Sunday, December 21, 2014

Perusahaan Properti mulai Merambah ke Kawasan Timur

Jakarta, 22 Desember 2014 – Beberapa perusahaan terkait property sudah menyatakan niat untuk merambah kawasan-kawasan yang dulu kurang diminati karena kurangnya infrastruktur yang memadai, terutama infrastruktur transportasi. Fokus dan kemauan pemerintah yang besar di dalam infrastruktur telah menambah energy baru kepada perusahaan-perusahaan ini untuk ekspansi secara geografis.

PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) telah membuka rumah sakit baru di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan rumah sakit baru ini, total rumah sakit yang dimiliki Siloam kini mencapai 19 jaringan. Rumah sakit baru ini menelan dana investasi sebesar Rp 350 miliar. Tahun depan,  Siloam akan membangun 6 – 8 rumah sakit lagi. Perseroan menyiapkan dana hingga US$ 140 juta untuk ekspansi tersebut.

PT Ciputra Development Tbk (CTRA) memperluas ekspansi ke Jayapura, Papua. Kawasan residensial yang akan dibangun Ciputra seluas 40 ha dengan nilai investasi sekitar Rp 200 miliar. Sasaran perseroan adalah masyarakat menengah ke atas.

PT Summarecon Agung Tbk juga mengincar Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi sebagai tambahan dari Bandung dan Yogyakarta. Jika bisa mendapat lahan di dalam kota, Summarecon ingin membangun kawasan terpadu (mixed-use). Kalau lahannya ada di pinggir kota dan cukup luas, maka direncanakan akan membangun kota terpadu (township). Saat ini Summarecon masih memiliki cadangan lahan alias landbank sekitar 1.200 hektare (ha), semuanya di area Jawa.

Belanja modal emiten konstruksi diberitakan melonjak. PT PP  (Persero), Tbk (PTPP) meningkatkan belanja modalnya sampai 286% menjadi Rp 1,8 triliun. PT Waskita Karya, Tbk (WSKT) merencanakan capex Rp 1,5 triliun atau naik 75% dibandingkan 2014. PT Wijaya Karya, Tbk (WIKA) juga meningkatkan capexnya sampai 1,7 triliun. Semua untuk mendorong pendapatan yang berpotensi akan berlipat ganda sebagai konsekuensi dari fokus pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur di berbagai kawasan.

ASCEND melihat langkah-langkah ini juga akan diikuti oleh perusahaan-perusahaan property lainnya. Seiring dengan pertumbuhan infrastruktur di kawasan-kawasan yang sebelumnya kurang diminati, risiko investasi property di area-area ini menjadi berkurang, potensi laku menjadi lebih tinggi, dan pembangunan.

Indeks property paska penguatan Rupiah dan pernyataan The Fed tentang penahanan peningkatan suku bunga, menjadi indeks yang menguat paling signifikan dibandingkan indeks-indeks sektoral lainnya. Sektor ini juga sudah naik 5 tahun berturut-turut dan mencatatkan kenaikan paling signifikan selama 5 tahun ini, sampai dengan 148%.


Mungkin tahun ini adalah waktu yang tepat untuk melonggarkan property di portofolio sambil menunggu kelanjutan dari pembangunan proyek-proyek property di berbagai kawasan di Indonesia. 

Indeks Properti: Pergerakan

Tahun 2015 Bisa Jadi Menentang Semua Prinsip Rotasi Sektor

Jakarta, 22 Desember 2014 –Rotasi Sektor (Sector Rotation) adalah istilah bagi pola perdagangan di pasar modal, yang biasanya digunakan sebagai acuan manajer investasi untuk mencari laba melalui penentuan waktu yang tepat di dalam siklus ekonomi. Di akhir tahun ini, walaupun ekonomi banyak menunjukkan gejala kontraksi, tapi kelihatannya tahun 2015 pasar modal akan diwarnai dengan kejutan kenaikan sektor-sektor yang biasa naik pada periode ekspansi.
Sumber: www.marketoracle.co.uk

Rotasi sektor biasanya berlangsung selama kira-kira 4 tahun sampai mencapai siklus penuh. Dalam periode ekspansi, kita akan melihat harga-harga saham dan komoditi yang meningkat, inflasi naik, suku bunga turun, harga obligasi turun. Di sisi lain, periode kontraksi akan memunculkan penurunan PDB, penurunan harga property, inflasi turun, dan harga obligasi naik.

Selama 2010 – 2014, inilah yang terjadi:
  • Pertumbuhan PDB (harga berlaku) melemah dari 15,1% di 2011 menjadi 10,2% tahun ini;
  • Inflasi naik ke 8,38% di 2013 namun kini tertekan di 6% dengan sedikit peningkatan karena kebijakan pengurangan subsidi BBM;
  • Suku bunga acuan dinaikkan ke 7,75% untuk mengatasi inflasi
  • Indeks harga saham gabungan memecahkan rekor tertinggi terus namun dengan momentum yang terus melemah;
  • Indeks harga obligasi turun di 2013, namun mencatat rekor tertinggi tahun ini;
  • Harga-harga property terus naik walaupun dengan tingkat kenaikan yang melemah;
  • Harga minyak terus turun karena situasi dunia;
  • Harga komoditi juga turun ke level 2011.


Dari sini dapat disimpulkan bahwa kita kini berada di periode awal kontraksi dan tahun 2015 mestinya menjadi periode akhir kontraksi di mana yang akan mendapatkan laba adalah sektor-sektor finansial dan konsumen yang bersifat siklikal, seperti mobil dan rumah.

Namun bila dilihat dari indeks sektoral, maka tampak bahwa tahun 2014 adalah tahun yang terang bagi sektor property, keuangan, infrastruktur, dan konsumen. Semua sektor ini adalah sektor-sektor yang biasanya bersinar dalam periode kontraksi akhir.

Mungkin Indonesia memiliki siklus ekonominya sendiri yang lebih lama daripada 4 tahun, mengingat sejak tahun 2010 hanya sektor pertambangan yang negative, dan itu dikarenakan pengaruh dari luar negeri.

Mungkin juga ada beberapa faktor yang memberikan variasi dari pola yang umum tersebut, seperti penundaan pengurangan BBM subsidi yang seharusnya telah dilaksanakan 3-4 tahun yang lalu, perbaikan dan peningkatan penyerapan anggaran Negara pada proyek-proyek yang memiliki multiplier effect tinggi, serta ekonomi dunia yang kini tidak lagi bergerak dengan langkah yang seiring.


Apapun alasannya, tahun 2015 seharusnya menjadi tahun yang menarik sekaligus tahun yang sulit untuk menentukan apakah kinerja portofolio manajer investasi akan sebaik tahun ini. 




Thursday, December 18, 2014

Pemerintah Dorong Infrastruktur, Saham Infrastruktur Naik

Jakarta, 19 Desember 2014 – Industri konstruksi infrastruktur serta industri terkait akan meraup banyak potensi pendapatan, khususnya dengan fokus dan niat pemerintah Jokowi yang sangat kuat untuk memperkuat segi infrastruktur. PT Wijaya Karya (Persero), Tbk (WIKA), PT PP (Persero), Tbk (PTPP) dan PT Acset Indonusa, Tbk (ACST) naik tinggi dalam 3 hari ini.

Perspektif infrastruktur yang dianut oleh pemerintah baru memberikan arahan bagi rencana jangka panjang infrastruktur yang pada saat ini akan menjadi sentiment positif bagi perusahaan-perusahaan pembangun infrastruktur. Secara umum, pemerintahan baru ingin menyiapkan infrastruktur yang diperlukan untuk pembangunan perekonomian jangka panjang, termasuk kawasan industri baru, transportasi terintegrasi, pembangunan daerah-daerah tertinggal.

Hal ini nyata di dalam pernyataan-pernyataan yang paling singkat sekalipun. Menteri Perhubungan, Ignatius Jonan, misalnya yang menegur Angkasa Pura II karena hanya membangun ekstension dari bandara yang cukup untuk beberapa tahun saja. Bandara harus dibangun untuk jangka waktu 25 tahun, katanya. Ini adalah perspektif yang akan membuat banyak proyek infrastruktur dimulai dan diselesaikan dalam tahun-tahun ini.

Selain itu, Kementerian Pembangunan Umum menyiapkan dana Rp 10 triliun untuk sektor perumahan di 2015 yang bersumber dari berbagai program dan lembaga lain di luar Kementerian, termasuk APBN Kementerian Keuangan, APBN Kementerian PU, dan dana kelolaan lembaga sosial Negara yang dialokasikan untuk bantuan perumahan.

Kedua, Presiden Joko Widodo berjanji akan memulai kajian pembangunan rel kereta api di Papua pada 2015 dan diharapkan rampung dalam 6 bulan dan segera dilanjutkan dengan pembangunannya pada semester II-2015. Pembangunan rel kereta api ini akan mempermudah logistik di Papua yang pada gilirannya akan menekan tingginya harga-harga barang kebutuhan di Papua dan meningkatkan produktivitas ekonomi daerah tersebut.

Paralel dengan itu, Presiden juga menyatakan akan mulai melaksanakan pembangunan jalan lintas Sumatera.

Ketiga, pembangunan di daerah-daerah perbatasan akan diserahkan kepada 4 kementerian. Ini akan membuat penggunaan anggaran Rp 16 triliun lebih efektif dan termonitor dengan baik. Keempat kementerian itu adalah Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Keempat, Kementerian PU telah meminjam anggaran Asian Development Bank (ADB) sebesar USD 250 juta untuk paket pembentukan Core Team Consultants (CTC) Regional Roads Development Project (RRDP). RDPP bertujuan untuk membangun jalan di empat propinsi yaitu 470 km di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.


Menanggapi ini, beberapa saham konstruksi infrastruktur, seperti WIKA, PTPP, dan ACST sudah naik signifikan walaupun adapula risiko Rupiah yang melemah dan mengakibatkan tingginya biaya bahan baku pembangunan. 

ACST: Pergerakan Saham

PTPP: Pergerakan Saham

WIKA: Pergerakan Saham

Tema Pekan Ini: Pergerakan Rupiah

Jakarta, 19 Desember 2014 – Rupiah sempat terpuruk hingga mendekati Rp 13.000, sementara level nyaman Bank Indonesia adalah Rp 11.900 – 12.300. Indeks Harga Saham Gabungan sempat turun dan menyentuh level psikologis 5.000 sebelum kemarin melesat kembali karena penguatan Rupiah serta pernyataan positif dari the Fed.

Beberapa sektor yang terkena dampak terbesar sektor industri dasar dan pertambangan, walaupun sektor pertambangan juga terkena dampak ganda akibat penurunan harga minyak menjadi USD 55/ barel. Sementara sektor-sektor yang pada hari ini mampu melampaui level 1 Desember, yaitu ketika Rupiah melewati batas atas Rp 12.300,  hanya sektor property, industri aneka, serta infrastruktur.

Pelemahan Rupiah ini, walaupun telah diantisipasi, namun secara tak terduga terjadi secara cepat ketika menuju akhir tahun. Hal ini terkait dengan apa yang terjadi di Rusia, yaitu krisis politik terkait perlawananan terhadap Ukraina.

Bank Indonesia merasa nyaman dengan level Rp 11.900 – 12.300. Untuk itu Bank Indonesia menyatakan beberapa strategi: (1) current account deficit (CAD) atau defisit transaksi berjalan berada pada level yang suistanable yang bisa dibiayai oleh pendanaan; (2) inflasi terkendali, dimana kenaikan BBM direspon dengan kenaikan suku bunga 25 bps; (3) pengelolaan utang luar negeri swasta agar tidak berimbas ke makro ekonomi.

Bank Indonesia mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Oktober 2014 sudah cukup terkelola, yaitu tumbuh 10,7% (year-on-year)-  Sedikit lebih melambat dibandingkan dengan pertumbuhan September 2014 sebesar 11,2% (yoy).

Sementara itu Pemerintah mengubah asumsi rupiah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015 yang akan dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada awal tahun depan. Asumsi rupiah akan ditaruh di atas level Rp 12.000, naik dari sebelumnya Rp 11.900.  

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan rupiah yang dinaikkan dalam anggaran tidak akan membuat defisit besar. Defisit masih tetap bisa mengarah ke level 2% dari pendapatan domestik bruto (PDB). Kenaikan Rupiah hanya akan membuat kenaikan bunga cicilan.

ASCEND merekomendasikan beberapa tips pemilihan saham di tengah pelemahan Rupiah:
  1. Mencari saham-saham yang tidak memiliki, atau hanya sedikit memiliki utang bervaluta asing. Makin tinggi level exposure terhadap utang luar negeri, maka pelemahan Rupiah akan makin menekan kinerja laba dan arus kas perusahaan;
  2. Mencari saham-saham yang memiliki natural hedging, yaitu di mana arus kas masuk berdenominasi sama dengan arus kas keluar. Apabila utang luar negerinya besar, namun pendapatannya pun dengan mata uang asing yang sama, hal ini berarti perusahaan tersebut telah menghilangkan risiko kursnya;
  3. Mencari saham-saham dengan basis pendapatan domestik yang besar serta tidak memiliki biaya-biaya impor misalnya property dan infrastruktur. Dengan alasan itu pula kedua sektor ini termasuk yang rebound tercepat pada hari ini. 




Wednesday, December 17, 2014

Asuransi Jiwa Nasional Diincar Perusahaan Asing

Jakarta, 18 Desember 2014 – Empat investor asing dikabari sedang mencari peluang bisnis asuransi jiwa di Indonesia. Hendrisman Rahim, Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyebut, empat calon investor asing itu sedang menjajaki calon mitra lokal. Kerjasama dengan perusahaan asuransi internasional selalu mendapat persepsi positif di mata pasar keuangan.

Sebelumnya Dai-ichi Life, perusahaan asuransi dari Jepang,  sudah mengadakan kerjasama strategis dengan PT Panin Financial, Tbk (PNLF) pada tanggal 3 Juni 2013 dengan nilai transaksi Rp 3,3 triliun melalui penerbitan saham baru pada PT Panin Internasional, Tbk (PNIN) dan PT Panin Dai-ichi Life. Kerjasama ini meningkatkan nilai saham Panin Financial yang naik dari level Rp 210 di bulan Juni 2013 menjadi Rp 289 hari ini, atau naik 37,6%.

Setahun setelah kerjasama ini, Panin Financial membukukan penurunan pendapatan dan peningkatan laba. Pendapatan turun 8,1% menjadi Rp 2,69 triliun, sementara laba bersih naik 29,77% menjadi Rp 1,19 triliun. Kenaikan ini disebabkan oleh penurunan klaim dan manfaat bruto menjadi hanya Rp 1,82 triliun dibandingkan tahun sebelumnya Rp 2,39 triliun, serta penurunan beban umum dan administrasi menjadi Rp 105,78 miliar dari sebelumnya Rp 111,90 miliar.

Sebaliknya, PT Lippo General Insurance, Tbk, memilih untuk tidak bekerjasama dengan perusahaan internasional, dan tetap mampu mencatatkan pertumbuhan yang cukup baik. Pendapatan 9 bulanan tahun ini naik 14,0% menjadi Rp 554,13 miliar, sementara laba naik 15,3% ke Rp 59,18 miliar.


Walaupun demikian, pasar tetap memberikan apresiasi tinggi pada perusahaan yang bekerjasama dengan Siloam Hospitals Group ini, sehingga naik dari Rp 2.500 di pertengahan tahun 2013, menjadi  Rp 4.300 pada hari, setelah sempat naik ke level tertinggi di Rp 5.800. Pergerakan saham ini sayangnya kurang diikuti dengan tingkat likuiditas yang memadai yang juga ditekan oleh kurangnya jumlah saham beredar yang hanya 88,3 juta lembar. 
PNLF: Pergerakan Saham

LPGI: Pergerakan Saham

Tuesday, December 16, 2014

Acset Bisa Tumbuh Pesat Paska Alih Saham

Jakarta, 17 Desember 2014 - PT Acset Indonusa Tbk (ACST) perusahaan konstruksi dan pondasi, menargetkan pendapatan 2015 tumbuh 20% dari pencapaian tahun ini. Target pertumbuhan 2015 ini akan lebih tinggi paska selesainya transaksi PT United Tractors, Tbk (UNTR) resmi menjadi pemegang saham mayoritas.

Sampai dengan September 2014, Acset telah mencatatkan Rp 857,66 miliar, dan berharap akan berhasil mencapai target Rp 1,33 triliun. Pendapatan Acset dari kontrak konstruksi maupun kontrak pondasi berimbang, dan pondasi pada khususnya telah mendorong pertumbuhan pendapatan perusahaan yang dikuasai PT Cross Plus Indonesia dan PT Loka Cipta Kreasi ini  sampai 45,37%. Kinerja pendapatan tersebut telah mendorong pertumbuhan laba 43,6% menjadi Rp 68,6 miliar.

Acset berencana melepas 50,1% saham atau 250,5 juta lembar saham ke United Tractors. Pelepasan saham akan dilakukan dalam dua tahap, sebanyak 40 persen pada kuartal-I 2015 dan sisanya dengan penawaran ulang.

Sebelumnya Acset sedang merintis bisnis sewa alat melalui pendirian anak perusahaan. Tercatat, sejak 2013 perusahaan sudah mengoleksi tiga anak perusahaan di bidang perdagangan
dan penyewaan alat. Yang terbaru, Acset mendirikan  PT AMTC Pump Services, yang fokus menyewakan alat konstruksi, seperti alat cor pada kuartal III-2014.

Sementara dua anak perusahaan lain yang sudah lebih dulu berdiri adalah PT Sacindo Machinary dan PT Aneka Raya Konstruksi. Sacindo yang didirikan awal 2013, bergerak di bidang penyewaan dan perdagangan alat berat. Sedang Aneka Raya yang akan menggeluti usaha penjualan dan penyewaan alat berat vertikal. Aneka Raya resmi berdiri April 2014. Ketiganya masih belum memberikan kontribusi pendapatan kepada perusahaan.

ASCEND berpendapat bahwa walaupun saham Acset terlihat tidak merespon kabar baik akan dialihkannya saham kepada United Tractors, tetapi Acset memiliki banyak keuntungan dengan peralihan ini. Pertama, Acset tidak perlu merintis sendiri bisnis sewa alatnya, melainkan dapat bekerjasama dengan produk-produk United Tractors.

Kedua, pendapatan yang berasal dari perusahaan terafiliasi baik langsung dari United Tractors maupun perusahaan-perusahaan terafiliasi dengan United Tractors akan menjadi basis pendapatan segar bagi perusahaan yang akan meningkatkan kinerja labanya serta kepastian kontrak.


Ketiga, walaupun Acset telah mencatatkan rasio harga atas laba (P/E) 18x dan rasio harga atas nilai buku ekuitas (PBV) 2,7x, tetapi ASCEND melihat bahwa potensi pertumbuhan yang dimiliki oleh Acset masih cukup untuk mendorong harga saham sampai ke Rp 4.000 yaitu pada rasio P/E 22x dan PBV 3,3x.

Monday, December 8, 2014

Delisting Merck Masih Tunggu Investor

Jakarta, 9 Desember 2014 – Paparan Publik PT Merck Sharp Dohme Pharma, Tbk (SCPI)  pada hari ini mengetengahkan bahwa proses delisting masih berlanjut dan perseroan telah menyisihkan dana yang cukup untuk investor yang belum menjual kembali saham miliknya. Kinerja laba Merck meningkat cepat paska pengumuman delisting ini.

Merck menyatakan di dalam paparan publik yang bertempat di kantornya bahwa delisting dilaksanakan karena perseroan tidak memiliki kebutuhan dana yang harus dipenuhi dari publik. Seiring dengan revisi regulasi Penanaman Modal Asing (PMA) yang tidak lagi mengharuskan perusahaan asing untuk go public, maka perseroan memutuskan untuk keluar dari bursa.

Perseroan sebelumnya dikenal sebagai PT Schering-Plough Indonesia, Tbk yang memproduksi berbagai produk farmasi termasuk obat-obat analgesic Garamycin. Bagian dari Merck Sharp & Dohme Corporation, AS menyampaikan permohonan Voluntary  Delisting (delisting secara sukarela) pada tanggal 1 Februari 2013.

Sejak saat itu Bursa telah mensuspensi saham SCPI di level harga Rp 29.000. Suspensi ini sesuai dengan peraturan bursa nomor I-1 tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham di Bursa pasal III.2.2.6 yang berbunyi: “Bursa melakukan Suspensi atas saham Perusahaan Tercatat yang berencana untuk melakukan Delisting saham atas permohonan Perusahaan Tercatat.”

Perseroan sendiri menawarkan untuk membeli kembali saham yang masih beredar dengan harga Rp 100.000 per lembarnya, jauh lebih tinggi daripada harga tertinggi saham SCPI sebesar Rp 43.000.

Ini sesuai dengan peraturan bursa yang sama pasal III.2.1.4 yang berbunyi: “Penentuan harga pembelian saham sebagaimana dimaksud dalam ketentuan III.2.1.3 di atas adalah berdasarkan salah satu harga yang tersebut di bawah ini, mana yang tertinggi: (1) harga nominal; (2) harga tertinggi di Pasar Reguler selama 2 (dua) tahun terakhir sebelum iklan pemberitahuan RUPS setelah memperhitungkan faktor penyesuaian ditambah premi berupa tingkat pengembalian investasi selama 2 (dua) tahun; (3) nilai wajar berdasarkan penilaian pihak independen.”

Harga tersebut tetap tidak berubah bagi sebagian kecil (1,57%) pemegang saham yang sampai kini masih belum menukarkan sahamnya dengan berbagai faktor ketidaktahuan dan pindah alamat. Perseroan juga tetap melaksanakan berbagai cara untuk mencari para pemegang saham ini.

Yang menarik adalah setelah 1 tahun mengumumkan proses delisting, rugi usaha perseroan turun signifikan dari US$ 140,7 miliar menjadi hanya US$ 8,72 miliar. Manajemen di dalam paparan publik mengatakan bahwa peningkatan penjualan yang sangat tinggi, baik dari ekspor maupun domestik telah  berkontribusi langsung kepada kenaikan kinerja ini. Pendapatan perseroan naik 140% menjadi US$ 691,17 miliar dari sebelumnya US$ 285,88 miliar.

Sampai saat ini ekuitas perseroan masih negatif US$ 960 juta. Apabila kinerja dapat dipertahankan seperti tahun ini, maka besar kemungkinan tahun depan ekuitas perseroan sudah kembali positif.






Sunday, December 7, 2014

Indika Energy Cairkan Pinjaman (Lagi), Peringkat Turun 2 Notch

Jakarta, 8 Desember 2014 -  PT Indika Energy Tbk (INDY) menarik pinjaman bank senilai US$ 30 juta. Pinjaman ini kemudian diteruskan ke anak usaha, Indika Capital Investments Pte Ltd (ICI). Rasio utang terhadap ekuitas setelah pencairan ini menjadi 1,5 kali.

ICI merupakan entitas anak yang bergerak di bidang perdagangan batubara. Kendati pasar batubara masih lesu, namun, Indika yakin ICI memiliki kemampuan untuk bisa menjalankan usahanya. Indika dan ICI telah menandatangani perjanjian pinjaman pada 3 Desember 2015.

Pinjaman dicairkan dari Bank Mandiri dan Citibank N.A Cabang Jakarta dengan nilai masing-masing sebesar US$ 20 juta dan US$ 10 juta. Pinjaman ini selanjutnya diberikan ke ICI sebagai utang dari pihak terafiliasi. Anak usaha yang berdomisili di Singapura ini akan menggunakan dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan usaha.

Sampai akhir September tahun ini, ICI mencatatkan kerugian US$ 25.981, naik dari tahun lalu sebesar US$ 12.239. Sedangkan Indika sendiri mencatatkan kerugian US$ 9.61 juta, naik dari tahun lalu sebesar US$ 3.20 juta.

Kinerja operasional pemilik Santan Batubara dan Kideco Jaya Agung yang kurang baik ini ditambah dengan kecenderungan untuk terus meningkatkan utang mendorong pelaku pasar untuk menempatkan obligasi Indika di kategori obligasi non investasi (junk bonds), atau turun sekitar 2 notch bila dilihat dari current yield-nya.  

Obligasi senilai US$300 juta dengan kupon 7 persen yang jatuh tempo Mei 2018 sudah turun jadi US$ 84.79 sen untuk tiap dolar. Pada saat diterbitkan at par tahun 2011, Moody’s Investors Service memberikan peringkat B1, sementara Fitch Ratings member peringkat B+.


Harga saham Indika pun terus tertekan sejak September 2014.


Wednesday, December 3, 2014

Diincar KKR dan Bunge, Saham AISA Tidak Bergerak

Jakarta, 3 Desember 2014 – Kohlberg Kravis Roberts & Co LP (KKR) dan Bunge Agribusiness Singapore Pte Ltd, dikabarkan sedang mengincar 88% saham Golden Plantation, anak usaha PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (AISA). Nilai divestasi diperkirakan sekitar US$ 80 – 90 juta atau sekitar Rp 1 triliun. Golden Plantation sudah merencanakan melepas 21,82% sahamnya ke publik dengan target dana terserap Rp 200 – 240 miliar.

KKR adalah perusahaan private equity internasional ternama yang terindikasi sedang mentargetkan Indonesia sebagai ladang investasi barunya. Agustus tahun ini KKR telah mempekerjakan 3 orang eksekutif untuk menggarap proyek-proyek di Indonesia. Langkah debut KKR di Indonesia adalah membeli 9,5% Tiga Pilar (AISA) dan kemudian menjadi pemegang mayoritas kedua di perusahaan dengan 26%.

Sementara Bunge adalah perusahaan agribisnis internasional yang bisnis utamanya adalah perdagangan dan logistik komoditi, termasuk memberikan pembiayaan kepada perusahaan-perusahaan terkait komoditi, baik di hulu maupun di hilir. Bunge saat ini memiliki 35% saham PT Bumiraya Investindo, anak usaha Golden Plantation.

Proses divestasi ini akan dimulai setelah penawaran umum perdana (IPO) Golden Plantation yang direncanakan pada akhir tahun dengan harga Rp 250 – 300 / saham sebanyak 800 juta saham. Berdasarkan jadwal sementara, masa penawaran awal saham 24 Nov-2 Des 2014. Tanggal efektif diharapkan dpt diperoleh pada 11 Des 2014, masa penawaran berlangsung 15-17 Des 2014. PT CIMB Securities Indonesia sebagai lead underwriter.

Sebesar 68% dana yang didapatkan akan digunakan untuk mengakuisisi perusahaan target yaitu PT Bailangu Capital Investment dan PT Persada Alam Hijau dan sebesar sisanya akan digunakan untuk belanja modal dan modal kerja perusahaan target. Rencananya Golden Plantation akan mengembangkan lahan tertanam seluas 5.000 ha hingga 8.000 ha setiap tahunnya sebagai bagian dari ekspansi di kedua perusahaan tersebut..

Per 30 Juni 2014, Golden Plantation tercatat memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 49.000 ha yang tersebar di Kalimantan, Riau, dan Sumatera. Dari jumlah tersebut, lebih dari 17.000 ha merupakan lahan tertanam. Selain itu, perseroan juga memiliki satu pabrik pengolahan minyak sawit mentah (CPO) berkapasitas 30 ton TBS per jam. Perseroan berencana meningkatkan kapasitas produksi pabrik menjadi 45 ton TBS per jam pada 2017.

Hingga semester I-2014, Golden Plantation membukukan penjualan bersih Rp 55,4 miliar atau naik 146,2% dibandingkan periode sama tahun lalu Rp 22,5 miliar. Sementara itu, laba usaha tercatat sebesar Rp 10,7 miliar selama enam bulan pertama tahun ini, meningkat signifikan dibandingkan periode sama 2013 sebesar Rp 463,3 juta.

Berita ini belum direspon oleh pelaku pasar pada saham AISA. Kisaran harga AISA selama 1 bulan ini tetap di antara Rp 2.040 sampai dengan Rp 2.210. Padahal kinerja Tiga Pilar sendiri cukup baik pada 3 triwulan 2014 ini.

Pertumbuhan pendapatan tercatat 24,4% menjadi Rp 3,66 triliun. Pertumbuhan ini mendorong pertumbuhan laba bersih 14,1% menjadi Rp 246,89 miliar atau Rp 84/ lembar.

Perusahaan cukup optimis tahun depan akan bisa membukukan kenaikan penjualan hingga 50%.  Untuk itu capex disiapkan sebesar Rp 1 triliun. Angka ini meningkat 48% dibanding anggaran capex perseroan tahun ini. Sebagian besar capex akan digunakan untuk ekspansi bisnis beras.



Tuesday, December 2, 2014

Uji 4G, Saham Indosat Melejit

Jakarta, 3 Desember 2014 – PT Indosat, Tbk  (ISAT) telah melakukan uji coba layanan generasi keempat ponsel 4G LTE (long term evolution) dengan target komersialisasi pada kuartal pertama tahun depan. Diharapkan dengan komersialiasi 4G, Indosat akan mampu mencatatkan kembali pertumbuhan.

Perusahaan melakukan pengujian dalam 15MHz spektrum masing-masing di 800MHz dan 1,800MHz frekuensi. Menurut perusahaan, industri telekomunikasi telah berkembang dari era selular, wireless, hingga broadband, seperti kecepatan dan efektivitas layanan yang lebih tinggi. Menurut perusahaan, layanan super 4G LTE ISAT dapat diperluas hingga 185Mbps, meskipun, jika lalu lintas berat, kecepatan bisa turun menjadi sekitar 60Mbps-70Mbps. Sementara itu, Kementerian informasi dan komunikasi (Menkominfo) menyatakan akan memberikan lisensi komersial pada akhir tahun ini.

Sebelumnya pada 3 triwulan 2014, perusahaan yang dikuasai oleh Ooredoo Asia, Pte, Ltd ini mencatatkan pendapatan Rp 17,72 triliun turun tipis, 0,46% dari periode sebelumnya di tahun 2013, Rp 17,80 triliun. Penurunan tersebut terutama terjadi karena penurunan pendapatan di segmen selular sebesar 1,3% menjadi Rp 14,29 triliun. Sementara segmen ini adalah kontributor utama, 80% dari  pendapatan Indosat.

Nampaknya pengujian ini mendapat apresiasi yang besar oleh pasar. Saham Indosat dalam waktu 2 pekan telah naik 28% dari Rp 3.050 ke Rp 3.925. Kenaikan ini juga didorong oleh besarnya net buy asing pada tanggal 24-27 Desember yang totalnya sampai Rp 35,04 triliun. Padahal kinerja Indosat dilaporkan menurun pada tahun ini.

Tahun ini, sama seperti tahun 2013, Indosat mencatatkan rugi yang cukup besar, yaitu Rp 1,32 triliun akibat besarnya beban tetap yang harus ditanggungnya. Beban pendapatan tercatat Rp 17,22 triliun, sehingga menghasilkan marjin laba operasi hanya 2,8%. Sementara beban utang turut menekan laba bersih sebesar Rp 1,82 triliun.

Indosat sebelumnya baru saja menata kembali struktur utangnya. Setelah membuat rangkaian pinjaman perbankan Revolving Credit Facility (RCF) US$ 450 juta, Export Credit Agency (ECA) US$ 400 juta, dan obligasi Rp 10 triliun, rancangannya kini mengalami sedikit perubahan. ISAT menambah pinjaman dengan skema RCF menjadi US$ 500 juta.


Monday, December 1, 2014

Alam Sutera Melesat

Jakarta - 2 Desember 2014 - PT Alam Sutera Realty, Tbk (ASRI) pada penutupan pecan kemarin melesat sampai 7,69% ke Rp 560 disertai dengan volume tinggi, 5,1 juta lot. Ini karena Tri Ramadi, dikabarkan bergabung kembali dengan perseroan ini paska pengunduran diri Hungkang Suteja yang menggantikannya. Apalagi kabarnya The Ning King akan menggabungkan Alam Sutera dan Bekasi Fajar.

Pada perdagangan yang bervolume tinggi ini, broker Kresna Graha Securindo berkode KS trcatat membeli saham ASRI sampai 1,32 juta lot, sementara Panin Securities dan CIMB Securities tercatat paling banyak menjual.

Tri Ramadi, mantan direktur utama Alam Sutera sempat mengundurkan diri di awal 2014. Tri kemudian digantikan oleh Harianto Tirtohadiguno. Sejak pengunduran dirinya sampai dengan dikabarkan akan kembali, Tri tetap di dalam grup Argo Manunggal  sebagai presiden direktur PT Alfa Goldland Realty, salah satu anak perusahaan Alam Sutera.

The Ning King, pemimpin grup Argo Manunggal pemilik 51,8%  Alam Sutera dikabarkan akan menggabungkan perseroan dengan PT Bekasi Fajar Industrial Estate, Tbk (BEST) yang juga dimilikinya. Argo Manunggal memiliki Alam Sutera  melalui PT Manunggal Prime Development dan PT Tangerang Fajar Industrial Estate. Grup ini juga mengendalikan Bekasi Fajar  sebanyak 47,97% melalui PT Argo Manunggal Land Development.

Tahun depan, Alam Sutera optimis akan memperoleh pendapatan sebesar Rp 5,8 triliun dari proyek-proyek yang sekarang sedang dibangun yaitu Kota Mandiri Sutera Svarna di Pasar Kemis Tangerang dan beberapa proyek highrise (apartemen dan perkantoran) di Serpong dan Jakarta, serta Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana di Bali.

Untuk mendukung pencapaian pendapatan itu, perseroan akan meningkatkan belanja modal sebanyak 47% sampai dengan Rp 2,2 triliun. Dana tersebut akan digunakan sebagian (50%) untuk membeli lahan di distrik Pasar Kemis dan Serpong, Tangerang. Sisanya adalah untuk membangun apartemen dan perkantoran di Serpong.

Perseroan telah mencatatkan penjualan marketing Rp 3,6 triliun sampai dengan September. Laporan keuangan Perseroan pemilik landbank 2.331 ha ini masih belum diterbitkan  karena sedang dilakukan proses audit eksternal, sehingga diharapkan laporan keuangan baru akan diterima Bursa pada 31 Desember 2014. Kebutuhan audit ini karena manajemen melihat adanya peluang untuk melakukan aksi korporasi ke depan.


ASCEND mengamati beberapa hal yang perlu diwaspadai oleh investor:

  • Belanja modal yang tidak sedikit, yaitu Rp 2,2 triliun atau sekitar 15% dari total aset perseroan harus dipenuhi melalui kombinasi utang dan penambahan ekuitas. Apalagi salah satu tujuan dari belanja modal tersebut adalah pengadaan lahan yang sifatnya jangka panjang. Penambahan modal HMETD adalah salah satu opsi terbaik perseroan yang 2/3 asetnya dibiayai oleh utang ini.
  • Penggabungan Alam Sutera dan Bekasi Fajar baik dari hal profitabilitas dan diversifikasi portofolio produk.  
  • Saat ini Bekasi Fajar memiliki PBV yang jauh lebih tinggi daripada Alam Sutera, yaitu 2,9x dibandingkan 2,0x. Harga yang cukup tinggi adalah hasil kenaikan 39% hanya dalam sebulan terakhir. Karenanya Alam Sutera perlu memperhitungkan kepentingan investor minoritas apabila penggabungan tersebut terjadi dan Alam Sutera harus membayar dengan harga pasar.  
Saham ASRI: 28 November 2014

Saham BEST: 28 November 2014


Sunday, November 30, 2014

Triwulan 3 Telkom, terbaik dari sektor telekomunikasi.

Jakarta, 1 Desember 2014 - PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (TLKM) selama triwulan ketiga 2014 ini masih merupakan salah satu yang terbaik dari semua emiten telekomunikasi meskipun hanya tumbuh moderat. Sementara itu beberapa emiten telekomunikasi besar lainnya seperti PT XL Axiata, Tbk (EXCL) dan PT Indosat, Tbk (ISAT) justru dan masih tertekan. Dua operator CDMA juga tertekan akibat pasar CDMA yang kalah dibandingkan dengan GSM sehingga pertumbuhan keduanya lambat.

Sejauh ini hanya Telkom yang mampu mencatatkan perolehan laba sementara kompetitor lainnya justru mengalami kerugian selama triwulan ketiga 2014 ini.

ASCEND melihat, hal tersebut disebabkan oleh beban operasional telekomunikasi yang tinggi pada sektor ini, sementara pertumbuhan industri rendah. Ini membuat beberapa emiten mengalami penurunan profitabilitas dengan ditunjukkan pada penuruan laba sebelum bunga, pajak, penyusutan dan amortisasi (EBITDA)  pada hampir semua emiten telekomunikasi selain Telkom.

Industri telekomunikasi yang telah memasuki level mature atau level jenuh  hanya mampu mendorong pertumbuhan terbatas di beberapa segmen saja. Di sisi lain, beban tidak tertutup sehingga beberapa emiten mengalami penurunan kinerja.


Dibandingkan lainnya, Telkom sejauh ini membukukan kinerja terbaik dengan laba bersih hingga Rp 11,45 triliun atau mengalami pertumbuhan hingga 17,38% y-o-y.

Perolehan laba Telkom ini didukung oleh marjin EBITDA yang signifikan hingga mencapai 58,84%. Sementara beberapa emiten telekomunikasi tercatat membukukan EBITDA margin yang lebih rendah. Kenaikan EBITDA Telkom tersebut seiring dengan produktivitas aset Telkom yang signifikan.

Dibandingkan operator GSM lainnya, Telkom masih menjadi market leader. Telkom membukukan kenaikan penjualan 7,06% menjadi Rp 65,84 triliun dengan didukung oleh pendapatan pemakaian telepon seluler yang mencapai Rp 25,03 triliun dan pendapatan sambungan internet yang mencapai Rp 26,92 triliun. Dua kompetitor GSM lainnya, XL Axiata dan Indosat hanya membukukan pendapatan sebesar masing-masing Rp 16,42 triliun dan Rp 14,29 triliun pada opeasional GSM keduanya. 

Meskipun kinerja profitabilitas positif, TLKM masih dihadapkan beberapa masalah dalam kebijakan perseroan tersebut. Beberapa waktu lalu, saat Telkom akan menjual anak usaha Dayamitra Telekomunikasi kepada Tower Bersama Infrastruktur, Tbk (TBIG) dengan opsi tukar saham yang masih bermasalah karena tidak semua dewan komisaris menyetujui hal tersebut.

Selain itu, Telkom memiliki liabilitas terhadap karyawan yang mencapai hampir Rp 3 triliun dan juga beban pajak tangguhan yang juga mencapai Rp 3 triliun. Keduanya, dimasa mendatang cenderung menjadi beban dan menekan profitabilitas dari Telkom.

Kompetitor Telkom terdekat, XL Axiata yang sebelumnya mencatat profitabilitas tinggi dan kinerja keuangan positif, dalam dua triwulan terakhir menunjukkan tekanan profitabilitas akibat tingginya beban infrastruktur dan beban keuangan.

Beban infrastruktur dan beban keuangan XL Axiata ini meningkat pasca akuisisi dan konsolidasi terhadap AXIS pada awal tahun lalu. Bahkan jika Axis dikonsolidasikan dengan XL Axiata sejak awal tahun, XL akan mencatatkan rugi usaha hingga Rp 5,12 triliun dengan dengan pendapatan sebesar Rp 18,07 triliun.

Namun, dengan akuisisi Axis tersebut, XL akan mendapat pembagian sprektrum gelombang frekuensi radio yang lebih besar dari Telkom, Indosat dan Hutchison sehingga memiliki kapasitas aliran data yang lebih besar dan potensi interferensi signal lebih kecil.

Potensi inilah yang ke depan akan dimiliki XL Axiata. Namun hal tersebut  akan butuh waktu setidaknya dua atau tiga tahun saat kualitas layanan signal diperbaiki, baru dapat diharapkan adanya penambahan pelanggan XL.

Operator lainnya, Indosat, masih menunjukkan tekanan selama triwulan ketiga ini meskipun mencatatkan pendapatan hingga Rp 17,72 triliun atau turun tipis 1% dibandingkan dengan periode tahun lalu, namun pendapatan seluler ini hanya sebesar Rp 14,29 triliun lebih rendah dari Telkom dan XL Axiata.

Secara performa, pada triwulan ketiga ini, EBITDA marjin Indosat lebih baik dari XL Axiata namun lebih rendah dari Telkom sebesar 37,23% setelah beban depresiasi yang turun dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, beban infrastruktur dan layanan telekomunikasi yang naik dan beban keuangan yang meningkat pula, membuat Indosat membukukan kerugian.

Minimnya inovasi disaat industri masuk pada fase mature, membuat Indosat belum mampu mendorong pendapatan, hal ini berbeda dengan Telkom lewat Telkomsel dan XL Axiata. 

Sementara itu, dua operator CDMA, PT Bakrie Telecom, Tbk (BTEL)  dan PT Smart Fren, Tbk (FREN) juga tertekan akibat industri CDMA yang tidak tumbuh hingga saat ini. Keduanya memjajaki kerjasama pembagian pita frekuensi LTE atau teknologi lanjutan CDMA yang masih dalam proses Depkominfo.

Diharapkan paling cepat dua tahun mendatang frekuensi LTE baru akan dapat beroperasi di Indonesia. Namun, hingga saat itu tiba sepertinya operator CDMA masih harus bekerja sama dengan operator GSM dalam mendorong pendapatan lewat bundling paket, akibatnya pertambahan pelanggan operator ini cenderung lambat.

Saham TLKM 28 Nov 2014



Harga Jual Keramik Naik 2% Paska Kenaikan BBM

Jakarta, 1 Desember 2014 – Menyusul kenaikan BBM yang ditetapkan pemerintahan baru, Asosiasi Keramik Indonesia akan mengerek harga jual 2% mulai awal Desember, terutama karena perusahaan keramik terpaksa menanggung biaya distribusi yang lebih besar. Kenaikan harga BBM walaupun berdampak negatif kepada emiten keramik, namun nampaknya belum tercermin di dalam harga saham mereka.

Menurut Asosiasi, kenaikan harga BBM lebih berdampak pada biaya distribusi karena kendaraan untuk mendistribusikan produk keramik ke berbagai daerah masih menggunakan BBM solar bersubsidi. Hal itu berbeda dengan proses produksi pabrik yang sudah menggunakan BBM industri. Kenaikan harga BBM itu menyulut permintaan para distributor untuk meningkatkan juga tarif pengangkutan hingga 30%.
 
Terlihat dari tabel bahwa biaya pengangkutan terhadap pendapatan pada masing-masing emiten keramik berbeda-beda, berkisar dari yang paling kecil hanya 0,57% sampai kepada yang terbesar 28,82%, dengan rata-rata 9,30%.

Tampak pula bahwa tahun ini emiten-emiten keramik banyak mengalami pertumbuhan pendapatan. Hanya ada satu emiten, yaitu PT Keramika Indonesia Asosiasi, Tbk (KIAS) yang mengalami penurunan pendapatan karena hilangnya banyak bisnis dari pihak ketiga, sehingga penjualan Keramika hanya ditopang penjualan kepada pihak berelasi.

Walaupun pendapatan bertumbuh, PT Intikeramik Alamasri Industri, Tbk (IKAI) malah mengalami rugi bersih sebesar Rp 11,94 miliar, atau Rp 15,09 per lembar. Intikeramik telah mencatatkan rugi selama beberapa tahun terakhir.  

Emiten keramik berkapitalisasi terbesar, yaitu PT Arwana Citramulia, Tbk (ARNA), memiliki kinerja profitabilitas tertinggi dengan marjin laba bersih 16,7%, jauh di atas rata-rata 7,78% dan imbal hasil atas ekuitas (ROE) mencapai 71%. Dengan utang yang lebih rendah daripada rata-rata, Arwana ditransaksikan pada PBV tertinggi dibandingkan emiten-emiten keramik lainnya, yaitu sampai dengan 8,14 kali.

Pelaku usaha keramik juga menyebutkan tantangan sebelumnya adalah kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang sudah lebih dahulu menekan beban produksi. Sejak Juli sampai November, mereka mengaku biaya energi sudah naik 40%. Kenaikan biaya energi tersebut lantas mengerek beban produksi sebesar 5%.


Paska menaikkan harga jual Desember nanti, pelaku usaha masih optimistis bisa mencatatkan pertumbuhan penjualan di kuartal IV. Katalis positifnya adalah anggaran proyek pemerintah yang cair di semester II, biasanya dibelanjakan di kuartal IV.

Pergerakan Saham Arwana Citramulia (ARNA)


Friday, November 21, 2014

Akuisisi Pemilik Milkuat, Indofood CBP Tumbuh 20%

Jakarta, 21 November 2014 – PT Indofood CBP Sukses Makmur, Tbk (ICBP) mengumumkan pembelian saham PT Danone Dairy Indonesia, produsen produk susu cair dengan nilai Rp 250 miliar. Pendapatan perseroan dari segmen dairy sampai dengan September mencapai Rp 3,94 triliun atau 17,3%.

Danone Dairy Indonesia adalah pemilik brand Milkuat yang bergambar harimau dan telah memiliki posisi yang  cukup kuat di pasar susu anak-anak Indonesia. Transaksi yang dilakukan oleh anak perusahaan, PT Indolakto, ini diharapkan dapat memperkuat posisi perseroan di Indonesia bagian barat pada khususnya dan di industry dairy nasional pada umumnya.

Karena nilainya yang tidak signifikan, yaitu hanya 1% dari total aset dan 1,8% dari total ekuitas perseroan, maka transaksi ini tidak perlu mendapatkan persetujuan dari pemegang saham. Akuisisi ini diperkirakan selesai pada akhir bulan Desember tahun ini setelah semua kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi.

Dalam 9 bulan tahun 2014 ini, perseroan telah mencatatkan pertumbuhan pendapatan total 20% menjadi Rp 22,78 triliun dibandingkan tahun sebelumnya Rp 18,88 triliun. Pertumbuhan laba tercatat 11,89% menjadi Rp 2,07 triliun atau Rp 355/saham. Sebagian besar pendapatan dan laba tersebut berasal dari produk-produk mi instannya yang di bawah payung merk Indomie, Supermi, Sarimi, Sakura, Pop Mie, Mi Telur Cap 3 Ayam dan Pop Bihun.

Sebelumnya perseroan bersama Asahi Group Holdings Southeast Asia Pte Ltd membentuk dua perusahaan patungan yakni PT Asahi Indofood Beverage Makmur (AIBM) yang memproduksi minuman non alkohol, dan PT Indofood Asahi Sukses Beverage (IASB) yang menangani pemasaran dan distribusi produk tersebut. Jumlah pabrik AIBM adalah 17 pabrik termasuk dua pabrik milik Pepsi Cola Indobeverages (PCIB) dan 14 pabrik air minum dalam kemasan (AMDK).

Pada Oktober 2013, perusahaan patungan Indofood dengan Asahi juga mengakuisisi perusahaan air minum dalam kemasan dengan merek dagang Club dengan nilai akuisisi Rp 2,2 triliun.
Tahun ini perseroan juga akan mendorong peluncuran produk kategori kopi siap minum dan functional drink. Selain dari bisnis minuman non alkohol, perseroan juga fokus mendorong bisnis dairy dan eskrim.

Dengan akuisisi agresif,  pemilik brand minuman Pepsi, Tropicana Twister, dan Tekita ini diharapkan mampu mencapai pendapatan dari bisnis minuman sampai dengan Rp 5 triliun pada tahun 2017.


Akuisisi-akuisisi agresif yang dilakukan oleh perusahaan telah mendorong harga saham perseroan naik 8,6% sejak awal tahun 2014 ke Rp 11.050 dan sempat mencapai harga tertinggi Rp 11.700. 



Wednesday, November 19, 2014

Pieter Tanuri Ambil Alih Saham Multistrada

Jakarta, 20 November 2014 – PT Multistrada Arah Sarana, Tbk (MASA) mengumumkan pengalihan saham dari PVP XVIII Pte Ltd kepada Pieter Tanuri selaku presiden direktur Multistrada. Pengalihan saham yang terjadi pada tanggal 14 November tersebut menjadi puncak penguatan saham MASA sejak September lalu.

PVP XVIII Pte Ltd Singapura selaku pemegang saham MASA 15,9% per tanggal 30 September 2014 mengalihkan sebagian besar sahamnya, sebanyak 1.169.456.500 dari 1.465.000.000 kepada Pieter Tanuri yang sebelumnya telah memiliki saham sebesar 2%. Paska pengalihan, Pieter Tanuri menjadi pemegang saham kedua terbesar dengan jumlah saham 15,32%.

Pada 9 bulan tahun 2014 ini Multistrada melaporkan penurunan pendapatan sebesar 11% menjadi US$ 220,83 juta dari sebelunya US$ 249,25 juta. Laba bersih juga turun tipis, 4%, menjadi US$ 1,23 juta dibandingkan sebelumnya US$ 1,28 juta.

Walaupun diperdagangkan pada rasio harga atas laba (P/E) yang tinggi, yaitu 192 kali, akibat rendahnya laba bersih, akan tetapi harga saham MASA saat itu, Rp 420, hanya mencerminkan rasio PBV 0,9 kali.



Dengan harga ini, tidak heran Pieter Tanuri yang juga merupakan pelaku pasar modal dengan jejak rekam baik, berani untuk membeli saham yang cukup banyak dengan harga di atas harga pasar.  Ini juga memberikan sinyal yang baik bagi pasar tentang harga wajar dari produsen ban merk Achiles dan Corsa ini. Apalagi pengalihan saham ini adalah transaksi internal karena Pieter Tanuri 

Sebelumnya, Multistrada baru saja melaporkan penggunaan dana rights issue yang dilaksanakan tahun 2011 sebesar 88%, atau Rp 1,32 triliun untuk kebutuhan investasi mesin dan gedung perseroan. Multistrada juga telah merencanakan untuk mendirikan pabrik ban di Kazakhstan dengan menggandeng badan usaha milik negara Kazahkstan, Samruk Kazyna Invest.




Tuesday, November 18, 2014

Malindo, Kinerja Saham Tertekan, Wajarkah?

Jakarta, 19 November 2014 - PT Malindo Feedmill, Tbk. (MAIN) mencatatkan penurunan saham signifikan hingga 27,30% sejak sebulan terakhir pasca rilis laporan keuangan yang menunjukkan penurunan laba hingga 92,35%. Dikombinasikan dengan adanya transaksi pemegang saham di pasar negosiasi pada harga Rp 2.280, muncullah pertanyaan: wajarkah penurunan harga tersebut dan apakah sinyal tersebut ditangkap oleh pemilik mayoritas namun belum diketahui investor minoritas saat itu?

Malindo mencatatkan penurunan laba bersih hingga 92,35% menjadi  Rp 18,53 miliar meskipun pendapatan masih menunjukkan kenaikan hingga 9,22% menjadi Rp 3,40 triliun. Dampaknya, marjin laba bersih turun signifikan menjadi hanya sebesar 0,55%.

Selain Malindo, kedua kompetitornya pada industri akan ternak juga mengalami penurunan laba bersih dan kenaikan pendapatan pada triwulan 3 yang lalu. Namun penurunan kinerja Malindo lebih signifikan.
 
PT Charoen Pokphand, Tbk. (CPIN) pemain terbesar industri pakan ternak, mencatatkan penurunan laba bersih hingga 22,46% menjadi Rp 1,71 triliun meskipun pendapatan naik 16,59% menjadi Rp 21,78 triliun. Marjin laba bersih Charoen tercatat 7,86%. Sementara PT Japfa Comfeed, Tbk. (JPFA) mencatatkan penurunan laba bersih hingga 57.27% menjadi Rp 327,66 miliar dengan kenaikan pendapatan hingga 17% pada Rp 18,69 triliun dengan penurunan marjin laba bersih hingga 3% menjadi 1,75%.

Kinerja ketiganya mengalami penurunan, namun hanya MAIN yang mengalami penurunan harga saham di pasar hingga  27,30% sejak sebulan terakhir pasca rilis penurunan kinerja pada triwulan ketiga ini, sementara Charoen Pokphand, Tbk. (CPIN) tercatat hanya turun 1,04% sejak sebulan terakhir, Japfa Comfeed, Tbk. (JPFA) melemah 8,12%.

Proyeksi beberapa sekuritas tersebut yang masih berdasarkan laporan keuangan pada semester pertama tahun ini masih terlalu optimis. Kim Eng Maybank yang merekomendasikan target harga Malindo pada harga Rp 3.300 memproyeksikan laba bersih per saham hanya turun 19% pada  akhir tahun mendatang. Sementara Bahana Securities bahkan memproyeksikan laba bersih per saham masih tumbuh 26% meskipun sejak tahun lalu sudah mengalami penurunan dengan menargetkan harga emiten pada Rp 4.000 per saham.

Pada riset tersebut sebenarnya telah menunjukkan tanda-tanda bahwa momentum perolehan laba bersih perusahaan cenderung menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena kondisi pasar pakan ternak yang kelebihan pasokan dan biaya produksi pakan yang tinggi. Namun turunnya kinerja MAIN pada triwulan ketiga ini yang melebihi ekspektasi, wajarlah jika harga pun turun tajam.


Di sisi lain perlu dicermati pula adanya transaksi pemegang saham mayoritas beberapa periode lalu, di mana terjadi pre-emptive right issue sebanyak 5% saham pada harga pelaksanaan Rp 3.500. Saham baru dibeli oleh Ginger Company untuk kemudian pada bulan Agustus dipindahkan kepada Dragon Amity Holding Ltd. dengan harga sebesar Rp 2.280 per saham.

Setelah pengalihan saham hasil pre-emptive right issue tersebut, Dragon Amity Ltd., mengalihkan 51% saham MAIN kepada Dragon Amity Pte. Ltd yang merupakan private company atau perusahaan swasta tertutup pada harga Rp 2.280 per saham. Kedua perusahaan ini dikendalikan oleh keluarga Lau dari Malaysia yang juga memiliki Leong Hub Feedmill di Malaysia.

Perihal ini transaksi tersebut, Malindo sempat diwajibkan oleh OJK membuka proses transaksi ini kepada publik. Dalam pernyataannya perusahaan juga menambahkan bahwa hasil pendanaan right issue tersebut untuk ekspansi dan membangun pabrik pakan ternak sehingga kembali lagi ke dalam operasional MAIN.

Harga Rp 2.280 tersebut lebih rendah dibandingkan harga pasar saat itu pada Rp 3.130. Ini menimbulkan dugaan bahwa ada kemungkinan kinerja Malindo yang turun signifikan pada triwulan ketiga 2014 sudah diketahui oleh pemegang saham pengendali, namun tidak tertangkap oleh investor minoritas.

Berbasis kurangnya keterbukaan informasi yang wajar, ASCEND menyimpulkan bahwa Malindo memiliki kekurangan standar proses keterbukaan informasi yang perlu diperbaiki.

Walaupun demikian, transaksi tersebut belum merugikan investor minoritas secara langsung karena transaksi ini berada di level pemegang saham Malindo dan tidak mengubah pengendali akhir (ultimate beneficial owner). Selisih harga ini mungkin disebabkan karena Dragon Amity Pte.Ltd. adalah perusahaan terbuka yang harus melaksanakan penilaian perusahaan sebelum pengalihan saham.

ASCEND melihat justru ada hal yang menarik karena Dragon Amity hingga saat ini mempertahankan Malindo dalam portofolionya. Industri pakan ternak yang merupakan hulu dari industri makanan masih dibutuhkan semua orang, sehingga seiring pertumbuhan demografi penduduk maka pertumbuhan industri ini termasuk Malindo masih cukup terbuka.Selain itu Dragon Amity juga mempunyai jaringan usaha sejenis yang berada di Malaysia yaitu Leong Hub Feedmill yang dikendalikan oleh keluarga Lau.

  
Kinerja MAIN: Fundamental Tertekan
Secara fundamental, MAIN memang membukukan penurunan laba bersih meskipun pendapatan tumbuh akibat kenaikan beban langsung yang membuat laba kotor mengalami penurunan. Analisis ASCEND menunjukkan beban langsung yang meningkat hingga 21% tidak dapat diteruskan ke pembeli sehingga menekan profitabilitas MAIN.

Di samping itu, pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat juga cenderung menekan bisnis bahan pokok seperti ternak ayam dan turunannya. Pendapatan diperkirakan masih cenderung melambat setidaknya hingga pertengahan tahun depan.

Kenaikan beban langsung ini berasal dari kenaikan beban pembelian bahan baku yang sebagian besar impor, dan juga peningkatan beban fabrikasi. Beban bahan baku meningkat seiring kenaikan komoditas kedelai, jagung dan kelapa sawit pada semester pertama tahun ini, diharapkan pada semester kedua yang mana tren harga komoditas cenderung melambat akan menekan beban langsung hingga akhir tahun nanti.

Meskipun pembelian beban langsung dengan menggunakan Dollar, sejauh ini depresiasi Rupiah terhadap Dollar hanya memiliki sensitivitas sebesar 2% pada tahun ini, tidak seperti tahun lalu yang sebesar 7% terhadap risiko perseroan secara keseluruhan, jadi sebenarnya nilai tukar tidak signifikan terhadap beban.

Hasilnya pun laba kotor Malindo tertekan hingga 39,98% sehingga marjin laba kotor pun juga tertekan menjadi hanya 9,89%. Bahkan EBITDA perusahaan pun melambat dengan mencatatkan penurunan 51,05% yang menunjukkan profitabilitas dari operasional melambat. Hal tersebut juga dialami oleh tiga emiten pakan ternak lainnya.

Imbal hasil terhadap ekuitas (ROE) MAIN pun tertekan hingga 2,08% atau menurun dibandingkan tahun lalu yang mencapai 28,06%.

Pada industri pakan ternak, kami melihat bahwa MAIN dalam SWOT analisis memiliki beberapa keunggulan yaitu berada dalam high industry barrier to entry  yang mempunyai pangsa pasar besar sehingga oportunitas tumbuh cukup besar.

Malindo memiliki oportunitas dimana ekonomi Indonesia yang masih menarik dan potensi tumbuh besar dibandingkan dengan negara ASEAN lain dan potensi pasar yang besar.

Namun, Malindo memiliki kelemahan dimana volatilitas bahan baku dan nilai tukar cederung mendorong biaya, begitu pula peraturan impor bahan baku yang tidak konsisten. Dibutuhkan efisiensi biaya dimana saat ini industri poultry memiliki marjin yang cukup tipis. Selain itu, ancaman terhadap wabah penyakin ternak selalu membayangi.

Malindo juga memiliki ancaman pada posisi industri secara keseluruhan, yaitu pasar pakan ternak yang masuk dalam fase kelebihan pasokan sehingga cenderung menekan pertumbuhan. Selan itu, ancaman dari pasar China yang menawarkan biaya yang lebih murah ke petani juga mengancam industri akan ternak di Indonesia.


Berdasarkan analisis tersebut, ASCEND melihat ke depan potensi Malindo untuk tumbuh masih terbuka, namun selama setahun kedepan kondisi fundamental masih akan tertekan dari faktor biaya dan penurunan pendapatan. Dalam jangka panjang Malindo masih berpotensi tumbuh.