu Cahaya Dwi Rembulan Sinaga dari PDIP, dan profesional yaitu Bangun Sarwito Kusmuljono dan Abdul Azis. 


Melihat dari susunan baru ini, ASCEND menganalisa bahwa ada tujuan-tujuan tertentu yang kemungkinan disasar oleh Kementerian BUMN, yaitu:

  1. Membuka kembali kemungkinan merger Bank Mandiri dan Bank BNI yang sebelumnya ditolak secara cukup agresif dari Bank BNI. Hal ini searah dengan konsolidasi perbankan yang diinginkan oleh pemerintah.
  2. Bank Mandiri akan dijadikan bank induk, sehingga membutuhkan dukungan komisaris independen dari pilar-pilar masyarakat yang bervariasi.
  3. Bank BRI akan diperkuat secara profesional, namun tidak berubah dari fokus bisnisnya yang sekarang, yaitu peningkatan kekuatan di UMKM. 
Yang pasti pasar melihat perubahan susunan manajemen ini secara positif, terbukti dari pergerakan naik yang dialami oleh ketiga bank besar ini, terutama Bank Mandiri yang akan mendapat dampak paling signifikan dan positif dari hasil konsolidasi. 


Kinerja BSD Bagus, Private Placement Mudah

Jakarta, 19 Maret 2015 - PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), emiten properti nasional dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia, membukukan laba bersih FY 2014 (audited) sebesar Rp 3,82 triliun, karena penguatan penjualan proyek-proyek properti terutama di segmen residensial dan diversifikasi bisnis. Dengan kinerja sebaik ini, ASCEND optimis private placement Perseroan senilai Rp 1,65 triliun akan mudah tercapai.

Sepanjang 2014, Perseroan membukukan pendapatan Rp 5,57 triliun dikontribusikan 82,9% dari penjualan tanah dan bangunan. Perseroan telah menjualn sebanyak 2.422 unit perumahan, lahan, ruko, strata title dan industrial. Pendapatan sewa bertumbuh 25,9% menjadi Rp 580.77 miliar. Pendapatan dari pengelolaan gedung juga tumbuh 4,8% menjadi Rp 249,09 miliar.

Laba melonjak 42% dibandingkan FY 2013 yakni Rp 2,69 triliun.Lonjakan pertumbuhan laba juga dikontribusikan oleh ekuitas pada laba bersih dari investasi dalam saham PT Plaza Indonesia Realty, Tbk (PLIN) pada pertengahan tahun 2014 sebesar Rp 1,66 triliun. Hal tersebut membuat laba bersih Perseroan melonjak 42% menjadi Rp 3,81 triliun.

Perolehan laba bersih tersebut setara marjin laba bersih 68,6% dan Imbal hasil atas ekuitas (ROE) menjadi 24,8%. Marjin laba kotor naik menjadi 74,1% dari sebelumnya 72,6%.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Rabu (18/3), Perseroan akan mengeluarkan sisa saham baru dari sisa simpanan (portepel) sebanyak - banyaknya 874,85 juta saham baru mewakili 5% dari modal disetor dan ditempatkan dalam perseroan. Harga pelaksanaan adalah Rp 1.890 per saham, sama dengan harga penjualan kedua pemegang saham utama Perseroan sebelumnya.

Per Desember 2014 aset BSDE tumbuh 25% menjadi Rp 28,13 triliun dibandingkan tahun 2013 sebesar Rp 22,57 triliun. Kenaikan ini ditopang oleh pertumbuhan aset tidak lancar yang mencapai 54% menjadi Rp 16,51 triliun dibandingkan periode 2013 sebesar Rp 10,74 triliun.

Emiten dengan kapitalisasi pasar Rp 37,66 triliun ini membukukan pertumbuhan utang jangka pendek sebesar 20% menjadi Rp 5,32 triliun namun kenaikan tersebut tidak memberikan perubahan signifikan pada rasio leveragenya. Sedangkan utang jangka panjang turun 8% menjadi Rp 4,33 triliun dibanding tahun 2013 yakni Rp 4,72 triliun.


Rasio utang jangka panjang atas ekuitas tercatat 0,28x sedangkan rasio utang atas aset menjadi 0,34 x, yang merupakan indikasi sangat sehatnya Perseroan. Rasio lancar juga solid di 2,18x. Rasio harga atas laba (PER) adalah 9,86 kali sementara rasio harga atas nilai buku ekuitas (PBV) adalah 2,45 kali. 

Tuesday, March 10, 2015

Emiten Elektronik Melemah Paska Pelemahan Rupiah

Jakarta, 10 Maret 2015 – Beberapa emiten terkait elektronik mengalami tekanan pada harga sahamnya paska pelemahan Rupiah. Emiten-emiten ini akan sangat terpukul karena banyak melakukan impor dengan valas dan belum tentu dapat mengalihkan kerugian valas tersebut kepada harga jual produknya.

Pelemahan Rupiah sampai di atas Rp 13.000/US$ akan melemahkan kinerja perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan baku impor, salah satunya adalah emiten terkait elektronik. Produk elektronik masih memiliki banyak komponen impor, walaupun beberapa di antaranya merupakan merek lokal. Komponen impor ini akan memberikan tekanan besar kepada kinerja perusahaan.

Beberapa emiten yang menjual alat-alat elektronik bermerek lokal tidak mampu untuk menaikkan harga jualnya, sementara emiten yang fokus di alat elektronik bermerek, seperti iPhone masih dapat mengalihkan dampak pelemahan Rupiah kepada harga jualnya. Produk iPhone 6 misalnya kini dihargai Rp 11,3 juta, atau naik dari harga sebelumnya Rp 10,8 juta untuk 16 gigabyte (GB). Demikian juga harga beberapa alat elektronik lain seperti Mouse merek Logitech juga ikut naik dari Rp 150.000 menjadi Rp 170.000 dan  keyboard merek Logitech, dari harga Rp 250.000 menjadi Rp 270.000.

Pasar saham sudah sejak beberapa waktu lalu mendiskon harga saham emiten-emiten elektronik. Lihat saja PT Erajaya Swasembada, Tbk (ERAA) yang sudah turun 17,2% ke Rp 1.035/ lembar sejak harga tertingginya di 2015, Rp 1.250/lembar. PT Tiphone Mobile Indonesia, Tbk (TELE) turun 9,05% ke Rp 955 dari Rp 1.050, harga rekor tertingginya.

Rupiah sendiri diperkirakan masih akan melemah lagi karena penguatan dolar AS, terutama bila terjadi peningkatan suku bunga oleh The Fed di bulan Juni seiring dengan makin jelasnya pemulihan ekonomi yang terjadi di AS.


Pemerintah sendiri terlihat tidak kuatir dengan pelemahan Rupiah ini, dan walaupun Bank Indonesia terlihat melakukan beberapa gerakan, namun gerakan itu sendiri tidak agresif. Kerangka pemikiran pemerintah adalah bahwa pelemahan Rupiah saat ini lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang terlalu berbiaya besar bila harus ditahan oleh BI, sementara kondisi pelemahan ini dirasa tidak sistemik (berpotensi mengakibatkan keruntuhan sistem ekonomi Indonesia). 

Thursday, March 5, 2015

Kinerja Bank BTN Terendah, Target M&A bagi Bank BUMN Lain

Jakarta, 5 Maret 2015 – Empat bank BUMN telah mengeluarkan laporan keuangan tahunannya dengan pertumbuhan positif dan kinerja yang baik di tengah situasi ekonomi makro yang kurang kondusif, kecuali PT Bank Tabungan Negara, Tbk (BBTN).

Pertumbuhan rata-rata pendapatan bunga bersih ketiga bank BUMN terbesar adalah di atas 20%, kecuali Bank BTN yang sedikit di bawah yaitu 18,77%. Rasio-rasio kinerja Bank BTN juga terlihat di bawah rata-rata ketiga bank BUMN lainnya. NPL Bank BTN lebih tinggi daripada rata-rata di mana NPL Gross mencapai 4,01% sementara ketiga bank lainnya di bawah 2%. Rasio return on equity (ROE) hanya 10,66%, sementara lainnya di atas 20%. Marjin pendapatan bunga (NIM) hanya 4,47% sementara lainnya di atas 5%. Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional juga mendekati 90% sementara lainnya di bawah 70%.

Kinerja Bank BTN yang di bawah rata-rata bank BUMN ini menjadi salah satu alasan tidak dilibatkannya lagi Bank ini di dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang telah menjadi salah satu cara bank untuk meningkatkan kinerja penanganan risikonya tanpa peningkatan modal minimum (CAR).

Kegagalan Bank BTN untuk menyamai kinerja bank BUMN lain walaupun sama-sama menghadapi tantangan ekonomi makro yang sama, mungkin akan meningkatkan willingness pemerintah untuk menyatukan Bank BTN dengan bank lainnya, seperti PT Bank Negara Indonesia, Tbk (BBNI).

Wacana merger ini memang meresahkan karyawan Bank BTN setelah dikibarkan kembali oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro setelah upaya merger dengan PT Bank Mandiri, Tbk (BMRI) dibatalkan dengan keputusan presiden pada masa Susilo Bambang Yudhoyono. Namun dengan keterbatasan manajemen Bank BTN pada saat ini untuk meningkatkan kompetensi dan kinerjanya secara signifikan, maka pemerintah sebagai pemilik saham terbesar, sekaligus pemangku kepentingan untuk mempertahankan industri perbankan nasional, harus mencari cara agar merger antara bank BUMN dapat berhasil.


Sebelumnya ASCEND telah merekomendasikan merger antara Bank Mandiri dan Bank BNI tetap diteruskan walaupun ada berbagai pro dan kontrak. [baca: Merger Bank Mandiri - BNI, Perlukah? http://fundamental-saham.blogspot.com/2015/02/merger-bank-mandiri-bni-perlukah.html] Padahal kedua bank tersebut memiliki kinerja yang kurang lebih sama, sehingga proses seleksi akan jauh lebih rumit. Maka seharusnya merger antara salah satu bank BUMN dengan Bank BTN akan berlangsung dengan lebih mudah, baik dari sisi bisnis maupun dari sisi akuisisi kompetensi.


Thursday, February 26, 2015

Laba Adhi Karya Turun, Cermati Harganya

Jakarta, 27 Februari 2015 – PT Adhi Karya (Persero), Tbk (ADHI), BUMN yang bergerak di bidang konstruksi infrastruktur,  mencatatkan penurunan laba 20% tertekan oleh penurunan pendapatan 12%. Laba bersih juga turun karena kenaikan beban pokok pendapatan, penurunan pendapatan bersih venture bersama konstruksi, kenaikan beban usaha, dan tidak adanya penjualan asset seperti tahun lalu.

Pendapatan Adhi Karya turun 12% menjadi Rp 8,65 triliun dibandingkan tahun lalu Rp 9,80 triliun. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan pendapatan di segmen konstruksi sebesar 9%; yang walaupun bukan merupakan penurunan terbesar, namun karena kontribusinya yang signifikan membuat penurunan segmen ini cukup signifikan dampaknya bagi Perseroan. Konstruksi turun menjadi Rp 7,27 triliun dari sebelumnya Rp 8,0 triliun.

Sementara itu segmen EPC mencatatkan penurunan terbesar 54% menjadi Rp 863,12 miliar dari sebelumnya Rp 1,89 triliun. Kontribusi segmen ini turun dari sebelumnya 18% menjadi hanya 9%. Real Estate dan Properti mencatatkan kenaikan pendapatan 22% menjadi Rp 858,8 miliar dari sebelumnya Rp 705,5 miliar. Tahun ini ada segmen pendapatan baru yang dicatat oleh Perseroan, yaitu dari investasi infrastruktur.

Pendapatan usaha dari beberapa pelanggan besar tetap Adhi Karya tahun ini turun secara signifikan. Pendapatan dari PT Pertamina tahun ini hanya Rp 681,74 miliar dibandingkan sebelumnya Rp 1,52 triliun. Dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) turun menjadi hanya Rp 271,43 miliar dari sebelumnya Rp 645,72 miliar. Dari PT Angkasa Pura II juga turun menjadi hanya Rp 267,36 miliar dari sebelumnya Rp 700,88 miliar.

Namun Adhi Karya berhasil mendapatkan pekerjaan dari beberapa perusahaan swasta baru, seperti PT Cengkareng Business Centre sebesar Rp 349,55 miliar; PT Rita Ritelindo sebesar Rp 94,84 miliar, dan RS Atma Jaya sebesar Rp 94,70 miliar.

Pendapatan bersih venture bersama konstruksi Perseroan tahun ini juga turun 66,3% menjadi hanya Rp 18,39 miliar dari sebelumnya Rp 54,6 miliar. Hal ini menyebabkan laba kotor Perseroan setelah laba ventura bersama turun 18,5% menjadi hanya Rp 1,02 triliun dari sebelumnya Rp 1,25 triliun.

Laba penjualan asset tetap juga turun jadi hanya Rp 183,42 juta dari sebelumnya Rp 10,16 miliar. Tahun 2013, Adhi Karya menjual asset dengan nilai tercatat Rp 2 miliar dengan harga jual Rp 12,14 miliar. Sementara tahun ini walaupun Perseroan juga menjual asset senilai buku Rp 1,33 miliar, namun harga jualnya tidak jauh dari nilai buku tersebut, yaitu Rp 1,51 miliar.

Beban usaha naik 9,7% menjadi Rp 361,18 miliar dari sebelumnya Rp 328,96 miliar, terutama disebabkan oleh kenaikan beban pengawai, beban umum, dan beban penyusutan.

Penurunan pendapatan dan laba bersih ini telah mengakibatkan penurunan marjin laba kotor dan marjin laba bersih serta imbal hasil atas ekuitas, namun marjin EBITDA naik sedikit. Tingkat perputaran asset juga turun karena asset Rp 1 tidak menghasilkan pendapatan sebesar tahun lalu.

Rata-rata hari piutang yang meningkat dan hari utang usaha yang meningkat juga perlu diwaspadai sebagai salah satu strategi Perseroan berkapitalisasi Rp 6,2 triliun ini untuk mencari solusi atas kesulitan arus kas yang mungkin dialami. Hal ini tampak dari arus kas operasional yang tahun ini negative Rp 978,23; artinya operasi Adhi Karya telah membuat kas keluar dari kantong perusahaan.


Dengan harga saham yang mencerminkan Rasio Harga atas Laba sampai 19,12 kali dan Rasio Harga atas Nilai Buku sampai 3,54 kali, saham berkode ADHI ini adalah salah satu saham yang perlu dicermati secara hati-hati oleh investor. Optimisme akan guyuran proyek infrastruktur yang dianggarkan oleh Pemerintah Joko Widodo dan disahkan oleh DPR barusan, dan penambahan modal yang telah disetujui oleh DPR, belum tentu akan membuat kinerja perusahaan ini membaik secara signifikan. 

Wednesday, February 25, 2015

Astra Graphia Catat Laba Naik 25% karena Penurunan Biaya Pendapatan dan Penjualan Investasi

Jakarta, 26 Februari 2015 – PT Astra Graphia, Tbk, anak perusahaan Grup Astra yang bergerak di bidang solusi dokumen dan solusi teknologi informasi dan komunikasi, mencatatkan pertumbuhan laba bersih sampai dengan 25% dengan hanya didorong pertumbuhan pendapatan 1%. Kenaikan laba bersih ini didorong juga oleh keuntungan dari divestasi, keuntungan selisih kurs, dan penurunan biaya pendapatan.

Pendapatan Perseroan pada tahun 2014 tercatat Rp 2,28 triliun dari sebelumnya Rp 2,26 triliun. Pendapatan tersebut berasal dari dua bidang utama Perseroan yaitu Solusi Dokumen, senilai Rp 1,44 triliun atau 63% dari total pendapatan; dan Solusi Teknologi Informasi dan Komunikasi senilai Rp 907,04 miliar.

Laba kotor Perseroan tercatat naik 4% menjadi Rp 681,83 miliar terutama karena penurunan biaya pendapatan di bisnis Solusi Dokumen sampai dengan 7,58% menjadi hanya Rp 872,03 miliar dari sebelumnya Rp878,69 miliar. Padahal pendapatan dari Solusi Dokumen naik 2%.

Bersamaan dengan itu, Perseroan juga menjual investasi pada entitas joint venturenya. PT Agit Monitise Indonesia (PT AMI) adalah entitas yang didirikan bersama-sama oleh Perseroan dan Monitise Asia Pacific Limited, Hong Kong pada tahun 2011, di mana saham Perseroan adalah 51%.  PT AMI bergerak di bidang penyediaan platform yang mampu memberi dukungan software dan solusi terhadap layanan mobile banking, mobile payment dan mobile commerce bagi bank, lembaga keuangan, serta mobile operators, dan mobil wallets bagi masyarakat yang tidak memiliki rekening bank. Sampai dengan Juni 2014, PT AMI mencatatkan pendapatan Rp 246 juta dan jumlah asset Rp 59,23 miliar.

Pada Juni 2014, Perseroan menjual saham PT AMI kepada partnernya, Monitise Plc, senilai US$ 12,02 juta atau sekitar 150,25 miliar. Tapi karena Perseroan membeli lisensi perangkat lunak yang dimiliki oleh PT AMI dan ada layanan 3 tahun yang akan diberikan oleh Perseroan kepada PT Monitise Mobile Indonesia, maka hasil penjualan bersih dari PT AMI adalah Rp 68,78 miliar. Keuntungan penjualan joint venture ini mencapai Rp 43,37 miliar.

Selain itu Perseroan juga mencatatkan keuntungan selisih kurs Rp 3,60 miliar, dimana tahun lalu pos tersebut negative Rp 11,63 miliar.

Kombinasi ketiganya menghasilkan peningkatan laba bersih 25% menjadi Rp 260,22 miliar atau Rp 192,93/lembar.

ASCEND juga mengamati bahwa ada peningkatan utang dan beban keuangan yang cukup signifikan pada tahun 2014. Utang jangka panjang naik menjadi Rp 59,47 miliar dari sebelumnya Rp 47,96 miliar karena sewa pembiayaan. Tanggal 25 Maret Perseroan kembali melakukan perjanjian pembiayaan 3 tahun dengan PT Hewlett-Packard Finance Indonesia untuk pembelian mesin server sebesar Rp 30 miliar.

Akibatnya beban keuangan naik dua kali lipat menjadi Rp 5,54 miliar dari sebelumnya Rp 1,40. Rasio EBITDA terhadap beban keuangan turun jadi 84,17 kali dari sebelumnya 276,17 kali. Posisi keuangan paska kenaikan utang ini masih sangat kuat.  


Dengan rasio harga terhadap laba (P/E) sebesar 10,13 kali dan harga terhadap nilai buku (PBV) sebesar 2,92 kali, maka pasar masih terlihat apresiatif terhadap saham Astra Graphia yang berkapitalisasi Rp 2,64 triliun ini. Terbitnya laporan keuangan segera mendorong harga saham perusahaan berkode ASGR ini 6,48% ke Rp 1.970, bahkan sempat menyentuh Rp 2.050 (10,81%).

 

Tuesday, February 24, 2015

Darma Henwa Catatkan Laba Bersih

Jakarta, 25 February 2015 – PT Darma Henwa, Tbk (DEWA) akhirnya mencatatkan laba bersih setelah mengalami 3 tahun kerugian berturut-turut. Laba bersih tercatat US$ 356.705 atau Rp 0.20/lembar, didorong oleh peningkatan pendapatan 6% menjadi US$ 234,66 juta.

Darma Henwa, perusahaan penyedia jasa pertambangan terintegrasi, berkapitalisasi Rp 1,09 triliun, selama 3 tahun terakhir tertekan karena prospek industry pertambangan yang kurang menguntungkan. Tahun ini perseroan berhasil mencatatkan pertumbuhan pendapatan 6% menjadi US$ 234,66 juta dari sebelumnya US$222,03 juta, walaupun belum mencapai level yang pernah dicatat perseroan pada tahun 2012 sebesar US$ 335 juta.  

Namun tahun ini dengan pertumbuhan laba kotor disertai dengan penurunan biaya bahan bakar, penurunan penyusutan, serta penurunan biaya perbaikan dan pemeliharaan. Penurunan biaya-biaya ini dikarenakan kurangnya pesanan tahun lalu sehingga memberikan kesempatan perusahaan untuk menyusun strategi ulang atas biaya-biaya ini, salah satunya dengan meningkatkan peran subkontraktor untuk mengurangi biaya-biaya sendiri.

Perseroan juga menurunkan utang jangka panjangnya sehingga rasio utang jangka panjang terhadap ekuitas turun menjadi 0,08 kali dari sebelumnya 0,15 kali. Salah satu utang yang banyak dilunasi adalah utang sewa pembiayaan, terutama kepada PT Hitachi Construction Machinery Finance Indonesia, prinsipal utama perseroan. Ini mengakibatkan beban bunga turun menjadi hanya US$ 2,42 juta dari sebelumnya US$ 3,73 juta.

Baru-baru saja Perseroan membeli PT Cipta Multi Prima, perusahaan yang bergerak di bidang jasa, pembangunan, perbengkelan, perdagangan dan pengangkutan darat. Perusahaan tersebut nantinya akan memperkuat bisnis DEWA di bidang jasa kontraktor pertambangan. Nilai pembelian tersebut mencapai Rp 21 miliar untuk membeli 99% saham dari kedua pemegang saham terdahulu.

Sebelumnya Perseroan juga telah mendapatkan proyek jasa pertambangan bawah tanah (underground) pertama dari Grup Bakrie  yaitu PT Dairi Prima Minerals senilai US$ 141 juta.  Kegiatan yang akan dilakukan Darma Henwa mencakup mengupas tanah (overburden), menyiapkan lahan untuk pabrik pengolahan serta menyiapkan areal untuk kegiatan produksi di Blok Anjing Hitam, Sumatra Utara.


Diharapkan dengan pelebaran bisnis ini ke depannya Darma Henwa akan lebih baik dalam pencatatan pertumbuhan dan laba, dan mampu mengangkat harga saham dari Rp 50 saat ini.  

Thursday, February 19, 2015

BTPN Dijual TPG, Harga akan Naik ke Rp 5.800

Jakarta, 20 Februari 2015 – PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional, Tbk (BTPN) naik 6,77% hari ini paska penjualan saham oleh TPG Nusantara S.a.r.l. ke Grup Sumitomo. Penjualan  tersebut dilakukan pada harga Rp 5.800/ lembar, jauh di atas harga pasar yang pada tanggal 17 Februari 2015 hanya Rp 4.060. Harga ini hanya sedikit di bawah rekor tertinggi BTPN di Rp 6.050 yang terjadi tahun 2013.

Sebelumnya Grup Sumitomo, lewat Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) telah membeli saham-saham bank BTPN dari TPG Nusantara juga. Tahun 2013, SMBC membeli 1,42 miliar lembar atau sekitar 24,26%. Tahun 2014, SMBC kembali membeli sebanyak jumlah yang sama dan meningkatkan kepemilikannya menjadi 40%.

 Dengan pembelian terakhir melalui Summit Global Capital Management, B.V. ini,  Grup Sumitomo menetapkan posisinya sebagai pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan 57,5% atau 3,36 miliar lembar saham.

Bank BTPN sejak menyentuh titik tertinggi di Rp 6.050 pada 6 Mei 2013 memang turun dan mendatar serta tidak pernah lagi melampaui level Rp 5.000 di harga penutupan. Karena itu pembelian Grup Sumitomo dengan harga di atas pasar diharapkan dapat mendorong optimisme investor untuk menuju harga pembelian tersebut.

Tahun ini, setelah sempat melemah di tahun 2014, Perseroan optimistis bisa mencetak kinerja yang gemilang pada tahun ini. Sepanjang tahun 2015, BTPN menargetkan pertumbuhan antara 15% hingga 17% dari 2014.

TPG Nusantara S.a.r.l mengakuisisi Bank BTPN pada tahun 2007 dari beberapa pemegang saham sebelumnya, yaitu PT Recapital Advisors, Fuad Hasan Masyhur, PT Danatama Makmur, dan PT Bakrie Capital Indonesia sebesar 675,98 juta atau 71,61%.


Bank BTPN sendiri pada akhir Desember  2014 mencatatkan kredit yang disalurkan mencapai Rp 49,44 triliun naik 6,9%, total asset Rp 71,89 triliun naik 3,2%, dana pihak ketiga Rp 50,60 triliun turun tipis. Laba bersih belum diaudit yang dicatatkan di Bank Indonesia mencapai Rp 1,81 triliun, turun 15,1%, karena penurunan bunga jadi Rp 11,72 triliun  dan pendapatan bunga bersih jadi Rp 6,57 triliun. 


Thursday, February 5, 2015

Merger Bank Mandiri - BNI, Perlukah?

Jakarta, 6 Februari 2015 – Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro melontarkan kemungkinan dipelajarinya langkah merger antara 2 bank BUMN besar, yaitu PT Bank Mandiri (Persero), Tbk (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk (BBNI). Wacana ini mendapat tanggapan keras dari kedua pihak, terutama pihak internal perbankan. Mengapa merger perlu atau tidak perlu dilakukan? Lalu kenapa yang disasar Mandiri dan BNI, bukan misalnya BRI atau BTN?

Menkeu membeberkan alasan pemikiran merger adalah agar bank Indonesia dapat bersaing di dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Pemerintah khawatir tidak ada bank yang bisa melawan serbuan bank-bank asing dengan aset besar, padahal Indonesia merupakan ‘lahan basah’ bagi bank-bank ini.

Lain lagi kata Direktur Keuangan BNI Yap Tjap Soen. Ia mengatakan bahwa memang konsolidasi bank-bank pelat merah memang sudah dibahas sejak Kementerian BUMN masih seumur jagung namun rencana yang dibahas secara detail adalah konsolidasi melalui holding company – bukan direct merger. Apa bedanya? Bedanya menurut Yap adalah direct merger akan membutuhkan banyak proses yang harus dijalani dan memiliki risiko di setiap langkahnya.

Beberapa pihak mengalasi penolakannya dengan kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mungkin dilakukan paska merger. Selain itu ada pula yang berkomentar: “wong sama-sama sehat, kenapa harus merger?”. Kompleksitas merger kedua bank ini makin tinggi mengingat bahwa keduanya adalah sama-sama bank milik publik juga, bukan hanya milik pemerintah, sehingga keputusan merger harus diambil bersama-sama dengan investor publik.

Pertama-tama, merger bukanlah hal baru di dalam dunia usaha, bahkan merger antara dua perusahaan yang sehat. Ambil saja contoh Adidas dan Reebok, dua raksasa peralatan olahraga dengan merek internasional dan bersaing mendapatkan posisi nomor 2 dan 3 di dunia, merger untuk memperebutkan posisi nomor 1.

Tiga bank besar Malaysia, termasuk CIMB Group Holdings Bhd – bank kedua terbesar di Malaysia setelah Malayan Banking Bhd (Maybank), sedang membicarakan merger. Bila sukses, merger ini akan membuat CIMB Group menjadi bank terbsar di Malaysia dan salah satu bank terbesar di Asia Tenggara.

Merger dilakukan untuk memperbesar pasar, memperkuat posisi, memperkuat daya tawar dan meningkatkan efisiensi. Merger dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki visi menjadi pemimpin pasar, yang melihat peluang dari kesempatan silang kompetensi dan menghasilkan inovasi yang menyegarkan.

Pengalaman merger perbankan terbesar memang kita rasakan pada saat Krisis Moneter tahun 1998, di mana merger besar-besaran terjadi dan salah satunya melahirkan Bank Mandiri. Proses ini menyakitkan, melibatkan PHK besar-besaran, membutuhkan beberapa pergantian pemimpin sebelum Bank Mandiri menjadi bank kedua terbesar setelah PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BBRI) dan memiliki brand kuat.  Sayangnya pengalaman merger pertama ini pahit sehingga ide tentang merger diasosiasikan dengan kinerja buruk. Namun suka atau tidak suka, asosiasi ini harus diluruhkan, sehingga pengalaman perbankan kita dapat menjadi lebih kaya dan bank-bank kita semakin kuat.

Kedua, dilihat dari sisi aset, maka bank Indonesia berada di posisi kurang menguntungkan apabila perbankan Asia Tenggara sudah terbuka. PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BBRI) yang saat ini adalah bank terbesar di Indonesia hanya menempati posisi 9 di bawah DBS Bank, Overseas Chinese Banking Corporation, dan  United Overseas Bank yang ketiganya dari Singapore. Bank BRI yang asetnya tercatat US$ 63 miliar, juga harus melompati Maybank dan CIMB Group Holding dari Malaysia. Awal 2014, Maybank sendiri telah mencatatkan US$ 148 miliar sementara CIMB Group Holding US$ 101 miliar.

Bergabungnya Bank Mandiri dengan Bank BNI secara otomatis meningkatkan aset bank dalam negeri menjadi sedikit di bawah US$100 miliar. Aset sebesar itu dapat memperkuat kepercayaan diri untuk bersaing dengan bank-bank sekelas CIMB dan DBS.

Ketiga, mengapa Bank Mandiri dan Bank BNI? Bila kita coba bertanya kepada orang-orang,  sebutkan 1 kata yang dapat mendeskripsikan Bank BRI, maka jawabannya adalah UKM. Satu kata untuk Bank BTN, jawabannya adalah perumahan. Tapi 1 kata untuk Bank Mandiri dan Bank BNI pasti menghasilkan beberapa jawaban yang akan tumpang tindih satu sama lain: korporat, konsumen, Syariah dan kartu kredit.

Jawaban-jawaban ini menggambarkan bahwa kompetensi Bank Mandiri dan Bank BNI saling terkait dan pembelajaran dapat berlangsung dengan lebih cepat.  

Alasan ini pula yang dapat menurunkan tingkat risiko merger yang tak dapat disangkal cukup tinggi. Konflik tenaga kerja, budaya korporasi, serta kegagalan menghasilkan sinergi merupakan faktor-faktor di belakang sejarah kegagalan merger. Namun manajemen yang solid, strategi manajemen perubahan yang terencana, serta visi yang jelas akan berkontribusi terhadap keberhasilan merger kedua bank raksasa ini.



Tuesday, February 3, 2015

Impack Pratama Ekspor ke Australia dan New Zealand

Jakarta, 4 Februari 2015 – PT Impack Pratama Industri, Tbk (IMPC) untuk pertama kali melakukan ekspor Polycarbonate Roofing Sheet ke Australia dan New Zealand dengan merk “Laserlite” senilai US$ 5juta. Langkah ini makin memantapkan posisi perseroan sebagai top 3 perusahaan roofing polycarbonate sedunia. Walaupun demikian, perseroan memprediksi tingkat pertumbuhan yang lebih lambat di tahun 2015.

Sebelumnya di bulan November perseroan telah mengakuisisi aset Australia & New Zealand Polycarbonate dari Bayer Material Science, termasuk di dalamnya property intelektual yaitu merk “Laserlite”. Aset berupa peralatan ini akan direlokasi ke Delta Silicon II, Lippo Cikarang dan menambah kapasitas produksi sebanyak 3.600 metrik ton/ tahun.

Perseroan mencatatkan sahamnya di pasar modal tanggal 17 Februari yang lalu dengan hasil bersih Rp 180,84 miliar. Sampai dengan 31 Desember 2014, perseroan melaporkan bahwa dana tersebut belum digunakan sama sekali. Rencananya 60% dana tersebut akan digunakan untuk pembelian tanah terutama di Delta Silicon 8.

Pencapaian perseroan pada tahun 2014 termasuk produksi panel komposit aluminium berkualitas premium produk alcotuff dan alcolite yang lebih tahan api di pabrik berkapasitas 2,5 juta m2/ tahun. Perseroan juga memproduksi SealTuff, sealant hybrid berkinerja tinggi berbasis teknologi Jepang dengan total instalasi 1,2 juta liter /tahun.

Produsen material konstruksi dan plastik ini memprediksi pertumbuhan yang melambat pada 2015, sebesar hanya 10 – 15% di pendapatan dan 10% di laba bersih. Padahal Impack mencatat laba bersih di semester 1 2014 meloncat 60% ke Rp 121 miliar dengan pendapatan naik 27% ke Rp696 miliar. Estimasi pendapatan tahun ini  mencapai Rp 1,38 triliun dengan laba bersih Rp 290 miliar.


Sampai hari ini saham IMPC sudah naik 66,4% dari harga IPOnya di Rp 3.800 menjadi Rp 6.325 di pagi ini. Likuiditas saham sangat tipis dengan saham yang beredar di publik sebanyak 150 juta lembar atau 31,04%.


Thursday, January 29, 2015

Suspensi Bursa atas Cita Mineral Karena Merugi Tidak Efektif

Jakarta, 30 Januari 2015 – Bursa Efek Indonesia (BEI) mensuspensi saham di seluruh pasar PT Cita Mineral Investindo, Tbk (CITA) karena meragukan keberlangsungan usaha perseroan. Alasannya karena selama tahun 2014, perseroan mencatatkan kerugian yang terus membengkak. Perdagangan saham CITA di pasar regular dan pasar tunai sudah dibekukan sejak Januari 2014 yang lalu. ASCEND berpendapat langkah ini kurang efektif.

 Cita Mineral adalah produsen bauksit dan alumina yang sedang smelter alumina melalui perusahaan asosiasinya, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery dengan biaya US$ 1 miliar.

Sampai dengan triwulan ketiga, perseroan telah mencatatkan kerugian sebesar Rp 330,23 miliar. Sebagian besar alasan kerugian ini adalah karena penurunan pendapatan yang drastis sebesar 94% dari tahun sebelumnya karena adanya pelarangan ekspor bijih mentah.Perseroan selama ini memperoleh 100% pendapatannya dari ekspor  ke pasar Cina.

Sementara perseroan masih dalam proses pembangunan smelter, biaya-biaya terkait pembangunan yaitu beban bunga membengkak lebih dari 5 kali lipat. Perseroan mengakui bahwa selama smelter dibangun, tidak ada rencana untuk memperoleh pendapatan lain. Perkembangan pembangunan smelter terus diupayakan sesuai tenggat waktu, di mana sampai saat ini progress yang dilaporkan baru 42,63%.

Perseroan di dalam surat keterbukaan informasi kepada bursa menyatakan bahwa hambatan  yang dialami saat ini adalah bahwa perseroan belum diijinkan untuk melakukan ekspor mineral bauksit yang telah melalui proses pengolahan melalui entitas anaknya.


ASCEND melihat bahwa suspensi yang dilakukan oleh Bursa Efek ini, walaupun baik, namun kurang efektif karena kerugian tersebut telah diprediksi akan terjadi dan perseroan telah mengambil langkah-langkah untuk keberlangsungan usahanya. Lagipula saham publik perseroan sangat kecil, yaitu 3,47% saja.

Jababeka Rencana Kembangkan 100 Kawasan Industri

Jakarta, 30 Januari 2015 – PT Kawasan Industri Jababeka, Tbk (KIJA) merencanakan akan mengembangkan proyek kawasan industri di 100 kota yang tersebar di Indonesia seiring dengan rencana pemerintah untuk membangun 100 kawasan pengembangan teknologi dan inovasi (technopark) untuk industri. Belanja modal tahun ini Rp 735 miliar dari kas internal, sementara pembiayaan dengan dolar AS mulai menggunakan lindung nilai untuk menjaga terhadap fluktuasi valuta asing.

Sebelumnya pemerintah melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Andrinof A. Chaniago menyatakan kebutuhan dana Rp 1,5 triliun untuk membangun 100 technopark mendukung kegiatan kawasan industri yang sudah ada, selain 13 kawasan industri baru di luar Jawa yang akan mulai dibangun pada 2015.

Menurut rencana Bappenas, selain pengembangan teknologi, "Technopark" juga akan tempat pelatihan dan pembinaan masyarakat dalam meningkatkan keahlian dalam mengelola sumber daya potensialnya.

Tahun ini perseroan menargetkan kontribusi lahan industri naik 10% menjadi Rp 502 miliar ditopang oleh kenaikan harga jual tanah yang akan berkisar di antara 10 – 15%. Sementara itu marketing sales ditargetkan Rp 1,2 triliun atau naik 15% dari pencapaian tahun 2014. Sekitar 45% diharapkan bersumber dari proyek residential dan komersial, sisanya 55% dari penjualan lahan industri.

Tahun 2014 penjualan kawasan industri menyumbang Rp 457 miliar atau sekitar 45% dari marketing sales. Kinerja ini diperoleh dari penjualan bangunan pabrik standar dan penjualan  12 Ha lahan yang dikembangkan dengan harga rata-rata Rp 2,7 juta per m2, naik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya di bawah Rp 2 juta.

Salah satu pengembangan kota yang sudah dijalankan Jababeka adalah di Tanjung Lesung, Kabupaten Pandeglang, Banten. Jababeka mengembangkan "integrated township" Tanjung Lesung untuk menyokong industri pariwisata. Selain Tanjung Lesung, perseroan bersama dengan Sembcorp, Singapura, sedang mengembangkan proyek di Kendal, Jawa Tengah untuk menjadi kawasan industri.

Untuk mendukung ekspansi, perseroan mempersiapkan dana belanja modal  dari kas internal sekitar Rp735 miliar tahun ini. Perinciannya, sebesar Rp 600 miliar rupiah untuk akuisisi lahan di Cikarang dan Kendal. Sementara, senilai Rp135 miliar untuk pengembangan infrastruktur. Setelah Kendal dan Cikarang, kota lain yang menjadi target, yakni Morotai dan Medan.

Sampai 30 September 2014, perseroan mengantongi kas hampir Rp 1 triliun yang cukup untuk membiayai rencana capex ke depannya. Pendapatan perseroan sampai dengan triwulan ketiga hanya naik 2% menjadi Rp 2,06 triliun dengan laba Rp 390,3 miliar atau naik 338% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.


Aset Jababeka  senilai Rp 8,9 triliun dibiayai separuhnya oleh utang yang mana lebih dari dua pertiganya adalah utang dalam dolar AS. Oleh karena itu perseroan melakukan lindung nilai (hedging) yang sampai saat ini sudah mencapai US$ 50 juta dari US$ 217 juta outstanding. Adapun, sistem hedging yang digunkan adalah call spread sebesar Rp 1.500 dengan kurs sebesar Rp 12.500 per dollar AS. Selain itu perseroan juga memiliki natural hedging karena penjualan listrik, pabrik dalam dollar AS.



Wednesday, January 28, 2015

Laba BRI Naik Ditopang Simpanan Nasabah

Jakarta, 29 Januari 2015 – PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk mencatatkan kenaikan laba bersih 13,6% karena pendapatan bunga bersih naik 16,6%. Kinerja ini ditopang oleh kemampuan BRI untuk meningkatkan simpanan nasabah sebesar 23,4%. Simpanan ini telah meningkatkan kredit yang diberikan sampai 14,3%.

Laba bersih naik 13,6% menjadi Rp 24,24 triliun dari sebelumnya Rp 21,34 triliun karena peningkatan pendapatan bunga bersih naik 16,6% menjadi Rp 51,44 miliar dari sebelumnya Rp 44,11 triliun . Sebagian besar pendapatan bunga tersebut adalah dari bunga dan investasi yaitu Rp 73,07 triliun , sementara sisanya, Rp 2,06 triliun adalah dari pendapatan syariah.

Kinerja ini berhasil dicatatkan oleh BRI karena perseroan berhasil menghimpun aset sampai ke pelosok Indonesia khususnya sektor pertanian yang umumnya adalah nasabah mikro. Aset pada akhir tahun 2014 menggembung 28,1% menjadi Rp 801,96 triliun yang terutama didorong oleh kenaikan penyaluran kredit 14,3% menjadi Rp 479,21 triliun. Simpanan nasabah berhasil ditarik untuk membiayai peningkatan aset ini sehingga naik 23,4% menjadi Rp 622,32 triliun.

Sampai saat ini BRI diuntungkan mengandalkan nasabah ritel dan binaan Usaha Kecil Menengah (UKM). Namun kredit sektor perbankan akan tumbuh minimal 5% sampai 7% tahun depan, sedikit tersendat karena direm oleh Bank Indonesia. Perlambatan ini berpotensi untuk menekan pertumbuhan BRI ke depan, walaupun kini ia telah menjadi bank terbesar di tanah air berdasarkan aset, melampaui PT Bank Mandiri (Persero), Tbk (BMRI).

Kinerja lainnya dari BRI adalah keberhasilannya mengoptimalkan jaringan dan pemanfaatan teknologi terkini guna mendukung pertumbuhan bisnis perbankan, khususnya melalui transaksi e-channel dan e-banking. Keberhasilan tersebut membawa BRI meraup pendapatan berbasis komisi (fee based income) pada 2014 mencapai Rp 6,1 triliun.

Ke depannya BRI akan serius menggarap branchless banking yang akan meningkatkan potensi laba bank. Melalui perekrutan agen yang berlabel BRILink, BRI berharap bisa mengakuisisi 1,25 juta nasabah baru. Program branchless ini diharapkan akan dapat menyebar sampai ke 70 desa. 





Logindo Terbitkan Obligasi di Singapura untuk Tingkatkan Pangsa Pasar

 Jakarta, 28 Januari 2015 – PT Logindo Samudramakmur, Tbk (LEAD) menyatakan akan mencatatkan obligasi yang diperdagangkan di Bursa Efek Singapore  senilai S$ 50 juta dengan tingkat kupon 2,93% dan tenor 5 tahun. Perusahaan pemeringkat Standard & Poor’s memberikan peringkat AA- untuk obligasi perseroan ini. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pangsa pasar. Informasi ini ternyata direspon baik oleh pasar.

Hasil dari penerbitan obligasi ini akan digunakan perseroan untuk memperkuat posisi pangsa pasar di dalam industri yang bertumbuh, peningkatan kapasitas operasional dengan pembelian armada-armada baru, dan diversifikasi sumber pendanaan kepada pasar modal global.

Berdasarkan data Research and markets yang dirilis pada bulan Agustus 2013, pasar industri jasa transportasi laut tahun 2013 secara global dinilai sebesar USD 69,3 miliar, yang diestimasikan akan mencapai USD 91,2 pada tahun 2018. Faktor utama yang mendorong pertumbuhan tersebut ialah meningkatnya permintaan minyak dan gas pasar global, pertumbuhan aktivitas eksplorasi dan produksi serta meningkatnya jumlah anjungan lepas pantai.

Berdasarkan data BP Migas yang dirilis pada bulan Juni 2013, proyeksi kebutuhan seluruh jenis kapal penunjang operasi lepas pantai yang menggambarkan industri jasa transportasi laut di Indonesia hingga tahun 2015, diperkirakan akan mencapai 235 unit. Kebutuhan jenis kapal penunjang operasi lepas pantai yang menempati posisi pertama di Indonesia adalah kapal AHTS, JR, MPV dan CLB.
Perseroan merupakan penyedia jasa penyewaan kapal penunjang kegiatan lepas pantai (Offshore Support Vessels, OSV) bagi industri minyak dan gas bumi, dengan jumlah armada sebanyak 60 kapal, mencakup 12 jenis kapal seperti: Accommodation Work Barge, Anchor Handling Tug, Anchor Handling Tug Supply, Crew Boat, Diving Support Vessel, Flat Top Barge, Harbour Tug, Hopper Barge, Landing Craft Transport, Tugboat, Platform Supply Vessel, dan Utility Boat.

Perseroan mengoperasikan armada kapalnya di berbagai wilayah di Indonesia meliputi sungai, pesisir pantai serta laut. Selain itu, untuk mendukung kegiatan usaha utama dan pelayanan kepada pelanggan, perseroan mengoperasikan perbaikan dan pemeliharaan yard/workshop di Kalimantan Timur, Indonesia. Kemudian, Perseroan juga menyediakan jasa akomodasi makan dan minum bagi awak kapal dan pelanggan, serta jasa penggantian bahan bakar kapal.

Perseroan memiliki portofolio pelanggan yang terdiri dari perusahaan-perusahaan minyak dan gas bumi lokal maupun multinasional, termasuk Total E&P Indonesie, PT Pertamina Hulu Energi Lepas Pantai Utara Jawa Barat dan ENI Muara Bakau BV. Adanya pemberlakuan asas cabotage untuk Anchor Handling Tug Supply (AHTS) dengan daya di atas 5.000 bhp dengan sistem DP, Platform Supply Vessel (PSV) dan Diving Support Vessel (DSV) mulai tahun 2013 memberikan kesempatan yang lebih luas bagi Perseroan untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia.

Dengan pendanaan baru ini, perseroan selama tahun 2014 – 2018 merencanakan pendapatan tumbuh rata-rata 19,65% per tahun, pertumbuhan laba rata-rata 16,08% per tahun, pertumbuhan aset 16,13% per tahun. Untuk rasio-rasio, perseroan mentargetkan rasio lancar 0,82x, rasio utang atas ekuitas 67,69%, dan imbal hasil atas ekuitas 17,15%.

Pembatasan yang harus diperhatikan oleh perusahaan adalah kekayaan bersih perseroan tidak boleh kurang dari US$ 75 juta, rasio total pinjaman dan kekayaan bersih berwujud tidak boleh lebih dari 3:1, dan rasio EBITDA dengan beban bunga tidak boleh kurang dari 2,75:1. Per tanggal 30 September 2014,  kekayaan bersih perseroan tercatat sekitar US$ 127 juta, rasio total pinjaman dan kekayaan bersih 1,1:1, sementara EBITDA per beban bunga tercatat 6,65:1.





Tuesday, January 20, 2015

HM Sampoerna Rencana Tambah Free Float


Jakarta, 20 Januari 2015 - PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), anak usaha Philip Morris International, tengah mengkaji penambahan jumlah saham yang beredar di publik (free float) minimal sebesar 5,68% untuk memenuhi ketentuan bursa minimal 7,5%. ASCEND melihat bahwa penambahan ini akan meningkatkan likuiditas di pasar sekaligus indikasi bahwa emiten ini mau tetap berada di dalam pasar modal.

HM Sampoerna adalah emiten dengan kapitalisasi ketiga terbesar di Bursa Efek Indonesia dengan nilai kapitalisasi mencapai Rp 295 triliun dan harga per saham yang mahal, Rp 67.350. Posisi kapitalisasi produsen rokok merek Dji Sam Soe dan A Mild ini hanya di bawah PT Bank Central Asia, Tbk (BBCA) dan PT Astra International, Tbk (ASII).

Peningkatan free float hingga 7,5% dapat dilakukan dengan penambahan saham baru maupun penjualan saham milik pemegang saham mayoritas, Philip Morris Indonesia. ASCEND berpendapat bahwa kemungkinan besar HMSP akan melakukan penjualan saham pemilik karena tidak adanya kebutuhan dana yang urgent. Dengan opsi ini maka akan ada penjualan sekitar 248,9 juta lembar yang dengan harganya sekarang berpotensi menghasilkan Rp 16,8 triliun bagi Philip Morris Indonesia.


Opsi lainnya adalah dengan melakukan penambahan saham baru, sementara Philip Morris tidak melakukan injeksi modal lagi. Dengan demikian, perusahaan akan mendapatkan dana segar sekitar Rp 18,16 triliun dari penjualan sekitar 269,07 juta lembar saham baru.

Potensi nilai tersebut dapat dioptimalisasi apabila sebelum melakukan peningkatan free float, emiten terlebih dulu melakukan stock split 1:8 atau 1:10 yang akan membawa harga sahamnya di bawah Rp 10.000, serupa dengan harga Astra.

Perusahaan yang dikuasai 98,18% oleh PT Philip Morris Indonesia, anak usaha dari raksasa rokok dunia, Philip Morris International ini mencatatkan pendapatan dan laba tahunan yang selalu meningkat. Sampai triwulan ketiga tahun 2014, emiten telah mencatatkan pendapatan Rp 59,61 triliun, naik 9% dari tahun sebelumnya di tengah banyaknya peraturan baru mengenai rokok dan iklan rokok. Laba pun meningkat menjadi Rp 7,66 triliun atau Rp 1.746/ saham, naik 1,44%.


ASCEND melihat aksi korporasi yang akan dilakukan oleh HM Sampoerna ini akan meningkatkan likuiditas di bursa efek, memberikan valuasi harga pasar yang lebih baik kepada saham HM Sampoerna, meningkatkan likuiditas (exit strategy) bagi para pemegang saham HM Sampoerna, serta menjadi indikasi bahwa perusahaan rokok ini beserta pemiliknya optimis dengan pasar di Indonesia, baik pasar rokok maupun pasar modalnya. 

Sunday, January 18, 2015

Buana Listya Catatkan Laba Bersih Turun karena Beban Keuangan dan Kerugian Kurs

Jakarta, 19 Januari 2015 – PT Buana Listya Tama, Tbk (BULL) yang masih disuspensi mencatatkan penurunan laba bersih sampai dengan 90% menjadi hanya US$ 475.537 dari sebelumnya US$ 11,36 juta. Kerugian kurs serta beban keuangan yang besar adalah dua faktor utama kinerja ini.

Pendapatan Buana Listya turun 7% menjadi US$ 33,72 juta dari sebelumnya US$ 36,22 juta. Sebagian besar dari pendapatan Buana Listya berasal dari penyewaan kapal untuk distribusi  gas, minyak dan FPSO. Pendapatan dari segmen gas turun 21% menjadi US$ 15.21 juta dari sebelumnya US$ 19,22 juta. Sementara pendapatan dari segmen minyak dan FPSO naik signifikan menjadi US$ 13,97 juta dari sebelumnya hanya US$ 1,32 juta.  

Laba kotor perusahaan tercatat US$ 8,27 juta atau naik dari sebelumnya US$ 4,28 juta, yang mengindikasikan marjin laba kotor 24,5% atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya di 11,8% saja. Akan tetapi beban keuangan yang sudah berkurang masih menekan laba sebesar US$ 5,71 juta.

Kondisi ini diperburuk dengan adanya kerugian kurs US$ 473.806 dibandingkan laba sebelumnya yang mencapai US$ 10,81 juta. Apalagi dengan revaluasi kapal yang hanya US$ 2,71 juta dibandingkan  sebelumnya US$ 7,86 juta dan kerugian lain-lain bersih sebesar US$ 270.898.

Saham Buana Listya telah disuspensi lagi pada pertengahan 2014 setelah dilepas dari suspensi pertamanya di akhir tahun 2012 karena keterlambatan pelaporan akibat situasi utang pemiliknya, PT Berlian Laju Tanker, Tbk (BLTA). November 2014 ini emiten terkena lagi sanksi berlapis karena perubahan rencana audit atas laporan keuangannya yang akhirnya baru dapat disampaikan pada hari ini. Dalam keterangannya, BEI mengatakan, sanksi ini dijatuhkan karena BULL berencana mengaudit laporan keuangan Juni 2014. Belakangan rencana berubah. Laporan keuangan yang akan diaudit adalah laporan keuangan interim September 2014.

Setelah Berlian Laju melepas sebagian besar kepemilikannya hingga hanya menguasai 32,86% dari sebelumnya 58%, Buana Listya telah melakukan berbagai upaya untuk dapat keluar dari krisis. Pertama, perusahaan telah merestrukturisasi utang kepada Merril Lynch (Asia Pasific) Limited dan Orchard Centar Master Limited (MLOR) dengan saham yang dijaminkan oleh Berlian Laju dan tanggal jatuh tempo diperpanjang menjadi 15 Januari 2015. Sampai hari ini emiten

Kedua, Buana akan berusaha untuk melakukan private placement yang didahului dengan reverse stock. Reverse stock direncanakan akan memiliki rasio 8 lembar saham lama untuk 1 lembar saham baru sehingga jumlah saham beredar akan turun dari 17,65 miliar lembar menjadi 2,21 miliar lembar. Sementara private placement direncanakan akan menerbitkan 220,6 juta saham seri B atau 10% dari jumlah saham beredar baru dengan harga pelaksanaan Rp 439 per saham.


Bila laku, Buana Listya akan mendapat dana segar Rp 96,8 miliar atau sekitar US$ 7,8 juta yang dapat digunakan untuk pembayaran beban bunga denda kepada Merril Lynch (Asia Pasific) Limited dan Orchard Centar Master Limited.