Tuesday, August 5, 2014

Dua Emiten Bank Tumbuh Moderat, Bahan Baku Ban Tumbuh Cepat

Jakarta, 5 Agustus 2014 – PT Indo Kordsa, Tbk (BRAM), manufaktur bahan baku ban, mencatatkan pertumbuhan yang signifikan di triwulan II 2014. Sementara itu manfaktur ban, PT Gajah Tunggal, Tbk (GJTL) dan PT Multistrada Arah Sarana, Tbk (MASA) mengalami pertumbuhan moderat.  

Indo Kordsa yang menghasilkan benang nylon dan kain ban mencatatkan pertumbuhan pendapatan 36,6% dan pertumbuhan laba bersih 1247,6%. Kenaikan pendapatan ini disebabkan oleh tingginya permintaan benang ban (tire cord) dan polyester.

Sementara pendapatan naik cukup tinggi, biaya bahan produksi naik hanya kurang dari 1%. Ini mendorong kenaikan laba kotor menjadi 197,9% dan laba bersih akhirnya mencatat kenaikan 1247% ke angka setara Rp 95,82 miliar atau Rp 425,85/ saham.

Gajah Tunggal, penguasa pasar ban di Indonesia, mencatatkan pertumbuhan pendapatan 7,1% menjadi Rp 6,56 triliun. Namun pertumbuhan pendapatan tersebut diiringi dengan pertumbuhan biaya-biaya yang lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan pendapatan. Hasilnya, laba bersih Gajah Tunggal turun lebih dari setengahnya menjadi hanya Rp 228,29 miliar atau Rp 131,2/ saham.

Kenaikan pendapatan yang dialami oleh Gajah Tunggal terdorong oleh kenaikan penjualan ekspor sebesar 25%, sementara penjualan lokal malah turun walaupun tipis. Kenaikan biaya yang cukup tinggi berasal kenaikan harga bahan baku,biaya pabrikasi, dan biaya transportasi.

Multistrada, pendatang baru yang mulai menggerogoti pangsa pasar Gajah Tunggal dengan Achilles dan Corsa, mencatatkan kenaikan pendapatan 5,2% menjadi setara Rp 1,77 triliun. Namun kenaikan ini disebabkan oleh pelemahan Rupiah. Laporan keuangan dalam dolar yang diterbitkan perusahaan menggambarkan penurunan pendapatan 12% menjadi US$ 150,06 juta. Penurunan ini didorong oleh penurunan baik di pasar ekspor maupun lokal. Saat ini Multistrada lebih banyak melakukan ekspor ketimbang melayani pasar lokal.

Di sisi lain, pertumbuhan negatif malah dialami oleh PT Goodyear Indonesia, Tbk (GDYR). Goodyear merupakan satu-satunya manufaktur ban yang mengalami pertumbuhan negatif. Pendapatan turun 5,6% menjadi setara Rp 935,03 miliar, sementara laba bersih turun sekitar 94% menjadi hanya setara Rp 3,3 miliar. Penurunan pendapatan disebabkan oleh pasar dalam maupun luar negeri.

Padahal Juli kemarin, Duta Besar Amerika Serikat Robert Blake sempat mengunjungi  fasilitas manufaktur PT. Goodyear Indonesia di Bogor, Jawa Barat, untuk mendukung  kontribusi jangka panjang Negeri Paman Sam di Indonesia. Dubes sempat memuji Goodyear atas kontribusinya dalam meningkatkan keselamatan dan kualitas kendaraan bermotor di seluruh Indonesia melalui teknologi yang diterapkan pada produk ban. Dubes juga sempat memuji program-program tanggung jawab sosial untuk komunitas yang dilakukan oleh Goodyear.

Ekonomi Indonesia Melambat (lagi) pada Triwulan Kedua 2014, Investor Perlu Sesuaikan Portofolio

Jakarta, 5 Agustus 2014Badan Pusat Statistik (BPS) dalam siaran pers pagi ini, mengumumkan ekonomi Indonesia melambat pada triwulan kedua 2014 yang tumbuh hanya sebesar 5,12% dibandingkan pada triwulan pertama lalu yang tumbuh hingga 5,21%. Dengan data ini berarti perlambatan pertumbuhan sudah terjadi selama 3 triwulan berturut-turut. ASCEND merekomendasikan investor untuk menyesuaikan portofolionya seiring dengan perlambatan ekonomi apabila pemerintah baru tidak juga melakukan dorongan terhadap pertumbuhan infrastruktur.

Dalam tiga triwulan terakhir, ekonomi Indonesia sudah menunjukkan perlambatan. Ketergantungan ekonomi Indonesia hanya dari sektor konsumsi rumah tangga yang menyumbang 55,79% komponen ekonomi Indonesia, sementara komponen lainnya seperti sektor investasi dan perdagangan belum mampu tumbuh  secara signifikan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat.

Beberapa unsur yang cenderung membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat aalah pertumbuhan infrastruktur yang masih rendah, juga produktivitas yang rendah dibanding negara lain, beban anggaran subsidi yang dinilai tidak tepat dan defisit perdagangan pada pos-pos penting terutama pada segmen kebutuhan pokok, serta Indonesia yang cenderung dijadikan pasar pada produk-produk penting tertentu dari negara lain padahal nilai tambah tersebut seharusnya dapat diciptakan di Indonesia.

Sebelumnya menurut riset yang dilakukan Reuters, beberapa analis dan ekonom yang disurvey Reuters meyakini dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia masih akan tumbuh di bawah target pemerintah terpilih sebesar 7% per tahun dan untuk triwulan kedua 2014 ini masih mampu tumbuh sebesar 5,3%.

Secara sektoral, pertumbuhan masih didorong oleh sektor konsumsi domestik rumah tangga yang tumbuh sebesar 5,59%, pertumbuhan sektor investasi sebesar 4,53% dan penurunan impor hingga 5,02%, sedangkan pengeluaran pemerintah turun 0,71% dan ekspor melambat 1,04%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih ditopang pada sektor konsumsi, sementara sektor investasi dan pengeluaran pemerintah terutama yang ditujukan pada belanja infrastruktur tidak tumbuh terlalu signifikan. Selain itu, melemahnya neraca perdagangan dengan penurunan ekspor, membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti berjalan di tempat. Sektor tambang melambat selama semester pertama, sedangkan sektor perkebunan dan industri olahan tumbuh.

Di sisi lain, Bank Indonesia dalam upayanya untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah dan menahan arus modal asing kembali ke negara asal, telah menaikkan suku bunga setidaknya lima kali dalam setahun terakhir. Namun, upaya tersebut nampaknya belum mampu mendorong investasi terutama dalam sektor riil.

Pemerintah dalam upayanya menciptakan nilai tambah, telah melakukan pembatasan dan pelarangan ekspor bijih tambang dengan menerbitkan peraturan pembangunan smelter untuk mendorong nilai tambah ekspor dan produksi tambang. Namun, karena baru berjalan sejak Januari lalu dan realitasnya hanya sedikit smelter yang beroperasi belum mampu meningkatkan nilai ekonomi dari sektor tambang untuk menyumbang pertumbuhan PDB dalam waktu dekat ini.

Pemerintah terpilih yang telah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 6 hingga 7% per tahun dalam beberapa tahun ke depan, dihadapkan pada tantangan untuk merealisasikan janjinya ketika menjabat mulai 20 Oktober 2014 mendatang.

Melihat data ini, ASCEND merekomendasikan investor sebaiknya kembali menyesuaikan portofolionya terhadap pertumbuhan ekonomi negara terbesar di Asia Tenggara ini yang melambat di bawah perkiraan dan cenderung underperform terhadap target semestinya.

ASCEND melihat pertumbuhan infrastruktur perlu dipacu oleh pemerintah. Selain itu pemerintah juga harus berupaya melalui kebijakan seperti memproteksi produk nasional, menekan impor, menciptakan produk impor tersebut di dalam negeri dan memperbaiki kebijakan-kebijakan yang justru menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti mencabut subsidi bahan bakar minyak untuk menciptakan nilai tambah sehingga pertumbuahn PDB terdorong signifikan.

Sebagai catatan, meskipun PDB Indonesia tertinggi se-Asean dan nomor 18 peringkat global, namun PBD per kapita Indonesia masih jauh lebih rendah dibanding negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.