Wednesday, December 18, 2013

Bubble Properti Hampir Tak Mungkin

Jakarta 19 Desember 2013 - Jangan mengkuatirkan bubble properti, saran Asia Financial Network dalam 2014 Economic and Market Outlook di Hotel Atlet Century, Senayan, kemarin (18/12). Kenaikan properti memang disebabkan oleh tingginya permintaan, dan pengetatan kredit properti oleh Bank Indonesia makin meyakinkan bahwa bubble tidak akan terjadi.



Indeks properti memang sudah naik hampir 70% selama 3 tahun belakangan ini. Banyak pihak telah meneriakkan kemungkinan bubble. Akan tetapi, bila kita lihat chart di bawah ini, maka properti sebenarnya sudah menuju titik ekuilibriumnya lagi. Memang, di titik tertingginya, 565, kenaikan properti selama 3 tahun mencapai 178,3%, angka yang mengkuatirkan.


 




Pergerakan indeks properti ini sangat dipengaruhi oleh pergerakan 2 saham berkapitalisasi terbesar, yaitu PT Bumi Serpong Damai, Tbk (BSDE) dan PT Lippo Karawaci, Tbk (LPKR). BSDE sempat naik ke Rp 2.200, mencerminkan kenaikan 150% selama 3 tahun, tetapi kemudian turun ke Rp 1.300 sehingga kenaikannya sekitar 47,3%. LPKR sempat naik sampai tingkat 172% di Rp 1.850, namun mereda lagi ke Rp 890 sehingga hanya naik 30,88%. 


Di sektor riil, para pembeli properti mulai merasakan kenaikan yang tidak mendasar pada harga propertinya. Forbes mengingatkan bahwa properti di Jakarta sudah naik 38% di tahun 2012 dan di Bali 20%. Sejak Juni 2012 sampai Mei 2013, pinjaman untuk pembelian apartemen sudah berlipat ganda, menjadi Rp 11,42 triliun.

Kenaikan harga dan pembelian ini telah mendorong pencatatan laba berlipat ganda dari perusahaan-perusahaan properti. Laba BSDE naik 138,7% pada tahun ini, LPKR 24,3%, PT Summarecon Agung, Tbk (SMRA) 90,4% dan PT Pakuwon Jati, Tbk (PWON) 55,3%.

Pertanyaannya, apakah benar bubble properti akan terjadi? Definisi bubble adalah ketika pembeli ataupun investor, dipaksa untuk menjual aset propertinya dengan harga murah dan karenanya memicu gagal bayar atas kredit properti mereka. Mari kita pertimbangkan.
  1. Kenaikan yang terjadi di Jakarta sebagian besar terjadi karena kondisi kemacetan di Jakarta yang membuat banyak orang mencari tempat tinggal yang mendekati tempat kerja. Kebutuhan itu membuat properti tersebut memang ditempati, dan utamanya oleh pekerja-pekerja yang memang berada di kelas menengah atas yang makin banyak.
  2. Kenaikan yang terjadi di Jabodetabek pun sebagian besar terjadi karena banyaknya pasangan muda asal Jakarta maupun pendatang yang mencari penghasilan di Jakarta yang membutuhkan tempat tinggal. Berkembangnya infrastruktur transportasi dari daerah-daerah ini merupakan faktor penarik yang utama untuk berkembangnya properti-properti di daerah ini.
  3. Kenaikan yang terjadi di Bali adalah salah satu dampak dari promosi gencar akan pariwisata di Bali, didukung oleh perubahan trend hidup orang-orang Eropa dan Amerika yang mencari hidup relatif lebih murah di daerah-daerah Asia Tenggara (termasuk Thailand dan Malaysia).

Pengetatan pemberian kredit oleh Bank Indonesia terutama kepada pemilik rumah lebih dari 1, telah mengecilkan kemungkinan bubble properti ini akan terjadi.

Tahun 2014 mendatang, sektor properti secara keseluruhan pun diprakirakan akan melambat. Fitch dan Moody’s diskusi outlook properti Indonesia yang dia adakan di Singapura, mengatakan pendapatan sektor properti hanya akan tumbuh sebesar 17% atau turun dibanding tahun 2013 ini sebesar 21%. Penurunan ini akan dirasakan pada permintaan sewa kantor di area CBD Jakarta.

Tapi tahun 2014 diperkirakan adalah tahun untuk properti-properti yang fokus ke kawasan industri, seperti PT Kawasan Industri Jababeka, Tbk (KIJA) dan PT Surya Semesta Internusa, Tbk (SSIA). Makin banyak industri yang akan dipindahkan ke luar Jakarta akibat kemacetan yang makin parah, tuntutan upah buruh yang terlalu tinggi, serta biaya-biaya berkenaan dengan properti yang semakin mahal di Jakarta. Seiring dengan ini, perusahaan-perusahaan properti untuk residensial di sekeliling kawasan industri pun berpotensi tumbuh pesat.