Wednesday, September 25, 2013

Pendapatan Borneo Nyaris Tidak Ada di Kuartal Kedua 2013

Jakarta, 26 September 2013 - PT Borneo Lumbung Energi Tbk (BORN) menerbitkan laporan keuangannya pada hari ini, terlambat dan tidak diaudit, dan melaporkan pendapatan sebesar US$153.5juta. Angka tersebut turun lebih dari 52% dibandingkan periode yang sama tahun 2012. Bulan April - Juni, pendapatan hanya tercatat US$14,89 juta, padahal Januari - Maret pendapatan Borneo masih US$ 138,61 juta.

Turunnya pendapatan tersebut dikarenakan penurunan ekspor yang sangat signifikan, mengingat bahwa Borneo tidak memiliki pasar domestik. Seluruh penjualan ekspor Borneo dilakukan kepada Noble Resources International, trader komoditi internasional

Sebelumnya penjualan di pasar domestik tidak ada, namun di tahun ini, Borneo mulai menjual batubaranya pada pasar lokal walaupun kontribusinya masih sangat kecil, yaitu 1,4% dari total pendapatan.


Sementara itu Borneo  juga mengalami rugi bersih sebesar US$ 111,05 juta akibat besarnya beban pokok pendapatan karena naiknya beban overburden dan processing batubara dan biaya logistik.

Di sisi biaya pendanaan, terdapat biaya lainnya yang naik signifikan menjadi US$17,44 juta dari sebelumnya hanya US$1,75 juta, serta biaya bank sebesar US$ 2,71 juta yang sebelumnya tidak ada. Kenaikan biaya ini disebabkan oleh sulitnya pembayaran biaya-biaya operasional yang naik tanpa disertai kenaikan pendapatan yang seimbang.

Namun demikian, Borneo masih tetap dapat mempertahankan arus kas positif dari aktivitas operasionalnya. Apalagi rasio PBV Borneo masih 1,64x, tergolong kecil untuk perusahaan batubara walaupun dalam keadaan seperti ini sekalipun.


Bakrieland Boleh Tenang Sementara

Jakarta, 26 September 2013 - PT Bakrieland Development, Tbk (ELTY) yang baru-baru saja dimohonkan pailit oleh wakil krediturnya, The New York Bank Mellon cabang London terkait dengan opsi put pada equity-linked bonds-nya, boleh bernapas lega sebentar. Permohonan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) sudah resmi ditolak oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Untuk sementara waktu Bakrieland dapat beroperasi normal sambil meneruskan proses restrukturisasi utangnya. Akan tetapi para kreditur Bakrieland mengatakan bahwa mereka akan melanjutkan prodesur hukum untuk mendapatkan hasil terbaik dari kasus ini, kendati telah mendapat penolakan pengadilan.

Sebelumnya, 20 Maret 2013 lalu, pemegang obligasi ELTY melaksanakan hak put option (hak untuk menagih pokok pinjaman equity-linked bonds ELTY sebelum jangka waktu obligasi berakhir) dengan jumlah mencapai US$ 151 juta atau setara dengan 97,4% dari jumlah obligasi yang diterbitkan.

Beberapa skenario restrukturisasi yang ditawarkan ELTY di antaranya memberikan jaminan aset berupa tanah seluas 500 ha di Bogor atau di Sentul senilai US$ 160 juta. Tapi restrukturisasi berjalan lambat dan tidak mencapai keputusan yang dinilai wajar oleh kedua pihak, sehingga muncul permohonan PKPU.


Dengan penolakan ini, maka saham ELTY diharapkan akan segera dapat dilepaskan suspensinya dan Bakrieland dapat beroperasi lagi secara normal. Akan tetapi kekuatiran masih tetap menggantung: apakah Bakrieland punya strategi untuk keluar dari jeratan utang ini dan muncul sebagai pemenang?

Tjiwi Kimia Ekspansif dan Terdiskon

Jakarta, 25 September 2013 - PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM), milik Sinarmas Group, mulai terlihat ekspansif dengan pembelian 35,29% kepemilikan PT Oki Pulp & Paper Mills senilai Rp 300 miliar atau US$ 30 juta. Kini, saham tersebut dijaminkan untuk mendapatkan pinjaman senilai sama dari China Development Bank untuk pembangunan pabrik pulp terbesar di Indonesia bahkan Asia.

Pembelian OKI  Pulp pada tanggal 11 Juli ini adalah untuk melengkapi lini produk Tjiwi Kimia untuk kertas dan tisu. Sebelumnya diberitakan bahwa pada awal Februari 2013 OKI  Pulp akan membangun pabrik pulp terbesar di Indonesia, berkapasitas 2,6 juta ton  kertas dan 500 ribu ton tisu per tahun, akan dibangun, Investor dari Hongkong dikabarkan akan menginvestasikan dana sebesar Rp 27 triliun. Dari lahan 350 ribu hektar HTI di OKI  saat ini, 2800 ha disediakan untuk operasional pabrik, 1500 ha akan menjadi lahan pabrik sisanya akan menjadi ruang terbuka hijau 3%,  infrastruktur 5%, dan prasarana umum 5%.

Kepemilikan atas saham tersebut dibuat agunan untuk meminjam dengan jumlah yang sama dari CDB. Dana pinjaman akan digunakan untuk melanjutkan pembangunan pabrik itu.  Untuk pembangunan pabrik tersebut PT OKI menargetkan investasi  mencapai US$3 milyar dimana produksi komersial pulp dan tissue direncanakan pada kuartal kedua tahun 2016.

Tahun ini, Tjiwi Kimia telah menganggarkan capex US$ 140-150 juta yang akan diperoleh dari kas internal dan pinjaman untuk menambah pabrik dan pembangkit listrik. Tjiwi Kimia berencana membangun pembangkit listrik berkapasitas 90MW dengan investasi US$100 juta, sehingga total kapasitas yang dimiliki akan menjadi 140MW. Selain itu Tjiwi Kimia juga menganggarkan US$ 40-50 juta untuk perbaikan mesin. Posisi kas Tjiwi Kimia sampai 30 Juni 2013 adalah US$ 57.53 juta.

Saat ini Tjiwi Kimia telah mencatatkan kinerja pendapatan yang stabil, serta arus kas yang positif, walaupun sempat negatif di semester I 2013 karena penerimaan kas dari pelanggan yang lebih kecil daripada pembayaran kepada pemasok, yang disebabkan oleh pelemahan Rupiah.

Dengan kinerja yang stabil dan potensi pertumbuhan yang besar setelah pembangunan pabrik jadi, maka harga kini TKIM sangat menarik. Price to earnings saat ini hanya 6,3x dengan Price to book value 0,3x. Namun struktur utang yang cukup besar dalam mata uang Rupiah akan memberikan risiko nilai tukar tersendiri yang kurang menguntungkan bagi perusahaan yang pelaporannya menggunakan dolar ini.

Tuesday, September 24, 2013

Seeking Alpha Rekomendasikan Indosat

Jakarta, 23 September 2013 - "Indosat adalah bayi yang dilempar keluar dengan air mandi,"demikian judul artikel Mike Arnold di Seeking Alpha. Di luar dari risiko mata uang, maka Indosat kini sedang diskon besar-besaran, menurutnya. Harga wajar, menurutnya, adalah Rp 5.500, atau 30% lebih tinggi daripada harganya sekarang.

Kondisi koreksi harga besar-besaran serta keengganan investor terhadap risiko baru-baru ini terhadap saham-saham di negara berkembang, telah membuat beberapa saham berfundamental baik tertekan dan tidak dapat naik lagi. PT Indosat Tbk (ISAT), menurut Arnold, adalah salah satu saham ini. 

Indosat adalah penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi yang terintegrasi, menawarkan jasa telekomunikasi di Indonesia dan luar Indonesia. Indosat juga adalah operator seluler kedua terbesar di Indonesia berdasarkan jumlah pelanggan dan penyedia jasa telekomunikasi jarak jauh yang terbesar di Indonesia.

Neraca Indosat dikelola secara konservatif. Utang kotor hanya tercatat US$ 1,93 miliar pada Juni 2013, mengimplikasikan rasio utang ekuitas 1,12; utang/EBITDA 2,11; dan EBITDA/beban keuangan 6,16x. Sedangkan tidak ada utang berdenominasi mata uang asing yang jatuh tempo dalam waktu dekat berjumlah besar. Yang terdekat adalah tahun 2016/2017 sebesar US$ 220 juta, di 2019 sebesar US$ 140 juta, dan US$ 650 juta di tahun 2020. 

Valuasi menunjukkan Indosat masih sangat murah. TTM EV/EBITDAnya 3,9x yang artinya investor tidak rela membayar untuk pertumbuhan ataupun free cash flow Indosat. Di tahun 2012, Indosat menghasilkan US$ 445 juta free cash flow, sementara pertumbuhan pendapatan 14%. Bukan kinerja yang buruk, menurut Arnold. 

Dengan kinerja ini, seharusnya wajar bila investor menghargai 10 - 15x TTM EV/FCF atau 5x TTM EV/EBITDA karena Indosat sedang di tahap pertumbuhan. Indosat mentargetkan US$ 1,17 miliar di tahun 2013, dan target ini wajar mengingat Indosat adalah perusahaan yang tumbuh sehat di ekonomi yang sedang berkembang dan memiliki populasi keempat terbesar di dunia, dengan barriers to entry yang tinggi. 


Risiko yang perlu dicermati selain makroekonomi, adalah skandal terkait dengan penggunaan frekuensi 2,1Ghz yang kasus hukumnya masih berlangsung namun diyakini tidak akan merugikan perusahaan lebih dalam lagi. 

Indosat juga sempat menerima opini qualified dalam audit keuangannya karena kontrol internal manajemen terhadap pelaporan finansial. Akan tetapi opini ini mungkin terkait dengan sale-and-leaseback menara kepada PT Tower Bersama Infrastructure, Tbk (TBIG)yang akuntansinya memang sangat rumit. Artinya kontrol internal manajemen mungkin berada dalam kondisi yang baik.


Friday, September 20, 2013

Berencana Membangun Pabrik Naphtha Cracker, Chandra Asri dan Barito Pacific Naik Signifikan


Jakarta, 20 September 2013 – PT Chandra Asri Petrochemical, Tbk (TPIA) dan PT Barito Pacific, Tbk (BRPT) reli selama bulan September setelah ada rencana Perseroan untuk meningkatkan kapasitas produksi dengan membangun pabrik di Cilegon, Banten.

Harga saham Chandra Asri naik 59% sejak awal September,  pada harga Rp 3.950 dan bahkan sempat pada level tertinggi pada Rp 4.900. Sementara itu, Barito Pacific sebagai induk perusahaan yang 99% pendapatan disumbang dari Chandra Asri sempat mencapai harga Rp 490 dibandingkan penutupan Agustus lalu pada Rp 425 per saham sebagai dampak ikutan kenaikan anak usahanya.

Chandra Asri adalah salah satu produsen petrokimia terbesar di Indonesia. Chandra Asri dimiliki sebesar 59% oleh Barito Pacific. Chandra Asri memproduksi Ethylene, Propylene, Mixed C4 dan Pyrolysis Gasoline (Py-gas) untuk pasar  Indonesia dan ekspor. Sementara Barito Pacific merupakan perusahaan perdagangan dibidang petrokimia, industri kayu, tambang, dan infrasturktur tambang.

Chandar Asri baru saja menandatangani kontrak dengan Toyo Enginering Corporation untuk pembangunan plant  yang akan meningkatkan kapasitas produksi hingga 43% yang diumumkan di otoritas bursa pada 13 September 2013 lalu. Proses pembangunan fasilitas pengolahan Naphtha Cracker tersebut dimulai pada kuartal ketiga tahun ini dan diharapkan dapat sepenuhnya selesai dan mulai beroperasi pada akhir tahun 2015.

Chandra Asri akan mengeluarkan pendanaan untuk belanja modal sebesar US$ 380 juta. Pendanaan tersebut bersumber dari ekuitas dan pinjaman. Saat ini Chandra Asri masih mengupayakan efektivitas porsi pendanaan tersebut.

Di antara produksi yang diharapkan meningkat diantaranya kapasitas produksi ethylene yang akan mencapai 860 ribu ton per tahun  dibanding kapasitas produksi saat ini sebesar 600 ribu ton per tahun. Sebagai produk sampingan, kapasitas produksi propylene juga diprakirakan akan naik menjadi 470 ton dari sebelumnya 150 ton. Produksi produk sampingannya juga, Py-Gas diharapkan akan naik menjadi 400 ribu ton dan produk Mixed C4 hingga 315 ribu ton dari sebelumnya 95 ribu ton.

Kinerja keuangan Chandra Asri melambat, BRPT bahkan tercatat rugi
Selama kuartal pertama 2013 lalu, Chandra Asri mencatatkan kontraksi penjualan sebesar 1% menjadi sebesar US$ 590 juta dari sebelumnya US$ 597 juta. Namun, biaya produksi yang dapat ditekan hingga 2% membuat laba kotor menguat 15% menjadi US$  20,6 juta dibanding sebelumnya US$ 17,9 juta. Laba operasi Chandra Asri naik 50% menjadi US$ 3,6 juta dibanding kuartal sebelumnya US$ 2,4 juta.

Namun laba bersih berhasil tumbuh menjadi US$ 573 ribu dibanding kuartal pertama tahun lalu rugi hingga US$ 15.000. Pencapaian laba positif Chandra Asri karena berhasil menekan biaya keuangan menjadi US$ 6 juta dari sebelumnya US$ 13 juta, beban umum dan administrasi juga mengalami penurunan  dan pencatatan keuntungan selisih kurs.

Sementara itu, Barito Pacific yang 99% pendapatan berasal dari Chandra Asri, justru membukukan kinerja negatif. Penjualan searah dengan Chandra Asri yang turun 1%.  Namun, laba kotor naik 7% menjadi US$ 18,9 juta dari sebelumnya US$ 17,7 juta. Tetapi Barito Pacific  masih mencatatkan rugi akibat tingginya beban finansial, penjualan dan biaya administrasi.  Rugi bersih Barito Pacific   tercatat sebesar US$ 6 juta, namun rugi tersebut turun dibanding tahun sebelumnya sebesar US$ 24 juta.

AFN merekomendasikan secara fundamental kinerja Chandra Asri lebih bagus dibanding induk usahanya Barito Pacific. Jika harus memilih untuk membeli kedua saham tersebut, saham Chandra Asri lebih diunggulkan untuk  dipilih. Namun, yang menjadi kendala, volume perdagangan saham Chandra Asri dibanding Barito Pacific yang rendah akan menambah risiko pasar.



Pertumbuhan SILO Lebih Baik daripada SRAJ,Industri Rumah Sakit Menarik

Jakarta, 19 September 2013 - PT Siloam International Hospitals, Tbk (SILO) secara fundamental lebih baik daripada PT Sejahteraraya Anugrahraya, Tbk (SRAJ). Secara lebih luas, industri rumah sakit/ kesehatan di Indonesia akan makin menarik.

Siloam membukukan pertumbuhan 42% di tahun 2012, dan potensi pertumbuhannya pada tahun ini melihat dari kinerja sampai bulan Aprilnya adalah 47%. Sedangkan Sejahteraraya membukukan pertumbuhan 16,1% di tahun 2012, dan tahun ini mungkin tercatat 13,5%.

Walaupun dari sisi pertumbuhan lebih baik, akan tetapi SILO dan SRAJ bersaing dalam hal kinerja profitabilitas. Marjin laba kotor SILO 25% sementara SRAJ 46,5%. Marjin laba bersih SILO 2,8% sementara SRAJ 2,4%. Tetapi imbal hasil atas ekuitas SILO lebih besar yaitu 25,7% (sebelum IPO), sementara SRAJ yang sudah lebih dulu IPO hanya 0,7%.


Rasio liabilitas terhadap ekuitas SILO memang lebih tinggi yaitu 7,07x dibandingkan SRAJ yang hanya 0,89x. Akan tetapi setelah disesuaikan dengan dana IPO yang diterima yaitu sekitar Rp 1,46 triliun, maka rasio kedua perusahaan tersebut menjadi sebanding.

Di luar dari kinerja yang telah terjadi, maka AFN melihat bahwa industri rumah sakit ke depannya akan menjadi menarik. Indonesia memiliki statistik kesehatan terendah dibandingkan negara-negara tetangganya. Masih banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh oleh jasa rumah sakit, dan tingkat kepercayaan atas rumah sakit memang masih rendah.

Karena itu rumah sakit-rumah sakit seperti Siloam dan Mayapada mulai membentuk brand equity yang kuat dari sisi kualitas pelayanan. Bertolak dari brand equity tersebut, mereka membentuk cabang-cabang dengan nama/ brand yang sama untuk meningkatkan kepercayaan penduduk atas rumah sakit.

Model bisnis rumah sakit yang seperti ini adalah yang makin terlihat berkembang di Indonesia, seperti RSIA Hermina, RSIA Bunda, RS Pondok Indah, Siloam Hospital, Mayapada Hospital dan sebagainya.

Apalagi terlihat dari riset WHO berikut ini bahwa pengeluaran untuk kesehatan makin lama makin tinggi didukung oleh makin matangnya industri asuransi di Indonesia, serta makin baiknya tingkat pendidikan di Indonesia.

Thursday, September 19, 2013

Meskipun Pendapatan Tumbuh, Laba GEMA Terkontraksi Akibat Beban Usaha Tinggi

Jakarta, 19 September 2013 - PT Gema Grahasarana Tbk (GEMA) yang tergabung dalam grup Vivere, mencatatkan pertumbuhan pendapatan hingga 24,09% menjadi Rp 370 miliar dibanding kuartal kedua tahun lalu sebesar Rp 298 miliar. Namun laba per saham Gema justru turun turun  menjadi Rp 139 dari sebelumnya Rp 142. Penurunan laba tersebut akibat naiknya beban usaha, beban gaji dan biaya lain.

Gema Grahasarana Tbk adalah perusahaan kontraktor interior dan furnitur kelas menengah keatas. Gema tergabung dalam grup Vivere yang terkenal sebagai salah satu pioner perancangan interior untuk perkantoran. Proyek-proyek besar yang pernah dikerjakan GEMA adalah office room PT BMW Indonesia, PT BASF  Indonesia, Senayan Trikarya Sempama, Stand Toyota dan Gaikindo di Indonesia Motor Show dan Olive Tree Nikko Hotel.

Pendapatan GEMA didorong dari penjualan interior, furnitur mekanis dan listrik naik 31,2% menjadi sebesar Rp 289 miliar dari sebelumnya Rp 220 miliar. Penjualan dari interior dan furnitur menyumbang 77,94% dari total penjualan pada kuartal kedua tahun 2013 ini atau naik dari tahun lalu yang hanya sebesar 74% dari total pendapatan.  Dari segmen penjualan laminasi mencatatkan kenaikan 5,6% menjadi Rp 76 miliar dari sebelumnya Rp 72 miliar.

Laba kotor GEMA pada kuartal kedua ini sebesar Rp 86 miliar atau naik 8,68% dibanding dengan tahun lalu sebesar Rp 79 miliar. Marjin laba kotor tercatat sebesar 23,65% atau turun dibanding tahun lalu sebesar 26,66%. Penurunan marjin ini diakibatkan kenaikan beban pokok penjualan lebih besar dari pada kenaikan penjualan. Kenaikan beban pokok penjualan tercatat sebesar 29,96% menjadi sebesar Rp 284 miliar dari sebelumnya Rp 219 miliar.

Laba usaha GEMA terkontraksi 3,52% menjadi Rp 36 miliar dari sebelumnya Rp 37,5 miliar. Penurunan ini akibat kenaikan beban usaha hingga Rp  50 miliar dari sebelumnya Rp 42 miliar. Kenaikan beban usaha terbesar dari beban gaji dan tunjangan yang naik menjadi Rp 24 miliar dibanding periode sebelumnya sebesar Rp 20 miliar. 

Laba sebelum pajak GEMA tercatat  naik menjadi sebesar Rp 32 miliar dari sebelumnya Rp 31 miliar. Kenaikan ini didorong oleh kenaikan pendapatan sewa, penurunan kapasitas menganggur seperti penyusutan, asuransi dan pemeliharaan, penurunan beban bunga dan penurunan selisih kurs. Namun dari sisi beban bunga walaupun tercatat turun, namun, masih cukup tinggi hingga mencapai Rp 3,4 miliar dengan rasio EBITDA terhadap beban bunga mencapai 7,34 kali. Rasio hutang terhadap modal (DER) tercatat 0,41 kali atau turun dari sebelumnya 0.61 kali.

Meskipun laba usaha sedikit mengalami kenaikan, namun, laba  bersih GEMA tercatat turun 2,46% menjadi Rp 22,23 miliar dari sebelumnya Rp 22,78 miliar. Penurunan ini akibat keanikan beban pajak pada kuartal kedua 2012 ini mencapai Rp 10 miliar. Tercatat rasio pengembalian modal (ROE) juga turun menjadi 26,82% dari sebelumnya 32%.

Dari sisi neraca, aset GEMA turun 0,55% menjadi Rp 426 miliar dari sebelumnya Rp 429 miliar. Penurunan ini terjadi seiring menurunya working capital atau modal kerja, tercatat modal kerja turun menjadi Rp 133 miliar dari sebelumnya Rp 173 miliar. Dari sisi aset yang mengalami penurunan signifikan adalah  proyek dalam perlaksanaan diatas kemajuan termin (progress billings) mejadi sebesar Rp 118 miliar dari sebelumnya Rp 146 miliar dan kas yang turun dari Rp 19 miliar menjadi 9 miliar. Rasio pengembalian terhadap aset (ROA) tercatat sebesar 10,40% atau turun dibanding periode lalu sebesar 11,2%. 

Prospek ke depan.
AFN melihat meskipun kinerja keuangan flat pada kuartal kedua, namun, potensi pertumbuhan GEMA masih besar.

Kinerja GEMA masih didorong pertumbuhan ruang kantor. Pertumbuhan properti yang tinggi di Jakarta menjadi oportunitas dan pendorong industri perancangan interior. GEMA juga adalah salah satu kontraktor interior terbesar di Jakarta.

Hingga akhir 2013 mendatang, diprakirakan ruang kantor di Jakarta mencapai 7 juta m2. Pasokan ruang kantor bertambah 51.000 m2 pada kuartal pertama tahun ini, sementara pada tiga bulan di kuartal kedua  pasokan ruang kantor bertambah hingga mencapai 132.873 m2. Diprakirakan pada semester kedua 2013 ini, pasokan ruang perkantoran bertambah hingga 128.035 m2. Ini adalah pasar raksasa bagi GEMA.

Yang menjadi kendala adalah kenaikan suku bunga acuan BI yang mencapai 7,25% akan membebani bisnis properti dan cenderung menekan pertumbuhan GEMA dalam jangka pendek.

Wednesday, September 18, 2013

Asing Kembali Masuk Pasar Modal

Jakarta, 18 September 2013 - Investasi asing sudah mulai mengalir kembali ke Indonesia begitu Larry Summers mundur dari pemilihan Gubernur The Fed, meninggalkan Janet Yellen sebagai calon terkuat. Walaupun belum final, akan tetapi optimisme dan kepercayaan investor kembali pulih, dan sebagai reaksinya adalah mereka mulai masuk kembali ke emerging markets.

Ekspektasi pasar adalah Rapat The Fed (FOMC) berikutnya akan memutuskan pemangkasan secara bertahap, sehingga pemangkasan yang ditakutkan itu sebenarnya masih lama. Tetapi sampai keputusan itu diumumkan, jangan mengharapkan adanya peningkatan signifikan atas arus masuk investasi asing.

Investasi asing sudah  mulai melakukan net buy terutama pada Surat Berharga Negara (SBN) yang bertambah Rp 2,08 triliun, menjadi Rp 285,6 triliun per  13 September, dari Rp 283,52 triliun per 9 September. Sementara di pasar saham, asing sudah masuk sebesar Rp 1,78 triliun di bulan September sampai dengan 17 September, setelah melakukan net sell selama 3 bulan berturut-turut.

AFN melihat bahwa dana yang masuk pada bulan September ini adalah dana yang diparkir sementara menunggu kepastian dari AS. Kalaupun Janet Yellen terpilih, stimulus tetap memiliki umurnya sendiri, sehingga dana tersebut juga masih merupakan dana yang sementara.

Tetapi keadaan sementara dari dana itu tidak membuat Indonesia harus berkecil hati, sebaliknya menggunakan kesempatan ini untuk melakukan beberapa aksi segera, di antaranya:
1. Perbaikan kondisi infrastruktur yang dapat menopang kondisi ekonomi dalam jangka panjang
2. Peningkatan edukasi pasar modal yang lebih agresif untuk mengembangkan basis pelaku pasar modal domestik, dan
3. Memastikan tidak ada konflik pada pemilu tahun depan.

Bank Mega Melambat, Kredit Syariah Turun, Laba Bersih Tertekan.

Jakarta, 18 September 2013 - Kredit dan pembiayaan syariah PT Bank Mega Tbk (MEGA) turun 17% dibandingkan posisi semester kedua tahun lalu sebesar Rp 30,7 triliun. Penurunan kredit ini menekan laba bersih Bank Mega 73% menjadi Rp 245 miliar pada semester pertama 2013 ini dibanding Rp 909 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Kualitas aset juga turun.


Aset Bank Mega turun 17% menjadi Rp 54 triliun dari akhir tahun lalu sebesar Rp 65 triliun. Kredit dari pihak ketiga tercatat turun 5,59% menjadi Rp 25,1 triliun dari akhir tahun lalu sebelumnya Rp 26,6 triliun. Penurunan terbesar terjadi pada kredit konsumsi sebesar 9,37% menjadi Rp 11,51 triliun dibanding akhir tahun, kredit investasi turun 2,87% menjadi Rp 8,78 triliun, sementara kredit modal kerja turun 0,82% menjadi Rp 4,9 triliun dibanding akhir tahun lalu.

Kredit yang masuk dalam pengawasan naik 21% menjadi Rp 684 miliar dari sebelumnya Rp 566 miliar. Hal ini membuat rasio non performing loan (NPL) bruto menjadi 2,68% atau naik dari tahun lalu sebesar 2,1%. NPL netto naik menjadi 1,95% dari sebelumnya 0,97%.

Dari sisi pendapatan, pendapatan bunga dan pembiayaan syariah Bank Mega turun 18% menjadi Rp 2,29 triliun dari Rp 2,78 triliun pada kuartal kedua tahun lalu. Penurunan pendapatan ini akibat penurunan kredit yang terjadi sejak tahun lalu. Beban bunga yang ditanggung Bank Mega juga turun 17% menjadi Rp 903 miliar dari sebelumnya Rp 1,08 triliun. Penurunan beban bunga ini juga akibat turunnya simpanan pihak ketiga yang membuat pembayaran bunga simpanan dan deposito lebih rendah. Pendapatan bunga bersih Bank Mega turun 19% menjadi Rp 1,39 triliun. Penurunan tersebut menekan net interest margin (NIM) yang juga tercatat turun sebesar 5,64% dari sebelumnya 5,66%.

Dari sisi pendapatan operasional, Bank Mega membukukan penurunan sebesar 20% menjadi Rp 362 miliar dibanding kuartal kedua tahun lalu sebesar Rp 450 miliar. Walaupun Bank Mega mencatatkan kenaikan pendapatan komisi dan provisi sebesar 15,86% menjadi sebesar Rp 396 miliar dibanding dengan periode sebelumnya sebesar Rp 342 miliar, namun Bank Mega mencatatkan kerugian pada perubahan nilai wajar intrumen keuangan yang signifikan hingga Rp 223 miliar dibanding periode sebelumnya yang hanya tercatat rugi Rp 39 miliar sehingga hal ini menekan pendapatan operasi.

Rasio biaya operasional dan pendapatan operasional Bank Mega naik sebesar 88,56% dibanding periode lalu sebesar 69,53%. Kenaikan beban ini membuat laba sebelum pajak juga turun signifikan hingga 69% menjadi Rp 317 miliar dibanding tahun sebelumnya mencapai Rp 1,03 triliun.

Laba bersih Bank Mega tercatat turun menjadi Rp 245 miliar dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 909 miiar. Laba bersih per lembar saham secara anual tercatat sebesar Rp 70 atau turun dibanding tahun lalu sebesar Rp 262 . tingkat pengembalian modal (return on equity) juga turun signifikan menjadi 9,04% dibanding tahun lalu sebesar 33,82%.

Simpanan ke Bank Mega turun.

Simpanan pihak ketiga Bank Mega tercatat turun sebesar 11% menjadi Rp 42,27 triliun dari sebelumnya Rp 47,63 triliun. Simpanan berasal dari deposito berjangka turun 20% menjadi Rp 21,82 triliun dari sebelumnya Rp 27,23 triliun. Sementara untuk simpanan berupa tabungan justru naik tipis 0,31% menjadi Rp 13,3 triliun dari sebelumnya Rp 13,2 triliun. Giro dari pihak ketiga tercatat juga naik tipis 0,06% menjadi Rp 7,14 triliun dari sebelumnya Rp 7,13 triliun.

Dari sisi pembiayaan, menurunnya deposito yang memberikan cost of fund hingga 2,55% seharusnya merupakan poin positif, namun hal ini tidak diimbangi dengan kenaikan pendanaan dari sisi giro dan tabungan yang memberikan cost of fund lebih kecil. Sehingga dana pihak ketiga Bank Mega tetap terkontraksi.

AFN melihat bahwa ke depan, tantangan untuk Bank Mega semakin besar. Bank Mega telah melambat disaat bank-bank lain mencatatkan pertumbuhan pada semester pertama 2013 ini.

Diprakirakan pertumbuhan kredit perbankan nasional pada semester kedua hanya tumbuh rata-rata 18% ditengah perlambatan ekonomi nasional dan ancaman pemangkasan stimulus the Fed yang akan menekan kinerja industri keuangan. BI yang telah menaikkan suku bunga acuan empat kali sejak Mei 2013 atau sejak rumor the Fed akan memangkas stimulusnya sebesar 150 basis poin menjadi 7,25% untuk menekan pelemahan nilai tukar Rupiah. Hal ini juga akan menekan kinerja Bank Mega, dimana pemodal besar berpotensi menempatkan portofolionya ke save heaven seperti emas atau properti dari pada menempatkan dana di bank. Kredit perbankan juga diprakirakan terkontraksi karena tekanan kenaikan suku bunga.

Apakah Bank Mega dapat mengoptimalkan penyaluran kredit dari pihak berelasi meskipun konsekuensinya memberikan marjin bunga yang relatif rendah? Afiliasi dengan grup yang tergabung dengan CT Crop, pemilik mayoritas saham Bank Mega, memberikan potensi yang besar. Namun, kredit yang disalurkan kepada pihak berelasi hanya sebesar Rp 336 miliar atau 1,32% dari total kredit dan pembiayaan syariah.

Pertanyaannya, bagaimana strategi Bank Mega ke depan? Apakah mengoptimalkan captive marketnya, atau berusaha menerobos pasar tak terafiliasi? Dua-duanya meminta ketegasan dan ada konsekuensinya.

Monday, September 16, 2013

Bakrieland Siapkan Aset US$ 160 juta untuk Jaminan



Jakarta, 17 September 2013 - PT Bakrieland Development (ELTY) yang dituntut pailit oleh para pemegang obligasinya membuka beberapa skenario restrukturisasi, di antaranya memberikan jaminan aset berupa tanah seluas 500 ha di Bogor atau di Sentul senilai US$ 160 juta.

Sebelumnya AFN telah memprediksi beberapa skenario pelepasan aset yang tersedia bagi ELTY apabila pemegang obligasi menolak tawaran restrukturisasi, atau negosiasi tidak tercapai.Kesimpulan dari skenario itu adalah ELTY dapat membayar utang dengan pelepasan aset-aset, akan tetapi nilainya akan terdiskon sangat besar. Apalagi ELTY juga memerlukan uang untuk pembayaran biaya-biaya operasional.

Pertanyaannya kini, melihat kepada tawaran tersebut, apa yang membuat pemegang obligasi tidak bersedia untuk menerimanya? AFN melihat ada 2 aspek, yaitu aspek makro dan aspek persepsi.

Pertama, aspek makro, di mana penguatan US Dollar terus terjadi dan terjadi perpindahan dana dari emerging markets ke Amerika. Pelemahan Rupiah ditambah dengan peningkatan inflasi dan suku bunga referensi yang sudah mencapai 7,25% membuat bunga obligasi 10% dan tenor 3 tahun ke depan tidak lagi menarik. Investor di Amerika membutuhkan dananya sekarang untuk diinvestasikan di aset-aset AS yang kurang berisiko. Karenanya proses restrukturisasi mungkin akan mendapatkan banyak tantangan di aspek itu.

Kedua, aspek persepsi dari Bakrieland sendiri. Investor kini kurang percaya kepada Bakrie Group salah satunya Bakrieland. Fakta bahwa ELTY sudah melepaskan berbagai aset-aset yang dulu dinilai strategis seperti jalan tol, membuat investor merasa tidak pasti bahwa perusahaan ini masih memiliki nilai tambah yang dapat ditawarkan.

Kekuatiran yang juga muncul adalah karena perang Bakrie dengan Rothschild yang belum selesai serta pencalonannya sebagai presiden membutuhkan dana yang tidak sedikit dan bukan tidak mungkin bila melihat kepada jejak rekam terdahulu, diambil dari perusahaan-perusahaannya termasuk ELTY.

Yang pasti, restrukturisasi ini akan berjalan alot dan membuat posisi ELTY menjadi tidak menguntungkan.

Thursday, September 12, 2013

Mayoritas ASSA Terus Kumpulkan Saham

Jakarta, 13 September 2013 - PT Adi Sarana Armada, Tbk (ASSA), perusahaan penyewaan mobil yang IPO akhir 2012, mengumumkan adanya pengumpulan saham yang terus menerus dari pemilik mayoritasnya. Ini dapat menjadi sinyal kepercayaan bagi pemegang saham minoritas untuk ikut membeli saham yang kini sudah setengah harga IPO-nya itu.

PT Daya Adicipta Mustika, pemilik 7,21% saham ASSA pada 30 Juni 2013, kini telah memiliki 10,67% saham. Pengumpulan saham ini dilakukan terutama pada bulan Agustus dan dilanjutkan pada September ini.

Secara umum pembelian saham oleh pemegang saham mayoritas biasanya mensinyalkan adanya suatu ketidakwajaran pada harga pasar, atau sederhananya, harga terlalu rendah daripada yang seharusnya. Karena pemegang saham mayoritas pada prinsipnya memiliki informasi yang lebih banyak dan kedekatan yang lebih intensif dengan manajemen, maka biasanya sinyal ini adalah sinyal yang kuat.

Harga ASSA sekarang, yakni di level Rp 285/ saham, memang telah di bawah harga IPOnya, yaitu Rp 390. Dengan harga sekarang, rasio harga atas laba (P/E) ASSA masih cukup rendah yaitu 11x, dan rasio harga atas nilai bukunya (PBV) hanya 1,2x. Apalagi melihat pertumbuhan pendapatan dan labanya yang menggiurkan, yaitu 39,9% dan 307,6%, maka rasio ini dapat dikatakan masih moderat.

AFN melihat sinyal ini positif karena:
1. ASSA memiliki potensi pertumbuhan yang pesat, sebagaimana sudah terlihat pada laporan keuangan tahun ini,  terutama apabila pemerintah fokus dan komitmen di dalam pengembangan infrastruktur transportasi.
2. Sebagai perusahaan transportasi yang sahamnya di publik, langkah ASSA untuk berkembang dapat didukung dengan berbagai instrumen keuangan, seperti penerbitan obligasi sebagai alternatif pendanaan, mengakuisisi perusahaan-perusahaan transportasi lain yang bernilai strategis, dan sebagainya.

Akan tetapi sinyal ini juga adalah sinyal jangka panjang, karena:
1. Arus kas ASSA masih negatif, yang menunjukkan bahwa perusahaan ini masih di dalam tahapan pengembangan, dan belum bisa diharapkan untuk memberikan arus kas masuk yang besar.
2. Kapitalisasi pasarnya masih kecil sehingga belum dilirik oleh sebagian besar investor, terutama investor asing
3. Tingkat likuiditasnya rendah walaupun 40% dari sahamnya (sebelum dibeli) beredar di bursa. Dan kini jumlah itu makin kecil dengan adanya pembelian dari Daya Adicipta.
4. ASSA sudah tidak mendapatkan insentif pajak lagi karena saham beredar di publiknya (floating) kurang dari 40%. 

Obligasi ELTY Jatuh Tempo, Restrukturisasi atau Jual Aset?

Jakarta, 12 September 2013 - PT Bakrieland Development, Tbk (ELTY) kembali dihadapkan pada pembayaran obligasi senilai sebesar US$ 155 juta dalam waktu dekat ini. Ancaman gagal bayar kembali membayangi akibat kinerja Perseroan yang menurun. Kemungkinan yang terjadi ELTY akan merestrukturisasi dengan menaikkan bunga obligasi dan perpanjangan waktu atau akan menjual aset untuk menghindari pailit.

Tanggal 20 Maret 2013 lalu, pemegang obligasi ELTY melaksanakan hak put option (hak untuk menagih pokok pinjaman sebelum jangka waktu obligasi berakhir) dengan jumlah mencapai US$ 151 juta atau setara dengan 97,4% dari jumlah obligasi yang diterbitkan. Pemegang obligasi yang menunjuk Bank of New York Mellon sebagai trustee mendaftarkan gugatan pailit ELTY ke Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Jakarta Pusat.

Pemegang obligasi menilai jika obligasi ELTY tidak ditarik akan memberikan dampak kerugian cukup besar. Pasalnya, obligasi ini mempunyai sifat terkait dengan saham, dimana setiap lembar equity linked bonds dengan nominal US$ 100.000 dapat ditukar dengan 2,96 juta lembar saham ELTY. Harga konversinnya sebesar Rp 255. Namun dengan kondisi harga saham ELTY yang berada pada Rp 50 per lembar saham maka potensi kerugian akan sangat besar.

AFN melihat setidaknya ada 2 opsi yang akan terjadi dalam penyelesaian ini. Skenario yang pertama, ELTY akan melakukan restrukturisasi hutang. ELTY dalam proposal restrukturisasi menyebutkan akan menaikkan kupon obligasi melebihi kupon sekarang sebesar 8,62%. Obligasi yang sebelumnya bersifat unsecured bonds tanpa penjamin, akan diubah menjadi secured bonds. ELTY juga menawarkan jatuh tempo obligasi selanjutnya menjadi Maret 2016.

Skenario pertama ini lebih mengurangi risiko terhadap pemegang obligasi karena sifat obligasi ada yang menjamin. Namun belum diketahui lembaga keuangan yang ditunjuk ELTY untuk menjamin obligasi ini. Dari sisi ELTY dan pemegang saham ELTY saat ini jika skenario ini terlaksana, ini lebih menguntungkan karena ada kepastian dan seiring dengan rencana bisnis ELTY.

Skenario yang kedua adalah ELTY tetap membayar obligasi (baik dengan sukarela maupun wajib dipaksa pailit oleh pengadilan) dengan melepas aset yang dimiliki.

Tercatat bagian utang Bank jangka panjang yang harus dibayar tahun ini sebesar Rp 513 miliar dan obligasi sebesar US$ 151 juta. Dalam laporan keuangan tercatat kas ELTY hanya sebesar Rp 311 miliar dan sebagian besar digunakan untuk jaminan operasi hutang jangka pendek Bank. Artinya, ELTY harus melepas sebagian aset yang dimiliki senilai Rp 2 triliun dalam tahun ini. Beberapa aset yang mungkin dijual adalah persediaan, penyertaan saham, dan tanah.

Aset yang dapat dijual cepat adalah persediaan.  Namun nilai persediaan ELTY sebesar 88% masih berupa  tanah dan bangunan dalam pengembangan. Hanya 22% atau Rp 214 miliar berupa aset dan bangunan jadi yang kemungkinan tersedia dijual.

Dari penyertaan saham, ELTY baru saja menambah kepemilikan saham di Mutiara Mahsyur Sejahtera, pengembang perumahan Kahuripan Nirwana Village di Sidoarjo. Pada kuartal pertama 2013 ELTY baru menambah kepemilikan terhadap Kahuripan Nirwana (MMS) menjadi sebesar Rp. 2,34 triliun dari akhir tahun 2012 lalu tercatat Rp 1,15 triliun. Sementara itu, penyertaan saham yang lain hanya senilai Rp 87 miliar dengan kepemilikan terbesar sebesar 50%. Jadi, kemungkinan ELTY tetap mempertahankan penyertaan pada Kahuripan Nirwana Village.

Kemungkinan pelepasan aset yang paling besar adalah melepas sebagian kepemilikan lahan. Tercatat aset tanah ELTY senilai Rp. 4,7 triliun. Sejak awal tahun hingga kuartal pertama 2013 lalu, ELTY tercatat telah melakukan penjualan aset tanah hingga Rp 345 miliar kepada Grup Sinar Mas. 
Tanah yang tersedia untuk dijual senilai Rp 3,55 triliun berupa tanah yang belum dikembangkan, tanah dikawasan real estate sebesar Rp 278 miliar dan bangunan termasuk tanah yang sedang dikembangkan senilai Rp. 1,3 triliun. ELTY juga memiiki persediaan rumah jadi dan apartemen senilai Rp 200 miliar.

Melihat kemungkinan tersebut, ELTY kemungkinan besar akan melepas tanah senilai Rp 341 miliar di kawasan Karet Kuningan yang dulu pernah dijadiin agunan obligasi yang pernah tertunda pembayaran. Tanah yang berada dilampung senilai Rp 115 miliar berpotensi dijual, namun tanah ini belum sepenuhnya matang.

Bila belum mencukupi, maka persediaan real estate berupa rumah dan apartemen sekitar Rp 200 miliar serta tanah untuk dijual sebesar Rp 278 miliar. Sehingga total empat aset tersebut sebesar Rp 934 miliar. Namun nilai equity-linked bond senilai Rp 1,14 triliun, sehingga ada defisit Rp 201 miliar.  Defisit tersebut bisa jadi diambil dari penjualan tanah di Jonggol atau bangunan dan tanah yang sedang dibangun.

Aset yang tersedia tersebut hampir semuanya termasuk lahan yang dikembangkan. Dengan aset yang telah dikembangkan kemungkinan nilai pasar akan lebih tinggi terhadap nilai buku. Aset yang telah matang juga lebih liquid atau lebih cepat laku. Namun, ELTY akan kehilangan potensi kenaikan nilai dimasa mendatang.

Tetapi, apabila pelepasan aset yang dipilih aset tanah yang belum matang seperti sebagian aset di Jonggol, kemungkinan harganya akan terdiskon tinggi. Namun, keuntungan disisi ELTY, hal ini tidak memerlukan biaya investasi lagi.

Dampak skenario pelepasan aset tanah adalah kinerja ELTY dan proyeksi kinerja dimasa mendatang akan menurun dengan pelepasan aset  yang dimiliki. Dari sisi pasar, harga ELTY tetap berada pada Rp 50 per lembar. Harga ELTY sejak Juni 2013 lalu bergerak pada harga Rp 50 per saham.
Kuartal pertama lalu, ELTY membukukan kenaikan penjualan 198% menjadi Rp 1,14 triliun. laba bersih tercatat naik menjadi Rp. 313,3 miliar dari sebelumnya rugi Rp 50 miliar. Namun kinerja positif ELTY ini lebih didorong dari penjualan yang diperoleh dari penjualan tanah dan beberapa aset lain. 


Fast Food Indonesia Bukukan Penurunan Laba Karena Kenaikan Beban Penjualan

Jakarta, 12 September 2013 - PT Fast Food Indonesia, Tbk (FAST) yang baru saja menyerahkan laporan keuangan yang tidak diaudit telah melaporkan penurunan laba di semester ini padahal pendapatannya tumbuh. Hal ini dikarenakan adanya kenaikan pada beban penjualan dan distribusi.

Laba bersih FAST tercatat Rp 49,01 miliar, turun 37,1% dibandingkan periode yang sama tahun 2012, Rp 77,86 miliar. Padahal pendapatannya tumbuh 10,9% menjadi Rp 1,85 triliun dari Rp 1,67 triliun di 2012. Akan tetapi kenaikan beban penjualan dan distribusi yang mencapai 17,3% serta kenaikan beban umum dan administrasi yang mencapai 18,7% menjadi penekan laba. Bersama-sama, keduanya mengikis 57% dari seluruh pendapatan yang diperoleh.

Sebagian besar kenaikan pada beban-beban ini diakibatkan oleh kenaikan beban gaji dan imbalan kerja sebesar 25,5%.Kenaikan ini disebabkan karena adanya kenaikan upah buruh minimal dan bukan karena bertambahnya unit-unit penjualan. Melihat hal ini maka AFN menyimpulkan bahwa tingkat laba yang mencerminkan ROE 9,9% ini akan konsisten.

Beberapa hal yang menarik bagi investor tentang FAST adalah:
1. Dengan makin konsumtifnya masyarakat Indonesia, dan makin berkembangnya trend untuk makan makanan cepat saji di kota-kota besar, maka prospek pasar FAST masih cukup besar;

2. Neraca yang solid mendukung pertumbuhan ke depan, dimana rasio lancar 1,60x dan rasio liabilitas terhadap ekuitas masih aman di 0,89x.

Tetapi ada pula tantangan FAST ke depannya:
1. Makin banyaknya kompetitor yang mengadopsi model penjualan FAST merupakan hal yang harus diwaspadai terutama pada daerah-daerah di mana FAST belum dapat mendominasi.

2. Penjualan FAST sangat tergantung kepada bagaimana kualitas pelayanan jasa diberikan serta lokasi.

3. Harga FAST sudah termasuk tinggi, dengan PER lebih dari 40 kali apalagi dengan kondisi penurunan laba yang mungkin akan konsisten, serta PBV lebih dari 4 kali.

FAST mungkin akan memiliki potensi untuk naik lagi apabila pemilik yang baru, PT Dyviacom Intrabumi, Tbk (DNET) memiliki rencana strategis untuk mengakuisisi bisnis-bisnis makanan cepat saji lainnya dan menjadikan FAST sebagai holding company dari waralaba makanan-makanan cepat saji. Akuisisi ini akan memberikan pertumbuhan anaorganik yang menguntungkan.

Wednesday, September 11, 2013

Timah Kumpulkan Komoditas Timah Dengan Pinjaman Rp 3 Triliun

Jakarta, 11 September 2013 - PT Timah Tbk (TINS) menyiapkan dana Rp 3 triliun dari pinjaman untuk membeli komoditas timah dari sejumlah produsen menyusul diberlakukannya Permendag No. 32 tahun 2013 pada 30 Agustus 2013. Dampaknya, TINS dapat diuntungkan dari ketentuan yang mengatur bahwa penjualan logam timah harus melalui bursa berjangka ini.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 32 tahun 2013 tentang perubahan atas Permendag no. 78 tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Timah membuat sejumlah produsen yang tidak bisa masuk bursa berjangka menjual produknya ke TINS. Sementara itu TINS juga terpaksa mengumumkan kondisi force majeur karena pelanggannya belum terdaftar di bursa berjangka Indonesia.

Bagi TINS, Permendag  ini diberlakukan pada saat yang tepat, yaitu ketika harga timah mulai meningkat lagi sejak menyentuh titik terendahnya di bulan Agustus 2013. Ini membuat TINS tidak terlalu menderita kerugian karena walaupun volume penjualan berpotensi turun, tetapi kenaikan harga dapat menyeimbangkan penurunan itu. 

Berdasarkan data Kemendag, ekspor timah Indonesia pada Juni 2013 naik ke level tertinggi sejak 18 bulan. Ekspor ingot dan solder melonjak 20% menjadi 11.111,4 ton dibandingkan dengan Mei sebesar 9.242,05 ton. Ekspor timah per Juni 2012 sebanyak 9.646,7 ton. Total ekspor timah per semester pertama tahun ini naik 16% menjadi 55.011 ton dibandingkan dengan ekspor periode sama 2012.

Sementara TINS di semester I melaporkan penjualan timah yang turun menjadi hanya sebesar 10.951 metrik ton atau turun 36% dibandingkan periode yang sama tahun 2012 yaitu 17.236 mton. Rata-rata harga timah yang dijual perusahaan adalah US$ 22.882/ton atau 1% lebih tinggi dibandingkan tahun 2012. Harga timah tertinggi yang diterima pada semester ini adalah US$ 25.200/mt. 

AFN melihat bahwa pinjaman jangka pendek sebesar Rp 3 triliun tersebut masih memberikan kontribusi yang positif bagi TINS karena:
1. Tingkat utang TINS masih moderat. Pada saat ini rasio total liabilitas terhadap ekuitas hanya 0,4x. Dengan pinjaman maksimal Rp 3 triliun, rasio tersebut hanya menjadi 1,07x. Rasio lancar masih pada tingkat moderat yaitu 3,08x pada saat ini dan 0,9x bila pinjaman Rp 3 triliun dimaksimalkan. Walaupun demikian, posisi kas TINS cukup memprihatinkan pada Rp 74,90 miliar.

2. Pembelian saat ini bisa menjadi buy on weakness (BOW) sementara penjualan dapat dilakukan TINS pada harga lebih tinggi di kemudian hari sehingga menimbulkan potensi keuntungan. Tapi hal ini hanya dapat dilakukan apabila pengetatan ekspor ini bisa efektif dalam mendorong harga timah dunia. Sementara sebelumnya, analis mengestimasi kenaikan tipis pada harga timah di 2014 menjadi US$ 23.000/ton dari rata-rata harga tahun ini US$ 22.000/ton.

Di sisi lain, JP Morgan mengambil sikap pesimis bahwa pengetatan ekspor ini akan berlangsung lama. Pasalnya, Indonesia masih relatif bergantung kepada ekspor komoditi pertambangan metal, apalagi dengan turunnya harga batubara. JP Morgan menambahkan, pengetatan ekspor baru akan konsisten dan solid apabila diikuti dengan peningkatan kondisi ekonomi Indonesia secara umum sehingga dapat menyeimbangkan potensi penurunan pertumbuhan akibat pengetatan ekspor.


Menjadikan Indonesia Penguasa Timah Dunia
Indonesia yang merupakan eksportir utama timah dunia memang kurang diuntungkan posisinya karena tidak memiliki instrumen untuk berpartisipasi di dalam penentuan harga. Karenanya Gita Wirjawan memberlakukan peraturan ini dengan tujuan agar mencapai harga yang lebih transparan dan dapat menjadi referensi harga timah dunia.

Indonesia saat ini diperkirakan berkontribusi terhadap 24,8% dari pemenuhan kebutuhan dunia, dan 60% terhadap pemenuhan kebutuhan Nickel Pig Iron (NPI) China. 


Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) pada 2 Februari 2012 lalu, sesungguhnya telah menyelenggarakan perdagangan fisik timah batangan melalui Indonesia Tin (INATIN). Namun, INATIN hingga saat ini belum menunjukan kinerja yang signifikan disebabkan para pelaku timah tidak memanfaatkan instrumen tersebut.

Saat ini total anggota BKDI yang siap melakukan transaksi kontrak fisik timah batangan dengan sebanyak 12 perusahaan, antara lain PT Timah Tbk, PT Tambang Timah, PT Refined Bangka Tin, Daewoo International Corporation (Korea), Gold Matrix Resources (Singapura), Great Force Trading (Hong Kong), Noble Resources International (Singapura), Purple Products Pvt Ltd (India), dan Toyota Tsusho Corporation (Jepang). 

Tujuan permendag ini adalah untuk meningkatkan penerimaan royalti, mencegah terjadinya praktek under invoice, mencegah perdagangan timah ilegal, meningkatkan daya saing timah Indonesia serta menjadikan Indonesia penentu harga timah dunia.


Tuesday, September 10, 2013

Duta Anggada Tawarkan Obligasi Berkelanjutan Rp 1 Triliun

Jakarta, 11 September 2013 - PT Duta Anggada Realty, Tbk (DART), pengembang beberapa properti seperti Bapindo Plaza, Chase Plaza, dan Pusat Grosir Jatinegara, menawarkan obligasi berkelanjutan beropsi call dengan total dana yang akan dihimpun Rp 1 triliun. Tahap pertama ini ditawarkan Rp 500 miliar dengan jatuh tempo 5 tahun dan bunga yang dibayarkan setiap 3 bulan.

Dana yang dihimpun akan digunakan untuk melunasi pinjaman berulang kepada Bank Panin  sebesar US$ 20 juta atau Rp 225 miliar. Sisanya sebesar sekitar Rp 275 miliar akan digunakan sebagai modal kerja proyek Icon Towers (Chase Extention) dan Hotel Holiday Inn & Suites.

Pinjaman dari Bank Panin yang akan dibayarkan dengan obligasi ini memiliki tingkat suku bunga pinjaman SIBOR +7,64% dengan pembayaran bunga setiap bulan. SIBOR per Agustus 2013 adalah 0,37% untuk 3 bulan dan 0.57% untuk 1 tahun. Artinya tingkat bunga efektif DART kepada Bank Panin adalah sekitar 8%.

AFN melihat bahwa bila obligasi ini dapat ditawarkan dengan tingkat bunga 8% atau kurang, maka DART memiliki keuntungan untuk mengkonversi pinjaman dari Bank Panin kepada obligasi. Bila tidak, maka konversi hanya akan merugikan perusahaan dan pemegang saham.

Padahal tingkat kupon ORI 010 yang akan diterbitkan diproyeksikan sudah akan mencapai 7,25%. Sementara IBPA memperkirakan tingkat yield untuk obligasi berperingkat A dengan tenor 5 tahun sudah mencapai 11%. DART memperoleh peringkat A- dari Pefindo.Apalagi di dalam obligasi DART terdapat opsi call sehingga secara teoritis hal ini akan berdampak kepada makin tingginya yield yang diminta oleh pembeli.

Kecil kemungkinan DART dapat menghasilkan tingkat bunga yang lebih rendah daripada yang sekarang diterimanya dari Bank Panin. 

Di sisi positifnya, tingkat utang DART sendiri masih cukup moderat. Rasio total liabilitas terhadap ekuitas baru 0,5x, di mana setengah dari total liabilitas itu adalah liabilitas jangka panjang. Kemampuan DART membayar liabilitas jangka pendeknya dengan aset lancar pun cukup, dimana rasio lancar 1,13x.

AFN melihat bahwa konversi dari pinjaman bank kepada obligasi ini dilakukan untuk beberapa hal: (1) untuk mendapatkan tingkat suku bunga tetap sehingga tidak memberikan risiko fluktuasi suku bunga, (2) untuk memberikan lindung nilai kepada fluktuasi nilai tukar Rupiah di dalam kondisi pelemahan Rupiah, dan
(3) pengalihan jaminan kepada bidang-bidang tanah supaya properti-properti yang sudah berproduksi yang tadinya dijaminkan kepada Bank Panin dapat memberikan pemasukan dari sisi lainnya.


Monday, September 9, 2013

Bakrieland Dituntut Pailit oleh BNY Mellon


 Jakarta, 10 September 2013 - PT Bakrieland Development Tbk (ELTY), salah satu perusahaan Grup Bakrie, di dalam keterbukaannya pada hari ini menyampaikan adanya permohonan pailit dari BNY Mellon terkait obligasi dengan opsi put yang dikeluarkan oleh BLD Investment Pte. Ltd. (BLDI. Akibatnya, hari ini perdagangan saham ELTY disuspensi oleh Bursa menunggu keputusan selanjutnya.


Pada tanggal 23 Maret 2010, Entitas Induk melalui BLDI menerbitkan Equity-Linked Bonds sebesar US$ 155 juta yang akan jatuh tempo pada 23 Maret 2015. Hasil penerbitan itu digunakan untuk modal kerja, pembiayaan kembali, keperluan umum ELTY dan untuk mendanai transaksi Equity Swap dengan Credit Suisse.

Pada tanggal 20 Maret 2013, para pemegang obligasi telah melaksanakan put option dengan jumlah sebesar US$ 151 juta atau 97,4% dari jumlah obligasi yang diterbitkan. Proses restrukturisasi telah berjalan sejak saat itu dan sampai akhir bulan Agustus 2013 belum mendapatkan kesepakatan sehingga membuat BNY Mellon sebagai pemegang trust dari para pemegang obligasi memohonkan pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atas ELTY.

Pemilik obligasi melaksanakan hak opsi putnya karena 2 hal: (1) harga saham ELTY sudah jatuh menjadi Rp 50/saham dan tidak akan memberi keuntungan tambahan untuk pemilik obligasi bila dipegang sampai jatuh tempo, dan (2) Risiko Indonesia yang mulai meningkat seiring dengan pelemahan nilai tukar, dan pelemahan kinerja ELTY sendiri memberikan dorongan risiko bagi obligasi yang diterbitkan oleh BLDI.

ELTY memiliki tingkat leverage yang cukup besar terutama pada liabilitas jangka pendeknya. Liabilitas jangka pendek tercatat sejumlah Rp 4,47 triliun pada 31 Desember 2012 karena laporan keuangan selanjutnya belum diterbitkan. Total liabilitas Rp 6,07 triliun dan ekuitasnya Rp 9,16 triliun. Artinya liabilitas jangkan pendek mencapai 73,6% dari total liabilitasnya dan nyaris 50% dari total ekuitasnya. Aset lancar yang hanya Rp 3,83 triliun tidak mampu untuk membayar liabilitas jangka pendek tersebut.

Pelemahan-pelemahan kinerja ELTY lainnya seperti arus kas operasional yang fluktuatif, rugi pada tahun 2012 yang cukup masif, serta  permohonan pailit yang diajukan oleh BNY Mellon membuat ELTY perlu diwaspadai pada saat ini.



Rincian Equity-Linked Bonds dan BLDI
Bunga obligasi 8,625% dibayar setiap 3 bulan. Konversi dapat dilakukan setiap saat sejak 41 hari setelah penerbitan sampai dengan 7 hari sebelum jatuh tempo. Tiap lembar Equity-swap bonds dengan nilai nominal U$ 100.000 dapat ditukar dengan 2.956.415 saham ELTY.

Pada saat diterbitkan, harga konversi adalah Rp 309,08/ saham dan dapat diubah bila terdapat kejadian-kejadian dilutif. Pada 30 September 2011, harga konversi diubah menjadi Rp 255/saham karena adanya pembagian dividen pada 24 Juni 2010 dan PUT IV dan penerbitan waran pada 25 Juni 2010.

Selain itu obligasi menyediakan opsi call dan put, sehingga diklasifikasikan menjadi utang jangka pendek pada tanggal 31 Desember 2012 karena pemegang obligasi melaksanakan opsi putnya.

BLDI adalah anak perusahaan yang berkedudukan di Singapura, didirikan pada tahun 2010 dan bergerak di bidang investasi dan pendanaan. Per tanggal 31 Desember 2012, BLDI memiliki aset Rp 1,03 triliun dan dimiliki sepenuhnya oleh ELTY. Pada tahun 2012, BLDI menderita kerugian usaha Rp 454,27 miliar sementara di 2011 Rp 629,46 miliar. 



Friday, September 6, 2013

PP Akan Spin Off PP Properti

Jakarta, 6  September 2013 - PT PP (Persero) Tbk (PTPP), perusahaan kontraktor yang memiliki spesialisasi di pembangunan dermaga di Indonesia, akan spin off divisi propertinya menjadi anak usaha baru dengan nama PT PP Properti. Spin off ini baik untuk meningkatkan nilai tambah PTPP sebagai induknya.

RUPS LB PTPP akan dilaksanakan pada 21 Oktober 2013 untuk mendapatkan persetujuan pemegang saham. Bila disetujui, maka PP akan mengalihkan sebagian aset dan liabilitas kepada PP Properti, yaitu PT Gitanusa Sarana Niaga, PT Mitracipta Polasarana, dan PT Pancakarya Grahatama yang semuanya bergerak di industri properti.

Spin off secara umum adalah pemisahan aset dan liabilitas, sekaligus seluruh organisasi menjadi perusahaan yang berdiri sendiri. Tanggungjawab perusahaan yang baru terbentuk karena spin off itu kepada perusahaan induknya menjadi sebatas tanggungjawab perusahaan terhadap pemiliknya. Pengembangan kompetensi, strategi, struktur, semuanya menjadi berdiri sendiri tanpa harus terbatas kepada ketentuan dari induknya.

PTPP sebagai perusahaan kontraktor memang memiliki model bisnis yang berbeda dengan PP Properti sebagai pengembang properti. Perusahaan kontraktor biasanya memiliki perputaran aset yang cepat mengingat bisnisnya yang adalah jasa. Sementara perusahaan properti memiliki perputaran aset yang lambat karena mempersiapkan pasar yang akan dimasukinya.


Melihat dari kinerja PTPP sendiri yang tumbuh 106,1% di semester ini dibandingkan tahun 2012, serta makin besarnya investasi yang juga dibutuhkan untuk menghadapi sektor infrastruktur yang akan digenjot oleh pemerintah, maka spin off ini dapat memberi beberapa keuntungan:
1. PP Properti akan dapat memperkuat dirinya sendiri baik secara operasional maupun keuangan sebagai perusahaan pengembang properti.
2. PP Properti dapat mencari pendanaan sendiri tanpa harus dikaitkan dengan model bisnis induknya
3. PP Properti tetap dapat menggunakan brand PP yang sudah dikenal secara umum.




Spin off sendiri tidak akan memberikan kinerja yang negatif dari PTPP karena aset dan liabilitas PP Properti relatif kecil dibandingkan keseluruhan dari PTPP, dan banyak dari asetnya memang belum memiliki laba yang signifikan.





Wednesday, September 4, 2013

Saham-saham Berebut Buyback, Hanya ada Beberapa yang Akan Efektif

Jakarta, 5 September 2013 - Belakangan ini sering sekali terdengar rencana emiten-emiten untuk melakukan pembelian saham kembali (buyback) akibat jatuhnya harga saham mereka di pasar. Tetapi penentunya adalah bagaimana pembelian tersebut akan berakibat kepada kinerja operasional, serta bagaimana kinerja emiten tersebut di mata pasar.

Tujuan buyback saham adalah untuk memberikan sinyal kepada pelaku pasar bahwa harga yang sekarang sudah undervalue (di bawah harga wajarnya). Buyback saham bisa efektif apabila sinyal tersebut kuat dan didukung oleh fundamental. Sebaliknya buyback saham akan dapat berbalik menjadi kesempatan pemilik saham untuk 'buang saham'nya dan merugikan perusahaan di dalam prosesnya.

Mengingat hal ini, maka  perusahaan dan investor perlu melihat apakah kriteria-kriteria di bawah ini sudah tercapai, sebelum melakukan buyback saham dan menerima sinyal dari buyback:

1. Posisi kas dan arus kas operasional dapat menutupi kebutuhan kas yang diperlukan buyback. Jangan buyback saham apabila menggunakan pendanaan eksternal atau akan mengganggu kinerja operasional;

2. Apabila harga wajar tidak terlalu jauh dibandingkan harga sekarang, maka buyback tidak perlu dilakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku saham belum memiliki confidence yang cukup kepada emiten. Malah, emiten perlu menggiatkan aktivitas relasi investornya yang dapat meningkatkan kepercayaan tersebut;




Berdasarkan kriteria di atas, maka AFN menyarankan beberapa emiten ini tidak melakukan buyback:
1. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) karena harga wajarnya sudah di sekitar harganya sekarang. Lagipula posisi kasnya hanya sedikit di atas dana yang disiapkan untuk buyback sementara arus kas bersihnya masih negatif. Apalagi ke depannya TLKM masih membutuhkan dana ekspansi yang cukup besar
2. PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) yang harganya kini sudah berada pada kisaran harga wajarnya dan arus kas bersihnya masih negatif.
3. PT Tambang Batubara Bukit Asam  Tbk (PTBA) yang harganya kini sudah berada pada kisaran harga wajar akibat kondisi komoditas yang kurang kondusif.
4. PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) yang arus kas operasional maupun bersihnya masih negatif signifikan.
5. PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) yang masih mengalami arus kas operasional maupun bersih negatif signifikan.

Pemerintah: Rupiah Melemah Hingga 2014, AFN: Rp 10.000 Akan Lama


Jakarta, 4 September 2013 - Menteri Keuangan Chatib Basri dalam Rapat Paripurna DPR menyatakan pergerakan Rupiah akan melemah hingga 2014. Tapi beliau optimistis Rupiah akan menguat kembali hingga mencapai rata-rata nilai tukar pada Rp 9.750 di 2014. Sebaliknya menurut AFN, fundamental makroekonomi menunjukkan Rupiah akan berada di level 10.000 pada waktu yang relatif lama.

Chatib Basri menyebutkan faktor eksternal menekan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS. Pertama, kebijakan stimulus moneter AS yang akan dipangkas selambatnya pada akhir kuartal ketiga 2012 ini.

Kedua, kekhawatiran investor terhadap perkembangan ekonomi negara berkembang seperti China, India dan Brasil yang berpotensi melambat paska berakhirnya stimulus the Fed.

Tiga, faktor kenaikan harga minyak akibat eskalasi ketegangan politik di Timur Tengah.

Keempat, selisih suku bunga acuan BI yang turun dibanding suku bunga di negara-negara lain berpotensi memperbesar arus keluar modal (capital outflow).

Karenanya, Pemerintah yakin Rupiah akan kembali pada 9.750 per Dollar AS di 2014. Untuk itu, pemerintah akan menjaga stabilitas ekonomi, meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat dan mendorong ekspor komoditas andalan.

Beberapa upaya lagi adalah insentif pajak bagi industri padat karya dan padat modal sebesar 30% yang produknya berorientasi ekspor, pelonggaran kuota ekspor mineral dan hasil tambang, kenaikan pajak barang mewah barang impor hingga 125-150% serta memperbesar porsi biodiesel. Pengurangan impor bahan konsumsi dan barang jadi.

Namun AFN melihat bahwa faktor eksternal bukan satu-satunya menekan pergerakan Rupiah hingga “liar”. Sebelumnya dalam riset AFN pernah menyatakan Rupiah saat ini bergeser pada level keseimbangan baru.

Fundamental ekonomi RI melemah akan mendorong Rupiah pada level keseimbangan baru, meningkatnya kebutuhan minyak yang dipenuhi dari impor, defisit neraca perdagangan, inflasi tinggi, utang pemerintah dan swasta tinggi dalam denominasi Dollar AS membuat tekanan terhadap Rupiah.

Defisit neraca berjalan pada semester kedua mencapai 4,4% dari PDB atau sebesar US$ 9,85 miliar. Defisit transaksi minyak dan gas sebesar US$ 5,26 miliar, sementara neraca barang juga mengalami defisit hingga US$ 601 juta dibanding kuartal pertama lalu surplus sebesar US$ 1,6 miliar.  Tambahan lagi, tekanan inflasi yang diprakirakan mencapai 8,1% di akhir tahun.

Defisit neraca perdagangan tahun 2012 mencapai US$ 24 miliar atau 2,7% dari total PDB Utang perusahaan swasta juga telah mencapai US$ 128 miliar, angka yang mengkuatirkan dan tidak dapat turun signifikan dalam waktu dekat. Cadangan devisa pun pada akhir Juli 2013 mencapai US$ 92,67 miliar. Jumlah ini setara dengan 5,2 bulan impor.

Resiko hutang RI sekarang berpotensi meningkat setelah pelemahan Rupiah terhadap Dollar. Pada semester pertama 2013, utang jatuh tempo sebesar US$ 27,78 miliar dengan hutang swasta sebesar US$ 22,27 miliar. Diprakirakan hutang jatuh tempo pada kuartal ketiga akan meningkat signifikan.

Sementara itu, rasio hutang terhadap PDB sebesar 23% dengan debt to services ratio mencapai 41%, artinya 41% ekspor Indonesia digunakan untuk melunasi hutang. Rasio hutang jangka pendek RI terhadap cadangan devisa pun mencapai 40%.

Saat terjadi capital outflow masif, permintaan terhadap US$ naik signifikan, cadangan devisa turun karena sebagian besar dari hasil ekspor komoditas yang juga dalam tren penurunan, maka kebijakan apapun oleh BI dan pemerintah sangat sulit untuk menahan Rupiah menembus Rp. 10.000 poin.

Capital inflow tidak signifikan secara langsung menyumbang GDP Indonesia, karena dilihat 5 tahun terakhir capital inflow lebih banyak masuk ke sektor komoditas, dan menyebabkan produksi komoditas naik signifikan. Cadangan devisa dalam 5 tahun terakhir mayoritas berasal dari sektor tambang.  Namun, sektor tambang dalam setahun terakhir tertekan menyebabkan devisa tertekan. Capital inflow dari dana murah berasal dai QE  sebegian besar masuk pasar saham hanya sedikit yang masuk sektor riil dan memperbesar risiko fundamental ekonomi RI.

Dari semua factor ini, maka AFN merekomendasikan supaya investor lebih waspada terhadap pelemahan nilai Rupiah, dan mendiskon angka yang diberikan dari Pemerintah untuk menjaga portofolio aset agar tetap solid.

Stimulus The Fed Dipangkas, IHSG Bisa Koreksi Lagi



Jakarta, 4 September 2013 - Ketidakpastian kelanjutan stimulus the Fed membayangi bursa saham. Investor asing lebih memilih melepas saham dan memegang Dollar mengakibatkan nilai tukar dan bursa saham di negara berkembang termauk Indonesia terkoreksi. Keputusan the Fed hanya tinggal menunggu waktu, cepat atau lambat akan dikurangi hingga dihentikan sama sekali.

Quantitative easing The Fed awalnya adalah untuk memulihkan pasar perumahan di Amerika Serikat paska krisis subprime mortgage.  Data bulan Juli 2013 menunjukkan harga rumah di Amerika Serikat naik 6,5% dari rata-rata penjualan bulan Juni. Namun, penjualan rumah justru turun pada 13,6% menjadi 394 ribu unit secara tahunan atau merupakan level terendah sejak 9 bulan berturut-turut. Data ekonomi tersebut menunjukkan ekonomi AS belum sepenuhnya pulih.  Dari sisi ini, the Fed seharusnya belum mempertimbangkan untuk menghentikan program stimulusya.

Namun, stimulus tersebut akan terus membebani  neraca dan menekan kredit the Fed yang harus mencetak uang baru untuk membiayai program tersebut.  Quantitative easing ketiga saja biayanya mencapai US$ 85 miliar setiap bulannya untuk membeli mortgage backed securities (MBS) yang diharapkan mengalirkan kas ke institusi finansial di Amerika Serikat yang membantu penjualan perumahan.

Akhirnya setelah QE yang ketiga ini muncullah pertanyaan, seberapa besar efektivitas stimulus ini terhadap pencapaian tujuan awal yaitu pemulihan pasar residensial dengan beban yang harus ditanggung pemerintah?

Dalam pernyataannya pada rapat komite bulan Mei lalu, Ben Bernanke, Gubernur the Fed menyatakan akan tetap melanjutkan program stimulus hingga ekonomi Amerika Serikat pulih dengan parameter pengangguran turun mencapai 6,5% dan target inflasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi sebesar 2,5%. Saat ini pengangguran Amerika Serikat sebesar 7,4% dengan inflasi 2% pada bulan Juli.

Namun, oleh beberapa anggota the Fed program tersebut dinilai tidak efektif dan salah sasaran. Saat ini di The Fed sendiri muncul dua kubu yang pro dan kontra terhadap kelanjutan program stimulus. 

Hal utama yang menjadi perdebatan adalah bahwa stimulus itu mengalir ke aset yang bukan miliknya Amerika Serikat. Ekspektasi the Fed awalnya agar institusi finansial AS menempatkan dana di AS untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan menekan pengangguran di AS. Dana tersebut akan mendorong ekspansi ekonomi Amerika Serikat yang berbasis pada pertanian dan manufaktur. Targetnya, pengangguran menurun dan pendapatan perkapita naik sehingga pengeluaran individu meningkat dan mendorong perekonomian Amerika Serikat.

Namun, negara berkembang menawarkan yield yang lebih tinggi dari pada di AS  membuat institusi finansial AS tertarik untuk berinvestasi di negara-negara berkembang seperti Brasil, Rusia, India, Indonesia, China, Afrika Selatan. Akibatnya dana segar dari program stimulus the Fed mengalir ke negara berkembang sejak awal program QE3 yang diumumkan pertengahan tahun lalu.

Indeks harga saham Negara reli akibat aksi beli investor dan institusi finansial yang mendapat pendanaan dari stimulus the Fed. Bursa Indonesia  telah naik hingga mencapai 5.200 poin di awal tahun ini akibat aksi beli investor asing dari akhir tahun hingga kuartal pertama tahun ini. Portofolio IHSG pun bertambah hingga 50-50 kepemilikan asing dan domestik dari tahun 2010 pasca krisis finansial lalu investor asing hanya sebesar 30%.

November ini Presiden Obama dijadwalkan memilih penganti Ben Bernanke yang telah menjabat selama 10 tahun. Larry Summer dan Janet Yellen disebut sebagai calon terkuat. Summer pernah menyebut tidak setuju dengan kebijakan the Fed saat ini pada bulan Maret lalu. Sementara Janet Yellen yang dikenal lebih pro pasar namun pada pada periode yang sama pernah menyatakan akan memangkas stimulus the Fed dan mencari pendanaan lain untuk memulihkan ekonomi Amerika Serikat.  Bila pergantian terjadi, maka kita sudah akan mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi dengan stimulus itu. Pertanyaannya adalah kapan?

Survei yang dilakukan institusi finansial di Amerika menunjukkan harapan mereka besar pada Janet Yellen. Obat yang dipaksa ditelah oleh Summer, walaupun membuat para pelaku pasar finansial ini untung, telah menorehkan luka yang tidak mudah sembuh. Dengan Yellen, ada kemungkinan stimulus akan dikurangi dengan tingkat yang lebih lambat, memberikan waktu yang panjang bagi pelaku pasar untuk mengubah portofolio mereka tanpa guncangan berarti.

Bank-bank besar yang berkontribusi di dalam survey yang dilakukan oleh US Economic Radar sebagian besar berpendapat bahwa pemangkasan stimulus akan dilakukan antara September 2013 dan Desember 2013. Hanya Bank Mizuho yang berpendapat setelah 2014. Namun, sebelumnya the Fed telah melakukan melakukan quantitave easing yang masing-masing dalam periode satu tahun,QE 1 dilakukan periode Maret 2009 hingga Maret 2010, QE 2 dilakukan pada November 2010 hingga November 2011, sementara QE 3 dilakukan sejak September 2012.


US Economic Radar http://www.floatingpath.com


Dampaknya di Indonesia: Bursa Saham Indonesia Makin Terkoreksi, Rupiah Makin Melemah

Rencana the Fed memangkas program stimulusnya telah membuat ketidakpastian di pasar saham dan nilai tukar. Investor mengamankan protofolionya dengan beralih pada Dollar AS atau emas.  Aksi jual oleh investor asing secara masif terjadi sejak Mei lalu dan mengakibatkan arus modal asing keluar semakin besar. Capital outflow di Indonesia sendiri tercatat sebesar US$ 4,1 miliar hingga bulan Juli lalu. Tercermin pada Indeks Harga Saham Gabungan yang terkoreksi signifikan dari Mei hingga Agustus sekarang yang mencapai 30%. Bursa Saham Indonesia bergerak antara level 3.800 hingga 4.100 pada akhir Agustus, atau level yang sama tahun lalu sebelum the Fed melakukan program stimulusnya.

Akibat pemangkasan stimulus the Fed, nilai tukar juga menurun signifikan akibat naiknya permintaan terhadap Dollar AS. Penurunan nilai tukar ini juga dipengaruhi faktor lain seperti defisit neraca berjalan dan pembengkakan subsidi anggaran pemerintah. Rupiah telah menembus level Rp. 11.000 poin atau turun 13% dan asumsi awal pada tahun 2013 yang diprakirakan bergerak dalam rentang 9.700 hingga 9.800 poin.

Jadi kombinasi faktor eksternal dan internal ini membuat AFN berpendapat bahwa IHSG masih menyisakan ruang untuk koreksi, walaupun sudah turun sedemikian dalam.