Wednesday, July 31, 2013

Setelah Laba Tumbuh di Kuartal Kedua, Bank akan diuji lagi



Jakarta, 1 Agustus 2013 - Pertumbuhan laba kuartal kedua dari 8 bank terbesar nasional mencapai 18% dibanding semester kedua tahun lalu. Tetapi, perbankan nasional dihadapkan dengan tantangan terhadap inflasi, kenaikan suku bunga, penurunan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dan kondisi makroekonomi dunia yang belum menentu.

Pertumbuhan laba tertinggi dibukukan oleh Bank BNI yang naik hingga 30% sebesar Rp. 4,28 triliun. Sementara laba dengan nilai tertinggi dibukukan oleh Bank Mandiri sebesar Rp. 8,29 triliun. Pendapatan bunga bersih secara rata-rata tumbuh 15% year on year. Pertumbuhan pendapatan tertinggi dibukukan oleh Bank BCA yang naik hingga 24% dibanding periode tahun lalu. Sementara pendapatan bunga tertinggi dibukukan oleh Bank Mandiri sebesar Rp. 15,14 triliun.

Di sisi lain BI telah menaikkan tingkat bunga referensinya 2 kali dalam dua bulan terakhir menjadi 6,5% akan menekan pendapatan perbankan. Bahkan diprakirakan BI rate akan dinaikan lagi pada kuartal ketiga tahun ini menjadi 7% untuk menekan inflasi.

Kredit sebagai produk utama bank diproyeksikan turun pasca kenaikan BI rate. Kenaikan BI akan memicu kenaikan bunga kredit dan cenderung menekan jumlah kredit tersalurkan. Marjin bunga bersih bank diprakirakan turun pada semester kedua ini. Biaya bunga untuk pembayaran dana pihak ketiga diprakirakan naik sehingga menekan pendapatan bunga bersih. Laba bank pun cenderung turun karena pendapatan operasional perbankan di Indonesia rata-rata lebih kecil atau tidak signifikan dibanding porsi pendapatan bunga bersih.

Namun sisi positif kenaikan BI rate akan mengerem pertumbuhan kredit, terutama kredit konsumer yang tumbuh signifikan beberapa tahun terakhir sehingga bank lebih pruden. Bank diharapkan tidak hanya mengejar laba semata, namun menjaga risiko sistematik lebih diutamakan. Istilah too big too fail tidak berlaku lagi pada bank-bank besar, mengingat salah satu bank besar di Amerika jatuh saat krisis finansial 2008 lalu. Menurut Fitch, Indonesia merupakan negara dengan indikator makro prudensial skala 3 atau berisiko sistematis tinggi.

Efek melemahnya nilai tukar juga membuat risiko perbankan semakin tinggi. Debitur bank sebagian besar yang memperoleh kredit dalam nominal tinggi adalah perusahaan manufaktur dan industri yang mengimpor bahan baku dalam denominasi Dollar, sementara penjualan produk di dalam negeri dalam bentuk Rupiah. BI memprakirakan laba perusahaan manufaktur dan industri akan tertekan hingga 3%. Penurunan kinerja debitur akan berdampak terhadap risiko pembayaran kredit kepada bank.  Jika kredit macet semakin tinggi akan menekan laba dari bank itu sendiri. Per Juni 2013, Non Perfoming Loan dari 109 bank dibawah pengawasan BI tercatat rata-rata 3,1% dan Rasio Kecukupan Modal Minimum rata-rata  pada 17,31%.

AFN memprediksi bahwa pertumbuhan laba q-to-q perbankan di kuartal ketiga dan keempat tidak lagi semanis kuartal kedua ini.

Danareksa Hitung Harga Wajar Ramayana Rp 1.400

Jakarta, 31 Juli 2013 - Hari ini Riset Danareksa Sekuritas mengeluarkan riset terbarunya tentang Ramayana Lestari Sentosa, Tbk (RALS) dengan target price Rp 1.400. Harga ini lebih tinggi 6% dibandingkan harga penutupan hari ini di Rp 1.320. Danareksa yakin harga ini akan tercapai karena walaupun pendapatan lebih rendah daripada target, tapi marjin tetap terjaga.

Pendapatan Ramayana dalam 1 semester ini meningkat 3,6% jadi Rp 2,49 triliun dari sebelumnya Rp 2,40 triliun pada tahun 2012. Peningkatan ini didorong baik dari penjualan barang beli putus maupun konsinyasi.

Laba kotor naik lebih tinggi, yaitu 13,6% menjadi Rp 867,63 miliar, mencerminkan marjin laba kotor 34,9% atau lebih tinggi daripada periode yang sama tahun 2012, di 31,8%. Ini mendorong laba bersih naik 4,7% menjadi Rp 107,43 miliar atau Rp 15,14/ lembar.

Danareksa membuat dua catatan atas kinerja ini:
1. Pendapatan sampai dengan tengah tahun tercatat lebih rendah daripada targetnya, yaitu Rp 3,48 triliun dalam 6 bulan. Akan tetapi Danareksa optimis bahwa target ini akan terkejar seiring dengan datangnya musim liburan Lebaran. Perusahaan juga optimis bahwa sekitar 32,6% dari target penjualan setahunnya akan tercapai pada periode Idul Fitri (Juli-Agustus)

2. Marjin yang lebih baik disebabkan oleh kebijakan pengurangan diskon harga dan bauran produk yang lebih baik. Ke depannya Danareksa mengharapkan marjin akan lebih tinggi, yang mencapai 27% pada marjin laba kotor dan 5,9% pada marjin laba bersih.

Optimisme Danareksa ini terlihat di-share juga oleh pelaku pasar lainnya. Harga RALS naik cepat dari Rp 1.080 di awal Juli menjadi Rp 1.320 pada akhir Juli ini, atau naik 22%.



Semester Kedua 2013, Konsumer Berpotensi Jadi Penggerak IHSG



Sektor konsumer diprakirakan mendorong pergerakan IHSG pada kuartal ketiga hingga akhir tahun. Pertama karena secara jangka panjang sektor konsumer memang masih memiliki permintaan yang tinggi. Kedua karena sektor-sektor lainnya diperkirakan masih berpotensi melemah. 

Sektor konsumer telah menguat 30,54% ytd dan 32,20% yoy. Potensi jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia yang mencapai 100 juta lebih dan terus tumbuh menjadi potensi pasar sektor konsumer meskipun dibayangi perlambatan ekonomi global. Ditambah lagi, Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di dunia setelah China. Emiten konsumer akan lebih fokus untuk memasok kebutuhan barang konsumsi domestik dibanding memprioritaskan pasar ekspor mengantisipasi perlambatan ekonomi global.

Perilaku orang Indonesia yang cenderung konsumtif berpotensi mendorong pertumbuhan sektor konsumer. Hal ini mendorong permintaan terhadap barang konsumsi dari tahun ke tahun konsisten meningkat. Pertumbuhan ekonomi RI dalam 9 tahun terakhir lebih banyak ditopang dari sektor konsumsi rumah tangga. 

Perilaku manajer investasi yang selalu mencadangkan portofolionya pada sektor ini membuat permintaan terhadap saham sektor konsumer selalu tinggi. Saat ini, Mandiri Investasi dan Saratoga Investama telah menyatakan akan menambah portofolio mereka pada sektor konsumer mulai kuartal ketiga mengantisipasi perlambatan ekonomi global. Tren bahwa saham konsumer selalu mengalami pertumbuhan laba dan dengan disertai likuiditas tinggi juga mendorong manajer investasi memegang saham konsumer. Umumnya Manajer Investasi memilih emiten sektor konsumsi yang memiliki produk makanan atau minuman. 



Faktor psikologis bahwa saham konsumer selalu memberikan marjin 15% hingga 40% di tengah resesi sekalipun mendorong potensi pertumbuhan saham sektor konsumer. Marjin tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan seluruh industri di pasar yang hanya memberikan marjin sekitar 15% hingga 20%.  

Namun pada jangka pendek, sektor konsumer masih dihadapkan permasalahan seperti pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS, kenaikan bahan bakar minyak, inflasi, kenaikan tarif dasar listrik, upah buruh dan ancaman produk kompetitor. 

Lagi, secara valuasi saham, sektor konsumer dinilai relatif mahal dibandingkan dengan rata-rata pasar.  Rasio laba per lembar saham (PER) rata-rata sektor konsumer pada angka 26 kali jauh lebih tinggi dibandingkan rasio PER IHSG pada kisaran 17 kali. Namun, fakta bahwa beberapa emiten unggulan sektor konsumer membagikan dividen hampir 100% dari laba bersih yang dibukukan menjadi daya tarik tersendiri

Sementara sektor lain dalam jangka pendek diproyeksikan akan tertekan karena berbagai faktor. Seperti sektor properti dan finansial yang selama awal tahun 2013 telah menjadi motor penggerak indeks. Paska tingginya inflasi dan kenaikan suku bunga Bank Indonesia, diproyeksikan kedua sektor ini akan tertekan karena akan menekan penyaluran kredit perbankan. Kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan uang muka kepemilikan properti kedua dan ketiga akan menekan kinerja kedua sektor ini.
Sektor tambang dan pertanian di tengah masih melemahnya harga komoditas, masih akan tertekan setidaknya hingga akhir tahun. Harga komoditas dunia cenderung tertekan karena kelebihan pasokan. Diprakirakan keseimbangan antara pasokan dan permintaan akan terjadi setidaknya tahaun 2014.

Sektor industri dan manufaktur akan diuji dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS. Pembelian bahan baku industri dan manufaktur yang rata-rata menggunakan denominasi Dollar akan mendorong kenaikan beban produksi. 

Sektor Infrastruktur paling mungkin menjadi pesaing sektor konsumer dalam menggerakkan IHSG. Sektor ini relatif bertahan di saat tekanan makroekonomi semakin tinggi seperti sektor konsumer. Belanja modal pemerintah yang ditambah porsinya dalam APBN 2013, menjadi ruang aman untuk saham-saham infrastruktur untuk mencapai target pendapatannya.