Thursday, December 5, 2013

Likuiditas Ketat, Bank BTN Berencana Tambah Sekuritas



Jakarta, 6 Desember 2013 - Dihadapkan dengan persoalan likuiditas dan pengetatan moneter oleh BI, Maryono, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk (BBTN), menyatakan bahwa BTN berencana akan menerbitkan sekuritas berharga hingga Rp 4,5 triliun pada tahun depan untuk pembiayaan aset.

Tahun lalu BTN telah berhasil menerbitkan pinjaman subordinasi berupa obligasi sebesar Rp 2 triliun pada kuartal kedua tahun ini. Pendanaan dari sekuritas ini dinilai lebih bersifat jangka panjang untuk memenuhi likuiditas BTN .

Sementara itu menurut Evi Firmansyah, Deputi Direktur menyatakan  mengandalkan likuiditas dari dana pihak ketiga (DPK) seperti deposito, paling lama hanya 3 bulan, padahal Bank BTN yang membiayai KPR  bersifat jangka panjang, hal ini dilakukan untuk menekan biaya.

BTN merupakan bank yang portofolio kreditnya sebagian besar dari KPR atau kredit kepemilikan rumah. Dengan adanya agunan kredit berupa properti, hal ini merupakan keunggulan bagi BTN , mengingat harga properti selama lima tahun kebelakang telah naik 30% CAGR, sehingga ada oportunitas bagi BBTN untuk menerbitkan sekuritas baru seperti dalam bentuk efek beragun aset (EBA).

Sebelumnya BTN merupakan bank di Indonesia yang menerbitkan sekuritas berjenis mortgage backed securities (MBS) dalam bentuk kontrak investasi kolektif-efek beragun aset (KIK-EBA). Mengenai KIK-EBA sebelumnya pernah dibahas AFN dalam artikel sebelumnya. http://fundamental-saham.blogspot.com/2013/11/likuiditas-tipis-efek-beragun-aset-akan.html

Diharapkan dengan menerbitkan sekuritas baru, BBTN dapat menekan cost of fund pada tahun mendatang karena bunga deposito sudah mencapai double digit akibat pengetatan moneter BI.

Selain itu, defisit APBN yang semakin besar tentu akan dibiayai hutang oleh pemerintah, sementara tren penjualan surat utang negara dari tahun ketahun meningkat dan permintaan masih tinggi, hal ini dapat “mengkanibalisasi” bank dan memaksa pertarungan surat utang negara dan deposito yang menawarkan yield yang tak jauh beda. Untuk itu, pembiayaan alternatif melalui sekuritisasi layak diperhitungkan.

Jika dilihat dari kinerja keuangan BTN, terlihat bahwa BTNmenghadapi permasalahan dengan biaya bunga dan biaya operasional yang tinggi sehingga menghambat pertumbuhan laba bersih. Terlihat meskipun pendapatan bunga dan pendapatan lain masing-masing naik hampir 20%, namun laba bersih hanya naik 3,52%.

Dari sisi pos neraca, komposisi dana pihak ketiga (DPK) dari deposito sebesar 39% dari total aset sehingga hal ini mendorong beban biaya bunga yang cukup tinggi. Jika BTNmengandalkan dana pihak ketiga untuk pemenuhan likuiditas tentu akan menekan marjin pada tahun depan.

Artinya untuk meningkatkan likuiditas pada tahun mendatang, BTN salah satu carayang efisien yaitu  lewat pendanaan yang lebih murah yang sifatnya jangka panjang untuk mendorong pertumbuhan laba bersih.


Kinerja Bank BTN

Laba bersih  selama kuartal ketiga 2013 tumbuh moderat 3,52% menjadi Rp 1,06 triliun dibanding tahun lalu Rp 1,02 triliun. Sementara itu pendapatan bunga naik 19,87% menjadi Rp 8,07 triliun dari sebelumnya Rp 6,73 triliun. Dari sisi pendapatan operasional, BTNmembukukan kenaikan 19,33% menjadi Rp 466 miliar dari sebelumnya Rp 390 miliar. Pertumbuhan laba bersih yang moderat ini karena beban bunga dan beban operasional naik melebihi kenaikan pendapatan.

Beban bunga BTNtercatat naik 23,07% selama kuartal ketiga menjadi Rp 3,93 triliun dibanding periode tahun lalu sebesar Rp 3,20 triliun. Sementara itu beban operasional bank juga naik 26,00% menjadi Rp 3,17 triliun dibanding sebelumnya Rp 2,52 triliun. 


Net interest margin (NIM) tercatat terkoreksi menjadi sebesar 5,45% pada kuartal ketiga tahun 2013 ini dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 6,00%. Penurunan marjin ini karena dampak pengetatan moneter BI yang salah satunya menaikkan suku bunga acuan sejak Mei lalu sehingga mendorong kenaikan beban bunga.

Rasio beban BTN juga menunjukkan kenaikan seiring dengan kenaikan beban bunga. Tercatat cost to income ratio (CIR) naik menjadi 57,34% dari periode sebelumnya 56,43%. Sementara rasio biaya dilihat dari perbandingan biaya operasional terhadap pendapatan (BOPO) menunjukkan kenaikan menjadi 83,29% dari periode sebelumnya 80,26%.

Sementara itu, meskipun laba bersih menguat tipis, return on equity (ROE)  BTN mengalami penurunan menjadi 14,52% dari periode kuartal ketiga tahun lalu sebesar 19,06% atau akhir tahun lalu sebesar 18,23%. Penurunan ini diakibatkan oleh kenaikan modal inti yang termasuk dalam modal inti menjadi Rp 9,87 triliun dari posisi akhir tahun lalu sebesar Rp 9,04 triliun karena akumulasi laba dari tahun lalu.
 
Sementara itu, rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) tercatat turun tipis menjadi 109% dari sebelumnya 110%. Portofolio penyaluran pinjaman BTN yang sebagian besar didominasi kredit properti memungkinkan BTN memberikan pinjaman yang lebih besar dari pada penyerapan dana pihak ketiga. Sementara itu, loan to funding ratio atau perbandingan kredit terhadap pendanaan tercatat sebesar 89,50% pada kuartal ketiga 2013 atau naik dari 87,79% pada periode yang sama tahun lalu. Funding atau pendanaan diperoleh dari DPK, obligasi, pinjaman dan repo.

Dari situ, terlihat bahwa pertumbuhan pendanaan aset tumbuh bukan dari DPK melainkan dari pendanaan lainnya. Tercatat BTN baru saja menerbitkan obligasi Rp 2 triliun.

Salah satu permasalahan keuangan lainya yaitu non performing loan BBTN tertinggi diantara 15 bank terbesar nasional lainnya. NPL BTN tercatat sebesar 4,88% dengan NPL net sebesar 3,81%. Dan kredit macet dari NPL pun tercatat sebesar 3,30% atau senilai Rp 3,19 triliun.

Tingginya NPL ini berasal dari sektor konsumer dan KPR subsidi. Untuk NPL dari KPR subsidi karena ada agunan kredit berupa properti tentu recovery penagihan kredit tidak menjadi masalah karena harga perolehan kembali kemungkinan menuutup kredit macet. Namun, untuk kredit sektor konsumer akan menjadi perhatian karena risiko gagal bayarnya semakin besar.