Thursday, December 12, 2013

Defisit APBN dan Defisit Keseimbangan Primer Masih Akan Terjadi Selama Tahun 2014



Presiden Serahkan DIPA 2014 di Istana BogorJakarta, 13 Desember 2013 - Defisit yang direncanakan mencapai Rp 175,4 triliun semakin membebani  APBN 2014 mengingat jumlah hutang pemerintah diprakirakan mencapai Rp 2.384 triliun pada 2014 mendatang atau sebesar 22,97% dari PDB. Selain itu fundamental ekonomi yang diuji lewat keseimbangan primer juga masih diprakirakan defisit, hal ini berlangsung sejak 2012 lalu atau terakhir kali terjadi pada tahun 1990.

Presiden SBY dalam paparannya kepada publik di Istana Bogor, Selasa (10/12) kemarin menyampaikan daftar isian penyapaian anggaran (DIPA) 2014. Didalamnya termuat anggaran pendapatan dan belanjan negara untuk tahun fiskal 2014 mendatang.

Dalam APBN secara eksplisit menyebutkan bahwa tujuan pemerintah salah satunya adalah menjaga kesinambungan fiskal dengan mendorong APBN lebih produktif untuk meningkatkan kapasitas perekonomian yaitu melalui pengendalian defisit anggaran, pengendalian keseimbangan primer dan menekan rasio hutang terhadap PDB.

Seberapa efektifkah rencana pemerintah untuk bertahan tumbuh ditengah perlambatan ekonomi global? AFN melihatnya dari sisi defisit anggaran, keseimbangan primer, dan rasio hutang terhadap PDB.

Defisit Anggaran
Direncanakan defisit anggaran mencapai Rp 175,4 triliun dalam APBN 2014 dengan pembiayaannya melalui penerbitan surat berharga negara yang sebagian besar berdenominasi Rupiah dan direncanakan berasal dari dalam negeri sebesar Rp 196,3 triliun dan pembiayaan luar negeri sebesar Rp 20,9 triliun.

Rasio pembiayaan atau rasio defisit anggaran tersebut diprakirakan sebesar 22,97% dari PDB yang jumlahnya diprakirakan mencapai 10.376 triliun pada 2014 mendatang. Rasio tersebut turun tipis dibanding rencana akhir tahun 2013 ini sebesar 23,37%. Hutang pembiayaan pemerintah pada 2014 direncanakan mencapai Rp 2.384 triliun atau naik dibandingkan prakiraan posisi akhir tahun ini sebesar Rp 2.198 triliun.

Namun AFN melihat permasalahan defisit ini berdasarkan postur APBN sebelumnya. Ada permasalahan dari pemerintah sendiri terkait penyerapan belanja yang tidak optimal. Seharusnya defisit dapat berkurang jika belanja berkurang. Namun di sisi lain, penyerapan pendapatan pun masih rendah, jadi defisit tetap saja terjadi, ini menunjukkan keduanya baik penyerapan anggaran atau belanja anggaran tidak optimal. Selain itu, penggunaan pembiayaan yang kurang tepat yang dinilai beberapa ekonom, terutama subsidi BBM menjadikan defisit membengkak.

Seperti diketahui, porsi belanja APBN sendiri lebih banyak dipakai untuk belanja pegawai pada instansi pemerintah dari pada pembangunan infrastruktur. Beberapa aliran dana belanja kurang efektif penyerapannya pada beberapa kementrian negara. Belanja infrastruktur hanya sebesar 7,83% dari keseluruhan APBN 2014.

Belanja infrastruktur dianggarkan sebesar Rp 145,4 triliun dengan tujuan membangun jalan nasional hingga 3.800 km, jalur kereta api hingga 100 km, membangun 20 bandara baru dan dermaga hingga 60 unit, selain itu menambah infrastruktur energi hingga 164 megawatt dan pembangunan permukiman rakyat hingga 38 ribu unit.

Belanja infrastruktur tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan subsidi energi. Direncanakan subsidi energi sebesar Rp 282 triliun dengan porsi subsidi BBM hingga mencapai Rp 210,7 triliun. beban subsidi BBM yang terlalu tinggi yang mencapai 11,44% dari total belanja negara, membuat defisit APBN semakin melebar.

AFN memperkirakan kebutuhan belanja negara tetap dapat berjalan tanpa pembiayaan hutang jika pemerintah menghapus 75% subsidi BBM saja. Artinya pemerintah justru harus membuat kebijakan yang dapat menekan subsidi BBM sehingga menyehatkan APBN dan ekonomi nasional. Jika tahun depan pemerintah berencana menambah pembiayaan hingga Rp 175,4 triliun, hal itu pun belum mampu menutup beban negara terhadap subsidi BBM yang jumlahnya lebih besar.

AFN juga mengusulkan adanya perampingan organisasi kepemerintahan yang dapat menekan belanja rutin negara.

Keseimbangan primer masih defisit?
Tercatat terjadi defisit keseimbangan primer pada APBN 2012 atau pertama kali sejak 1990 dan defisit ini diprakirakan masih akan terjadi hingga tahun 2014 mendatang. APBN 2012 tercatat defisit primer sebesar Rp 73,2 triliun padahal pada tahun 2012 masih surplus hingga Rp 8,9 triliun.

Keseimbangan primer tahun 2013 diprakirakan akan defisit Rp 120,8 triliun, dan beberapa ekonom memprakirakan tahun 2014 masih terjadi defisit keseimbangan primer hingga Rp 30 triliun karena tidak optimalnya penyerapan pajak akibat perlambatan ekonomi global.

Neraca keseimbangan primer adalah realisasi pendapatan negara dikurangi dengan realisasi belanja negara, di luar pembayaran utang. Dalam upayanya untuk mengendalikan keseimbangan primer, pemerintah merencanakan mengoptimalisasikan pendapatan negara dan memperbaiki struktur belanja melalui pembatasan beberapa pos belanja.

Secara teoritis, defisit dalam jangka pendek akan menekan inflasi, hal ini diperlukan mengingat inflasi pada tahun ini mencapai 8%, namun akibatnya pertumbuhan PDB akan melambat. Sedangkan kebalikannya dalam jangka panjang akan mendorong PDB dan menyebabkan inflasi. Kenaikan defisit primer juga akan menurunkan defisit neraca berjalan. Jika itu merupakan tujuan pemerintah dan mendorong pertumbuhan memang hal itu layaknya harus diambil pemerintah.

Menurut AFN melihat dari sisi yang lain lewat beberapa kebijakan pajak yang kontradiktif, optimalisasi penerimaan pajak yang ditujukan untuk mengurangi defisit neraca keseimbangan primer yang pada tahun depan masih terjadi.

Pemerintah berusaha mengoptimalisasi penerimaan terutama lewat pajak, namun pemerintah justru memberikan kebijakan insentif pajak diantara untuk investor industri tambang, industri barang subtitusi dari kebutuhan impor dan pajak untuk mobil murah ramah lingkungan. Pengurangan pajak untuk produksi barang pengganti impor memang seharusnya dilakukan karena ini akan membantu menekan defisit yang selama ini terjadi.

AFN melihat pemberian insentif untuk ekspor tambang ini ada sisi positif dan negatifnya. Sisi posotifnya defisit akan tertekan dengan semakin banyaknya ekspor tambang. Namun sisi negatifnya, ekspor tambang dan produk tambang yang masih merupakan raw material justru mengurangi keunggulan kompetitif nilai barang tersebut. Jika hasil tambang selain energi dapat diolah didalam negeri akan meningkatan nilai juga bisa menekan defisit karena mengeskpor barang dengan nilai yang lebih tinggi.

Disisi lain pemberian kebijakan insentif pajak untuk mobil murah ramah lingkungan jga ada sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya, dengan semakin banyaknya produksi mobil murah dan tumbuhnya kelas menegah maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi terutama dari sisi konsumsi rumah tangga.

Menurut AFN sisi negatifnya justru kemungkinan lebih besar. Subsidi BBM akan semakin membesar, lebih dari Rp 210 triliun subsidi dikeluarkan untuk BBM dan berpotensi meningkat. Selain itu, biaya sosial efek kemacetan justru akan menekan pertumbuhan ekonomi karena distribusi barang terhambat. Biaya distribusi barang berpotensi meningkat sehingga mengurangi daya saing produk di Indonesia dibanding negara ain seperti China.

Hutang pemerintah vs PDB
Tahun 2012 lalu tercatat hutang pemerintah RI mencapai Rp 1.975 triliun atau sebesar 24% dari PDB RI, untuk tahun 2013 ini direncanakan oleh pemerintah hutang mencapai Rp 2.198 triliun atau menurun rasionya terhadap PDB menjadi 23,4% dan untuk 2014 mendatang direncanakan hutang bertambah menjadi Rp 2.384 triliun dengan rasio turun menjadi 22,97%.

Dalam upayanya untuk menurunkan rasio utang terhadap PDB, pemerintah mengarahkan aliran dana pembiayaan negara lewat pos-pos yang produktif sehingga menghindari negative net flow pada APBN.

Berdasarkan jumlah, hutang pemerintah RI semakin tahun semakin bertambah karena defisit setiap tahun selalu tercatat. Untuk menutup defisit, negara perlu pembiayaan satu-satunya yaitu dari penerbitan surat hutang negara.

AFN melihat justru sebaiknya jangan hanya terjebak pada rasio hutang pemerintah terhadap PDB yang trennya turun. Yang perlu dilihat adalah bagaimana efektivitas hutang tersebut di dalam peningkatan PDB. Artinya, apakah peningkatan PDB yang sekarang terjadi sungguh merupakan efek hutang itu?

Kalau tidak, maka perlu dikuatirkan bahwa jumlah hutang yang naik dan terus bertambah di masa mendatang akan