Monday, November 17, 2014

Naik Tinggi, Laba Jembo Cable Baru Capai 56,8% dari Target

Jakarta, 18 November 2014 – PT Jembo Cable Company, Tbk (JECC) mengungkapkan pada paparan publiknya tanggal 13 November lalu,  bahwa kenaikan laba bersih setinggi 73% menjadi Rp 35,94 miliar masih belum sesuai target. Laba bersih tersebut baru mencerminkan 56,8% dari target laba bersih tahun 2014 yang ditetapkan pada awal tahun sebesar Rp 63,2 miliar.

Kenaikan laba bersih tersebut didorong oleh kenaikan pendapatan sebesar 14% menjadi Rp 1,11 triliun serta laba selisih nilai tukar mata uang asing sejumlah Rp 1,94 miliar dibandingkan tahun sebelumnya rugi Rp 31,87 miliar. Padahal beban keuangan naik hampir dua kali lipat menjadi Rp 30,53 miliar dari sebelumnya Rp 15,92 miliar.

Pertumbuhan  pendapatan terutama disebabkan oleh kenaikan kabel telekomunikasi yang sampai 89% menjadi Rp 301,54 miliar dari sebelumnya hanya Rp 159,23 miliar. Walaupun naik signifikan, pendapatan sampai dengan kuartal III-2014 ini baru mencerminkan 58,8% dari target 2014 sebesar Rp 1,89 triliun.

Manajemen yang dipimpin oleh pendiri perusahaan, Santoso,  memaparkan bahwa penyebab penjualan Jembo Cable belum mencapai target karena terjadi penurunan penjualan kabel aluminium tegangan rendah dan tegangan menengah ke PT Perusahaan Listrik Negara akibat kompetisi harga yang ketat, sehingga banyak order PLN tidak diambil perusahaan. Penjualan kabel listrik tegangan rendah hanya naik 8% menjadi Rp 622,14 miliar, sementara kabel listrik tegangan menengah malah turun 33% menjadi Rp 81,13 miliar.

Produk-produk perusahaan meliputi kabel listrik tegangan rendah tembaga(LV-CU insulated cable), kabel listrik tegangan rendah aluminium (LV-AL insulated cable), kabel listrik tegangan menengah (medium voltage cable), kabel telekomunikasi metalik (telecommunication cable metallic), kabel serat optik (optical fiber cable), dan kabel data (data cable).

Sementara itu marjin laba kotor turun menjadi 11,6% dari sebelumnya 12,1%. Hal ini menurut manajemen, disebabkan oleh kontrak penjualan kabel Fiber Optic yang jangka panjang sehingga harga jual dan harga pokok produksi relatif tidak berubah.

Kinerja laba bersih perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1973 ini juga terkendala oleh besarnya beban bunga yang naik 92%. Kenaikan signifikan ini disebabkan oleh kenaikan pinjaman bank jangka pendek bila dibandingkan rata-rata pinjaman bank jangka pendek pada 3 triwulan tahun 2013.

Walaupun masih mencatatkan tingkat pencapaian yang relatif rendah, namun manajemen optimis bahwa target laba bersih akan tercapai di akhir 2014. Sementara target penjualan perusahaan untuk tahun 2014 direvisi menjadi sama dengan 2013 yaitu Rp 1,4 triliun – Rp 1,5 triliun.

Selanjutnya ke depan perusahaan kabel yang bergantung pada pasar domestik ini mentargetkan pertumbuh pendapatan sebesar 20% dari perolehan penjualan tahun 2014. Untuk mendukung target tersebut, manajemen telah menganggarkan USD2 juta untuk melengkapi mesin produksi.

Produsen kabel berkapitalisasi Rp 449,82 miliar ini dikendalikan oleh PT Monas Permata Persada dan Fujikura Group, dan saham public hanya 9,85% dari total saham beredar. Saham berkode JECC ini ditransaksikan di harga Rp 2.975, dengan rasio harga atas laba (P/E) 9,39 kali dan rasio harga atas ekuitas (PBV) 2,45 kali. Dengan likuiditas sangat rendah, nilai emiten berfundamental baik kurang dinikmati oleh pelaku pasar modal, padahal harga JECC sempat naik dari Rp 1.600 di awal 2013.

ASCEND melihat perusahaan ini memiliki prospek yang cukup baik mengingat bahwa:
  1. Kemungkinan infrastruktur telekomunikasi dan listrik akan diperbaiki dan diekspansi dalam pemerintahan baru Presiden Joko Widodo;
  2. Jembo memiliki jejak rekam sebagai kabel berkualitas baik;
  3. Tingkat leverage (utang) perusahaan masih di atas standar keamanan, dengan rasio EBITDA pada beban keuangan aman di 3,26 kali.


Akan tetapi ada beberapa hal yang layak menjadi perhatian yaitu:
  1. Arus kas dari aktivitas operasional cukup sering di angka negatif, yang membuat perusahaan ini akan sering membutuhkan kas pendanaan;
  2. Harga produk Jembo yang cukup mahal menjadi kendala ketika masuk ke proyek-proyek raksasa milik pemerintah dan harus bersaing dalam hal harga;
  3. Ketidakpastian ini juga mengakibatkan kinerja marjin profitabilitas berfluktuasi dari periode ke periode.
  4. Kompetitor Jembo, PT Voksel Electric, Tbk (VOKS) memiliki likuiditas perdagangan saham yang lebih baik, walaupun dengan karakteristik fundamental yang serupa. 





Harga Emas Turun, Antam Terimbas

Jakarta, 18 November 2014 - Penurunan harga emas yang sudah mencapai 2% pada tahun ini belum cukup untuk memikat pembeli kembali ke pasar Bullion dengan permintaan global yang terus jatuh pada kuartal ketiga, menurut World Gold Council (WGC). Penurunan ini jelas dampaknya bagi PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM) yang harga sahamnya sudah 72% dibandingkan akhir Juli tahun ini.

Kontrak Emas Des 2014, CNBC
Permintaan untuk emas tergelincir 2% pada tahun ini menjadi 929 ton pada periode Juli sampai dengan September. Laporan tren permintaan emas terbaru dari WGC menunjukkan tingkat terendah sejak kuartal keempat di tahun 2009. Hal ini sebanding dengan 964 ton pada kuartal April sampai dengan Juni, yang menandai adanya penurunan sebanyak 16% pada tahun itu.

Spot emas mencapai US$1.325 pada awal kuartal ketiga, namun turun hampir 9 persen selama periode tiga bulan terakhir pada $ 1.208. Terakhir diperdagangkan di US$1.160. Nafsu akan emas telah menurun dalam beberapa bulan terakhir karena adanya kenaikan minat di pasar ekuitas global.

Permintaan perhiasan global melemah 4% di tahun ini menjadi 534 ton karena konsumen Cina yang menahan pembeliannya. Permintaan perhiasan Cina sendiri turun 39% menjadi 147 ton. Penurunan dapat terbantu oleh kenaikan permintaan dari India sebesar 183 atau naik 60% di tahun ini karena perbaikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi dan peningkatan kuat dalam membeli menjelang musim festival. Perhiasan tetap komponen terbesar dari permintaan emas, yang mewakili lebih dari setengah dari semua permintaan.

Analis memperkirakan turunnya minat dalam emas ini juga karena penguatan dolar AS. Indeks US Dolar telah naik 8% sejak awal Juli setelah The Fed mengumumkan akan menghentikan program pembelian obligasinya. Dengan naiknya suku bunga US, investor lebih berminat untuk memegang US Dollar ketimbang Euro atau Yen Jepang. Sementara itu, pembelian oleh bank sentral hanya 93 ton, 9% lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu.

Penurunan yang mungkin akan terjadi dalam jangka waktu cukup lama ini berdampak signifikan terhadap Antam. Antam mencatatkan penjualan emas sebesar Rp. 2,79 triliun pada kuartal 3 tahun ini, sebuah penurunan sebesar 37,79% dari tahun 2013 yang berjumlah Rp. 3.85 triliun.

Penurunan ini berdampak pula kepada penurunan pada total penjualan sampai 34% menjadi Rp 5,81 triliun dibandingkan Rp 8,81 triliun di tahun 2013. Apalagi emas adalah kontributor utama dari pendapatan Antam, yang diikuti oleh feronikel. Pada gilirannya, Antam mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 563.91 miliar dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat laba Rp 347,99 miliar.











Harga saham Antam sejak Juli tahun ini turun signifikan sampai ke level Rp 930 dari Rp 1.275, yang mencerminkan penurunan fundamental sejak awal tahun ini serta tekanan yang terjadi di pasar emas global.